Sudah lama Indra tidak menjalin hubungan dengan perempuan. Oleh karena itu, sangat wajar jika mereka terkejut mengetahui Indra sedang bersama seorang perempuan. Setelah dikhianati oleh pacarnya dua tahun yang lalu, Indra seakan menghindari membina hubungan lawan jenis. Meskipun masih membujang, tampan dan berstatus sebagai seorang dokter kondang, Indra tidak punya teman dekat wanita, apalagi yang dipacari dengan serius. Indra tersenyum, dan ia menoleh ke arah gadis yang duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh kekaguman. Kanaya yang sedang asik mendengarkan lagu di telepon genggamnya menggunakan earphone, tidak menyadari jika mereka tengah menanyakan dirinya. Ia tidak kenal dengan Fariz yang ada di layar telepon Indra itu, dan Kanaya juga tidak mau ikut campur urusan pribadi Dokter Indra, sehingga ia bersikap acuh tak acuh dan sibuk dengan urusannya sendiri. “Siapa Ndra? Orang mana? Coba kasih liat wajahnya. Pantesan telat, nemui pacar dulu!” celetuk Fariz yang benar-benar p
“Bas?! Ndra!” Ardyan dan Fariz berseru memanggil keduanya. Mereka berdua begitu syok melihat apa yang terjadi? Ada apa dengan Bastian? Akan tetapi kedua orang yang dipanggil itu seakan tidak peduli. Menghilang, masuk kedalam toilet. Bastian membanting pintu toilet dengan keras, dan ia menguncinya dari dalam. “Apa itu semua benar? Apa kamu mempunyai hubungan dengan Kanaya? Jawab aku Ndra!” Bastian mendorong Indra hingga punggungnya membentur dinding. “Hahaha…really, Bas?” Bukannya marah, Indra justru tertawa. Di luar toilet, Ardyan dan Fariz memanggil nama mereka sembari menggedor daun pintu. Bastian seakan tidak menghiraukan panggilan mereka dan ia terus menekan Indra. Ia begitu emosi membayangkan apa yang sudah Indra lakukan pada Kanaya. Apa dia juga menyentuhnya? “Kurang ajar! Berani-beraninya kamu mendekati dia! Apa kamu lupa siapa dia?” geram Bastian dengan nada tajam. “Lupa? Aku yang memperkenalkan dia pada kalian! Bagaimana mungkin aku lupa?” Indra membalas tatapan Bast
Bastian menyibukkan dirinya di kantor berusaha melupakan apa yang terjadi hari itu. Sore hari dalam perjalanan pulang, Bastian kembali menatap foto USG yang ada di tangannya. Pose mengemut jari itu membuat bibirnya melengkung ke atas, dan membuat raut wajahnya yang dingin menjadi melembut. Membayangkan anaknya saat ini tengah menendang-nendang dan berulah, membuatnya kembali teringat Kanaya. Senyum di wajah Bastian pudar saat ia kembali mengingat ucapan Indra siang tadi. “Hubungan kalian hanya kesepakatan ibu pengganti di atas kertas, tidak lebih. Dia juga sangat paham jika kamu sangat mencintai Elsie.” “Yang ada dalam benak Kanaya saat ini hanyalah melahirkan anak itu dengan sehat dan selamat, sehingga ia bisa menyelamatkan nyawa ibunya. Tidak ada yang lain.” Benarkah Kanaya? Batin Bastian sambil menatap keluar jendela. Walaupun matanya seakan melihat apa yang ada di luar, namun benaknya hanya memikirkan ucapan Indra saja. Jawaban Kanaya itu pula lah yang membuatnya memutus
“Persiapan peresmian Emerald Restorative Centre untuk dua minggu yang akan datang sudah saya bicarakan dengan pihak EO. Apa Bos ada permintaan tambahan menyangkut peresmian nanti?” tanya Ezra saat ia sedang bersama Bastian di dalam lift VIP kantor mereka. Mereka berdua sedang dalam perjalanan turun ke lobi untuk pergi meeting dengan klien. Dan saat itu mereka tengah membicarakan peresmian Emerald Restorative Centre, sebuah rumah sakit baru didirikan oleh Bastian bersama Ardyan. “Yang paling penting adalah memastikan semua staf, system dan peralatan yang dibutuhkan sudah siap untuk digunakan oleh public. Jangan sampai mereka kecewa karena rumah sakit tidak siap melayani. Sedangkan untuk acara seremonial, saya tidak ada permintaan khusus. Lakukan saja seperti yang biasa kita lakukan sebelumnya.” “Mengenai hal lainnya sebaiknya kamu tanyakan pada Ardyan jika dia punya special preferences,” jawab Bastian sambil ia melangkah keluar lift karena saat itu mereka sudah sampai di lantai das
“Tangan ke arah samping dan inhale…exhale buang nafas, turunkan tangan ke depan, turunkan pinggul perlahan…” Kanaya fokus mengikuti gerakan yang dicontohkan oleh seorang instruktur yoga. Mereka berdua sedang berada di ruangan tengah, berlatih prenatal yoga dengan diiringi alunan musik klasik Mozart. Sejak memasuki trisemester kedua, Kanaya mulai melakukan senam yoga dengan bantuan seorang instruktur yang dijadwalkan oleh klinik Life’s Blessing. “Five, six, seven, eight, good. Tekuk badan ke arah depan dan kembali ke posisi awal….” Mereka baru saja menyelesaikan warrior two saat Bastian masuk melalui pintu depan rumah. Dorongan untuk merasakan semua pengalaman menjadi seorang calon ayah begitu menggebu sehingga membuatnya nekat pergi ke Sunset Summit siang itu. Bastian berjalan lebih jauh ke dalam rumah, tidak sabar untuk bertemu mereka. Akan tetapi langkah kaki Bastian berhenti saat ia melihat Kanaya yang tengah fokius berlatih yoga. Bastian tertegun, tidak dapat mengalihkan
Kanaya tersadar. Ia tidak boleh menampakkan apa yang ia rasakan pada Bastian. Ia pun menggeleng dan duduk di tempat yang Bastian tunjuk. “Bagaimana kabarmu Naya? Dan bagaimana keadaannya?” tanya Bastian sambil ia duduk menyerong menghadap Kanaya. Matanya tak lepas menatap Kanaya, lalu turun pada perutnya. Kanaya menoleh dan ia kembali tersenyum. “Dia baik-baik saja, sehat dan aktif.” Setiap kali Kanaya membicarakan anak di dalam kandungannya, secara refleks ia akan selalu tersenyum. Betapapun ia berusaha untuk menjaga jarak hubungan agar tidak terlalu terikat pada anak itu, namun tetap saja hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Pandangan mata Kanaya turun ke perutnya, sementara tangannya mengelus perut itu. “Apa dia sedang menendang?” Kanaya mengangkat pandangannya melihat Bastian, dan ia menggeleng. “Tidak untuk saat ini. Biasanya dia banyak bergerak kalau aku sedang bersantai, duduk diam.” “Boleh aku memegangnya?” Bastian mengangkat pandangannya, dan mata mereka bert
Di ruangan tengah, Kanaya duduk di atas birthing ball sambil membaca novel It Ends With Us, yang dikarang oleh Colleen Hoover, salah satu penulis novel favoritnya. Ia sudah pernah membaca buku itu sampai selesai, namun karena sangat menyukainya, ia membacanya kembali. Terutama pada bagian ketika Lili, pemeran wanita utama buku itu membaca kembali diary miliknya mengenang masa remajanya bersama Atlas, pemuda homeless yang menjadi cinta pertamanya. Sedang asik membaca, tiba-tiba saja fokus Kanaya terpecah saat ia mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. Suara mobil Mercedes Benz S580 itu tidak asing untuknya. Kanaya tahu persis siapa yang datang. Bibir Kanaya tersenyum kala ia menyingkap sedikit sisi tirai jendela yang ada di dekatnya untuk mengintip sosok pria yang turun dari dalam mobil. Siapa lagi kalau bukan Bastian? Sejak Bastian datang ke Sunset Summit beberapa hari yang lalu, tidak sehari pun Bastian absen untuk datang menengok buah hatinya. Bastian datang di sela-sela
Kanaya mengangkat wajahnya dari bahan masakan yang tengah diolahnya dan menatap balik Bastian tanpa rasa bersalah. “Apa Pak?”“Kanaya, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu memasak?” tanya Bastian sambil bertolak pinggang. Ia lalu menoleh ke arah Sifa yang sedang mencuci piring.“Sifa, kenapa kamu biarkan Kanaya memasak? Bukankah ini pelerjaanmu?” Nada bicara Bastian begitu tajam menegur pengasuh Kanaya itu.“Anu Pak, saya sudah—”“Ini kemauan Naya, Pak Bas. Memang Naya yang mau masak,” jawab Kanaya sambil menatap Bastian. Ia tidak mau Bastian menyalahkan Sifa.“Naya, serahkan pada Sifa. Kamu bisa lakukan hal lainnya, baca buku, nonton televisi atau apa lah. Tidak perlu mengerjakan ini sendiri,” ujar Bastian sambil berjalan mendekat. Ia lalu menaruh apa yang sedang dipegang Kanaya di atas meja.Bastian sedang berada di tengah-tengah teleconference saat ia tak sengaja melihat Kanaya sedang memasak di dapur. Seketika itu juga Bastian berdiri dan meninggalkan meeting yang sedang berlangsung
Setelah kembali tinggal di Sunset Summit, Kanaya jarang keluar rumah, dan sebagian besar waktunya dihabiskan bersama Baby K dan Bastian. “Bukannya kamu ingin bertemu dengan Ibu dan Bude Laila? Aku pikir keadaan sekarang sudah cukup aman, dan aku ingin membawamu dan Baby K menemui mereka.”“Bas, kamu serius?” kedua mata Kanaya berbinar-binar mendengar berita itu. Ia memang sudah sangat merindukan ibu dan budenya itu. Apalagi ia tidak tahu bagaimana keadaan mereka saat ini.Saat tinggal bersama Reno, Reno mengatakan bahwa mereka berada dalam penjagaannya, namun ia belum bisa bertemu dengan mereka untuk alasan keselamatan.Dan Bastian pun mengatakan hal yang kurang lebih sama, bahwa mereka berada dalam penjagaannya. Akan tetapi ia harus memastikan keamanan mereka terlebih sebelum Ravioli berhasil diringkus.“Buat apa aku bercanda mengenai hal ini? Sudah waktunya kalian bertemu. Dan aku yakin mereka pun tidak sabar untuk bertemu dengan kalian,” jawab Bastian sambil menyelipkan anak ram
“Apa aku harus mengetuk pintu juga kalau masuk ke dalam kantormu?” “Apa maumu?” Reno bertanya dengan nada tajam tanpa ia beranjak dari kursinya. Pria berusia lima puluhan tahun itu berjalan masuk dengan santai ke dalam kantor Reno. “Reno, ayolah… ini caramu menyambut Papamu sendiri?” Reno tidak bergeming menatap Sofyan Nor Afrizal, pria yang berstatus sebagai ayah yang sudah lama tidak ditemuinya. “Berapa yang kamu butuhkan?” Reno kembali bertanya dengan nada tidak bersahabat. “Reno? Apa kamu tidak rindu Papamu? Aku datang hanya ingin melihat keadaanmu, Nak…” Sofyan berhenti di depan meja kerja Reno, berdiri menatap putranya dengan kedua tangan masuk ke dalam kantung celana. “Rindu? Aku ragu apa kamu tahu arti kata itu?” Reno membalas dengan tersenyum mengejek, sama sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan Papanya. Kedua matanya menyingkapkan rasa sakit dan perih yang memancar dari dalam dirinya. “Tidak pernah memperlihatkan bukan berarti tidak pernah merasakan, Reno. D
Meskipun Elsie sudah mempersiapkan jawaban jika Bastian bertanya mengenai Bareta, namun saat berhadapan langsung dengan Bastian, rasanya semua jawaban yang ia siapkan menghilang begitu saja. Ia pun ragu dengan apa yang harus ia katakan pada Bastian. Sebab ia tidak tahu sejauh mana Bastian mengingat mengenai Bareta dan Ravioli. “Els, apa kamu mengetahui mengenai kerjasama Papamu dengan Ravioli? Itu sebabnya kamu menolak bantuan menejemen dariku dan memilih bekerjasama dengan Ravioli?” Bastian langsung bertanya sebelum Elsie menjawab pertanyaannya. Elsie kembali terperangah. Bastian ternyata ingat dengan kerjasama Papanya dan Ravioli! Bastian bahkan ingat jika ia menolak bantuan menejemen darinya beberapa waktu yang lalu. “Aku… aku mengetahuinya setelah Papa tiada. Aku berusaha menolak kerjasama dengannya dan karenanya dia memaksaku untuk menjual perusahaan Papa padanya,” Elsie berdalih. “Menjual? Berapa dia membeli perusahaan itu darimu?” Bastian kembali bertanyaan. Elsie ber
Elsie turun di depan lobi DPG Corp. Sudah beberapa lama ia tidak datang ke gedung kantor pusat DPG Corp itu berada. Gedung itu penuh dengan orang berpakaian bisnis yang berlalu-lalang dengan kesibukan mereka masing-masing. Akan tetapi mereka yang mengenalinya menyapanya dengan sopan. Ia tidak mengalami hambatan untuk pergi ke kantor Bastian di lantai teratas gedung itu. Namun saat ia hendak masuk ke dalam kantornya, Sofie, sekertaris Bastian menghentikannya. “Sebentar Bu Elsie,” Sofie berkata sembari menghentikannya. “Ada apa?” “Maaf, Bapak sedang meeting. Ibu sebaiknya tunggu terlebih dahulu,” jawab Sofie dengan gugup. Elsie menatap sofie dengan penuh selidik. “Kenapa kamu gugup? Apa apa?” tanya Elsie seraya melangkah mendekat. Sofie adalah sekertaris Bastian dan biasanya ia akan menanyakan perihal Bastian padanya. Namun kenapa dia gugup sekali saat ini? Elsie menjadi curiga. “Ti-tidak ada apa-apa Bu. Saya hanya ingin memberitahu ibu saja. “ “Sofie, kamu tahu kan kalau
“Elsie, apa kamu baik-baik saja? Aku dengar perusahaan almarhum Papamu sedang dalam masalah.” Feni, seorang aktris, salah satu teman sosialita Elsie bertanya saat mereka sedang berkumpul di sebuah restoran mewah. “Benar Els. Katanya perusahaan itu dicabut ijin operasinya, apa benar?” Marcia, istri seorang pengusaha juga ikut bertanya. Elsie yang sedang tertawa senang, tiba-tiba berhenti tertawa mendengar pertanyaan mereka. Akan tetapi ia segera tersenyum. Ia tidak boleh terlihat panik ataupun terlihat sedang dalam masalah. Apalagi dia adalah istri Bastian, tidak mungkin masalah mendatangi nya! “Aah… mengenai hal itu, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Perusahaan itu bukan milikku lagi. Aku sudah menjualnya beberapa waktu yang lalu,” ucap Elsie dengan gampangnya. Ia terlihat tidak terpengaruh berita itu, apalagi khawatir. “Tapi yang aku dengar, mereka menyelidiki kasus penyelundupan itu sampai ke 10 tahun yang lalu. Bukankah itu artinya perusahaan itu masih di miliki keluarg
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng