Sementara itu, Heri turun ke bawah untuk membeli segelas kopi di salah satu kedai kopi yang ada di lobi gedung itu. Ia mengantuk karena kurang tidur akibat menyelidiki berbagai macam hal untuk Bosnya. “Latte machiato satu.” Ia memesan salah satu menu es kopi di gerai itu dan menunggu hingga minuman itu selesai disiapkan. Akan tetapi, baru saja matanya menatap ke layar telepon genggam yang ada ditangannya, seseorang menegurnya. “Kamu— Heri kan?” Heri menoleh, ia tertegun melihat perempuan yang berdiri di sampingnya. Ah, tentu saja! Batinnya teringat Elsie yang sedang menemui Reno di ruangan CEO. Dalam hati ia mengumpat kenapa tidak memikirkan Rosa! Tentu saja Elsie datang bersama Rosa! “Maaf, anda salah orang.” Heri merendahkan suaranya agar terdengar lebih berat, berharap Rosa tidak mengenalinya. Rosa mengernyitkan keningnya. Matanaya memicing memperhatikan Heri yang bersikap acuh tidak acuh padanya. Pria di depannya ini memang berkaca mata dan berpenampilan lebih
“Ros, di mana?”Elsie berjalan keluar dari lift di parkiran basemen sembari menghubungi Rosa.“Aku di cafe. Apa kamu sudah selesai?”Elsie berdecak pelan. “Ya! Cepat turun, aku tunggu di depan lift!” Setelah itu Elsie menutup percakapan teleponnya.Tidak lama Rosa datang dan mereka masuk ke dalam mobil.“Kamu bertemu Reno?” tanya Rosa sambil ia menyalakan mesin mobil.“Heem,” jawab Elsie sambil memberi gestur dengan matanya.“Kenapa kamu pergi menemui Reno? Bagaimana kalau Bastian sampai tahu? Bukankah itu hanya membuat Bastian semakin marah dan curiga?” Rosa mencoba menasehati.Apalagi rumah tangga temannya itu sedang tidak baik-baik saja. Dan tampaknya Bastian serius akan mengajukan gugatan cerai. “Bastian sedang pergi ke kota Anabath. Dia tidak akan tahu selama kamu menemani aku Ros.”Rosa memutar bola matanya diam-diam. dalam hatinya dongkol karena Elsie selalu menjadikannya tameng untuk menutupi apa yang ia lakukan. Dulu, ia memang membiarkan saja. Saat Elsie selalu beralasan p
Saat Elsi masuk ke dalam rumah Ravioli, mafia itu sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Jono, salah satu anak buah Ravioli menahan Elsie di depan pintu ruang kerjanya. Namun saat Ravioli melihat Elsie, ia memberi kode dengan tangannya agar Jono membiarkan Elsie masuk. Jono bagaikan peliharaan yang patuh, bergeser memberi jalan untuk Elsie. Elsie memanfaatkan kesempatan itu untukberjalan masuk menemui Ravioli. Suara heels pendek sepatu Elsie terdengar berdentang saat ia berjalan di ruangan itu. Ravioli melihat Elsie dan ia memberi kode dengan jari telunjuknya agar berjalan mendekat. “Tentu, jangan kuatir, tidak akan ada masalah dalam pengiriman!” Ravioli menanggapi lawan bicaranya. “Aku jamin itu! Kamu siapkan saja sisa uang pembayarannya!” ucap Ravioli kembali sebelum ia mengakhiri pembicaraan telepon itu dan berbalik badan. “Bagus kamu ke sini, Els! Aku baru saja hendak menghubungimu!” Ravioli mengantongi telepon genggamnya dan ia beranjak dari k
Bastian baru saja selesai mandi saat terdengar suara bel di depan pintu kamar hotelnya. Seharian ia sibuk bernegosiasi dengan pihak-pihak terkait dan bahkan mengajukan gugatan hukum kepada pihak-pihak yang menjadi provokator kerusuhan serta mengajukan ganti rugi. Meskipun Bastian bisa saja mengganti kerugian dengan uang pribadinya, namun ia tidak melakukan hal itu. Hal ini karena ia ingin membuat efek jera pada siapa saja yang telah menjadi provokator dan menyebabkan kerusakan pada fasilitas milik perusahaannya. Baginya, kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Setelah mengenakan pakaian, Bastian membuka pintu kamarnya. “Selamat malam Pak,” sapa Jay saat pintu terbuka. Bastian mengangguk dan mempersilahkannya masuk. “Ada berita apa?” “Kepolisian lokal sudah memproses orang-orang yang terlibat kericuhan. Dan kalau segala sesuatunya sesuai rencana, Bapak bisa kembali ke Emerald City besok sore.” Jay melaporkan sambil ia berjalan masuk mengikuti Bastian. “Hem, bagus!” timpal Bas
Saat kembali ke apartemen ibunya, Kanaya berpapasan dengan Ayunda dan Laila di depan unit apartemen mereka. “Lho, Ibu, Bude mau kemana?” “Ibumu mau jalan-jalan di taman. Ingin menghirup udara segar dan mencari sinar matahari pagi.” Laila mendahului menjawab. Ayunda tertawa. Ia menepuk lengan Kanaya. “Kamu juga Naya, sangat baik untuk wanita yang sedang hamil besar untuk berjalan-jalan pagi. Bergerak, menghirup udara segar, agar bayimu sehat dan lancar saat melahirkan nanti.” “Iya Bu, Naya tahu. Ayo, Naya ikut kalau begitu!” Kanaya tidak keberatan untuk ikut bersama mereka berjalan-jalan pagi itu. Toh mereka hanya berjalan di taman belakang apartemen itu saja. Kanaya sudah pernah menemani ibunya ke taman itu. Dan pada jam seperti ini, banyak penghuni apartemen yang juga beraktifitas di taman. Jadi, ia pikir tidak akan ada masalah. Saat tengah menunggu lift untuk turun, pintu lift terbuka, dan keluarlah Emran. Emran baru saja sampai. Setiap hari ia memang datang ke unit apartemen
“Tidak ada yang salah dengan kepala ibumu, Kanaya.” Ardyan menatap foto hasil MRI yang baru saja dilakukan. Ia dan Kanaya sedang menganalisa hasil ronsen di ruangan praktek Ardyan. Setelah dibawa Emran ke rumah sakit ERC, ayunda langsung ditangani oleh dokter di sana. “Tapi, kenapa kepala ibu tiba-tiba sakit?” Kanaya merasa heran, sebab ibunya begitu kesakitan, sampai-sampai wajahnya pucat pasi. Ardyan mendekati foto ronsen yang ada di LED film viewer dihadapannya. “Kamu lihat ini? Ini adalah foto MRI kepala ibumu saat mengalami serangan jantung beberapa bulan yang lalu.” Ardyan menunjuk sebuah foto, lalu jarinya menyentuh satu titik di foto itu. “Ini adalah cedera di bagian memori yang aku pernah sebutkan sebelumnya.” Kanaya ingat Ardyan pernah menjelaskan sebab ibunya mengalami amnesia. Salah satunya adalah cedera di bagian memori karena kurangnya pasokan oksigen kala serangan jantung itu terjadi. “Dan ini, adalah foto yang diambil tadi siang. Kamu lihat bedanya?” tanya Ardyan
Ardyan sedang berjalan masuk ke dalam kantornya saat telepon genggamnya berbunyi. “Halo Bas…” sapanya sambil tersenyum. “Halo Dy. Sibuk?” Suara Bastian terdengar dari ujung sambungan teleponnya. “Yaah, biasa saja,” jawab Ardyan sambil terkekeh pelan. “Sori, aku tidak angkat teleponmu tadi.” Seakan tahu apa yang akan Bastian tanyakan, ia segera menjelaskan. “Jangan kuatir, mertuamu baik-baik saja. Dia sudah ditangani, dan seharusnya tidak ada masalah.” Di Anabath, Bastian mengerutkan keningnya. “Mertua? Apa maksudmu?” Ardyan berdecak dan memutar bola matanya dengan heran. “Kamu meneleponku untuk menanyakan Ayunda kan? Ibunya Kanaya?” “Dia baik-baik saja, sepertinya ingatannya mulai pulih,” ujar Ardyan, lalu cepat-cepat menambahkan, “Walaupun belum pulih secara keseluruhan.” Bastian terkejut mendengarnya. Ia tidak tahu jika Ayunda sakit. Dan mendengar sebagian ingatan Ayunda pulih, Ia teringat rencananya bersama Kanaya. “Bagian mana dari ingatannya yang pulih?” Seperti mengeta
“Dokter Adryan, dokter di rumah sakit sudah memeriksa keadan ibu Kanaya. Mereka bilang, ibu sudah masuk pembukaan 2.” Emran yang masih terhubung dengan Adryan melaporkan setelah Dokter di rumah sakit pemerintah itu memeriksa Kanaya. Ardyan menggaruk tengkuknya. Kehamilan Kanaya baru mencapai usia 35 minggu. Seharusnya masih ada 5 minggu lagi sebelum dia melahirkan. Ardyan sama sekali tidak menduga. “Kalian sedang apa di sana?” Ia pun heran kenapa Kanaya dan Emran bisa pergi ke daerah Emerald utara, mengingat kemungkinan besar Kanaya sudah merasakan nyeri-yang bisa dikatakan kontraksi itu tadi pagi. Itu jika ia mengurut benang merah dari apa yang dikatakan Bastian. Nyeri perut yang dirasakan Kanaya di pagi hari kemungkina besar adalah pembukaan satu, namun karena hanya terjadi sekali atau dua kali, Kanaya tidak menyadarinya. Ditambah lagi kejadian yang menimpa Ayunda hari itu, mungkin membuat Kanaya tidak terlalu mempermasalahkan nyeri yang sempat dirasakannya. “Bu Ayunda bilang
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s
Kanaya tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Bastian. “Heri. Aku mendapatkannya dari Heri,” aku Kanaya akhirnya “Heri? Heri siapa? Asisten—Reno?” tanya Bastian memastikan. Sesaat ia tampak ragu saat menebaknya. Bastian mengetahui jika dulu Reno memata-matai kehidupan pribadinya, tetapi ia tidak terlalu yakin jika semua foto-foto ini didapat dari Reno. Kanaya mengangguk. Mengakui jika dari asisten pribadi Reno lah ia mendapat semua foto-foto itu. Ia ingat tadi sore saat baru selesai berbelanja bersama Clara, Heri menghubunginya melalui telepon. Dalam perjalanan pulang dari toko lingerie, Kanaya sedang memikirkan apa lagi yang akan dia buat nanti malam untuk “menemani” kejutanyang ia siapkan untuk Bastian. Kanaya ingin membuat waktu yang ia habiskan bersama Bastian menjadi lebih bermakna. Namun kejutan apa lagi yang bisa ia lakukan dengan waktu yang sedikit? Saat itulah Heri menghubunginya. *** flashback*** “Bu Kanaya…” “Ya? apa semua baik-baik saja?” Kanaya m