Bastian terbangun dari tidurnya saat matahari telah tinggi. Disampingnya, Kanaya masih terlelap. Gadis itu tidur begitu damai dengan alunan nafas yang tenang hampir tak terlihat. Hari sudah pukul sembilan ketika Bastian mengecek waktu pada jam tangan yang tergeletak di meja nakas. Dan perlahan ia pun beranjak, tidak ingin membangunkan Kanaya. Di kamar mandi, setelah membersihkan diri dan melakukan aktifitas paginya, Bastian menyalakan telepon genggam yang ia matikan sejak semalam. Ting ting ting ting… bunyi berbagai macam notifikasi terdengan silih berganti. Tidak mengherankan. Sebab, ia mematikan telepon genggamnya itu hampir dua belas jam lamanya. Telepon dan pesan singkat dari Elsie, Ezra, Ardyan dan Fariz menghiasi layar telepon genggamnya. Tentu yang pertama kali menarik perhatiannya adalah telepon dan pesan dari Elsie. Elsie telah menghubunginya beberapa kali semalam dan juga tadi pagi. Khawatir terjadi sesuatu, Bastian pun menghubunginya. Begitu berdering, Elsie langs
Di dalam kabin pesawat kelas satu, Ezra memberikan Bastian sebuah dokumen. “Ini laporan tambahan dari penyelidik menyangkut Pak Felix dan Ravioli.” “Apa yang dia temukan?” tanya Bastian sambil membuka dokumen itu. “Dari dokumen ini diketahui Pak Felix sudah cukup lama bekerjasama dengan Ravioli, tidak hanya baru-baru ini saja,” terang Ezra. Ia lalu menunjuk tahun di mana ditemukannya jejak kerjasama yang didapat penyelidik mereka dari dunia underworld. Bastian mengerutkan keningnya. Sebelas tahun adalah jangka waktu yang lama. Bastian sungguh tidak menyangka. Pantas saja Felix sulit sekali melepas kerjasama dengan penyelundup kelas kakap itu. “Cari tahu apa saja kerjasama yang mereka lakukan,” ucap Bastian sambil memegang dagunya. Dalam dunia gelap, seseorang tidak hanya akan terlibat pada satu tindakan ilegal saja. Karena pasti akan ada konsekuensi lain yang menyertai setiap tindakan ilegal yang dilakukan. Dan Bastian ingin tahu sejauh mana mertuanya itu terlibat dalam dunia
“Tu-tunggu Bastian. Mama— sepertinya Mama sudah sehat. Tidak perlu operasi, ya—ya kan Elsie?” Agni yang takut mendengar kata operasi langsung menolaknya. Ia langsung meminta bantuan Elsie untuk meyakinkan Bastian. “Mama benar sayang. Sepertinya Mama akan sembuh denagn beristirahat saja.” Elsie pun terpaksa membantu ibunya. “Bu Agni tidak perlu kuatir.” Dokter Nathan menyela percakapan mereka. “Saya sebagai seorang dokter sangat merekomendasikan operasi ini dilakukan. Karena jika tidak, saya khawatir Ibu Agni akan mengalami gagal jantung. Dan saya tidak bisa menjamin jika serangan berikutnya Ibu akan bisa bertahan.” Bastian tampak mengalami pertentangan batin. Ia lalu bertanya, “Apa hal ini sudah pernah dilakukan?” “Ya, tentu saja! Meskipun harus saya akui kemungkinan keberhasilannya hanya 70 persen saja,” jawab Dokter Nathan yang membuat wajah Agni menjadi pucat pasi. “Begini Pak Bastian, Bu Agni, melakukan operasi ini lebih baik daripada hanya menunggu waktu saja. Itu sebabnya
Beep beep beep… Suara alarm membangunkan Kanaya dari tidurnya. Selepas kepergian Bastian, Kanaya hanya berdiam di dalam vila. Ia hanya berbaring di ranjang sambil menyalakan televisi, tidak ada keinginan untuk pergi keluar. Lama kelamaan siaran televisi yang tidak menarik minatnya itu membuatnya mengantuk dan akhirnya tertidur hingga bunyi alarm itu membangunkannya. Kanaya bangun dengan tidak bergairah. Ia masuk ke dalam closet dan berganti pakaian dalam diam. Tidak banyak yang harus ia kemas. Pakaian dan perlengkapan pribadinya sebagian besar masih ada di dalam koper. Saat ia akan menutup kopernya, mata Kanya tertaut pada kemeja milik Bastian yang ia pakai sebelumnya, tergeletak di atas rak. Kanaya meraih kemeja itu dan menghirup aromanya dalam-dalam. Ia memejamkan matanya mencium wangi tubuh Bastian yang menempel di meja itu. Kanaya tidak tahu, kemeja itu ataukah vila itu yang masih menyimpan wangi tubuh Bastian begitu lekat? Apa pun itu, wangi maskulin yang belakangan in
“Selamat malam Bu Elsie. Ibu ingin bertemu saya?” sapa Kanaya sambil tersenyum dengan kepala tegak. Entah mendapat keberanian dari mana, tetapi Kanaya tidak lagi takut dan malu-malu menghadapi Elsie. Apakah karena— Bastian? Elsie cukup terkejut mendapati perubahan sikap pada diri Kanaya yang lebih percaya diri dan berani. Ia mendengus dan beranjak dari duduknya, kemudian tersenyum mencibir seraya mengamati gadis muda dihadapannya. “Kanaya, aku dengar kemarin kamu pergi ke Palm Heaven,” ucap Elsie sambil berjalan mengitari Kanaya dengan kedua tangan dibelakang pinggulnya. Apakah itu sebabnya Elsie datang mencarinya? Karena ia pergi menemui Bastian? Pikir Kanaya. Elsie berhenti melangkah tepat di hadapan Kanaya, menatap gadis itu menunggu jawaban. “Iya Bu Elsie. Saya pergi ke Palm Heaven kemarin. Pak Bastian yang meminta saya datang.” Kanaya menjawab dengan jujur. Tidak ada yang perlu ia takuti karena ia pergi ke sana menjalankan perannya sebagai ibu pengganti. Elsie memperhat
Kanaya memetik sekuntum bunga melati putih yang ada di halaman belakang. Meskipun matahari bersinar cerah pagi itu, akan tetapi mendung masih bersemayam di hati Kanaya. Kanaya menghirup wangi bunga itu sambil memejamkan matanya, berharap dunia yang ia jalani bisa seindah dan sewangi bunga yang ada ditangannya. Kejadian semalam masih membekas dihatinya. Dan meskipun ia berusaha untuk melupakannya, kata-kata merendahkan itu masih saja terngiang dibenaknya. Kanaya begitu larut dengan pikirannya sehingga ia tidak mendengar suara dari dalam rumah. “Di mana dia?” Bastian masuk ke dalam rumah dengan raut wajah merah padam. “No-non Kanaya?” Sifa bertanya dengan gelagapan. Apakah Bastian mencari Kanaya? “Siapa lagi? Di mana dia?” Bentak Bastian pada perempuan paruh baya itu sambil ia berjalan ke arah kamar Kanaya dan membukanya dengan kasar. Tidak menemukan Kanaya di dalam kamar, Bastian mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah mencari sosok gadis itu. “No-non Kanaya a-ada di-di ta
Indra keluar dari ruang bersalin setelah membantu dua persalinan normal hari itu. Rasa-rasanya ia ingin segera beristirahat, makan dan mungkin tidur sejenak, paling tidak beristirahat setengah jam dan berharap tidak ada emergency call dalam waktu dekat. “Pak Bastian menunggu Dokter di luar sejak tadi.” Salah seorang perawat senior memberitahu Indra sambil menunjuk arah pintu keluar. Bastian? “Jelaskan yang di maksud ‘sejak tadi’,” ucap Indra meminta penjelasan lebih spesifik. “Sekitar 1 jam?” jawab perawat itu dengan tidak yakin sembari mengangkat bahunya. Indra tidak bertanya lagi dan berjalan keluar mencari Bastian . Pasti ada sesuatu hal yang Bastian ingin bicarakan dengannya jika temannya itu rela menunggunya sampai satu jam di hari kerja. Setelah mencari ke sekeliling luar bagian persalinan, akhirnya Indra menemukan Bastian sedang duduk di kursi taman, sedang merokok dengan kemeja yang beberapa kancingnya terbuka dan lengannya digulung sebatas siku. Rambut yang biasanya
Hari belum lagi sore, tetapi Bastian tidak kembali ke kantornya. Mobil yang dikendarai Rafles berhenti di depan rumah tingkat besar dikawasan elit, dan Bastian turun. Alih-alih kembali ke kantor, Bastian memutuskan untuk pulang. Ia masuk ke dalam rumah dan menemukan Elsie sedang berbaring santai di sofa sambil bergosip ria dengan temannya melalui panggilan telepon dan tidak menyadari kedatangannya. Bastian berdehem setelah beberapa saat ia menunggu, namun Elsie tak kunjung mengakhiri percakapan teleponnya. “Bas?” Elsie terkejut saat menoleh dan melihat Bastian berdiri bersandar di pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga dengan jas yang tersampir di lengannya. Tidak seperti biasanya Bastian pulang cepat dari bekerja. Dia pun tidak memberitahukan Elsie sebelumnya. Bastian berjalan mendekat dan berhenti di dekat Elsie. Ia menaruh tas kerjanya di atas meja dan memasukkan tangannya ke dalam kantung celana, kemudian bertanya, “Untuk apa kamu pergi ke Sunset Summit semalam?” Ja
“Bos, itu orangnya!” Seorang pria dengan banyak tato di tangannya melapor pada seorang pria yang duduk di dalam sebuah mobil SUV.Jendela mibil SUV itu diturunkan dan tampaklah wajah seorang pria. Dia mengenakan jaket hitam dan kaca mata hitam. Rambut panjangnya yang diikat ke belakang, dicepol kecil dibagian atas, sehingga menampakkan potongan rambut pendek undercut dibagian bawah yang rapi.Pria itu membuka kaca matanya dan melihat ke luar pada sosok dua orang pria yang sedang berdiri membelakangi mereka yang berjarak cukup jauh. Kedua orang itu berpakaian parlente, kemeja rapi dengan sepatu kulit yang mengkilap.“Hanya berdua saja?” tanya Jono—pria berjaket hitam di dalam mobil.“Hanya mereka dan supir di dalam mobil.” Anak buah Jono menunjuk sebuah mobil Mercedes Benz S class berwarna hitam terparkir di ujung bagian jalan itu.Jono tidak mengetahui siapa orang itu. Mereka berpenampilan rapi dan parlente, namun mereka berdua bukan berasalah dari Emerald City.Jono memberi isyarat
Mobil Rolls Royce limited edition itu, memasuki halaman rumah besar dan luas bernama Alpine Nest, dan berhenti tidak jauh dari pintu utama rumah itu.Kanaya dan Bastian turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah. Rumah yang kali pertama Kanaya datangi belum memiliki furnitur yang lengkap, saat ini telah berubah menjadi sebuah rumah yang indah dengan berbagai kelengkapan yang memberi kesan tersendiri.Kanaya sengaja memilih furnitur, korden, wallpaper serta berbagai aksesoris rumah lainnya dengan warna dan model yang memberi kesan homy, sebuah tempat tinggal yang hangat dan nyaman untuk ditinggali keluarga mereka.Saat memasuki rumah itu, tidak terasa suasana kaku ataupun asing. Ruangan demi ruangan seakan membuat siapa pun merasa di nyaman berada di sana. Dari mulai ruang tamu, ruang keluarga, dapur, hingga setiap kamar tidur di rumah itu, memberi kesan hangat. “Kenzo mana Bi?” Kanaya bertanya saat ia bertemu Sifa di ruang keluarga.Perempuan yang menjadi pengasuhnya saat menga
“Maaf… maaf, aku tidak sengaja…” ucap orang itu dengan segera. Ia kemudian tampak terkejut ketika melihat Bastianlah yang ia tabrak.“Lain kali jalanlah dengan hati-hati.” tegur Bastian sambil mengingatkan dengan nada dingin.Untung saja dia tidak menabrak Kanaya! Jika sampai itu terjadi, ia akan sangat marah.“Tentu, lain kali saya akan jalan dengan hati-hati.” Mahasiswi yang menabrak Bastian itu tampak tersipu malu. Ia melirik Bastian dengan tatapan menggoda sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.Bastian bersikap acuh tak acuh pada perempuan itu dan sibuk merapikan kemeja yang dikenakannya.Lain halnya dengan Bastian, Kanaya justru menangkap gestur perempuan yang dengan sengaja menggoda Bastian. Dan ini membuat Kanaya kesal.Jelas, bukan hanya dirinya saja yang menyadari betapa menariknya Bastian.Selama ia menjadi istri Bastian, tidak sedikit wanita lain yang mengagumi Bastian, bahkan ada yang dengan berani dan terang-terangan berusaha mendekati suaminya itu.Mahasis
“Kulit lebih bersinar, atau di sebut dengan pregnancy glowing…” Bastian membaca sebuah artikel melalui telepon genggamnya. Ia tampak berpikir sebelum bergumam, “Sepertinya benar.”Ia membayangkan kulit istrinya itu memang terlihat lebih glowing di kehamilan kedua. Jadi, apakah semua mitos itu benar?Bastian kembali membaca lanjutan artikel itu.“Payudara sebelah kiri lebih besar dari yang kanan…” Bastian mengerutkan keningnya. Ah, ada-ada saja. Apa iya perbedaan kehamilan bayi perempuan dan laki-laki bisa dilihat dari besarnya payudara kanan dan kiri?Ujung-ujungnya, Bastian geleng-geleng kepala dan lanjut membaca. “Sifat lebih moody, sensitif dan cerewet…” Bastian terkekeh pelan. Mungkin untuk yang satu ini ada benarnya. Sejak kehamilan kedua, Kanaya menjadi sangat perasa dan sensitif, bahkan sebelum mereka mengetahui jenis kelamin anak yang dikandungnya.Walau begitu, Bastian tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi ia memang tidak keberatan direpotkan oleh istrinya itu.“Ehem…
“Kamu tahu Ren, ada orang yang pernah bilang padaku. Melepaskan seseorang pergi bisa berarti memberi kesempatan orang lain untuk masuk dalam hidup kita,” ucap Dinda tanpa menoleh pada Reno. Reno terkekeh pelan. “Apa yang kamu katakan hampir sama dengan yang Kanaya katakan padaku, tetapi dengan kalimat yang berbeda. Apa semua perempuan selalu berkata seperti itu pada lelaki single seperti aku?” “Tidak juga. Tergantung siapa laki-lakinya,” ucap Dinda sambil melirik Reno. Untuk sesaat keduanya saling menatap satu sama lain, seakan waktu berhenti. Sampai… Ardyan tiba-tiba datang dan menyapa Dinda. “Eh, Din, datang juga? Papamu mana?” Dinda menoleh dan tidak tampak terkejut. “Nggak bisa datang, lagi ada pasien yang harus dioperasi. Jadi, aku yang gantikan.” Reno merasa heran melihat Ardyan tampak akrab dengan Dinda. Keduanya memang berprofesi sebagai dokter, tetapi apa setiap dokter seakrab itu dengan dokter lainnya? Apalagi mereka berbeda spesialisasi. Yang satu dokter bedah sya
Tidak hanya Kanaya yang terkesima dengan apa yang Bastian ucapkan, namun tamu yang hadir malam itu pun terharu dengan gestur yang disampaikan Bastian. Dan hal itu membuat mata mereka berkaca-kaca. Terlebih, kisah Bastian dan Kanaya sudah tersebar luas di media karena persidangan yang telah mereka lewati. “Naya, aku tahu ini terlambat, jauh terlambat. Akan tetapi, aku mencari saat yang tepat untuk memberikan ini.” Bastian mengambil sebuah kotak dari dalam kantong celananya, dan membukanya dihadapan Kanaya. Sepasang cincin yang tampak berkilau ada di depan mereka. Dua buah cincin yang memiliki model yang sama-sama memiliki sebuah batu berkilau di bagian atasnya. Namun terdapat perbedaan pada ukuran. Satu cincin berukuran lebih besar dan lebih lebar dari cincin lainnya. Kanaya terkejut melihat Bastian menyodorkan kotak berisi cincin itu padanya. Apakah ini cincin pernikahan? Suara riuh mengagumi cincin itu pun terdengar dari berbagai sudut ruangan. Bahkan tamu undangan yang seda
Acara resepsi pernikahan di Hotel Emerald itu sangat meriah dan dihadiri oleh banyak orang. Dari mulai gubernur, pejabat pemerintahan, pengusaha, relasi, kerabat, teman dan keluarga serta artis dan publik figur. Berbagai macam makanan dan minuman tersaji di sana, hiasan dan dekorasi megah dan mewah mewarnai ruangan demi ruangan tempat acara itu. Hiburan pesta itu pun sangat meriah, diisi oleh beberapa penyanyi, grup band, host dan komedian papan atas yang ikut meramaikan. Semua orang tampak sangat senang dan menikmati jalannya acara. Acara itu sendiri digadang-gadang menjadi pesta termeriah di Emerald City dan bahkan Eastasia. Bahkan Azhar, kakek tua berusia 79 tahun itu tampak begitu bersemangat bertemu dan berbicara dengan banyak orang yang sudah lama tidak dijumpainya. Haidar dan Miranda pun juga sama, raut wajah mereka berdua tampak begitu cerah dan senyum tidak menghilang dari wajah mereka. Ayunda dan Laila pun tidak ketinggalan. Mereka terlihat bercakap-cakap dengan kenal
Pada hari yang di nanti, segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa.Hotel Emerald, sebuah hotel baru di tepi pantai tempat berlangsungnya acara telah dibooking sepenuhnya oleh keluarga Dwipangga.Seluruh kamar hotel telah dipesan untuk tamu-tamu undangan yang datang dari luar kota. Ruangan grand ballroom beserta ruangan lainnya telah dibooking. Selama 2 hari, di hotel itu tidak ada tamu atau kegiatan lain selain tamu dan acara resepsi pernikahan Kanaya dan Bastian.Penjagaan pun dibuat sangat ketat oleh Jay dan anak buahnya, bekerjasama dengan pihak terkait.Di kamar presidensial suite hotel itu, Kanaya baru saja selesai mengenakan baju pengantinnya.“Naya…”Kanaya menoleh dan melihat ibunya memasuki kamar utama suite itu.“Ibu…” Ia langsung menghampiri dan mengajak ibunya itu duduk di tepi ranjang besar kamar itu.“Putri ibu cantik sekali,” ucap Ayunda sambil memperhatikan wajah Kanaya.Putrinya itu memang memiliki paras yang cantik alami. Akan tetapi hari ini kecantikannya tam
Setelah puas melihat pemandangan dari jendela kamar, Bastian lalu mengajaknya melihat bagian lain kamar mereka. “Ini closet kita, kamu bisa menaruh semua pakaian, tas, sepatu dan semua aksesoris milikmu di sini.” “Ini kamar mandi.” Bastian membuka sebuah pintu. “Shower, jacuzzi, dan lihat ini sayang…” Bastian mengajak Kanaya mendekat ke dinding kaca. Dari dinding kaca itu, mereka bisa melihat langsung ke arah hutan pinus. “Bas, tapi kaca ini…” “Jangan kuatir. Dari luar, mereka tidak bisa melihat ke dalam.” Tentu saja Bastian sudah memikirkan semua jal itu. Lalu mereka melihat ke kamar bayi, lalu kamar-kamar lainnya. Bahkan Bastian juga sudah menyiapkan ruangankamar untuk Kenzo saat bayi mungil itu sudah mulai bisa berjalan. “Ini kamarmu nanti, jagoan Papa… cepat besar ya, jadi kamu bisa menempatinya nanti…” ucap Bastian pada Kenzo yang ada di dalam gendongannya. Ia bahkan memperlihatkan pada Kenzo jendela kamarnya yang menghadap ke arah danau di belakang rumah. Kanaya tersenyu