*****
“Pagi, Papa ….” Kupeluk lelaki paruh baya itu dari belakang. Dia tengah memanaskan sepeda motor Mas Diky.
“Eh, pengantin baru … udah bangun aja?” katanya menepuk-nepuk tanganku yang masih melingkar di pinggangnya.
“Udah, dong,” sahutku melonggarkan pelukan.
“Suamimu sudah bangun juga?” tanyanya melanjutkan mengelap body motor menantu tercintanya itu.
“Udah. Nah itu dia!” jawabku menunjuk Mas Diky yang sudah datang menyusul ke teras rumah.
“Lho, kok belum pakai seragam, sih? Nanti terlambat, lho!” omel Papa melihat Mas Diky masih mengenakan piyama tidur.
“Ini masih jam berapa, Pa? Mas Diky udah mandi, kok. Tinggal ganti seragam aja nanti,” tukasku membela suami tercinta.
“Oh, gitu. Ya, udah terserah.” Papa terlihat semringah. Wajahnya begitu terang, terlihat jelas dia begitu
*****Dua jam perjalanan, kami telah sampai di tempat tujuan. “Selamat datang di Desa Karang Sari”, begitu tulisan yang kubaca saat memasuki gerbang desa. Mas Andy - pacar sahabatku Rani telah meluangkan waktu untuk membantuku mencari keberadaan Bu Niken. Wanita yang telah melehirkan lalu meletakkanku di depan pintu rumah Papa.“Kita ke mana ini?” tanya Mas Andy saat mobil mulai memasuki kawasan rumah penduduk.“Ran, gimana?” tanyaku meminta pendapat Rani.“Kita berhenti di warung itu aja! Kita bisa tanya-tanya dulu,” usul Rani menunjuk sebuah warung semi grosir.Rani langsung turun begitu mobil sudah menepi. Aku juga bergegas turun.“Selamat pagi, Ibu! Maaf mau nanya, rumhnya Ibu Niken, yang mana, ya?” tanya Rani ramah.“Bu Niken? Bu Nike
*****“Ken ….” Nenek mengelus kepala wanita itu. Yang dielus bergeming. Matanya hanya terpejam, seolah sedang larut dalam mimpi. Ya, wanita itu sepertinya tengah terlelap dalam mimpi.“Niken …! Coba buka matamu, Nduk!” Lihat siapa yang datang!” bujuk Nenek tak henti membelai kepala wanita itu. Disibakkannya rambut panjang yang menutupi separuh wajah. Disatukan semuanya ke belakang kepala, lalu diikat menggunakan karet gelang yang terletak di dekat kaki wanita yang diikat tali tambang. Bau tak sedap menyerang cuping hidung. Sepertinya wanita ini sudah lama tak mandi.Bu Niken, ah … Ibu? Bukan, Mama? Ah! Dengan apa aku harus memanggilnya. Mulutku sangat berat menyebut dengan satu panggilan khusus. Bagaimana aku harus memanggilnya?“Mala … panggil ibumu, Nak! Mungkin dia mau bangun jika
*****Kuseka sisa air di tubuh Ibu. Dibantu Rani, kami mengenakan daster lusuh, tapi terlihat bersih. Kukeringkan rambut panjang Ibu. Kusisir rapi dengan meminjam sisir rambut di tas sandang Rani.“Ini pakai bedak aku!” usul Rani mulai menaburkan dan meratakan bedak di pipi Ibu. Tak lupa Rani mengoleskan pewarna bibir.“Ibu cantik sekali,” puji Rani memperlihatkan wajah Ibu melalui cermin kecil.Ibu terlihat semringah.“Kita mau pergi ke kota? Mau lihat Mala, ya?” tanyanya dengan mata berbinar.“Lho. Ini siapa?” tanya Rani menunjukku.“Mala … ini Mala putriku?” Ibu kembali terlihat linglung. Wajahnya kembali basah genangan air mata.“Ini Mala, Bu. Kita akan selalu bersama sekarang!” ucapku samb
*****“Mas …,” sapaku menyambut Mas Diky yang berdiri terpaku di ambang pintu kamar. Kuberanikan diri meraih tangan dan menciumnya dengan lembut.Mas Diky bergeming. Tatapannya masih tertuju ke ranjang besi kebanggaannya. Ranjang yang katanya tidak akan berbunyi meski ada yang tanding gulat di atasnya. Sontak hatiku getir. Pasti Mas Diky sangat kecewa. Dalam bayangannya mungkin akan segera mengendong dan meletakkan aku ke atas pembaringan, begitu tiba di rumah. Kenyataan yang terjadi ranjang itu telah ditempati orang lain. Ibu dan nenekku.Aku salah? Ya, aku salah. Tetapi, ke mana lagikah aku harus membawa mereka? Aku tak punya rumah, tak juga punya uang untuk mengontrak. Pekerjaan pun aku belum ada. Sungguh berbeda dengan Melur. Meski jiwanya lembek, tapi begitu lincah dalam hal mencari penghasilan. Sepertinya aku harus menirunya. Aku tak akan bisa hidup
*****“Kami akan membawa mereka ke kos-kosan terdekat, Ma,” kata Mas Diky tetap berbicara sopan pada ibunya.“Sini dulu, Mama mau bicara!” perintah wanita itu. Mas Diky mengikuti langkah sang ibunda dengan patuh.“Mala, kami minta maaf. Mungkin sikap kami kurang berkenan di hatimu. Tapi, ini jauh lebih baik, daripada kami menyimpannya. Ibarat menyimpan bara di dalam sekam. Kobaran apinya akan sangat dasyat, apalagi bila ada angin yang berembus. Kau paham maksud Papa, Nak?” tutur Papa mertuaku seakan begitu arif dan bijaksana.“Tidak apa-apa, Pa. Saya paham. Saya berjanji, akan segera mengembalikan nama baik ibu kandung saya. Hingga semua orang akan tahu cerita yang sebenarnya,” cetusku tetap tersenyum.“Ok, semoga saja kamu benar. Papa tinggal dulu,” ucap Papa setelah mengangguk kepada Ibu da
****“Mel, pagi ini ada waktu enggak buat aku?” tanyaku melalui telepon. Aku menyerah juga akhirnya. Terpaksa meminta bantuan pengantin baru itu.“Ada apa, La? Kamu baik-baik saja?” tanya Melur dengan nada khawatir.“Aku baik. Tapi, sangat butuh bantuan kamu sekarang. Bisa ke rumah mertuaku enggak, jemput aku? Aku enggak enak ngerepotin Rani terus menerus. Kemarin juga dia dan Mas Andy sudah menemani aku seharian saat mencari Ibu aku ke desa. ” lanjutku.“Boleh. Kebetulan Mas Reno juga enggak sibuk hari ini, kami bisa bareng.”“Jangan, dong! Kamu sendiri aja!” selaku cepat.“Kenapa? Mas Reno bisa, kok, bantu nyetirin kita kalau ke mana-mana?” tukas Melur.“Enggak enak ngerepotin suamimu. Kamu aja, deh! Mas Reno enggak usah ikut. Lagian aku
*****“Mala … kau di mana …? Tolong kami, Nduk!”Terenyuh mendengar tangisan Nenek. Wanita yang telah uzur itu menelungkup di lantai, di lorong kos-kosan sempit. Sementara Ibu langsung bangkit, terduduk setelah tersungkur jatuh karena di dorong kasar oleh Mama Ratna. Wanita itu mengkerut sembari memeluk lutut. Sorot matanya penuh ketakutan, sesekali melirik Mama Ratna dan Rara.Semua terjadi di hadapanku. Aku yang masih berbaur dengan para penghuni kos-kosan. Mereka belum menyadari keberadaanku.“Belum puas, ya, kau diazab Allah seperti ini? Kau diazab sampai gendeng begini? Karmamu belum cukup, iya? Sekarang berani-beraninya datang lagi, mau ngapaian? Mas Ranto udah enggak peduli padamu! Surat ceraimu memang belum pernah kau terima, tapi talak untukmu sudah jelas! Secara hukum pun kau bukan i
*****Penghuni kos-kosan meneriaki Mama Ratna dan Rara, saat keduanya dipaksa pergi oleh Papa. Rara memapah ibunya yang berjalan masih sempoyongan. Gang sempit ini agak jauh dari jalan raya, bisa kubayangkan bagaimana tersiksanya mereka berjalan kaki sambil menahan sakit di sekujur badan untuk mencapai jalan besar, agar bisa menemukan alat angkutan untuk pulang.Ibu masih menyembunyikan wajah di balik punggungku, saat Papa semakin mendekat. Wajah murung lelaki paruh baya itu menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Menyesal, yah, aku yakin itulah yang dirasakannya saat ini.Nenek terlihat gelisah. Wajahnya menegang penuh emosi, warna mukanya merah padam. Wajar sekali Nenek marah. Dia berhak murka karena kecewa. Papa telah menyakiti anak semata wayangnya. Papa bahkan telah menghancurkan hidup putrinya itu. Dua puluh tahun sudah lamanya, sang putri menderita gangguan mental. Hidup
*****POV MalaBayangan saat Rara dibawa pergi oleh lelaki sangar itu tak bisa hilang juga. Sungguh aku tak habis pikir, kok mau-maunya si Rara pacaran dengan preman. Apa yang ada laki-laki yang lebih baik lagi?Usahaku membujuk Mama mertua juga sia-sia belaka. Percuma aku merekam percakapan antara Rara dengan Papa mertua di warung bakso tadi. Sedikitpun hati Mama tidak tersentuh. Dia hanya menatap layar dengan wajah membentuk segi delapan. Bibirnya mencibir, lalu mengembalikan ponselku tanpa ekspresi.Sudah tertutup rapat kah pintu hati wanita itu? Kenapa tiada maaf? Setelah pernikahan yang mereka bina selama puluhan tahun, tak bisa kah, dia mengesampingkan ego, demi Anak-anak dan cucu? Begitu sakitkah hatinya? Bukankah Papa mertuaku sudah meminta maaf?Kenapa Ibu bisa memaafkan Papa? Bukankah posisi mereka hampir sama? Sama-sama dihancurkan oleh Rat
*****POV RaraNyalang kutatap wajah perempuan yang berdiri di teras sudut warung. Sebenarnya aku sudah melihatnya sedari tadi, tak lama setelah Om Herman masuk ke dalam warung. Syal panjang dan lebar yang digunakannya untuk menutupi wajah dan sebagian tubuh, membuat aku tak mengenalinya. Kukira hanya seorang pelanggan warung bakso. Tanpa kusadari dia merekam semua pembicaraanku dengan Om Herman.Mereka keterlaluan! Sengaja menjebak aku rupanya. Om Herman juga, pura-pura jual mahal! Pura-pura tak perduli lagi pada Mama, rupanya karena takut pada Kak Mala dan Kak Rahma. Pasti mereka datang bersamaan tadi, sengaja untuk mempermalukan.Kak Rahma dan Kak Mala tersenyum puas. Panas rasa hatiku.“Oh, jadi kalian sengaja menjebakku! Om Herman bilang dia datang sendiri, dia sembunyi-sembunyi ke sini, padahal kalian sekongkol! Bangs*t kalian semua!” teriakku meradang. Semua meja yang
*****Kembali POV MalaSudah tiga hari Mama mertua tinggal di rumahku. Polisi membebaskannya berdasarkan permintaan keluarga korban, yaitu Papa. Ucapan terima kasih tak henti terucap dari mulutnya. Papa yang sudah mulai sering berkunjung untuk menemui Ibu, menanggapinya dengan santai.“Saya khilap, Bang. Gak nyangka banget, si Ratna setega itu. Saya sudah membela dia mati-matian di depan Abang waktu itu, kan? Berbulan-bulan dia dan anaknya itu saya kasih makan secara gratis, kok malah mencuri suami saya,” tuturnya saat baru pulang dari penjara tiga hari lalu.“Iya, Dek Lena, tapi, lain kali, jangan pernah main senjata tajam lagi. Masalah apapun, hadapilah dengan kepala dingin. Seperti halnya sekarang. Cobalah menghadapi Herman dengan kepala dingin!” kata Papa, sepertinya sengaja memancing isi hati Mama mertua.&
*****POV RaraBagaimana ini? Preman jelek dan menjijikkan itu mengancamku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ke mana kau bisa bersembunyi? Anak buahnya tersebar di mana-mana. Tak aka nada tempat bersembunyi yang aman bila berurusan dengannya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?Ardo, tinggal dia satu-satunya harapanku. Kepada siapa lagi aku bisa berharap, selain kepada dia. Mungkin dia bisa meminta maaf kepada Bang Gandi. Bukankah aku calon istrinya? Tentu dia mau melepaskan aku dari ancaman preman itu. Semoga Bang Gandi enggak membuka rahasia kalau kami pernah tidu bersama.Tidak! Tidak bisa dijamin Bang Gandi menjaga rahasia itu. Kalau Ardo tahu, bukan pertolongan yang kudapat, malah kecolongan nanti. Aku hanya bisa menangis melolong.Untuk sekarang, aku bisa bersembunyi di rumah sakit ini, hingga Mama sembuh. Bila nanti disuruh pulang, a
*****POV RaraLaki-laki itu menyenderkan tubuh di bagian kepala ranjang. Asap rokok mengepul di atas kepalanya. Dihisapnya dalam-dalam , lalu dikeluarkan kadang dari mulut, kadang dari hidung. Peluh masih membanjir di tubuhnya. Sorot kepuasan terpancar dari mata. Tangan kanan masih memegang bagian tubuhku.Menepis pelan tangan kasar berotot itu, lalu beringsut turun dari kasur yang teramat kasar. Sakit di sekujur tubuh ini. Laki-laki ini ternyata lebih buas dari yang kubayangkan. Tenaganya melebihi macan. Tubuhku dilumat habis, tak ada sisi yang luput dari sergapannya.Tertatih aku menuju kamar mandi sempit di sisi kamar, mengguyur seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Perih. Bekas gigitan di leher dan dada, terasa sangat pedih saat diterpa air dingin. Bekas gigitan itu tergambar jelas. Laki-laki menjijikkan itu sepertinya meninggalkan jeja
******POV Rara“Apa maksud Papa menempuh jalan damai?” tanyaku dengan nada ketus, setelah dia menyuruh menantunya cepat-cepat pulang. Mas Diky targetku malam telah lepas dari tangan.“Nak Rahma! Kamu ke ruangan Papamu saja! Biarkan Ratna ditunggui oleh Rara!” katanya tak menghiraukan pertanyaanku. Sebel! Papa tak pernah menganggap aku ada, apa lagi setelah kedatangan si Niken sialan itu.“Aku putri Mama, satu-satunya keluarganya! Aku tak mau berdamai dengan keluarga pembunuh itu!” tegasku melotot pada lelaki yang terakhir ini sangat kubenci.“Kau tak perlu ikut campur! Usiamu masih bau kencur! Tau apa kau tentang hukum!” sanggahnya membalas dengan melotot.“Tante Lena menusuk Mama, Pa! Dia mau membunuh Mama!”“Tindakannya spon
*****“Ibu mau ke mana?” tanyaku lembut.“Kamar mandi, ibu kebelet.”Kulepas pegangan di lengannya. Mungkin benar ibu kebelet, karena ancaman para preman menakutkan barusan. Mudah-mudahan, bukan karena kedatangan Papa.“Apa ini, Nak Anto?” tanya Nenek seraya menerima bungkusan dari Papa.Anto adalah nama panggilan Papa. Nama sebenarnya adalah Ranto, konon ceritanya, nama itu sengaja diberikan Kakek Almarhum kepada Papa. Dengan harapan Papa akan pergi merantau meninggalkan kampung halamannya di Aceh. Merantau untuk menuntut ilmu, pun belajar berbisnis. Harapan Kakek ternyata terwujud.“Ini ada martabak panas, rasa srikaya, makanan kesukaan –“ Papa tak melanjutkan ucapannya. Matanya menatap lurus ke arah pintu. Aku yakin, Ibulah yang sedang di carinya.
*****Kembali ke POV Mala“Kamu enggak usah jenguk Papa ke rumah sakit, Sayang! Hari ini dia sudah boleh pulang. Kak Rahma akan membawa Papa ke rumah Mama,” kata Mas Diky sambil mengenakan seragam.“Alhamdulillan, Mas. Papa cepat pulih.”“Ya, tapi dia belum boleh mikir, apalagi mendapat tekanan. Biar aja Kak Rahma yang merawat dia di rumah.”“Ya, kita juga harus ikut merawat, kan?”“Tidak! Aku masih malas bertemu Papa! Bisa emosi aku nanti, kuhajar pula dia. Gawat, kan?”“Masalah ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, Mas!”“Iya, tapi aku belum bisa, Sayang! Aku akan fokus ngurus kasus Mama, tadi malam Papamunelpon. Dia ngajak ketemuan di kantor pagi ini. Semoga usulannya untuk menyelesaikan kasus
******Masih diam terpaku, menatap tubuh menelungkup wanitaku. Bahu yang sedari tadi tak luput dari tatapan, terlihat mulai tenang. Tiada lagi goncangan. Isak, sedu dan sedan, raib sudah. Mungkinkah dia sudah berhenti menangis? Sepertinya iya. Kepala yang tanpa kerudung itu terangkat sedikit, tangan kanan mengusap wajah. Apakah istriku sedang mengusap air mata? Sepertinya, iya.Gegas aku bangkit dari bibir ranjang, berjingkat menuju pintu kamar, menggenggam handel pintu, membukanya pelan, berusaha tanpa derit. Lalu melangkah kembali keluar, menutup pintu dengan pelan, tetap berusaha agar tak menimbulkan deritan.Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Tiga kali, tiga kali aku melakukannya. Baru mulut bisa berucap.“Assalamualaikum! Mala ….”“Waalaikumusalam, Mas …!”