“Selamat malam Bu Elsie. Ibu ingin bertemu saya?” sapa Kanaya sambil tersenyum dengan kepala tegak. Entah mendapat keberanian dari mana, tetapi Kanaya tidak lagi takut dan malu-malu menghadapi Elsie. Apakah karena— Bastian? Elsie cukup terkejut mendapati perubahan sikap pada diri Kanaya yang lebih percaya diri dan berani. Ia mendengus dan beranjak dari duduknya, kemudian tersenyum mencibir seraya mengamati gadis muda dihadapannya. “Kanaya, aku dengar kemarin kamu pergi ke Palm Heaven,” ucap Elsie sambil berjalan mengitari Kanaya dengan kedua tangan dibelakang pinggulnya. Apakah itu sebabnya Elsie datang mencarinya? Karena ia pergi menemui Bastian? Pikir Kanaya. Elsie berhenti melangkah tepat di hadapan Kanaya, menatap gadis itu menunggu jawaban. “Iya Bu Elsie. Saya pergi ke Palm Heaven kemarin. Pak Bastian yang meminta saya datang.” Kanaya menjawab dengan jujur. Tidak ada yang perlu ia takuti karena ia pergi ke sana menjalankan perannya sebagai ibu pengganti. Elsie memperhat
Kanaya memetik sekuntum bunga melati putih yang ada di halaman belakang. Meskipun matahari bersinar cerah pagi itu, akan tetapi mendung masih bersemayam di hati Kanaya. Kanaya menghirup wangi bunga itu sambil memejamkan matanya, berharap dunia yang ia jalani bisa seindah dan sewangi bunga yang ada ditangannya. Kejadian semalam masih membekas dihatinya. Dan meskipun ia berusaha untuk melupakannya, kata-kata merendahkan itu masih saja terngiang dibenaknya. Kanaya begitu larut dengan pikirannya sehingga ia tidak mendengar suara dari dalam rumah. “Di mana dia?” Bastian masuk ke dalam rumah dengan raut wajah merah padam. “No-non Kanaya?” Sifa bertanya dengan gelagapan. Apakah Bastian mencari Kanaya? “Siapa lagi? Di mana dia?” Bentak Bastian pada perempuan paruh baya itu sambil ia berjalan ke arah kamar Kanaya dan membukanya dengan kasar. Tidak menemukan Kanaya di dalam kamar, Bastian mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah mencari sosok gadis itu. “No-non Kanaya a-ada di-di ta
Indra keluar dari ruang bersalin setelah membantu dua persalinan normal hari itu. Rasa-rasanya ia ingin segera beristirahat, makan dan mungkin tidur sejenak, paling tidak beristirahat setengah jam dan berharap tidak ada emergency call dalam waktu dekat. “Pak Bastian menunggu Dokter di luar sejak tadi.” Salah seorang perawat senior memberitahu Indra sambil menunjuk arah pintu keluar. Bastian? “Jelaskan yang di maksud ‘sejak tadi’,” ucap Indra meminta penjelasan lebih spesifik. “Sekitar 1 jam?” jawab perawat itu dengan tidak yakin sembari mengangkat bahunya. Indra tidak bertanya lagi dan berjalan keluar mencari Bastian . Pasti ada sesuatu hal yang Bastian ingin bicarakan dengannya jika temannya itu rela menunggunya sampai satu jam di hari kerja. Setelah mencari ke sekeliling luar bagian persalinan, akhirnya Indra menemukan Bastian sedang duduk di kursi taman, sedang merokok dengan kemeja yang beberapa kancingnya terbuka dan lengannya digulung sebatas siku. Rambut yang biasanya
Hari belum lagi sore, tetapi Bastian tidak kembali ke kantornya. Mobil yang dikendarai Rafles berhenti di depan rumah tingkat besar dikawasan elit, dan Bastian turun. Alih-alih kembali ke kantor, Bastian memutuskan untuk pulang. Ia masuk ke dalam rumah dan menemukan Elsie sedang berbaring santai di sofa sambil bergosip ria dengan temannya melalui panggilan telepon dan tidak menyadari kedatangannya. Bastian berdehem setelah beberapa saat ia menunggu, namun Elsie tak kunjung mengakhiri percakapan teleponnya. “Bas?” Elsie terkejut saat menoleh dan melihat Bastian berdiri bersandar di pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga dengan jas yang tersampir di lengannya. Tidak seperti biasanya Bastian pulang cepat dari bekerja. Dia pun tidak memberitahukan Elsie sebelumnya. Bastian berjalan mendekat dan berhenti di dekat Elsie. Ia menaruh tas kerjanya di atas meja dan memasukkan tangannya ke dalam kantung celana, kemudian bertanya, “Untuk apa kamu pergi ke Sunset Summit semalam?” Ja
“Non, bangun. Ini sudah siang, katanya mau pergi ke kampus.” Sifa menaruh segelas air putih di meja nakas dan ia membuka tirai jendela. Sinar matahari menerobos masuk ke dalam melalui jendela besar di kamar itu, membuat silau kornea mata Kanaya yang masih menyesuaikan dengan cahaya. Kanaya refleks menutupi matanya dengan telapak tangan yang terbuka lebar sembari beranjak duduk di ranjangnya. “Jam berapa ini Bi?” tanya Kanaya seraya meraih gelas air di meja nakas dan meminumnya. “Jam 8. Katanya hari ini mau ke kampus. Non mandi dulu, Bibi mau siapin sarapan,” jawab Sifa sebelum ia berjalan keluar kamar. Kanaya beranjak dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Setelah selesai mandi ia berjalan ke lemari pakaian, mengambil celana highwaist jeans dan kemeja putih, pakaian dalam dan sebuah scarf dari dalam lemari. Pluk! Tiba-tiba saja sebuah bungkusan plastik terjatuh dari dalam lemari. Kanaya tertegun menatap plastik itu, mengetahui pasti apa isi di dalamnya. Setelah menaruh ba
“Maaf!” Kanaya dan orang yang ia tabrak mengucapkannya bersamaan. Kanaya melihat ke bawah ke arah pecahan gelas yang berisi minuman berwarna coklat yang jatuh ke lantai. “Saya benar-benar minta maaf,” ucap Kanaya, dan matanya tidak sengaja menangkap noda berwarna coklat di kemeja abu-abu orang yang ia tabrak. Kanaya pun langsung meraih tisu terdekat dan melap baju orang itu. “Biar saya bersihkan.” “Sudah, tidak apa. Ini hanya sedikit saja.” Pria di depannya menolak dan menahan tangan Kanaya. “Saya benar-benar minta maaf. Biar saya ganti minumannya.” Merasa tidak enak hati, Kanaya menawarkan mengganti minuman pria itu. Pria itu hendak menolak, namun Kanaya mendahuluinya bicara. “Paling tidak biarkan saya menggantinya.” Kanaya memaksa. Pria itu ingin mengatakan sesuatu, namun saat ia menatap Kanaya, ia mengurungkannya. “Baiklah. Tetapi hanya kalau kamu juga memesan minuman.” Kanaya mengangguk dan tersenyum. Ia memang harus memesan sesuatu di cafe itu jika ingin menunggu Rafles
Di dalam mobil, Kanaya memejamkan matanya, berusaha fokus menahan rasa tidak enak di perutnya. “Ibu mau saya antar ke rumah sakit?” Rafles yang sedang mengemudi khawatir melihat wajah Kanaya yang pucat pasi. Padahal saat mengantar ke kampus tadi, gadis itu tampak baik-baik saja. Kanaya menggeleng dengan mata terpejam. “Langsung ke rumah saja, Pak Rafles.” Kanaya ingin segera sampai di rumah. Minum sesuatu yang hangat dan berbaring di ranjang yang hangat. “Baik Bu.” Rafles tidak bertanya lagi dan fokus pada jalanan di hadapannya. Ia tidak mengemudi sepelan tadi, namun ia sangat berhati-hati seakan sedang membawa barang pecah belah yang sangat ringkih. Untung saja saat sampai di rumah hujan telah berhenti dan Kanaya langsung masuk ke dalam rumah. “Loh Non kenapa?” tanya Sifa begitu melihat Kanaya. Ia bergegas menghampiri gadis itu dan menemaninya masuk ke dalam kamar. “Perut Kanaya nggak enak Bi. Lemas, rasanya mau melayang,” jawab Kanaya sambil ia duduk di ranjang kemudian memb
Bastian membawanya scarf itu mendekati hidung dan ia mengendusnya. Kanaya! Scarf ini milik Kanaya! Bastian begitu yakin, sebab aroma tubuh Kanaya masih menempel dengan lekat di scarf itu. Bastian menghirup aroma itu dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Refleks ujung bibir Bastian melengkung, menyunggingkan sebuah senyum. Sudah lama ia tidak mencium wangi itu dan ternyata ia begitu merindukannya. Debar-debar di dadanya kembali berdetak lebih cepat, gairah yang beberapa hari ini sempat padam, seakan datang kembali, membuatnya merasa lebih hidup. Dihirupnya sekali lagi aroma itu seakan ia tidak pernah puas. Seakan ia takut kehabisan aroma yang ada di sana jika ia tidak segera menghirupnya dalam-dalam. Bastian begitu hanyut dalam kerinduannya saat suara deheman Rafles menyadarkan Bastian kembali. “Tadi waktu pulang, ibu kelihatan sedang kurang sehat, Pak.” Rafles merasa perlu melaporkan apa yang dilihatnya pada Bastian. “Kurang sehat bagaimana maksudmu?” Bastian langsung berta
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un
Di pinggiran Emerald City, tiga buah mobil berjalan beriringan. Di iringan mobil kedua, Reno duduk bersama beberapa orang pria dan seorang supir. Mobil berhenti di depan sebuah aparteman lima lantai dan Reno membuka kaca mobilnya saat Heri dan Agus, anak buah Reno, berjalan menghampirinya. “Bos, apartemen mereka ada di lantai 5,” ujar Heri melaporkan. Reno membuka pintu mobil dan keluar. “Apa anak buah Ravioli ada di sana?” “Menurut pengamatan saya, ada 1 atau 2 orang yang berada di sana,” jawab Agus sambil menunjuk arah sebuah apartemen di lantai 5 dengan ibu jarinya. Reno mengikuti arah jari Agus menunjuk dan ia menatap jendela sebuah apartemen yang tampak temaram. “Kalian ikut denganku. Biar yang lain tunggu di sini!” perintah Reno sambil menunjuk Heri, Agus dan seorang anak buah Agus. Ia berpikir jika hanya satu atau dua orang anak buah ravioli, mereka masih bisa mengatasinya. Yang ia khawatirkan sebelumnya adalah jika ada banyak anak buah Ravioli di sana, sedangkan ia
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu
Bastian mengangkat alisnya. Senyumnya dikulum melihat Kanaya tampak gugup dan salah tingkah. Diangkatnya dagu istri sirinya itu, dan ia menatapnya dengan tatapan menggoda. “Naya… kamu—cemburu?”Kanaya menghempaskan tangan Bastian dan ia berdecak lalu berbalik badan ke lain arah.“Bukan itu!” sungutnya dengan kesal. Ia bertanya serius, tetapi Bastian justru menggodanya!“Lalu?” tanya Bastian dengan nada yang jauh dari kata serius. Ia menyorongkan wajahnya mendekati Kanaya.Kanaya kembali berdecak pelan dan menunduk, menghindari tatapan Bastian.“Ya… bukannya benar begitu?” lirik Kanaya dengan ragu. “Semua—orang tahu kalau kamu— sangat mencintai— Elsie…” walaupun hatinya berat mengucapkannya, namun diucapkannya juga. Ah, rasanya ia tidak ikhlas mengatakan Bastian mencintai wanita lain. Kenapa tidak Bastian mencintai dirinya saja?“Naya…” Bastian merangkul Kanaya, dan menempelkan dagunya di kepala Kanaya. “Beri aku waktu. Dan akan kubuktikan apakah memang benar aku menikahinya karena ak
Bastian mengangkat tubuh Kanaya dari lantai dan membawanya ke sofa. Namun, saat ia hendak beranjak dari sofa, tangan Kanaya memegangi kerah kemejanya.“Jangan pergi,” ucap Kanaya dengan suara lirih.Bastian kembali duduk dan tersenyum. Ia menyugar rambut Kanaya dan membelai pipinya dengan lembut, menyentuh garis bekas airmata.“Aku tidak ke mana-mana, Naya. Hanya ingin mengambil air minum.” Bastian memberinya tatapan meyakinkan. Bagaimana mungkin ia meninggalkan Kanaya?Kanaya mengangguk lemah mengiyakan dan melepaskan pegangan tangannya.Bastian merasa lega. Ia mendaratkan kecupan di kening Kanaya sebelum beranjak berdiri.Di dapur, Bastian mengambil segelas air putih, dan menghangatkan segelas susu coklat. Kemudian, ia duduk kembali di samping Kanaya.“Minumlah, ini akan membuatmu lebih tenang.” Bastian memegang gelas itu dan mendekatkannya ke mulut Kanaya.Kanaya ikut memegangi gelas itu dan ia meminumnya sedikit demi sedikit.Ia memang membutuhkan segelas coklat hangat. Apalagi,
“Naya…” Suara itu… Tubuh Kanaya menegang mendengarnya. Refleks ia melihat ke bawah, ke sepasang tangan kekar yang memeluknya dengan erat. Tangan itu… tidak salah lagi… Kanaya berbalik badan dengan cepat dan mendorong tubuh pria itu dengan sekuat tenaga. “Pergi kamu! Aku tidak mau—bertemu denganmu!” Suara Kanaya bergetar hebat. Tangannya menunjuk pria itu dengan gemetar, sementara ia menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Bastian, pria yang ada dihadapan Kanaya, terkejut dengan penolakan Kanaya padanya. “Naya? Ini aku Sayang… Ini aku..” Bastian melangkah maju, namun Kanaya menggelengkan kepalanya dengan keras meminta Bastian jangan mendekatinya. “Jangan mendekat! Aku benci kamu!” ucap Kanaya dengan keras, sambil ia berjalan mundur. Bagian dari dirinya yang masih sangat kecewa dan sakit hati pada Bastian, menolak untuk bertemu dengannya. Kanaya begitu kecewa dengan apa yang Bastian lakukan di Hotel Royal. Padahal, setelah apa yang ia alami, mulai dari penculikan, percob