“Non, bangun. Ini sudah siang, katanya mau pergi ke kampus.” Sifa menaruh segelas air putih di meja nakas dan ia membuka tirai jendela. Sinar matahari menerobos masuk ke dalam melalui jendela besar di kamar itu, membuat silau kornea mata Kanaya yang masih menyesuaikan dengan cahaya. Kanaya refleks menutupi matanya dengan telapak tangan yang terbuka lebar sembari beranjak duduk di ranjangnya. “Jam berapa ini Bi?” tanya Kanaya seraya meraih gelas air di meja nakas dan meminumnya. “Jam 8. Katanya hari ini mau ke kampus. Non mandi dulu, Bibi mau siapin sarapan,” jawab Sifa sebelum ia berjalan keluar kamar. Kanaya beranjak dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Setelah selesai mandi ia berjalan ke lemari pakaian, mengambil celana highwaist jeans dan kemeja putih, pakaian dalam dan sebuah scarf dari dalam lemari. Pluk! Tiba-tiba saja sebuah bungkusan plastik terjatuh dari dalam lemari. Kanaya tertegun menatap plastik itu, mengetahui pasti apa isi di dalamnya. Setelah menaruh ba
“Maaf!” Kanaya dan orang yang ia tabrak mengucapkannya bersamaan. Kanaya melihat ke bawah ke arah pecahan gelas yang berisi minuman berwarna coklat yang jatuh ke lantai. “Saya benar-benar minta maaf,” ucap Kanaya, dan matanya tidak sengaja menangkap noda berwarna coklat di kemeja abu-abu orang yang ia tabrak. Kanaya pun langsung meraih tisu terdekat dan melap baju orang itu. “Biar saya bersihkan.” “Sudah, tidak apa. Ini hanya sedikit saja.” Pria di depannya menolak dan menahan tangan Kanaya. “Saya benar-benar minta maaf. Biar saya ganti minumannya.” Merasa tidak enak hati, Kanaya menawarkan mengganti minuman pria itu. Pria itu hendak menolak, namun Kanaya mendahuluinya bicara. “Paling tidak biarkan saya menggantinya.” Kanaya memaksa. Pria itu ingin mengatakan sesuatu, namun saat ia menatap Kanaya, ia mengurungkannya. “Baiklah. Tetapi hanya kalau kamu juga memesan minuman.” Kanaya mengangguk dan tersenyum. Ia memang harus memesan sesuatu di cafe itu jika ingin menunggu Rafles
Di dalam mobil, Kanaya memejamkan matanya, berusaha fokus menahan rasa tidak enak di perutnya. “Ibu mau saya antar ke rumah sakit?” Rafles yang sedang mengemudi khawatir melihat wajah Kanaya yang pucat pasi. Padahal saat mengantar ke kampus tadi, gadis itu tampak baik-baik saja. Kanaya menggeleng dengan mata terpejam. “Langsung ke rumah saja, Pak Rafles.” Kanaya ingin segera sampai di rumah. Minum sesuatu yang hangat dan berbaring di ranjang yang hangat. “Baik Bu.” Rafles tidak bertanya lagi dan fokus pada jalanan di hadapannya. Ia tidak mengemudi sepelan tadi, namun ia sangat berhati-hati seakan sedang membawa barang pecah belah yang sangat ringkih. Untung saja saat sampai di rumah hujan telah berhenti dan Kanaya langsung masuk ke dalam rumah. “Loh Non kenapa?” tanya Sifa begitu melihat Kanaya. Ia bergegas menghampiri gadis itu dan menemaninya masuk ke dalam kamar. “Perut Kanaya nggak enak Bi. Lemas, rasanya mau melayang,” jawab Kanaya sambil ia duduk di ranjang kemudian memb
Bastian membawanya scarf itu mendekati hidung dan ia mengendusnya. Kanaya! Scarf ini milik Kanaya! Bastian begitu yakin, sebab aroma tubuh Kanaya masih menempel dengan lekat di scarf itu. Bastian menghirup aroma itu dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Refleks ujung bibir Bastian melengkung, menyunggingkan sebuah senyum. Sudah lama ia tidak mencium wangi itu dan ternyata ia begitu merindukannya. Debar-debar di dadanya kembali berdetak lebih cepat, gairah yang beberapa hari ini sempat padam, seakan datang kembali, membuatnya merasa lebih hidup. Dihirupnya sekali lagi aroma itu seakan ia tidak pernah puas. Seakan ia takut kehabisan aroma yang ada di sana jika ia tidak segera menghirupnya dalam-dalam. Bastian begitu hanyut dalam kerinduannya saat suara deheman Rafles menyadarkan Bastian kembali. “Tadi waktu pulang, ibu kelihatan sedang kurang sehat, Pak.” Rafles merasa perlu melaporkan apa yang dilihatnya pada Bastian. “Kurang sehat bagaimana maksudmu?” Bastian langsung berta
Mobil yang dikendarai Indra berhenti di halaman rumah di jalan Sunset Summit. Lampu di dalam rumah itu masih menyala, seakan menunggu kedatangannya. Dengan membawa tas dokternya ia berjalan masuk ke dalam rumah. “Akhirnya Dokter sampai juga. Non Kanaya sudah menunggu dokter dari tadi. Mari Dok!” Sifa langsung menyambut Indra dengan senyum sumringah di wajahnya. Indra sampai ikut tersenyum melihat ketulusan wanita paruh baya itu dalam menjaga Kanaya. Kanaya sedang berbaring di kamarnya saat Indra dan Sifa masuk. Ia pun beranjak duduk. “Malam, Dokter.” “Malam, Kanaya. Bagaimana keadaanmu?” tanya Indra sambil duduk di kursi di samping ranjang yang sudah disediakan oleh Sifa sebelumnya. “Sudah agak mendingan Dok, tapi saya masih sering mual. Lidah saya juga tidak enak. Rasanya makanan terasa pahit,” jawab Kanaya sejujurnya. Ia sangat berharap benar-benar hamil, namun ia tidak memungkiri apa yang dikatakan dokter itu tadi siang. Bisa saja tidak enak badan dan mual muntahnya adala
Setelah dinyatakan positif hamil melalui test pack dan tes darah seminggu yang lalu, hari ini Kanaya akan melakukan pemeriksaan USG di klinik Life’s Blessing. Dan saat ini, Kanaya berada di dalam sebuah mobil dalam perjalanan menuju klinik tersebut. Jari tangan kanan Kanaya bermain dengan fertility bracelet yang ada di pergelangan tangan kirinya. Menyentuh batu-batu bulat berbagai macam warna itu, seakan ia merasa lebih tenang dengan menyentuhnya. Ini adalah kali pertama ia akan menjalani USG kandungannya. Kali pertama ia akan melihat makhluk kecil yang akan berkembang di dalam tubuhnya untuk sembilan bulan ke depan. Kanaya belum pernah mengalaminya dan ini sedikit banyak membuatnya antusias sekaligus gelisah dan was-was. Seperti apa penampakannya dan apa yang akan ia rasakan. Tidak sadar tangannya menyentuh perutnya, mengelusnya perlahan. Sesampainya di klinik, Jesy mengantar Kanaya ke sebuah ruangan pemeriksaan USG. Di depan pintu ruangan itu terpampang tulisan VIP. Dan ben
“Bastian, Elsie, kami sudah menunggu kedatangan kalian.” Indra langsung menyambut mereka. Ia berbicara sedikit lebih formal mengingat perannya saat itu sebagai dokter kandungan yang profesional. Ia lalu menyalami mereka berdua. Kanaya mau tidak mau ikut tersenyum dan menyalami mereka. “Pak Bastian,” ucap Kanaya sambil mengangguk. “Kanaya,” balas Bastian sambil menatap gadis itu. “Oh Kanaya, aku senang sekali mendengar berita kehamilanmu!” Tiba-tiba Elsie datang diantara mereka dan menyalami tangan Kanaya. “Kanaya, aku juga mau minta maaf mengenai kejadian waktu itu. Aku sedang emosi dan aku benar-benar lepas kendali. Aku tidak sengaja memukulmu. Mau kan kamu memaafkanku?” Elsie merajuk sambil merangkul Kanaya, seakan mereka berteman dengan baik. Kanaya menatap Elsie dengan heran. Mengapa Elsie bersikap seperti ini? Sikapnya terlalu berlebihan dan dibuat-buat. “Ayolah Kanaya, kita lupakan yang sudah lalu,” ucap Elsie sambil tersenyum. Lalu tatapan matanya berubah tajam dan
“Elsie, biar aku print lagi untukmu—” “Sayang, apa aku tidak boleh minta foto yang ini?” Elsie merajuk pada Bastian yang sedang berjalan ke arah mereka, sebelum Indra sempat menyelesaikan kalimatnya. “Bas, sebaiknya aku print lagi yang lain untuk Elsie, sebab—” “Indra, apa sih bedanya print yang ini dengan yang lain? Lagipula Kanaya sebenarnya kan tidak perlu foto ini, ya kan Kanaya? Apa kamu mau menunjukkan ini ke orang lain? Tidak kan?” Elsie lagi-lagi memotong ucapan Indra, bahkan secara tidak langsung mengingatkan Kanaya jika Kanaya tidak berhak memiliki foto itu apalagi menunjukkannya pada orang lain. Mereka bertiga terdiam mendengar ucapan Elsie. “Ndra, tolong print lagi untuk Kanaya.” Bastian akhirnya angkat bicara. Ia tidak mungkin membela Kanaya di depan Elsie. Bagaimana pun Elsie adalah istri sahnya, sedangkan Kanaya adalah ibu pengganti mereka. Lagipula, seharusnya bukan masalah besar jika Indra hanya tinggal mencetak ulang saja foto itu. “Bukan begitu Bas, seba
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un
Di pinggiran Emerald City, tiga buah mobil berjalan beriringan. Di iringan mobil kedua, Reno duduk bersama beberapa orang pria dan seorang supir. Mobil berhenti di depan sebuah aparteman lima lantai dan Reno membuka kaca mobilnya saat Heri dan Agus, anak buah Reno, berjalan menghampirinya. “Bos, apartemen mereka ada di lantai 5,” ujar Heri melaporkan. Reno membuka pintu mobil dan keluar. “Apa anak buah Ravioli ada di sana?” “Menurut pengamatan saya, ada 1 atau 2 orang yang berada di sana,” jawab Agus sambil menunjuk arah sebuah apartemen di lantai 5 dengan ibu jarinya. Reno mengikuti arah jari Agus menunjuk dan ia menatap jendela sebuah apartemen yang tampak temaram. “Kalian ikut denganku. Biar yang lain tunggu di sini!” perintah Reno sambil menunjuk Heri, Agus dan seorang anak buah Agus. Ia berpikir jika hanya satu atau dua orang anak buah ravioli, mereka masih bisa mengatasinya. Yang ia khawatirkan sebelumnya adalah jika ada banyak anak buah Ravioli di sana, sedangkan ia
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu
Bastian mengangkat alisnya. Senyumnya dikulum melihat Kanaya tampak gugup dan salah tingkah. Diangkatnya dagu istri sirinya itu, dan ia menatapnya dengan tatapan menggoda. “Naya… kamu—cemburu?”Kanaya menghempaskan tangan Bastian dan ia berdecak lalu berbalik badan ke lain arah.“Bukan itu!” sungutnya dengan kesal. Ia bertanya serius, tetapi Bastian justru menggodanya!“Lalu?” tanya Bastian dengan nada yang jauh dari kata serius. Ia menyorongkan wajahnya mendekati Kanaya.Kanaya kembali berdecak pelan dan menunduk, menghindari tatapan Bastian.“Ya… bukannya benar begitu?” lirik Kanaya dengan ragu. “Semua—orang tahu kalau kamu— sangat mencintai— Elsie…” walaupun hatinya berat mengucapkannya, namun diucapkannya juga. Ah, rasanya ia tidak ikhlas mengatakan Bastian mencintai wanita lain. Kenapa tidak Bastian mencintai dirinya saja?“Naya…” Bastian merangkul Kanaya, dan menempelkan dagunya di kepala Kanaya. “Beri aku waktu. Dan akan kubuktikan apakah memang benar aku menikahinya karena ak
Bastian mengangkat tubuh Kanaya dari lantai dan membawanya ke sofa. Namun, saat ia hendak beranjak dari sofa, tangan Kanaya memegangi kerah kemejanya.“Jangan pergi,” ucap Kanaya dengan suara lirih.Bastian kembali duduk dan tersenyum. Ia menyugar rambut Kanaya dan membelai pipinya dengan lembut, menyentuh garis bekas airmata.“Aku tidak ke mana-mana, Naya. Hanya ingin mengambil air minum.” Bastian memberinya tatapan meyakinkan. Bagaimana mungkin ia meninggalkan Kanaya?Kanaya mengangguk lemah mengiyakan dan melepaskan pegangan tangannya.Bastian merasa lega. Ia mendaratkan kecupan di kening Kanaya sebelum beranjak berdiri.Di dapur, Bastian mengambil segelas air putih, dan menghangatkan segelas susu coklat. Kemudian, ia duduk kembali di samping Kanaya.“Minumlah, ini akan membuatmu lebih tenang.” Bastian memegang gelas itu dan mendekatkannya ke mulut Kanaya.Kanaya ikut memegangi gelas itu dan ia meminumnya sedikit demi sedikit.Ia memang membutuhkan segelas coklat hangat. Apalagi,
“Naya…” Suara itu… Tubuh Kanaya menegang mendengarnya. Refleks ia melihat ke bawah, ke sepasang tangan kekar yang memeluknya dengan erat. Tangan itu… tidak salah lagi… Kanaya berbalik badan dengan cepat dan mendorong tubuh pria itu dengan sekuat tenaga. “Pergi kamu! Aku tidak mau—bertemu denganmu!” Suara Kanaya bergetar hebat. Tangannya menunjuk pria itu dengan gemetar, sementara ia menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Bastian, pria yang ada dihadapan Kanaya, terkejut dengan penolakan Kanaya padanya. “Naya? Ini aku Sayang… Ini aku..” Bastian melangkah maju, namun Kanaya menggelengkan kepalanya dengan keras meminta Bastian jangan mendekatinya. “Jangan mendekat! Aku benci kamu!” ucap Kanaya dengan keras, sambil ia berjalan mundur. Bagian dari dirinya yang masih sangat kecewa dan sakit hati pada Bastian, menolak untuk bertemu dengannya. Kanaya begitu kecewa dengan apa yang Bastian lakukan di Hotel Royal. Padahal, setelah apa yang ia alami, mulai dari penculikan, percob