“Bagaimana keadaannya?” Bastian bertanya dengan penuh harap.Walaupun ia sering kali merasa panas saat melihat Indra bersama Kanaya, namun kali ini ia membiarkan Indra mengantar Kanaya pulang. Terlebih Indra mengatakan akan memeriksa kandungan Kanaya di kliniknya hari itu juga.Bastian sendiri tidak bisa mengantar Kanaya, karena ia masih harus berada di rumah orang tuanya.Beberapa menit yang lalu, ia baru sampai di Sunnyside Estate bersama Elsie. Bastian langsung pergi ke ruang kerjanya dan menghubungi Indra.“The baby is fine. Kamu menangkapnya di waktu yang tepat,” jawab Indra dari ujung sambungan telepon.Bastian menghembuskan nafas lega. Ia tidak perlu merasa khawatir lagi sekarang.“Bas, tinggalkan Kanaya,” ucap Indra tiba-tiba.Baru saja merasa lega, mendengar Indra mengatakan hal ini membuat senyum di wajah Bastian kembali menghilang.“Sudah kubilang, ini bukan urusanmu!”“Ini urusanku kalau terjadi sesuatu dengannya!” Indra balas dengan sama keras.“Tidak akan terjadi sesuatu
“Fariz bilang dia sedang kumpul sama Bastian dan Ardyan di caffeine Cuisine.” Clara berbicara di telepon.“Kamu yakin?”“Ya Elsie. Aku baru saja menghubunginya. Ada apa?” “Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya kuatir Bastian terlalu lelah. Kamu tahu sendiri kan kalau hari ini kami baru selesai mengadakan acara,” jawab Elsie.Malam itu, Elsie menghubungi Clara untuk menanyakan jika Bastian ada bersama Fariz atau tidak. Alasan sebenarnya karena ia curiga Bastian pergi menemui Kanaya. Namun setelah mendengar Clara mengatakan bahwa Bastian sedang bersama Fariz dan Ardyan, ia menjadi lega.Mendengar Elsie mengungkit acara hari itu, Clara kembali teringat pada perempuan hamil yang ia lihat tengah bertemu diam-diam dengan Bastian di rumah kaca. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah Elsie mengetahui hubungan mereka? Apalagi perempuan itu sampai hamil anak Bastian. Bukankah sudah seharusnya Elsie mengetahui hal itu?“Mm.. Elsie…” panggil Clara dengan ragu.“Ya? Ada apa Clara?” Elsie sebenarnya i
Kanaya melirik jam di dinding. Saat itu sudah hampir jam sembilan malam. Namun, Bastian belum juga datang. Tadi siang saat mereka di rumah kaca, Bastian mengatakan jika dia akan datang malam ini untuk membuktikan jika ia bisa menepati ucapannya, yaitu datang saat ia membutuhkan Bastian. Kanaya menarik nafas dalam dan kembali melirik jam di dinding. Satu menit yang terasa lama baginya. “Sepertinya Papamu tidak datang malam ini, Nak,” ucap Kanaya sambil menatap perutnya. Kanaya mengerti jika Bastian akan sulit untuk datang menemaninya malam ini. Bastian mungkin lelah setelah acara hari ini. Atau mungkin istri pertama suami sirinya itu tidak mengijinkannya pergi. Namun begitu, ada rasa kecewa terselip di hatinya, terlebih karena ia sudah terlanjur berharap. “Non, belum tidur? Mau bibi bikinin susu?” tanya Sifa yang baru selesai membereskan urusan dapur. Semenjak hamil besar, Kanaya jarang tidur hingga larut malam. Biasanya sebelum jam 9 dia sudah masuk ke dalam kamar. “Nggak us
Iris mata Kanaya bergerak memperhatikan wajah Bastian. Kapan dia datang? Kenapa aku tidak mendengar suara mobilnya? Batin Kanaya, yang belum lama memejamkan mata. Di sampingnya pria yang ditunggunya itu tengah berbaring menatapnya. Wajah tampannya terkejut melihat ia membuka mata. “Naya, aku membangunkanmu?” tanya Bastian dengan alis terangkat. Kanaya tidak menjawab. Ia menatap Bastian sambil berkedip beberapa kali, memastikan ia tidak sedang bermimpi. Setelah pikirannya jernih dan yakin ia sedang tidak bermimpi, Kanaya mengangkat tangannya menyentuh wajah Bastian. “Bapak datang,” gumamnya pelan dengan suara berbisik. Tidak terdengar nada protes dari suaranya. “Maaf, aku datang terlambat,” ucap Bastian sambil bergeser mendekat, mempererat rangkulan pinggangnya. Ia menyatukan kening mereka, sehingga hidung mereka bersentuhan. Jari-jari tangan Kanaya bermain dengan pipi dan garis rahang Bastian, menelusuri sisi wajah pria itu. “Yang penting Bapak di sini,” balas Kanaya sambil t
Kanaya berbaring di atas ranjang dengan menyamping. Nafasnya masih menderu. Namun wajahnya tampak sumringah dan bibirnya melengkung menggambar senyum. Tubuhnya masih meremang akibat hantaman kenikmatan yang ia rasakan beberapa saat yang lalu. Tidak jauh berbeda, pria di sampingnya pun tersenyum lebar dengan nafas yang masih menderu dan tubuh yang berpeluh. Bastian memutar tubuhnya menyamping menghadap Kanaya dan dikecupnya pucuk kepalanya. Kanaya mendongak saat Bastian menyugar rambutnya ke belakang. Bastian menggunakan kesemoatan itu untuk mencuri kecipan di bibir Kanaya. Dan mereka berdua tertawa kecil. “Luar biasa. Selalu saja menggigit,” goda Bastian sambil mengedipkan sebelah mata. “Menggigit apa sih Pak?” Pipi Kanaya bersemu merah dan ia mencubit dada bidang Bastian karena selalu saja menggodanya seperti itu. “Menggigit enak…” Bastian terkekeh sembari menarik tubuh Kanaya mendekat. Untuk beberapa saat mereka tetap dalam posisi itu, meredakan sensasi yang baru
“Naya, apa Elsie mengancammu?” tanya Bastian sambil memegang lengan Kanaya. Kanaya meringis, karena tanpa sadar Bastian memegang lengannya terlalu keras.“Maaf, maaf sayang,” ucap Bastian dengan refleks mengelus lengan yang ia cengkeram dengan tidak sengaja. Ia terlalu antusias dan penasaran, sehingga tidak menyadari kekuatan yang ia gunakan saat memegang Kanaya.“Tidak apa,” ucap Kanaya. Ia tahu Bastian tidak sengaja melakukan hal itu.“Katakan, apa Elsie mengancammu saat itu? ” Bastian kembali mendesak Kanaya bicara.Kanaya mengerutkan keningnya, merasa heran mengapa Bastian menanyakan hal itu. Padahal kejadiannya sudah beberapa bulan yang lalu.“Yang penting Naya tidak apa-apa Pak. Tidak perlu di—”“Naya, aku perlu tahu. Apa yang dia katakan saat itu?” Bastian memotong ucapan Kanaya memintanya untuk mengingat kembali apa yang Elsie katakan.Kanaya menghembuskan nafas. Ia tidak ingin mengadu, tetapi karena Bastian bertanya, ia terpaksa mengatakan apa yang terjadi saat itu.“Ya, sep
Rosa berjalan dengan gugup mengikuti Ezra memasuki sebuah restoran. Ia menerka-nerka mengapa Ezra membawanya ke sini.Ezra adalah asisten sekaligus tangan kanan Bastian. Jadi sudah dipastikan jika Bastian yang menyuruh mereka menjemputnya, dan bukan Elsie.Lagipula, Elsie pasti akan memberitahu jika ia menyuruh seseorang untuk menjemputnya.Akan tetapi Rosa tidak tahu mengapa Bastian ingin bertemu dengannya. Apakah karena kejadian kemarin di acara Baby shower anak Bastian? Rosa ada di sana saat Elsie mendorong Kanaya hingga terjatuh. Apakah Bastian hendak menanyainya mengenai hal itu?Dan sialnya lagi, Ezra menyita telepon genggamnya sebelum ia sempat memberitahu Elsie mengenai hal ini. Bagaimana ia bisa meminta bantuan Elsie?Ezra membuka pintu sebuah private room dan mereka masuk ke dalam.Saat masuk ke dalam, hal pertama yang Rosa rasakan adalah bau asap rokok. Ia merasa aneh. Sebab, menurut penuturan Elsie, Bastian hampir tidak pernah merokok semenjak mereka melakukan program ke
Ezra melangkah masuk kembali ke dalam restoran itu setelah ia mengantar Rosa yang ketakutan dan menangis sampai ke depan restoran. Di dalam ruangan private room restoran itu, Bastian duduk terdiam. Ia kembali menghisap sebatang rokok. Ezra tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar pengakuan Rosa. Ia pun tidak menyangka jika istri pertama bosnya yang terlihat baik ternyata terduga dalang dibalik sabotase perawatan Ayunda dan kecelakaan yang menimpa Jay serta menewaskan 4 orang lainnya. Ezra tahu Bosnya itu pasti sedang bingung. Bagaimanapun Elsie adalah istrinya. Ezra berdeham. “Apa Bos membutuhkan sesuatu?” tanya Ezra dengan hati-hati. Bastian melirik padanya. Ia mengetuk rokoknya ke tepi asbak dan mengebulkan asap dari mulutnya. Bastian merubah posisi duduknya dari bersandar di kursi, menjadi serong ke arah meja dan meletakkan kedua sikunya di meja. “Pengemudi truk itu. Kamu dapat sesuatu darinya?” tanya Bastian sambil melirik asistennya yang berdiri di seberang meja. “
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un