Iris mata Kanaya bergerak memperhatikan wajah Bastian. Kapan dia datang? Kenapa aku tidak mendengar suara mobilnya? Batin Kanaya, yang belum lama memejamkan mata. Di sampingnya pria yang ditunggunya itu tengah berbaring menatapnya. Wajah tampannya terkejut melihat ia membuka mata. “Naya, aku membangunkanmu?” tanya Bastian dengan alis terangkat. Kanaya tidak menjawab. Ia menatap Bastian sambil berkedip beberapa kali, memastikan ia tidak sedang bermimpi. Setelah pikirannya jernih dan yakin ia sedang tidak bermimpi, Kanaya mengangkat tangannya menyentuh wajah Bastian. “Bapak datang,” gumamnya pelan dengan suara berbisik. Tidak terdengar nada protes dari suaranya. “Maaf, aku datang terlambat,” ucap Bastian sambil bergeser mendekat, mempererat rangkulan pinggangnya. Ia menyatukan kening mereka, sehingga hidung mereka bersentuhan. Jari-jari tangan Kanaya bermain dengan pipi dan garis rahang Bastian, menelusuri sisi wajah pria itu. “Yang penting Bapak di sini,” balas Kanaya sambil t
Kanaya berbaring di atas ranjang dengan menyamping. Nafasnya masih menderu. Namun wajahnya tampak sumringah dan bibirnya melengkung menggambar senyum. Tubuhnya masih meremang akibat hantaman kenikmatan yang ia rasakan beberapa saat yang lalu. Tidak jauh berbeda, pria di sampingnya pun tersenyum lebar dengan nafas yang masih menderu dan tubuh yang berpeluh. Bastian memutar tubuhnya menyamping menghadap Kanaya dan dikecupnya pucuk kepalanya. Kanaya mendongak saat Bastian menyugar rambutnya ke belakang. Bastian menggunakan kesemoatan itu untuk mencuri kecipan di bibir Kanaya. Dan mereka berdua tertawa kecil. “Luar biasa. Selalu saja menggigit,” goda Bastian sambil mengedipkan sebelah mata. “Menggigit apa sih Pak?” Pipi Kanaya bersemu merah dan ia mencubit dada bidang Bastian karena selalu saja menggodanya seperti itu. “Menggigit enak…” Bastian terkekeh sembari menarik tubuh Kanaya mendekat. Untuk beberapa saat mereka tetap dalam posisi itu, meredakan sensasi yang baru
“Naya, apa Elsie mengancammu?” tanya Bastian sambil memegang lengan Kanaya. Kanaya meringis, karena tanpa sadar Bastian memegang lengannya terlalu keras.“Maaf, maaf sayang,” ucap Bastian dengan refleks mengelus lengan yang ia cengkeram dengan tidak sengaja. Ia terlalu antusias dan penasaran, sehingga tidak menyadari kekuatan yang ia gunakan saat memegang Kanaya.“Tidak apa,” ucap Kanaya. Ia tahu Bastian tidak sengaja melakukan hal itu.“Katakan, apa Elsie mengancammu saat itu? ” Bastian kembali mendesak Kanaya bicara.Kanaya mengerutkan keningnya, merasa heran mengapa Bastian menanyakan hal itu. Padahal kejadiannya sudah beberapa bulan yang lalu.“Yang penting Naya tidak apa-apa Pak. Tidak perlu di—”“Naya, aku perlu tahu. Apa yang dia katakan saat itu?” Bastian memotong ucapan Kanaya memintanya untuk mengingat kembali apa yang Elsie katakan.Kanaya menghembuskan nafas. Ia tidak ingin mengadu, tetapi karena Bastian bertanya, ia terpaksa mengatakan apa yang terjadi saat itu.“Ya, sep
Rosa berjalan dengan gugup mengikuti Ezra memasuki sebuah restoran. Ia menerka-nerka mengapa Ezra membawanya ke sini.Ezra adalah asisten sekaligus tangan kanan Bastian. Jadi sudah dipastikan jika Bastian yang menyuruh mereka menjemputnya, dan bukan Elsie.Lagipula, Elsie pasti akan memberitahu jika ia menyuruh seseorang untuk menjemputnya.Akan tetapi Rosa tidak tahu mengapa Bastian ingin bertemu dengannya. Apakah karena kejadian kemarin di acara Baby shower anak Bastian? Rosa ada di sana saat Elsie mendorong Kanaya hingga terjatuh. Apakah Bastian hendak menanyainya mengenai hal itu?Dan sialnya lagi, Ezra menyita telepon genggamnya sebelum ia sempat memberitahu Elsie mengenai hal ini. Bagaimana ia bisa meminta bantuan Elsie?Ezra membuka pintu sebuah private room dan mereka masuk ke dalam.Saat masuk ke dalam, hal pertama yang Rosa rasakan adalah bau asap rokok. Ia merasa aneh. Sebab, menurut penuturan Elsie, Bastian hampir tidak pernah merokok semenjak mereka melakukan program ke
Ezra melangkah masuk kembali ke dalam restoran itu setelah ia mengantar Rosa yang ketakutan dan menangis sampai ke depan restoran. Di dalam ruangan private room restoran itu, Bastian duduk terdiam. Ia kembali menghisap sebatang rokok. Ezra tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar pengakuan Rosa. Ia pun tidak menyangka jika istri pertama bosnya yang terlihat baik ternyata terduga dalang dibalik sabotase perawatan Ayunda dan kecelakaan yang menimpa Jay serta menewaskan 4 orang lainnya. Ezra tahu Bosnya itu pasti sedang bingung. Bagaimanapun Elsie adalah istrinya. Ezra berdeham. “Apa Bos membutuhkan sesuatu?” tanya Ezra dengan hati-hati. Bastian melirik padanya. Ia mengetuk rokoknya ke tepi asbak dan mengebulkan asap dari mulutnya. Bastian merubah posisi duduknya dari bersandar di kursi, menjadi serong ke arah meja dan meletakkan kedua sikunya di meja. “Pengemudi truk itu. Kamu dapat sesuatu darinya?” tanya Bastian sambil melirik asistennya yang berdiri di seberang meja. “
Bastian berada di dalam mobil itu beberapa saat lamanya. Pesan singkat dari Ezra menambah bukti baru keterlibatan Elsie menyabotase perawatan Ayunda. Ia menatap rumah bertingkat yang ia bangun tiga tahun yang lalu sebagai rumah pernikahan mereka. Tidak ada yang keluar menyambutnya sore itu karena mobil Ferari GTB 296 itu memang nyaris tidak bersuara sehingga tidak ada yang menyadari kedatangannya. Bahkan saat ia akhirnya masuk ke dalam rumah, tudak ada yang menyadari kedatangannya. Di dalam rumah, Elsie sedang memarahi salah satu ART. Beberapa ART juga berdiri di sana. Mereka semua terdiam, tidak ada yang berani mengatakan sesuatu. Bukan kali pertama Elsie seperti ini. Ia kerap memarahi ART di rumah itu, terlebih saat Bastian tidak ada di rumah. Lagipula dialah sang nyonya rumah. “Saus apa ini? Kenapa rasanya seperti ini? Kalau tidak becus bekerja, pergi sana! Tidak usah kerja di sini!” “Maaf Bu Elsie, nanti akan saya perhatikan. Tolong beri Nanda kesempatan lagi.” Citra, ART
Elsie terkejut. Bagaimana Bastian bisa mengetahuinya?Bastian menarik nafas dalam, terlihat sekali ia kecewa pada istrinya itu.“Kita sudah sepakat bahwa kamu tidak akan mengganggu dia lagi. Dan bahkan sehari sebelumnya kamu sudah berjanji padaku! Kenapa kamu tetap melakukan hal itu?” suara Bastian bergetar karena menahan rasa yang berkecamuk. Ia masih menahan diri untuk tidak membuka senua yang ia ketahui, berharap istrinya itu masih mau berkata jujur.Namun Elsie adalah Elsie. Ia menduga Bastian hanya mengetahui kejadian saat ia melabrak Kanaya di rumah sakit, dan bukan hal lainnya. Ia menduga Ezra mungkin melihat kejadian itu. “Bas… aku melakukan itu karena aku kecewa, kesal dan marah sama kamu. Kamu sudah melanggar kesepakatan kita untuk tidak bertemu dengannya! Tapi kenyataannya, kamu justru menemui dia di rumah!” Kembali Elsie playing victim.Bastian menggeleng dan tersenyum mencibir. “Kita sudah membahas hal itu. Kanaya yang menemuiku karena dia tidak bisa menghubungiku. Dan
“Pak Bas,” panggil Kanaya. Ia menepuk pipi Bastian perlahan untuk membangunkannya Kedua mata Bastian terpejam. Ia tidur sambil memeluk maternity pillow milik Kanaya. Kanaya sendiri sudah bangun sejak tadi. Ia bahkan sudah menyiapkan sarapan pagi untuk Bastian. Namun sampai ia selesai memasak, pria berwajah tampan itu belum juga bangun. “Pa Bas…” Kanaya mendekatkan wajah. Ia tersenyum melihat wajah Bastian dari dekat. Tulang rahang yang kokoh, hidung yang mancung, alis tebal serta bulu mata Bastian yang juga hitam tebal semakin terlihat kontras dengan kulit wajah Bastian yang bersih. Kanaya hendak memencet hidung pria itu, saat tiba-tiba sepasang tangan kokoh melingkari pinggangnya dan tubuh Bastian merapat. “Aah!” Kanaya memekik terkejut, lantas tertawa kecil menyadari ulah Bastian. Bastian tersenyum dengan mata terpejam. Wajahnya merapat ke perut Kanaya dan mendaratkan kecupan di sana. “Apa kabar sayang?” ucapnya diantara kecupan-kecupan kecil. Kanaya tertawa dan me
“Saya menyatakan keberatan, Yang Mulia. Saudara kuasa hukum penggugat belum mendaftarkan saksi tersebut dalam berita acara, sehingga sebaiknya tidak dihadirkan dalam sidang hari ini.” Chandra berusaha menghalangi siapa pun saksi yang dimiliki tim kuasa hukum penggugat untuk bersaksi. Ia mempunyai fisrasat jika saksi ini akan bisa mementahkan sangkalan Elsie baru saja.Dan jika hal itu terjadi, pihaknya akan dipastikan kalah dalam persidangan itu, dan Elsie bisa dikenakan pasal yang menjeratnya dalam kesaksian palsu.Belum lagi kredibilitas firma hukum miliknya yang akan dipertaruhkan jika ia kalah lagi dalam kasus ini. Ditambah lagi, kasus ini telah menarik begitu banyak atensi publik.Akan tetapi Adnan tidak mau menyerah begitu saja. “Yang Mulia, kedua saksi ini memang belum kami daftarkan dalam berita acara. Namun saya yakin bahwa saksi-saksi ini bisa memberikan titik terang terhadap kasus ini. Kami harap Yang Mulia bisa memberikan ijin.”Dua saksi? Kanaya dan Bastian saling berad
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s