Ting Nong! “Siapa yang datang?” gumam Sifa ketika mendengar bel pintu berbunyi. Sifa sedang berada di kamarnya malam itu. Karena Kanaya sedang tidak ada di rumah, tidak banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Ia pun bersantai di dalam kamar. Ting Nong! Seakan tidak sabar, orang itu memencet kembali bel pintu rumah di jalan Sunset Summit. “Iya sebentar!” seru Sifa sembari beranjak berdiri. Ia dengan tergesa-gesa berjalan menuju pintu depan rumah. Berjalan melewati kaca jendela, ia bisa melihat sebuah mobil sedan mewah berwarna merah terparkir di halaman depan rumah itu. Sifa mengerutkan keningnya menerka-nerka siapa tamu yang datang malam itu sembari lanjut berjalan. “Kenapa lama sekali membuka pintu?” Elsie langsung melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menunggu dipersilahkan. Ia sampai menabrak Sifa dan membuat pengasuh Kanaya itu hampir saja terjatuh. “I-ibu Elsie, selamat malam Bu… maaf saya sedang di kamar mandi,” ujar Sifa beralasan. Sifa terkejut dan sama sekali tidak
“Apa? Bastian menikah dengan perempuan itu? Kenapa kamu setuju Elsie?” Agni benar-benar terkejut mendengar penuturan putrinya. Setelah pergi dari rumah di jalan Sunset Summit, Elsie pulang ke rumah orang tuanya. Ia yang sedang kesal tidak bisa menutupi apa yang dirasakannya sehingga akhirnya Elsie pun menceritakan pada Felix dan Agni apa yang terjadi. “Elsie tidak punya pilihan lain, Mah. Saat itu Miranda terus menyudutkan Elsie, dan perempuan sok suci itu tidak mau melakukannya jika tidak dinikahi!” ujar Elsie dengan menggeram. Ia menyesal dengan keputusannya menyetujui pernikahan siri itu. “Dan kalian setuju? Bastian setuju?” Agni masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Mama seperti tidak tahu Bastian saja! Bastian tidak akan mau menyentuh perempuan lain yang bukan istrinya. Bastian setuju dan Elsie terpaksa setuju.” Agni mendesah kecewa dengan keputusan putrinya itu. “Elsie, kamu tahu betapa berbahayanya itu?” “Kamu memang tolol! Kenapa tidak berpikir dulu sebelum
Kanaya menarik nafas dan menghembuskannya. Dalam tidurnya ia merasa sangat tenang. Kanaya belum pernah tidur senyaman ini. Tubuhnya bahkan tak bergerak saat kelopak matanya terbuka. Keadaan di vila itu sunyi dan sepi. Tidak ada yang mengusiknya. Dalam kesadarannya, ia merasa masih bermimpi. Semua yang ia rasakan saat itu seakan tidak nyata. Terlalu indah untuk dikatakan sebagai kenyataan. Kanaya teringat kejadian tadi malam. Lebih tepatnya kejadian semalaman. Pipi Kanaya langsung memerah mengingat hal itu. Sebab, tidak hanya sekali ia dan Bastian melakukannya. Tidak hanya di ranjang. Sofa dan bahkan dinding kaca menjadi saksi pergumulan panasnya dengan Bastian. Kanaya tidak tahu apa yang merasuki mereka berdua, sehingga mereka berdua seakan tidak bisa menahan diri. Apakah karena mereka berdua terbawa suasana tempat ini, ataukah ada faktor lain? Kanaya tersadar dari lamunannya dan kembali ke keadaannya saat ini. Fokus kedua mata Kanaya semakin jelas menatap ke arah dinding ka
Bastian terbangun dari tidurnya saat matahari telah tinggi. Disampingnya, Kanaya masih terlelap. Gadis itu tidur begitu damai dengan alunan nafas yang tenang hampir tak terlihat. Hari sudah pukul sembilan ketika Bastian mengecek waktu pada jam tangan yang tergeletak di meja nakas. Dan perlahan ia pun beranjak, tidak ingin membangunkan Kanaya. Di kamar mandi, setelah membersihkan diri dan melakukan aktifitas paginya, Bastian menyalakan telepon genggam yang ia matikan sejak semalam. Ting ting ting ting… bunyi berbagai macam notifikasi terdengan silih berganti. Tidak mengherankan. Sebab, ia mematikan telepon genggamnya itu hampir dua belas jam lamanya. Telepon dan pesan singkat dari Elsie, Ezra, Ardyan dan Fariz menghiasi layar telepon genggamnya. Tentu yang pertama kali menarik perhatiannya adalah telepon dan pesan dari Elsie. Elsie telah menghubunginya beberapa kali semalam dan juga tadi pagi. Khawatir terjadi sesuatu, Bastian pun menghubunginya. Begitu berdering, Elsie langs
Di dalam kabin pesawat kelas satu, Ezra memberikan Bastian sebuah dokumen. “Ini laporan tambahan dari penyelidik menyangkut Pak Felix dan Ravioli.” “Apa yang dia temukan?” tanya Bastian sambil membuka dokumen itu. “Dari dokumen ini diketahui Pak Felix sudah cukup lama bekerjasama dengan Ravioli, tidak hanya baru-baru ini saja,” terang Ezra. Ia lalu menunjuk tahun di mana ditemukannya jejak kerjasama yang didapat penyelidik mereka dari dunia underworld. Bastian mengerutkan keningnya. Sebelas tahun adalah jangka waktu yang lama. Bastian sungguh tidak menyangka. Pantas saja Felix sulit sekali melepas kerjasama dengan penyelundup kelas kakap itu. “Cari tahu apa saja kerjasama yang mereka lakukan,” ucap Bastian sambil memegang dagunya. Dalam dunia gelap, seseorang tidak hanya akan terlibat pada satu tindakan ilegal saja. Karena pasti akan ada konsekuensi lain yang menyertai setiap tindakan ilegal yang dilakukan. Dan Bastian ingin tahu sejauh mana mertuanya itu terlibat dalam dunia
“Tu-tunggu Bastian. Mama— sepertinya Mama sudah sehat. Tidak perlu operasi, ya—ya kan Elsie?” Agni yang takut mendengar kata operasi langsung menolaknya. Ia langsung meminta bantuan Elsie untuk meyakinkan Bastian. “Mama benar sayang. Sepertinya Mama akan sembuh denagn beristirahat saja.” Elsie pun terpaksa membantu ibunya. “Bu Agni tidak perlu kuatir.” Dokter Nathan menyela percakapan mereka. “Saya sebagai seorang dokter sangat merekomendasikan operasi ini dilakukan. Karena jika tidak, saya khawatir Ibu Agni akan mengalami gagal jantung. Dan saya tidak bisa menjamin jika serangan berikutnya Ibu akan bisa bertahan.” Bastian tampak mengalami pertentangan batin. Ia lalu bertanya, “Apa hal ini sudah pernah dilakukan?” “Ya, tentu saja! Meskipun harus saya akui kemungkinan keberhasilannya hanya 70 persen saja,” jawab Dokter Nathan yang membuat wajah Agni menjadi pucat pasi. “Begini Pak Bastian, Bu Agni, melakukan operasi ini lebih baik daripada hanya menunggu waktu saja. Itu sebabnya
Beep beep beep… Suara alarm membangunkan Kanaya dari tidurnya. Selepas kepergian Bastian, Kanaya hanya berdiam di dalam vila. Ia hanya berbaring di ranjang sambil menyalakan televisi, tidak ada keinginan untuk pergi keluar. Lama kelamaan siaran televisi yang tidak menarik minatnya itu membuatnya mengantuk dan akhirnya tertidur hingga bunyi alarm itu membangunkannya. Kanaya bangun dengan tidak bergairah. Ia masuk ke dalam closet dan berganti pakaian dalam diam. Tidak banyak yang harus ia kemas. Pakaian dan perlengkapan pribadinya sebagian besar masih ada di dalam koper. Saat ia akan menutup kopernya, mata Kanya tertaut pada kemeja milik Bastian yang ia pakai sebelumnya, tergeletak di atas rak. Kanaya meraih kemeja itu dan menghirup aromanya dalam-dalam. Ia memejamkan matanya mencium wangi tubuh Bastian yang menempel di meja itu. Kanaya tidak tahu, kemeja itu ataukah vila itu yang masih menyimpan wangi tubuh Bastian begitu lekat? Apa pun itu, wangi maskulin yang belakangan in
“Selamat malam Bu Elsie. Ibu ingin bertemu saya?” sapa Kanaya sambil tersenyum dengan kepala tegak. Entah mendapat keberanian dari mana, tetapi Kanaya tidak lagi takut dan malu-malu menghadapi Elsie. Apakah karena— Bastian? Elsie cukup terkejut mendapati perubahan sikap pada diri Kanaya yang lebih percaya diri dan berani. Ia mendengus dan beranjak dari duduknya, kemudian tersenyum mencibir seraya mengamati gadis muda dihadapannya. “Kanaya, aku dengar kemarin kamu pergi ke Palm Heaven,” ucap Elsie sambil berjalan mengitari Kanaya dengan kedua tangan dibelakang pinggulnya. Apakah itu sebabnya Elsie datang mencarinya? Karena ia pergi menemui Bastian? Pikir Kanaya. Elsie berhenti melangkah tepat di hadapan Kanaya, menatap gadis itu menunggu jawaban. “Iya Bu Elsie. Saya pergi ke Palm Heaven kemarin. Pak Bastian yang meminta saya datang.” Kanaya menjawab dengan jujur. Tidak ada yang perlu ia takuti karena ia pergi ke sana menjalankan perannya sebagai ibu pengganti. Elsie memperhat
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un
Di pinggiran Emerald City, tiga buah mobil berjalan beriringan. Di iringan mobil kedua, Reno duduk bersama beberapa orang pria dan seorang supir. Mobil berhenti di depan sebuah aparteman lima lantai dan Reno membuka kaca mobilnya saat Heri dan Agus, anak buah Reno, berjalan menghampirinya. “Bos, apartemen mereka ada di lantai 5,” ujar Heri melaporkan. Reno membuka pintu mobil dan keluar. “Apa anak buah Ravioli ada di sana?” “Menurut pengamatan saya, ada 1 atau 2 orang yang berada di sana,” jawab Agus sambil menunjuk arah sebuah apartemen di lantai 5 dengan ibu jarinya. Reno mengikuti arah jari Agus menunjuk dan ia menatap jendela sebuah apartemen yang tampak temaram. “Kalian ikut denganku. Biar yang lain tunggu di sini!” perintah Reno sambil menunjuk Heri, Agus dan seorang anak buah Agus. Ia berpikir jika hanya satu atau dua orang anak buah ravioli, mereka masih bisa mengatasinya. Yang ia khawatirkan sebelumnya adalah jika ada banyak anak buah Ravioli di sana, sedangkan ia
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu
Bastian mengangkat alisnya. Senyumnya dikulum melihat Kanaya tampak gugup dan salah tingkah. Diangkatnya dagu istri sirinya itu, dan ia menatapnya dengan tatapan menggoda. “Naya… kamu—cemburu?”Kanaya menghempaskan tangan Bastian dan ia berdecak lalu berbalik badan ke lain arah.“Bukan itu!” sungutnya dengan kesal. Ia bertanya serius, tetapi Bastian justru menggodanya!“Lalu?” tanya Bastian dengan nada yang jauh dari kata serius. Ia menyorongkan wajahnya mendekati Kanaya.Kanaya kembali berdecak pelan dan menunduk, menghindari tatapan Bastian.“Ya… bukannya benar begitu?” lirik Kanaya dengan ragu. “Semua—orang tahu kalau kamu— sangat mencintai— Elsie…” walaupun hatinya berat mengucapkannya, namun diucapkannya juga. Ah, rasanya ia tidak ikhlas mengatakan Bastian mencintai wanita lain. Kenapa tidak Bastian mencintai dirinya saja?“Naya…” Bastian merangkul Kanaya, dan menempelkan dagunya di kepala Kanaya. “Beri aku waktu. Dan akan kubuktikan apakah memang benar aku menikahinya karena ak
Bastian mengangkat tubuh Kanaya dari lantai dan membawanya ke sofa. Namun, saat ia hendak beranjak dari sofa, tangan Kanaya memegangi kerah kemejanya.“Jangan pergi,” ucap Kanaya dengan suara lirih.Bastian kembali duduk dan tersenyum. Ia menyugar rambut Kanaya dan membelai pipinya dengan lembut, menyentuh garis bekas airmata.“Aku tidak ke mana-mana, Naya. Hanya ingin mengambil air minum.” Bastian memberinya tatapan meyakinkan. Bagaimana mungkin ia meninggalkan Kanaya?Kanaya mengangguk lemah mengiyakan dan melepaskan pegangan tangannya.Bastian merasa lega. Ia mendaratkan kecupan di kening Kanaya sebelum beranjak berdiri.Di dapur, Bastian mengambil segelas air putih, dan menghangatkan segelas susu coklat. Kemudian, ia duduk kembali di samping Kanaya.“Minumlah, ini akan membuatmu lebih tenang.” Bastian memegang gelas itu dan mendekatkannya ke mulut Kanaya.Kanaya ikut memegangi gelas itu dan ia meminumnya sedikit demi sedikit.Ia memang membutuhkan segelas coklat hangat. Apalagi,
“Naya…” Suara itu… Tubuh Kanaya menegang mendengarnya. Refleks ia melihat ke bawah, ke sepasang tangan kekar yang memeluknya dengan erat. Tangan itu… tidak salah lagi… Kanaya berbalik badan dengan cepat dan mendorong tubuh pria itu dengan sekuat tenaga. “Pergi kamu! Aku tidak mau—bertemu denganmu!” Suara Kanaya bergetar hebat. Tangannya menunjuk pria itu dengan gemetar, sementara ia menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Bastian, pria yang ada dihadapan Kanaya, terkejut dengan penolakan Kanaya padanya. “Naya? Ini aku Sayang… Ini aku..” Bastian melangkah maju, namun Kanaya menggelengkan kepalanya dengan keras meminta Bastian jangan mendekatinya. “Jangan mendekat! Aku benci kamu!” ucap Kanaya dengan keras, sambil ia berjalan mundur. Bagian dari dirinya yang masih sangat kecewa dan sakit hati pada Bastian, menolak untuk bertemu dengannya. Kanaya begitu kecewa dengan apa yang Bastian lakukan di Hotel Royal. Padahal, setelah apa yang ia alami, mulai dari penculikan, percob