Aku mengendikkan bahu. "Aku jawab apa, ya, Mas?""Sini, biar, Mas, yang jawab."Mas Daffi segera mengetikkan balasan. "Nih, udah mas balas." Mas Daffi memberikan ponselku kembali. "Om Indra minta kita ke rumahnya besok. Ga tau mau ngapain."Segera kubaca pesan yang nampak di layar. "Maaf, ada perlu apa, Om Indra menghubungi Riana? Ini Daffi, Om.""Kebetulan, kamu juga ada, Daf. Saya mau minta tolong pada Riana. Tolong. Besok saya tunggu kalian berdua di rumah saya, ya.""Mas bisa temenin aku ke sana, kan?" tanyaku setelah selesai membaca. Ia mengangguk. ***Om Indra menyambut kami sambil menggendong bayi mungil di pelukan. Penampilannya yang berantakan membuatku sedikit terkejut, karena sangat jauh berbeda dengan penampilan Om Indra yang biasa tampil rapi dan elegant. Wajahnya kini sudah ditumbuhi dengan rambut halus yang mulai menutupi atas bibir dan bagian pipi. "Silakan duduk, Daf, Ri. Maaf ya keadaannya menyedihkan begini. Sejak Friska ditahan dan mamanya dirawat di rumah saki
"Permintaan yang mana? Soal dia memintamu menjadi pengacara Friska atau memintamu menjadi ibu bagi Rajata?""Yah, keduanya.""Soal itu, Mas percaya kamu tau apa yang harus diputuskan," jawab Mas Daffi sambil menikmati sajian es kelapa muda yang juga dipesannya. "Kalau aturan membolehkan, dibanding harus menjadi pengacara untuk Friska, sebenarnya aku ingin sekali menjadi pembela untuk mama, Mas," ucapku perlahan pada Mas Daffi. Raut wajahnya langsung berubah. Sepertinya moodnya sedikit terpengaruh. Ia seketika menghentikan aktivitas makannya, lalu memandang ke arah kolam. "Terkait mama, Mas, ga papa? Kalau nanti mama dijatuhi hukuman maksimal, gimana?""Soal mama, kamu ga usah khawatir, Ri. Mas udah meminta Om Sahid untuk bersedia menjadi penasihat hukum untuknya. Yah, awalnya memang Om Sahid tidak mau, tapi akhirnya ia bersedia. Katanya itu hal terakhir yang bisa ia lakukan untuk almarhum papa, mengusahakan hukuman seminimal mungkin untuk istrinya. Selain itu, itu juga adalah bentuk
Petrichor setelah hujan merasuk di penciuman. Wanginya menenangkan, seakan membuat perasaanku kembali ke masa lalu. Terkenang padanya yang kini sudah tak berada di sisiku. "Bu, jadi, kan kita jenguk papa?" tanya gadis kecilku yang kini sudah beranjak besar. Dengan seragam abu-abunya ia terlihat cantik dan nampak dewasa. "Insya Allah jadi, Sayang. Setelah hujan benar-benar reda, ya. Kita tunggu sebentar lagi." Kuusap kepalanya yang tertutup kain berwarna putih. Sudah lima tahun ini, setelah akil baligh, Liana memutuskan untuk mengenakan hijab, menutupi semua bagian tubuhnya yang seharusnya tidak boleh terlihat oleh orang lain. "Ya udah, kalau gitu kita makan siang aja dulu, Bu. Itu Bik Sumi kelihatannya sudah selesai masak. Masak makanan favorit Liana lagi. Sop iga dan oseng tempe."Mendadak hatiku dilanda rasa gerimis. Dilingkupi perasaan rindu yang teramat pada seseorang yang juga menyukai makanan yang sama dengan Liana. Itu adalah makanan favorit Mas Daffi. Liana menuntun tangank
Sambil membetulkan letak kaca matanya, ia berkata, "Maaf kalau saya harus menyampaikan ini.""Ada apa, Dok?"Dokter Sandi menunjukkan kertas film berisi gambar hasil pemeriksaan ct-scan atas nama Mas Daffi. Dahiku berkerut, kapan ia melakukan pemeriksaan itu? "Sebenarnya Pak Daffi meminta saya untuk merahasiakan ini dari Ibu Riana, ia tidak mau menambah kesedihan ibu karena sempat mengalami kehilangan putra kedua kalian. Namun, menurut saya, ibu harus tau." Dokter Sandi menarik napas dalam. "Ini hasil ct-scan Pak Daffi yang diambil sebulan lalu. Beliau menyuruh saya yang menyimpannya. Gambar ini menunjukkan telah terjadi kalsifikasi berlebihan di Globus pallidus bilateral," jelasnya. "Itulah tandanya seseorang sudah menderita kanker. Dari sini terlihat bahwa sel kanker sudah menyebar di seluruh bagian otak bapak."Detak jantungku mulai melaju cepat seiring dengan penjelasan dokter Sandi. "Benturan pada kepala saat peristiwa kecelakaan yang menimpa Pak Daffi sepuluh tahun lalu, menye
"Menyatakan terdakwa Friska Ayudia Indira telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan bersalah melakukan tindak pidana pengedaran obat-obatan terlarang yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer oleh penuntut umum. Menyatakan terdakwa Friska Ayudia Indira telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan bersalah melakukan tindak pidana percobaan pembunuhan kepada Asmoro Wisaksana dan mendalangi penculikan terhadap Riana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tambahan oleh penuntut umum. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Friska Ayudia Indira dengan pidana mati."Seketika ruang sidang dipenuhi suara seperti dengung lebah. Kusempatkan juga melirik ke arah Friska. Ia yang semula duduk tegak di kursinya, seakan lunglai dan bersandar. Begitu pula dengan Om Indra yang langsung tertunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan sampai saat eksekusi dan membebankan biaya perkara sebesar dua ratus lima puluh ribu rupi
"Kau memikirkan apa sampai-sampai Om bicara barusan kau tak dengar?"Aku hanya tersenyum. "Si Rafif, besok dia dibebaskan," jawab Om Sahid lalu menghisap dalam cerutu di tangan. "Ga kerasa ya, Om, sudah sepuluh tahun berlalu. Perasaan hakim baru saja menjatuhkan vonis pada mereka kemarin. Riana masih ingat betapa shocknya wajah Friska saat menerima vonis mati dari hakim.""Kau masih menyalahkan dirimu atas vonis mati Friska?"Kutarik pelan kedua sudut bibir. "Kau, kan, sudah berusaha maksimal, Ri. Bahkan sudah sampai tahap kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, pengadilan tetap memvonis mati.""Iya, si, Om. Bahkan presiden juga menolak grasi yang kita ajukan. Riana cuma merasa tidak enak pada Rajata. Apa yang harus Riana sampaikan padanya saat nanti ia tahu kalau Riana gagal menyelamatkan ibunya dari hukuman mati.""Ri, Kau itu bukan malaikat. Kau tidak punya kewajiban untuk berhasil menyelamatkan semua orang yang ingin kau bantu seperti dulu kau menyelamatkan Daffi saat dia hampir saja d
Aku terduduk, menghadap langsung ke arahnya. "Ri, Mas ikhlash jika kamu ingin mencari pengganti Mas. Pilihlah seseorang yang akan selalu membuatmu bahagia.""Gak, Mas, sampai kapanpun, Riana ga akan pernah bisa melupakan, Mas." Kugelengkan kepala kuat-kuat. "Mas percaya. Mas hanya ingin melihatmu bahagia. Sudah saatnya kau memikirkan kebahagiaan diri sendiri, Ri. Mas akan sangat merasa bersalah jika sepeninggal, Mas, kamu justru lebih menderita.""Riana, gak, papa, Mas. Riana bahagia bersama anak-anak, sudah ga perlu yang lain.""Dasar keras kepala." Mas Daffi menjawil pelan hidungku, lalu membisikkan sesuatu di telinga. "Mas Mohon, lakukan demi, Mas. Karena hanya itu yang bisa membuat Mas tenang, jika Mas bisa melihatmu berbahagia dengan orang lain."Ia mengecup pelan keningku lalu beranjak dan meninggalkanku begitu saja. Bahkan panggilanku pun tak dihiraukannya. "Mas, Mas Daffiiii! Jangan pergi, Mas!" Dengan sekuat tenaga kukejar ia yang terus menjauh, tapi ia sudah menghilang en
Wajah Rafif yang semula cerah terlihat muram. Kepalanya pelan-pelan menunduk. "Tapi, Ri, apa lo nggak malu kalau punya suami bekas narapidana kayak gue? Apalagi lo itu pengacara. Dan Liana? Apa dia mau kalau jadi anak tiri seorang mantan penjahat?" tanya Rafif dengan suara sangat pelan. Meski begitu masih bisa terdengar olehku. "Daffi di atas sana juga pasti nggak akan setuju kalau gue jadi suami lo."Aku menyandarkan kepala di dinding sambil melipat tangan. Meja tempatku dan Rafif duduk memang berada di sudut. Sengaja aku memilih di sana karena dari tempatku duduk bisa lebih leluasa melihat ke arah pintu masuk dan juga taman yang ada di luar jendela. Pembicaraan kami terpaksa berhenti dengan tampilnya salah seorang pengunjung yang bernyanyi sambil memainkan gitar. Di kafe ini memang sengaja disediakan tempat khusus di sudut kiri ruanganbagian depan untuk penampilan live music. Beberapa menit lamanya aku dan Rafif terbuai dalam lagu dan permainan gitarnya yang merdu. "Tadi itu lo a