****
Rani turun, setelah aku mengambil alih kemudi motor meticku.
“Besok pagi, aku jemput bareng Mas Andy. Desa Karang sari itu terlalu jauh kalau kita tempuh dengan motor. Aku akan rayu Mas Andy buat mengawal kita besok,” katanya sekali lagi.
“Makasih, Ran. Kamu baik banget. Tapi, urusan kampus gimana?”
“Enggak apa-apa. Kta tinggal nyusun, kan? Yang penting kamu fokus dulu ke urusan ibu kandungmu, setelah itu baru fokus nyusun skripsimu!” usulnya menyemangati.
Aku mengangguk.
“Jangan mikir yang macam-macam dulu, tentang Rara dan suamimu! Jangan gegabah dan langsung bertindak di luar kendali! Waspada penting, tapi gegabah bikin pusing, ngerti?”
Aku mengangguk lagi.
&n
*****Ketukan halus di pintu kamar membuatku terjaga. Rasanya baru saja terlelap. Kulirik Mas Diky di samping. Dia terlelap persis seperti bayi, suara dengkurannya terdengar halus.Kembali ketukan terdengar, entah siapa yang mengganggu malam-malam begini. Awas aja kalau Rara! Tapi, bagaimana kalau Papa? Mungin ada sesuatu yang sangat penting. Pelan aku beringsut turun dari ranjang. Berusaha memicingkan mata yang masih sangat mengantuk. Pelan memutar gerendel pintu, lalu menguakkannya sedikit.“Kau …?” Aku tercekat, Rara berdiri di ambang pintu. Pakaian tidur berenda-renda dari bahan tipis transfaran menempel di tubuhnya. Jelas sekali terlihat isi dalam tubuh yang kuakui memang sangat sintal itu. Di mana otaknya? Dia menuju kamarku hanya dengan pakaian setengah telanjang begini? Dia tahu aku sudah bersuami. Ok, kalau dulu kami masih sama-sama single, enggak masalah
*****“Pagi, Papa ….” Kupeluk lelaki paruh baya itu dari belakang. Dia tengah memanaskan sepeda motor Mas Diky.“Eh, pengantin baru … udah bangun aja?” katanya menepuk-nepuk tanganku yang masih melingkar di pinggangnya.“Udah, dong,” sahutku melonggarkan pelukan.“Suamimu sudah bangun juga?” tanyanya melanjutkan mengelap body motor menantu tercintanya itu.“Udah. Nah itu dia!” jawabku menunjuk Mas Diky yang sudah datang menyusul ke teras rumah.“Lho, kok belum pakai seragam, sih? Nanti terlambat, lho!” omel Papa melihat Mas Diky masih mengenakan piyama tidur.“Ini masih jam berapa, Pa? Mas Diky udah mandi, kok. Tinggal ganti seragam aja nanti,” tukasku membela suami tercinta.“Oh, gitu. Ya, udah terserah.” Papa terlihat semringah. Wajahnya begitu terang, terlihat jelas dia begitu
*****Dua jam perjalanan, kami telah sampai di tempat tujuan. “Selamat datang di Desa Karang Sari”, begitu tulisan yang kubaca saat memasuki gerbang desa. Mas Andy - pacar sahabatku Rani telah meluangkan waktu untuk membantuku mencari keberadaan Bu Niken. Wanita yang telah melehirkan lalu meletakkanku di depan pintu rumah Papa.“Kita ke mana ini?” tanya Mas Andy saat mobil mulai memasuki kawasan rumah penduduk.“Ran, gimana?” tanyaku meminta pendapat Rani.“Kita berhenti di warung itu aja! Kita bisa tanya-tanya dulu,” usul Rani menunjuk sebuah warung semi grosir.Rani langsung turun begitu mobil sudah menepi. Aku juga bergegas turun.“Selamat pagi, Ibu! Maaf mau nanya, rumhnya Ibu Niken, yang mana, ya?” tanya Rani ramah.“Bu Niken? Bu Nike
*****“Ken ….” Nenek mengelus kepala wanita itu. Yang dielus bergeming. Matanya hanya terpejam, seolah sedang larut dalam mimpi. Ya, wanita itu sepertinya tengah terlelap dalam mimpi.“Niken …! Coba buka matamu, Nduk!” Lihat siapa yang datang!” bujuk Nenek tak henti membelai kepala wanita itu. Disibakkannya rambut panjang yang menutupi separuh wajah. Disatukan semuanya ke belakang kepala, lalu diikat menggunakan karet gelang yang terletak di dekat kaki wanita yang diikat tali tambang. Bau tak sedap menyerang cuping hidung. Sepertinya wanita ini sudah lama tak mandi.Bu Niken, ah … Ibu? Bukan, Mama? Ah! Dengan apa aku harus memanggilnya. Mulutku sangat berat menyebut dengan satu panggilan khusus. Bagaimana aku harus memanggilnya?“Mala … panggil ibumu, Nak! Mungkin dia mau bangun jika
*****Kuseka sisa air di tubuh Ibu. Dibantu Rani, kami mengenakan daster lusuh, tapi terlihat bersih. Kukeringkan rambut panjang Ibu. Kusisir rapi dengan meminjam sisir rambut di tas sandang Rani.“Ini pakai bedak aku!” usul Rani mulai menaburkan dan meratakan bedak di pipi Ibu. Tak lupa Rani mengoleskan pewarna bibir.“Ibu cantik sekali,” puji Rani memperlihatkan wajah Ibu melalui cermin kecil.Ibu terlihat semringah.“Kita mau pergi ke kota? Mau lihat Mala, ya?” tanyanya dengan mata berbinar.“Lho. Ini siapa?” tanya Rani menunjukku.“Mala … ini Mala putriku?” Ibu kembali terlihat linglung. Wajahnya kembali basah genangan air mata.“Ini Mala, Bu. Kita akan selalu bersama sekarang!” ucapku samb
*****“Mas …,” sapaku menyambut Mas Diky yang berdiri terpaku di ambang pintu kamar. Kuberanikan diri meraih tangan dan menciumnya dengan lembut.Mas Diky bergeming. Tatapannya masih tertuju ke ranjang besi kebanggaannya. Ranjang yang katanya tidak akan berbunyi meski ada yang tanding gulat di atasnya. Sontak hatiku getir. Pasti Mas Diky sangat kecewa. Dalam bayangannya mungkin akan segera mengendong dan meletakkan aku ke atas pembaringan, begitu tiba di rumah. Kenyataan yang terjadi ranjang itu telah ditempati orang lain. Ibu dan nenekku.Aku salah? Ya, aku salah. Tetapi, ke mana lagikah aku harus membawa mereka? Aku tak punya rumah, tak juga punya uang untuk mengontrak. Pekerjaan pun aku belum ada. Sungguh berbeda dengan Melur. Meski jiwanya lembek, tapi begitu lincah dalam hal mencari penghasilan. Sepertinya aku harus menirunya. Aku tak akan bisa hidup
*****“Kami akan membawa mereka ke kos-kosan terdekat, Ma,” kata Mas Diky tetap berbicara sopan pada ibunya.“Sini dulu, Mama mau bicara!” perintah wanita itu. Mas Diky mengikuti langkah sang ibunda dengan patuh.“Mala, kami minta maaf. Mungkin sikap kami kurang berkenan di hatimu. Tapi, ini jauh lebih baik, daripada kami menyimpannya. Ibarat menyimpan bara di dalam sekam. Kobaran apinya akan sangat dasyat, apalagi bila ada angin yang berembus. Kau paham maksud Papa, Nak?” tutur Papa mertuaku seakan begitu arif dan bijaksana.“Tidak apa-apa, Pa. Saya paham. Saya berjanji, akan segera mengembalikan nama baik ibu kandung saya. Hingga semua orang akan tahu cerita yang sebenarnya,” cetusku tetap tersenyum.“Ok, semoga saja kamu benar. Papa tinggal dulu,” ucap Papa setelah mengangguk kepada Ibu da
****“Mel, pagi ini ada waktu enggak buat aku?” tanyaku melalui telepon. Aku menyerah juga akhirnya. Terpaksa meminta bantuan pengantin baru itu.“Ada apa, La? Kamu baik-baik saja?” tanya Melur dengan nada khawatir.“Aku baik. Tapi, sangat butuh bantuan kamu sekarang. Bisa ke rumah mertuaku enggak, jemput aku? Aku enggak enak ngerepotin Rani terus menerus. Kemarin juga dia dan Mas Andy sudah menemani aku seharian saat mencari Ibu aku ke desa. ” lanjutku.“Boleh. Kebetulan Mas Reno juga enggak sibuk hari ini, kami bisa bareng.”“Jangan, dong! Kamu sendiri aja!” selaku cepat.“Kenapa? Mas Reno bisa, kok, bantu nyetirin kita kalau ke mana-mana?” tukas Melur.“Enggak enak ngerepotin suamimu. Kamu aja, deh! Mas Reno enggak usah ikut. Lagian aku
*****“Ibu mau ke mana?” tanyaku lembut.“Kamar mandi, ibu kebelet.”Kulepas pegangan di lengannya. Mungkin benar ibu kebelet, karena ancaman para preman menakutkan barusan. Mudah-mudahan, bukan karena kedatangan Papa.“Apa ini, Nak Anto?” tanya Nenek seraya menerima bungkusan dari Papa.Anto adalah nama panggilan Papa. Nama sebenarnya adalah Ranto, konon ceritanya, nama itu sengaja diberikan Kakek Almarhum kepada Papa. Dengan harapan Papa akan pergi merantau meninggalkan kampung halamannya di Aceh. Merantau untuk menuntut ilmu, pun belajar berbisnis. Harapan Kakek ternyata terwujud.“Ini ada martabak panas, rasa srikaya, makanan kesukaan –“ Papa tak melanjutkan ucapannya. Matanya menatap lurus ke arah pintu. Aku yakin, Ibulah yang sedang di carinya.
*****Kembali ke POV Mala“Kamu enggak usah jenguk Papa ke rumah sakit, Sayang! Hari ini dia sudah boleh pulang. Kak Rahma akan membawa Papa ke rumah Mama,” kata Mas Diky sambil mengenakan seragam.“Alhamdulillan, Mas. Papa cepat pulih.”“Ya, tapi dia belum boleh mikir, apalagi mendapat tekanan. Biar aja Kak Rahma yang merawat dia di rumah.”“Ya, kita juga harus ikut merawat, kan?”“Tidak! Aku masih malas bertemu Papa! Bisa emosi aku nanti, kuhajar pula dia. Gawat, kan?”“Masalah ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, Mas!”“Iya, tapi aku belum bisa, Sayang! Aku akan fokus ngurus kasus Mama, tadi malam Papamunelpon. Dia ngajak ketemuan di kantor pagi ini. Semoga usulannya untuk menyelesaikan kasus
******Masih diam terpaku, menatap tubuh menelungkup wanitaku. Bahu yang sedari tadi tak luput dari tatapan, terlihat mulai tenang. Tiada lagi goncangan. Isak, sedu dan sedan, raib sudah. Mungkinkah dia sudah berhenti menangis? Sepertinya iya. Kepala yang tanpa kerudung itu terangkat sedikit, tangan kanan mengusap wajah. Apakah istriku sedang mengusap air mata? Sepertinya, iya.Gegas aku bangkit dari bibir ranjang, berjingkat menuju pintu kamar, menggenggam handel pintu, membukanya pelan, berusaha tanpa derit. Lalu melangkah kembali keluar, menutup pintu dengan pelan, tetap berusaha agar tak menimbulkan deritan.Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Tiga kali, tiga kali aku melakukannya. Baru mulut bisa berucap.“Assalamualaikum! Mala ….”“Waalaikumusalam, Mas …!”
****Mala bolak-balik nelpon, tapi kuhiraukan. Biar saja dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Masih terlalu dini untuk meminta maaf padanya sekarang. Tetapi, panggilan dari Kak Rahma tak boleh kuhiraukan. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan Papa, atau Tante Ratna.“Dik, kamu ke rumah sakit, deh, sekarang!” perintah Kak Rahma mengagetkan.“Kenapa, Kak. Papa baik-baik aja, kan?” tanyaku was-was.“Papa baik, kondisinya semakin stabil. Ini tentang Tante Ratna.”“Kenapa dia?” cecarku.“Kata Dokter, lukanya cukup dalam, dia belum sadar juga, terlalu banyak ngeluarin darah. Tadi, putrinya si Rara nelpon ke hape Tante Ratna, aku angkat. Sekarang dia di sini, ngamuk-ngamuk gak jelas. Ngancam-ngancam gitu.”“Bilang aj
*****POV DikyAku masih tak percaya dengan kenyataan yang terjadi sekarang ini. Papa berselingkuh dengan perempuan lain saja sudah membuatku sesak napas. Ternyata Papaku begitu menjijikkan. Saat aku ingin meminta pertanggung jawab, dia malah memilih pingsan. Serangan jantung, kata dokter. Padahal menurutku, itu hanya taktik diaa untuk lari dari masalah. Pasti dia enggan berurusan denganku setelah rahasianya terbongkar. Tertangkap basah lagi. Iya, tertangkap basahlah namanya, karena aku dan istriku menangkap mereka dalam keadaan sudah basah. Basah karena peluh dan mungkin cairan lainnya. Yang menjijikkan tentu saja.Sekarang timbul lagi masalah yang jauh lebih rumit. Mamaku ternyata sama parahnya. Dia nekat menusuk selingkuhan Papaku yang juga pernah menjadi selingkuhan Papa istriku. Rumit, ya? Mamaku menusuk mertua tiriku, yang ternyata selingkuh dengan papaku. Arrrrgh! Sakit kepalaku
*****Aku segera meraih jaket dan jilbab instan yang tergantung di balik pintu kamar. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas sandang, meraih kunci motor di atas nakas, lalu setengah berlari keluar dari kamar.“Mala!”Duh! Aku lupa di rumah ini aku tidak sendiri, meski suamiku berulah lagi. Masih ada Ibu dan Nenek yang begitu peduli.“Mau ke mana? Buru-buru amat?” tanya Ibu seraya bangkit dari sofa di ruang tengah. Nenek mengalihkan tatapannya dari layar tv, kini menatapku dengan teliti.“Aku mau … eh, anu, Bu. Aku mau ….”“Mala …. Sayang? Kamu baik-baik saja, kan, Nak?” Ibu meraba pipiku.“Aku baik, Bu. Aku Cuma mau ke rumah sakit, mau liat keadaan perempuan itu,” jawabku berdallih.
*****Jujur, aku mulai lelah menjalani rumah tangga ini. Sudah mulai timbul rasa bosan dalam membina hubungan ini. Sikap dan watak Mas DIky teramat menyebalkan. Sifat kanak-kanaknya tak juga berubah. Gampang meledak-ledak seperti anak kecil, yang jiwanya belum matang. Aku masih harus terus menerus mempelajari sifat dan karakternya. Harus berusaha memahami segala kekurangannya, dan berusaha menempa jiwanya agar matang dan dewasa.Tetapi, kenapa hal ini tidak berlaku sebaliknya, coba? Harusnya dia juga berbuat yang sama! Dia juga harus memahami sifat dan karakterku. Bagaimana mungkin dia berfikir aku menelepon Reno, lalu mencurahkan isi hatiku, mengadukan keluh kesahku. Mala bukan type perempuan seperti itu, kan? Kenapa dia langsung meledak-ledak menuduh?Jika dia menduga seperti itu, bukankah harus bertanya dul
****“Maaaa! Mama kenapa senekat ini?” Mas Diky berteriak.Ratna ambruk, darah segar merembes membasahi dasternya yang terbalik. Mama mertuaku tersenyum seperti menyeringai.Ibu dan Nenek berlari dari kamar mereka. Menatap pemandangan yang tak diduga sama sekali.“Sudah, Ken! Sudah kutuntaskan dendammu! Aku tahu kau tidak pernah sakit, hatimulah yang terluka, bukan jiwamu! Tolong jaga Diky putraku, juga cucuku di perut putrimu! Biar aku saja yang menanggung semua ini. Kau di sini saja, jaga cucu kita, ya!” Mama menatap Ibu sendu.“Kak Lena? Kau? Jadi?” Ibu terperangah, dia kesulitan untuk berkata-kata. Bola matanya membulat sempurna.“Ya, Ken. Iya. Maaf, mengagetkanmu.”“Bang! Cepat bawa dia ke rumah sakit! Cepat!” perintahku kepada Bang Anwar. Segera
*****“Rahma! Bisa kau jelaskan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan papamu?” Mama mertua tiba-tiba menegakkan tubuh. Matanya berkilat dengan sorot tajam, menatap anak dan menantunya satu persatu.“Tidak ada apa-apa, Ma! Mama tenanglah!” bujuk Kak Rahma mengelus punggung ibunya.“Diky! Kau juga tak mau berkata jujur!” tuntutnya kepada suamiku.Mas Diky bergeming.“Anwar! Kau juga tak mau jujur?”Bang Anwar menatap istrinya, seolah minta persetujuan. Kak Rahma menggeleng.“Tinggal kau Mala! Kau juga tak mau menjelaskan pada Mama? Atau, jawaban ibumu adalah jawabanmu?” dia kini menatapku lekat.“Kak Rahma, Mas! Lebih baik kalian berterus terang saja! Untuk apa lagi, sih, kalian menyembunyikan hal