Mendengar itu, Karina semakin pucat. Seolah-olah seluruh darah di tubuhnya telah terkuras habis.'Apa yang barusan dia katakan?''Menjadi wanitanya?'Yang muncul di benak Karina saat ini adalah pria di depannya ini sudah gila!"Nggak mungkin!" Karina langsung menolak tanpa berpikir panjang.Penolakan itu tentu saja membuat Rafael kesal lagi. Sorot matanya meredup dan mengancamnya dengan suara rendah, "Ulangi lagi perkataanmu kalau kamu berani."Karina merasa takut, tetapi dia memaksakan dirinya untuk menatap Rafael dan berkata, "Maaf, aku nggak berniat menjadi wanita simpananmu.""Oh?" Sorot mata Rafael terlihat sangat serius. "Apa kamu yakin?" tanyanyaKarina mengangguk dengan serius dan membalas, "Aku yakin."Setelah mengatakan itu, Rafael melepaskannya. Karina pun merasa lega, dia segera membungkus tubuhnya dengan selimut tipis dan menjauh dari Rafael. Dia takut Rafael akan melakukan sesuatu yang mengejutkannya lagi.Karina buru-buru mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. D
Wajah Karina pucat pasi. Matanya yang sedang menatap Rafael itu memancarkan rasa takutnya. "Kenapa harus aku?" tanyanya.Dengan status yang dimiliki Rafael, wanita seperti apa pun bisa dia dapatkan, tetapi mengapa Rafael bersikeras memilihnya?Rafael berjalan ke depan Karina, lalu menyelipkan rambut Karina yang berantakan ke belakang telinga dan berkata sambil tersenyum, "Karena kamu membenciku."Karena tertegun. 'Alasan macam apa ini? Karena aku membencinya, dia ingin aku menjadi wanitanya? Apa dia seorang masokis, suka dengan wanita yang nggak suka padanya?'"Aku butuh seorang wanita yang nggak akan pernah jatuh cinta padaku, tapi bisa membantuku menghalangi para wanita lain yang terus mengangguku."Tidak heran Karina seorang mahasiswa berprestasi, dia segera mengerti maksud Rafael. "Kamu ingin aku berakting denganmu?" tanyanya."Benar."Setelah mengetahui hanya untuk sandiwara, Karina menghela napas lega."Kenapa kamu nggak cari aktris saja? Kemampuan akting mereka pasti lebih bagus
Karina langsung meringkuk ketakutan, gemetar, sepasang matanya membelalak. "Aku ... aku nggak bisa ganti pakaian kalau kamu di sini," gumamnya."Aku sudah melihat seluruh tubuhmu, apa yang kamu takutkan?" cibir Rafael.Begitu mendengar ucapan itu, Karina hampir saja ingin melempar bantal ke Rafael. 'Pria ini sungguh nggak tahu malu! Kita nggak ada hubungan apa pun, apa haknya melihat tubuhku?'Karina memelototi Rafael. Dia sudah memutuskan, selama Rafael tidak keluar, dia juga tidak akan beranjak dari kasur. Lihat saja siapa yang bisa bertahan lebih lama.Kenyataan telah membuktikan, Rafael yang menyerah duluan. Dia masih ada banyak urusan yang harus ditangani, jadi tidak punya waktu untuk menemani Karina buang-buang waktu di sini. "Jangan lama-lama," ujar Rafael.'Nggak perlu disuruh pun aku nggak berlama-lama!'Karina menggertakkan gigi, dia amat sangat membenci Rafael. Bukankah Rafael dikenal sebagai seorang pebisnis yang tidak banyak bicara dan tersenyum? Mengapa Rafael begitu tida
Rafael langsung berdiri setelah mendengar kata-kata itu. Dia menghalangi jalan Karina, mengangkat dagunya dan berkata, "Kita sudah ada perjanjian, kamu berani nggak mendengarkanku?"'Aku nggak pernah setuju!'Karina ingin meneriaki Rafael seperti itu, tetapi mengingat kekuatan Rafael, lebih baik menahan diri. Dia membuang muka dan berkata dengan datar, "Aku nggak berani."Bibir Rafael sedikit melengkung, dia merapikan rambut Karina yang sedikit berantakan, "Kamu pulanglah, ingat untuk segera datang begitu aku panggil."Setelah itu, Rafael duduk kembali dan dengan perlahan menikmati sarapannya.'Kenapa ada pria yang begitu arogan dan nggak masuk akal seperti dia?' Karina memelototi Rafael dengan tajam. Begitu dia berjalan ke pintu, Rafael menambahkan, "Jangan memelototiku di hadapanku."Karina dipenuhi dengan kebencian hingga dia hampir berdarah. Dia melontarkan kata-kata satu per satu, "Aku tahu!"Saat Karina keluar dari pintu, di luar masih gerimis. Untungnya, angin topan yang bersing
"Pak Neo," panggil Karina dengan takut-takut sambil menatap wajah Neo yang terlihat masam.Neo yang sedang membaca dokumen mengangkat kepalanya, menatap Karina dengan ekspresi dingin dan berkata, "Kemarin kamu ke mana?""Kemarin ... aku ...." Karina terus menarik-narik ujung bajunya, seperti anak SD yang telah melakukan kesalahan, jadi tidak berani mengangkat kepalanya.Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak mungkin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Rafael, tetapi dia juga tidak mau berbohong kepada Neo lagi. Alhasil, dia hanya bisa memilih untuk diam.Melihat Karina tidak berbicara, kekecewaan melintas di mata Neo. "Lupakan saja kalau kamu nggak ingin mengatakannya," ujarnya dengan nada datar.Karina langsung panik begitu mendengar itu. "Bukan begitu, aku hanya pergi menangani beberapa masalah pribadi.""Masalah pribadi?""Ya." Karina mengangguk beberapa kali. 'Perjanjian dengan Rafael seharusnya termasuk masalah pribadi, 'kan?'Neo masih curiga dan lanjut be
Safira dari tadi masih menunggu di luar. Dia ternganga begitu melihat tumpukan dokumen yang dibawa Karina."Pak Neo menganggapmu robot, ya? Tega sekali dia!" teriak Safira ke arah ruang kantor."Ssst, kecilkan suaramu," ujar Karina sambil meletakkan telunjuk di bibirnya.Safira cemberut, tetapi tidak bisa menahan diri untuk kepo, "Pak Neo nggak memarahi Anda, kan?"Karina menggelengkan kepalanya dan berkata, "Nggak, dia hanya tanya kenapa aku nggak kembali ke asrama semalam dan menyuruhku lebih hat-hati saat sendirian.""Serius, cuma itu?" Safira tampak sangat tidak percaya.Karina tertegun, bertanya dengan penasaran, "Ada apa?"Safira melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang di sekitar dan kemudian berbisik, "Kamu nggak tahu betapa mengerikan wajah Pak Neo ketika dia tahu nggak kembali ke asrama. Sekujur tubuhnya seperti memancarkan aura jangan ada yang mengganggunya. Setiap orang yang masuk ke ruang kantornya pasti akan dimarahinya habis-habisan. Hari ini, Yani bahkan hampir me
Ada dua kejadian terjadi bersamaan.Karina yang khawatir kejadian itu akan terungkap dan Jonny ketakutan karena tiba-tiba dipanggil Rafael."Tuan Jonny, silakan masuk," ujar Jeremy Harun, kepala sekretaris Rafael, dengan sopan.Jonny merasakan firasat buruk sejak dia menerima telepon Rafael pagi ini. Sambil mempertahankan senyumnya, dia bertanya, "Jeremy, kenapa Rafael mencariku?"Jeremy mengangkat kacamatanya, kelihaian terpancar dari matanya. Dia tersenyum kecil dan berkata, "Bagaimana mungkin kita, bawahannya, bisa menebak apa yang dipikirkan Tuan Rafael, bukan? Tapi, kalau Tuan Jonny masih ingin berhubungan baik dengannya, lebih baik jangan sembunyikan apa pun darinya."Ekspresi Jonny seketika berubah begitu mendengar perkataan itu. Dia masih menatap Jeremy yang masih tersenyum licik dan tahu tidak akan bisa mendapatkan informasi apa pun darinya.Jonny dengan gugup mengencangkan dasinya, lalu membuka pintu dan masuk.Rafael duduk di kursi, memandangi hujan di luar jendela, tenggela
Di sebuah kafe yang sepi."Yani, apa sebenarnya maumu?" tanya Karina dengan pucat.Yani yang duduk di seberangnya sedang memainkan kuku merahnya dan berkata dengan perlahan, "Itu pertanyaanku. Setelah melakukan hal yang kotor seperti itu, berapa lama lagi kamu ingin membohongi Pak Neo?""Aku sudah berbohong apa pada Pak Neo?" tanya balik Karina dengan dingin.Karina sebenarnya sangat gugup, tetapi dia berusaha tetap terlihat tenang di depan Yani. Dia ingin tahu seberapa banyak Yani tahu tentang kejadian itu.Yani menyipitkan matanya, menatap lurus Karina dan berkata, "Kamu pura-pura nggak ingat apa yang terjadi di hotel hari itu? Kamu sudah melakukannya, kenapa nggak berani mengakuinya?""Aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan." Karina buang muka dan pura-pura tidak tahu.Melihat Karina tidak mau mengakuinya, Yani mulai sedikit kesal. "Sebaiknya kamu mengaku sendiri kepada Pak Neo, kalau nggak, aku nggak akan keberatan menyebarkan kejadian itu di forum kampus."Karina langsung menatap