Arletta duduk di kursi kerjanya sambil melamun dengan sorot mata lemah, lurus menatap ke depan. Jutaan hal mengusik pikirannya. Arletta ingin sekali hidup tenang, tapi alih-alih mendapatkan ketenangan, malah mendapatkan beban berat dalam pikiran.Jika bukan karena Arletta membutuhkan uang demi Keanu, maka pasti dia memilih untuk mengundurkan diri dari perusahaan milik Keevan ini. Hidup Arletta merasa sudah sangat amat tersiksa. Wanita itu lelah selalu melihat Keevan. Ingin dia berlari pergi, tapi semua itu adalah hal yang tidak mungkin. Bagaimanapun, Arletta memiliki tanggung jawab yang besar.Arletta mengembuskan napas kesal. “Harusnya kamu mati saja,” gumannya pelan.“Siapa yang mati, Arletta?” Rima—rekan kerja Arletta—menyapa Arletta yang terlihat kesal. “Ah nggak apa-apa. Aku hanya sedikit sakit kepala saja,” ucap Arletta yang berdusta. Dia tidak mungkin menceritakan pada Rima tentang dirinya dan Keevan. Selama ini tidak ada yang tahu tentang kehidupan pribadi Arletta. Wanita it
Arletta tak memiliki pilihan lain selain ikut dalam family gathering yang diadakan oleh perusahaan milik Keevan—tempat di mana dirinya bekerja. Sudah satu minggu ini Arletta berjuang untuk meminta keadilan. Pasalnya pemotongan gaji lima puluh persen bagi yang tak ikut family gathering adalah berat. Apalagi untuk Arletta yang sangat membutuhkan uang demi Keanu.Sayangnya perjuangan Arletta adalah sia-sia. Aturan tetap harus berlaku. Hingga Arletta pun terpaksa mau tidak mau harus ikut dalam acara family gathering itu. Andai saja perusahaan di mana dirinya bekerja bukan milik Keevan, maka Arletta akan membawa Keanu.Arletta bagaikan berada di tepi jurang. Jika saja dirinya salah bergerak sedikit saja, dia pasti akan terjatuh. Arletta membenci situasi di mana Keevan melihat Keanu. Semua rencana yang sudah dia niatkan dari awal gagal total. “Mama … Mama …” Keanu berlari menghampiri Arletta yang tengah bersiap-siap ke kantor. Refleks, Arletta pun mengalihkan pandangannya kala mendengar s
“Hmmm…” Arletta menggeliat seraya merentangkan kedua tangannya—merasakan tubuhnya berada di ranjang empuk. Perlahan Arletta mulai mengerjapkan matanya beberapa kali. Bulu mata wanita itu lentik dan cantik—lantas pelupuk mata Arletta mulai terbuka secara pelan.Mata Arletta sudah terbuka. Kesadarannya mulai pulih. Detik di mana kesadarannya pulih—dia langsung terkejut. Raut wajahnya berubah melihat dirinya berada di sebuah kamar megah yang indah.Wajah Arletta memucat akibat kepanikan yang menelusup ke dalam dirinya. Embusan napas wanita itu sudah memberat akibat benaknya mulai muncul hal-hal negative.Buru-buru, Arletta mengalihkan pandangannya ke bawah—melihat tubuhnya sendiri. Embusan napas lega lolos di bibir Arletta. Wanita itu lega tubuhnya masih terbalut oleh pakaian. Sungguh, dia takut sekali. Dia pikir dirinya telah melakukan hal bodoh seperti beberapa tahun lalu.Tunggu! Arletta kembali terdiam. Benaknya berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya sampai membuatnya t
Keevan menyesap wine di tangannya, sambil menatap pemandangan deburan pantai Anyer dari jendela kamarnya. Senyuman samar di wajah Keevan terlukis di kala mengingat Arletta mengamuk karena digendongnya. Itu benar-benar sangatlah konyol. Padahal jelas wanita itu yang tertidur pulas seperti kerbau di mobilnya. Kalau saja Arletta bisa dibanguni, mana mungkin dirinya menggendong wanita itu.Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Keevan mengalihkan pandangannya ke arah pintu—dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam, karena memang pintu kamarnya tak dikunci.“Pak Keevan,” sapa Angga seraya melangkah mendekat ke arah Keevan.Keevan menatap sang asisten. “Ada apa?” tanyanya dingin dengan sorot mata tegas.“Pak, ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan pada Anda,” ucap Angga sambil menundukan kepalanya di hadapan sang asisten.Keevan meletakan gelas berkaki tinggi yang masih berisikan wine ke atas meja. “Katakan, apa yang ingin kamu katakan padaku?” tanyanya lagi
“Siapa yang mengizinkan kalian berduaan malam-malam seperti ini?”Gelegar suara keras dan tegas terselimuti nada yang penuh amarah—membuat Arvin dan Arletta langsung mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu. Seketika mata Arletta melebar kala melihat Keevan berdiri tak jauh darinya dengan memberikan tatapan yang begitu dingin dan tajam.Entah kenapa, jantung Arletta berdebar tak karuan seakan ingin melompat dari tempatnya. Rasa panik dan khawatir melingkupi diri Arletta. Mungkin rasa takut yang muncul dalam diri Arletta, karena dia khawatir Arvin akan berpikir tidak-tidak.Arletta tak peduli pada Keevan. Yang dia pikirkan adalah Arvin berpikir negative. Pertanyaan Arvin saja tadi sudah menjurus ke mana—Arvin mulai berpikir buruk tentangnya. Itu pasti karena banyak sekali staff yang membicarakan Arletta.Arvin terdiam sebentar melihat Keevan ada di hadapannya. Tak dipungkiri, manik mata Arvin memancarkan sedikit rasa kesal. Akan tetapi, Arvin berusaha untuk mengatur perasaann
Sinar matahari begitu terik menyinari bumi. Silaunya sedikit menembus sela-sela jendala kamar Arletta. Tampak pagi itu, Arletta sudah bersiap-siap. Wajah cantiknya selalu tamnpil sempurna, meskipun hanya riasan tipis.Arletta bukan wanita yang menyukai riasan tebal. Pun jika ada acara pesta sangat jarang Arletta mau merias wajah dengan make up bold. Biasanya, wanita itu lebih suka make up flawless. Namun, jika dalam kondisi gaunnya mendukung untuk menggunakan make up bold, maka pasti dia akan menggunakan make up bold. Hanya saja itu sangatlah jarang.Arletta masih berada di Anyer. Masih banyak acara yang diadakan perusahaannya. Sebenarnya, ingin sekali Arletta menghindari acara-acara kantor, namun itu semua tidak mungkin. Dia tidak bisa hanya berdiam diri saja di dalam kamar.Untungnya, besok sudah kembali ke Jakarta. Rasa rindu pada putranya sudah tidak lagi tertahankan. Sejak dulu, memang Arletta tak pernah berpisah dengan putranya. Itu yang membuat dirinya sangat merindukan putra t
Suara seruan meriah terdengar. Para karyawan sudah berkumpul di pantai. Pun Arvin dan Arletta sudah bergabung dengan para karyawan lainnya. Tampak perlombaan sudah dimulai. Begitu banyak perlombaan yang diadakan. Hanya saja perlombaan yang paling konyol yaitu perlombaan balap karung. Suasana meriah. Karyawan yang hadir dalam acara family gathering ini memang dikatakan sangatlah meriah. Arletta sampai tersenyum-senyum melihat para karyawan yang turut serta dalam perlombaan.Bisa dikatakan acara ini memang sangat baik. Acara ini bisa menguatkan hubungan antar para karyawan. Terkadang, Arletta berpikir bahwa dia menyukai cara Keevan dalam memimpin perusahaan. Di balik sifat Keevan yang seperti itu, tapi pria itu tetap memikirkan kesejahteraan karyawannya.Tidak! Buru-buru, Arletta menepis pikirannya. Dia tidak mau berpikir positive tentang Keevan Danuarga. Segala hal tentang pria itu, tidak ada baiknya. Itu yang harus Arletta tanamkan dalam pikirannya.“Arletta, ayo kamu ikutan lomba.
“Akh—” Arletta meringis pelan kala Keevan melepaskan cengkraman tangannya. Kini Arletta berada di kamar Keevan. Bahkan pria itu pun mengunci pintu kamar agar Arletta tidak bisa melarikan diri. Sungguh, Arletta tak mengerti apa tujuan Keevan membawanya ke kamar pria itu.“Apa maumu, Keevan? Kenapa kamu mengurungku di sini?” Arletta berseru dengan nada tinggi. Tatapan Arletta menatap Keevan dengan tatapan yang begitu tajam.“Sejak kapan Merla memperilakukanmu seperti itu, Arletta? Kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku?” Suara Keevan bertanya dengan nada penuh selidik tercampur dengan amarah pria itu. Emosi Keevan tersulut kala Merla menghina Arletta. Pria itu mendengar semua hinaan Merla pada Arletta. Itu yang membuat emosi Keevan terpancing.Senyuman samar di wajah Arletta terlukis mendengar apa yang diucapkan oleh Keevan Danuarga. Ingin rasanya Arletta menertawakan pertanyaan Keevan itu. Padahal jelas pria itu tahu siapa yang menciptakan masalah. Jika bukan karena tindakan tak wara