Bastian baru saja menurunkan kakinya di halaman Sunnyside Estate, saat pintu depan rumah itu terbuka. Dan tidak seperti biasanya, Elsie kali ini yang membukakan pintu.Bastian sampai menampakkan keheranannya melihat istrinya itu berdiri diantara daun pintu.“Elsie, apa kamu menunggu sesuatu?” tanya Bastian sambil melangkah mendekat. Dulu, saat awal menikah, Elsie memang kerap menunggunya pulang kantor dan membukakan pintu untuknya. Namun beberapa waktu belakangan, Elsie tidak pernah lagi melakukannya. Dan Bastian tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi Sunnyside Estate sangat luas, sehingga Elsie tidak selalu mengetahui saat ia datang. Bastian sangat maklum.“Kamu sayang. Tentu aku menunggu kamu! Memang siapa lagi?” jawab Elsie sambil menghamburkan diri ke pelukan Bastian.Bastian tersenyum meski ia merasa heran. Apakah ada sesuatu yang diinginkan istrinya itu? Sejak dulu Bastian tidak pernah berpikiran macam-macam pada Elsie, namun sejak ia memergoki Elsie beberapa kali terbukti
“Di mana mereka di temukan?” tanya Bastian penasaran. Sebab sudah berhari-hari Jay mencari mereka, tetapi baru hari ini Jay bisa menemukan mereka.“Di sebuah rumah kontrakan di daerah Kreta,” jawab Ezra menyebut nama suatu daerah di pinggiran kota, sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota Emerald.“Jay dan anak buahnya masih ada di sana saat ini, Bos,” tambah Ezra.“Apa mereka sudah mengatakan sesuatu? Siapa yang menyuruh mereka?” Bastian lanjut bertanya. Ia ingin tahu siapa yang berani mengusik dan melawan perintahnya, bahkan sengaja menghalangi perawatan Ayunda yang bisa berakibat sangat fatal pada kondisi kesehatannya.“Jay masih menginterogasi mereka. Ia tadi mengatakan jika ia belum mendapatkan pengakuan keduanya. Mereka masih bersikukuh mengatakan tidak mengerti apa-apa.”“Jay juga mengatakan jika mereka menemukan uang tunai sejumlah 900 juta di rumah itu, jadi sangat besar kemungkinannya jika seseorang baru saja membayar mereka.m, memberi mereka uang itu.” Ezra terdengar ger
Di daerah Kreta, di pinggiran Emerald City, Jay dan beberapa orang anak buahnya sedang berdiri mengelilingi Alex. Alex duduk dengan kedua tangan terikat ke belakang. Ia hanya sendirian dihadapan pria-pria berbadan tegap itu. Tyo berada di dalam kamar lain, dipisahkan darinya.“Aku tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kalian harus melepaskan kami, atau aku bersumpah akan menuntut kalian!” Alex menggertak Jay dan anak buahnya. Ia bersikeras tidak mengakui perbuatan yang mereka tuduhkkan padanya. Jay tertawa. “Menuntut kami? Apa kamu tahu sedang berurusan dengan siapa?” Jay balik bertanya dengan ekspresi wajah geli terhadap pernyataan Alex itu.Ia lalu membentangkan beberapa kertas persis di depan wajah Alex.“Anda lihat ini! Ini semua tanda tangan anda, Direktur Alex. Anda menganulir semua perawatan yang harusnya diberikan kepada Ibu Ayunda setelah kepindahan Dokter Ridwan. Di mana hati nurani anda saat anda mempersulit seorang pasien untuk mendapatkan haknya?”“Tidak hanya itu. Sete
“Bapak Jaiz sudah sadarkan diri. Meskipun masih lemah, tetapi kondisinya sudah mulai stabil. Untuk 1x24 jam kedepan, kami masih harus melakukan observasi untuk memastikan kondisinya tetap stabil.”Dokter jaga IGD rumah sakit ERC itu memberikan penjelasan kepada Bastian terkait kondisi Jay. Bastian sedang dalam perjalanan ketika mendengar berita kecelakaan yang menimpa mobil yang ditumpangi Jay bersama kedua anak buahnya serta Alex dan Tyo.Ia langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan mereka. Ia bahkan menunggu di rumah sakit untuk mengetahui perkembangan kondisi mereka, sementara Ezra mengurus kejadian kecelakaan itu.“Tolong lakukan yang terbaik untuknya,” ucap Bastian yang merasa sedih dan geram dengan apa yang terjadi.Jay sudah sering kali bekerja untuknya. Bastian telah menggunakan jasa sekuritas milik Jay itu sejak ia mengambil alih kepemimpinan perusahaan keluarga empat tahun yang lalu. Dan ia mengenal Jay cukup baik.“Pasti Pak Bastian. Kami akan lakukan yang terbai
Saat Bastian terbangun pagi itu, Kanaya sudah tidak ada di sampingnya. Matahari sudah tinggi, dan saat ia melihat jam di dinding, ia langsung beranjak dengan bergegas. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan dan ia baru saja bangun. Padahal, ia masih harus bekerja pagi itu.Setelah selesai mandi, Bastian menemukan Kanaya tengah sibuk di dapur. Ia sebenarnya ingin langsung pergi bekerja. Namun saat mencium wangi lezat dari dapur, langkah kakinya terhenti.“Duduk Pak Bas, ini baru saja matang,” ucap Kanaya sambil meletakkan sepiring pancake dengan toping buah dan simple syrup ke atas meja makan.Saat bangun tadi ia melihat Bastian begitu pulas tertidur. Bahkan saat ia melepaskan diri dari pelukan Bastian, suami sirinya itu tidak terbangun. Dan melihat Bastian yang kelelahan seperti itu, ia memutuskan untuk membuatkan sarapan pagi yang mudah untuknya. “Kelihatannya lezat,” ucap Bastian sambil menarik kursi dan duduk di hadapan piring itu.“Coba dulu,” ucap Kanaya sambil meletakkan seca
Bastian sedang menghadiri rapat di gedung kantornya saat layar telepon genggam pribadi miliknya menyala. Bastian jarang sekali menerima panggilan telepon saat ia tengah berada di dalam ruangan rapat. Ia bahkan membalikkan layar telepon genggamnya ke bawah, agar motifikasi yang muncul tidak mengganggu fokus dan jalannya rapat.Namun kali ini telepon genggamnya itu terus menyala sehingga membuatnya penasaran. Siapa yang menghubunginya?Bastian membalikkan layar telepon genggamnya itu dan menemukan nama Ardyan terpampang di sana.“Sebentar, saya harus terima ini,” ucap Bastian tidak seperti biasanya ia menghentikan sementara jalannya rapat. Ia pun beranjak berdiri sembari membawa telepon genggamnya menuju pintu keluar ruangan itu. “Halo?” “Bas, kita berhasil mendapatkannya!” terdengar seruan kegembiraan dari sahabatnya itu.“Mendapatkan?” Bastian belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Ardyan. Apa yang mereka dapatkan?“Jantung, Bas! Donor jantung!” seru Ardyan dengan bersuka cita.“
Di depan ruangan operasi, Kanaya duduk menunggu jalannya operasi transplantasi jantung yang dilakukan oleh Dokter Nathan dan timnya. Operasi dilakukan begitu ERC menerima organ jantung itu setelah menunggu pengiriman organ dari Jepang, di mana letak donor organ itu berasal. Proses pengiriman organ itu berlangsung relatif cepat dengan menggunakan transportasi udara. Penerbangan yang seharusnya memakan waktu tujuh jam, di percepat dengan menggunakan pesawat jet pribadi dan helikopter sehingga bisa sampai hanya dalam waktu 5 jam saja. Kanaya menunggu dengan gelisah. Ia melirik jam tangannya dan beranjak dari duduknya. Ia berjalan mondar-mandir sambil sesekali melirik ke arah pintu ruangan operasi. Saat itu hampir jam 11 malam, dan Kanaya sudah menunggu selama lebih dari 3 jam lamanya. Namun operasi belum juga selesai. Dokter Nathan mengatakan jika operasi besar seperti itu bisa berlangsung cukup lama antara 3 sampai 5 jam, tergantung dari kondisi setiap pasien. Bastian data
“Apa yang kamu dapat?” tanya Bastian sambil ia melipat tangan di depan dada, menghalau dinginnya malam. “Di kantor polisi orang itu telah mengakui kesalahannya dan ia rela dihukum atas perbuatannya.” Bastian menatik nafas mendengar penjelasan Ezra. Orang itu terlalu mudah mengaku salah. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Kamu sudah cek semua yang kuperintahkan?” Ezra mengangguk. “Sudah Bos. Namanya Wanto. Di sudah menikah, punya seorang anak dan istrinya sedang mengandung.” Bastian mendengarkan dengan seksama. “Saya juga sudah mengecek latar belakangnya. Dia tidak pernah ikut dalam organisasi terlarang atau perkumpulan yang berbahaya. Kelihatannya hidupnya biasa dan lurus-lurus saja.” “Dia sudah bekerja sebagai supir truk selama 5 tahun. Tidak ada yang mencurigakan. Keluarganya hidup pas-pasan dan ia tidak pernah menyebabkan masalah di lingkungan tempatnya tinggal,” tutur Ezra. Sampai di sini Bastian mengerutkan keningnya dengan ragu. Apa ia telah salah menilai keadaan?
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un