Setelah teriakan nyaring dari Aska. Beberapa orang masuk kedalam ruang rawat Agni.
Terlihat Aska tengah di gendong oleh seorang pria paruh baya yang Agni perkirakan berusia awal 50-an.
Dibelakang mereka, Rio, Celline, Sherly, Mbok Inem dan seorang wanita paruh baya yang terlihat elegan dan cantik, turut masuk.
Agni ingin bertanya pada Samudera tentang siapa dua tetua ini, tetapi saat dia menoleh ke arah Samudera, pria itu tengah menunjukkan wajah dingin. Sangat dingin. Entah kerena apa.
Untuk itulah Agni mengurungkan niatnya dan hanya diam melihat interaksi Aska dan pria paruh baya itu.
“Tolong turunkan Aska, Kek. Aska mau meluk Bunda.” Pria paruh baya yang dipanggil Kakek oleh Aska, menuruti permintaan bocah lima tahun, dan mendudukkan anak itu di samping Agni.
Sebelum melepaskan Aska, pria paruh baya itu lebih dulu mengusap kepala Aska dengan lembut.
Agni mengangkat sebelah alisnya, saat mendengar panggilan Aska. ‘
Setelah pintu tertutup, Sherly sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Wanita itu langsung mengeluh dengan keras.“Ya ampun, Tha... Lo buat gue sport jantung kemaren. Gue bawa mobil sambil gemetaran,” Sherly meluapkan semua yang ditahannya selama beberapa hari.Agni melepaskan tawa kecil. “Lebay kamu, Sher....”“Lebay gimana, gue serius Tha... Gue takut terjadi apa-apa sama, Lo.”“Memangnya aku kenapa? Bukannya hanya kelelahan dan masuk angin, makanya muntah muntah?” Agni mengertutkan keningnya.Sherly menepuk keningnya. “Masuk angin apanya, Lo keracunan Tha... Keracunan!”Agni semakin mengerutkan keningnya. “Keracunan?”Sherly mengangguk dengan keras. “Iya... Lo keracunan—““Kamu makan cokelat yang sudah kadaluarsa. Karena itu kamu muntah muntah, dan di rawat di sini.” Samudera memotong ucapan Sherly.Dia tidak ing
Beberapa hari berlalu dengan cepat, Agni telah keluar dari Rumah sakit dua hari yang lalu. Dia menjalani perawatan intensif, sampai mengharuskan untuk bed rest. Dan sekarang dia mulai beraktivitas kembali.Jika mengingat percakapannya dengan Samudera beberapa hari tentang rencana pembunuhan yang di lakukan oleh orang-orang suruhan Tasya, Agni merasa sangat geram.Para manusia biadab itu benar-benar tidak punya hati, hingga menargetkan seorang anak kecil.Tangannya terkepal kuat, “Tasya....” Geram Agni.Jika Samudera tidak menahannya, dia mungkin akan mencari wanita itu dan membuat perhitungan dengannya.Tok tok tokSuara ketukan pintu ruangannya, membuat lamunan Agni pecah.“Masuk...”Terlihat Rara melangkah masuk, sambil memegang sebuah map berwarna biru.“Permisi, Mbak...”“Ada apa, Ra?”Rara meletakkan map yang dia pegang ke atas meja Agni. “Saya mau
Kediaman keluarga LorensSarah yang melihat wajah Tasya yang tertekuk, tidak dapat menahan dirinya untuk mengerutkan kening. Saat ini, sepasang ibu dan anak itu tengah duduk santai di ruang keluarga. Dua cangkir teh dan cemilan ikut menemani waktu istirahat mereka.“Gimanaa rencana kamu? Berhasil?”Tasya menggeleng lesu. “Gagal, Mom. Cokelatnya salah sasaran. Bukan anak itu yang makan, tapi Ibunya,” jawab Tasya yang tengah duduk di seberang sofa.Mendengar hal itu Sarah justru mengangkat sebelah alisnya. “Loh, bagus dong. Berarti kamu tidak perlu repot-repot mengotori tangan dengan membunuh wanita itu, kan?”“Tapi dia selamat, Mom. Wanita itu dan putranya baik-baik saja sekarang,” wajah Tasya masih terlihat mendung.“Lalu, Tony? Bukannya kamu minta dia buat jebak wanita itu?” Sarah kembali bertanya saat mengingat rencana cadangan Tasya.Tasya kembali menggeleng. “Zonk..
PLAK!!“Sayang!”“Daddy!”Sarah dan Tasya sama-sama terkejut saat James menampar Tasya. Orang yang paling terkejut sudah pasti Tasya. Seumur hidupnya, ini merupakan pertama kalinya sang ayah berani menamparnya.Selama ini, apapun yang Tasya lakukan, sefatal apapun kesalahannya, James tidak pernah marah apalagi sampai menamparnya. Namun, ini... Tasya tidak percaya dengan apa yang dia lihat.Begitu juga dengan Sarah. Setelah bertahun-tahun bersama, ini adalah pertama kalinya Sarah melihat James semarah ini. Bahkan tubuh suaminya itu sampai bergetar menahan marah.“Apa yang kamu lakukan, James?!” Sarah bertanya dengan nada tinggi.Tasya memegang pipinya, sambil menatap takut kearah ayahnya.James menatap Sarah nyalang. “Apa yang aku lakukan? Kamu tanya apa yang aku lakukan, ha? HARUSNYA KAMU TANYA PADA ANAK KURANG AJAR INI, APA YANG SUDAH DIA LAKUKAN!” James berteriak dengan penuh am
James yang mendengar perkataan Melly, menggebrak meja dengan keras.“Brengsek!!”Pria paruh baya itu lalu, menyambar kunci mobilnya, kemudian bergegas keluar dari ruangan. Dia harus meluruskan semuanya.Apa maksud Samudera sebenarnya? Ini tidak bisa dibiarkan.....Saat sampai di lobby Aditama Corp, tanpa bertanya pada resepsionis, James langsung melangkah ke arah Lift. Namun, dia menghentikan langkahnya saat melihat tubuh tegap Jonatan dan Reinhart menghalangi lift seperti patung selamat datang. Tidak lupa raut dingin dan datar dari mereka berdua.“Minggir!” James sedikit membentak saat Jona tidak mengijinkan dia untuk lewat.“Ada keperluan apa, tuan Lorens?”“Bukan urusan kamu! Minggir. Saya ingin berbicara dengan Samudera.” James kembali berusaha untuk lewat. Namun, lagi-lagi terhalang oleh dua kaki tangan Samudera itu.“Jika kedatangan anda karena pemutusan
“Gawat, pak. Gawat!”Suara panik Melly langsung terdengar begitu James mengangkat telepon.“Gawat apa, Mel?” Tanya James dengan panik.Kali ini bukan lagi suara panik, tapi juga tangisan Melly mulai terdengar.“Mel? Halo, kamu masih di situ, Melly?”“Tamat pak... Kita sudah tamat....” Tangis Melly kembali terdengar setelah hening beberapa saat.“A-apa maksud kamu, Mel? Tamat... Apa yang tamat??” James benar-benar panik mendengar penuturan Melly. “Bicara yang jelas Melly!”Reinhart yang mendengar teriakkan James, menampilkan raut bosan dan membuat gerakan membersihkan kuping. “Ck, berisik.”James tidak menghiraukan decakan Reinhart, dia terus memasang telinga, mendengar suara Melly yang terus saja terisak sejak tadi.“Kembali ke kantor, pak... A-ada polisi di sini,” Melly kembali terisak.“Po-polisi? Apa maksud kam
Tasya melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kantor Samudera menjadi tujuannya. Namun, sebelum itu dia juga telah menelepon Ramzi agar bisa ikut bersamanya. Tasya merasa, dia membutuhkan backingan, dan Ramzi adalah orang yang tepat. Selain sahabat, Ramzi juga orang yang paling mengerti Samudera. Tasya yakin, dengan Ramzi bersamanya, Samudera tidak akan memperpanjang masalah ini. Ya, pasti! Mana mungkin Samudera mengorbankan persahabatannya dengan Ramzi hanya untuk seorang janda, tidak mungkin. Getaran telepon genggamnya sedikit mengalihkan perhatian Tasya. Tertera nama Ramzi di sana. ‘Aku tunggu kamu di parkiran.’ Seperti itu isi pesan yang di kirimkan Ramzi. Tasya pun tidak menyia-nyiakan waktu dan langsung mengetik balasan. ‘Oke, sedikit lagi aku sampai.’ Kamudian dia kembali menyimpan handphone nya, dan fokus pada jalan. Mobil Tasya memasuki pelataran parkir Aditama Corp. Dari jauh dia sudah melihat kehadiran Ramzi, pria itu mengenakan stelan
“Nona Tasya, siapa yang ingin memfitnah Anda? Bahkan sejak tadi, kami tidak menyebut nama anda sekalipun. Jadi, kenapa Anda punya pikiran seperti itu? Bukannya Anda korban di sini?” Reinhart berkata demikian sambil terkekeh. Tasya yang mendengar perkataan Reinhart menjadi gugup. ‘Bodoh!’ batinnya. Tasya berusaha menormalkan raut wajahnya. “A-aku memang korban, ya korban! A-aku hanya....” “Jadi... Tidak masalah bukan, kalau pak Ramzi membuka amlop itu, korban?” Reinhart menekan kata ‘korban’, dan memandang Tasya dengan tatapan mencemooh. Saat dua orang itu tengah berdebat, Ramzi sudah membuka dan tengah membaca isi dari berkas-berkas yang ada di salam amplop. Wajah pria itu yang tadi penuh amarah, berangsur-angsur menjadi pucat pasih. Tidak ada bedanya dengan Tasya, wanita itu menjadi sangat ketakutan. Wajahnya pun sudah pucat saat Ramzi membuka amplop, apalagi sampai saat ini, Ramzi tidak mengatakan apa-apa. “Z-Zi....” Tasya mencoba meraih tan
Hari berlalu dengan cepat. Tak terasa lima tahun telah berlalu. Putri kecil yang dulu selalu di timang, kini beranjak menjadi gadis kecil yang cantik dan sangat ceria.Kepribadian kedua anak Samudera dan Agni sangat bertolak belakang. Jika Aska sang kakak bersikap dingin dan tidak banyak omong. Maka sang adik Lillian justru sebaliknya. Gadis kecil itu selalu ceria, bahkan mereka sampai menjulukinya little Sunshine.Karena dimana pun ia berada, Lillian selalu menjadi sumber keceriaan, kehangatan dan kebahagiaan.Oh, harus di garis bawahi. Lillian akan sehangat matahari kecil, bagi mereka yang bersikap baik pada keluarganya, tapi akan sebaliknya bagi mereka yang bersikap buruk apalagi yang sengaja ingin menghancurkan keluarganya.Seperti sekarang ini. Samudera yang sangat memanjakan putri kecilnya, sering membawa Lillian ke Kantor. Selain karena tidak bisa jauh dari si kecil, Samudera juga ingin memberikan waktu istirahat pada Agni. Mengingat keaktifan Lill
Samudera berlari di sepanjang koridor Rumah Sakit, dengan diikuti Jona, Rein serta Sherly. Mereka sedang rapat, saat Lautan meneleponnya mengabarkan keadaan Agni.Ternyata tanpa ia sadari, Agni sudah merasa sakit perut sejak subuh, tetapi ditahan sendiri olehnya karena tidak ingin merepotkan orang-orang. Samudera berlari sembari menyekah sudut matanya. Ia merasa menjadi suami paling bodoh yang tidak peka dengan keadaan istrinya.Saat sampai di depan ruang bersalin, Samudera langsung menghampiri Lautan. “Bagaimana keadaan Agni, Yah?”“Dia baik-baik saja, sebaiknya kamu masuk. Sejak tadi dokter terus mencarimu.”Tepat saat Lautan mengatakan hal itu, pintu ruang bersalin terbuka. “Pak Samudera?” Panggil suster.“Saya.”Suster itu tersenyum tipis. “Syukurlah Anda sudah datang. Mari ikut, Saya.”Samudera mengikuti langkah sang Suster.Sepeninggal Samudera, semua orang masih
Tempat pemakaman umum itu terlihat sepi. Ya, kalau ramai namanya pasar. Hehehe Agni dan Samudera saat ini tengah berada di makam kedua orang tua Agni serta ibunda Samudera. Diusia kandungannya yang memasuki 7 bulan, Agni memang berkeinginan untuk mengunjungi makam orang tersayang mereka. Selagi masih bisa ‘kan, karena ia yakin kedepannya pasti mereka akan lebih sibuk lagi mempersiapkan kelahiran. Apalagi nanti saat si kecil sudah lahir. Perhatian mereka pastilah untuk kedua anak mereka. Karena itulah, selagi masih ada waktu seperti sekarang. Lebih baik dimanfaatkan untuk see Hay dengan para orangtua. Agni meletakkan sebuket tulip orange di atas makam ibunya. Ia lalu bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, dan berdoa dengan khusyuk. Hal yang sama juga dilakukan oleh Samudera dan Aska. “Halo Ayah, Bunda, aku kembali. Terakhir kali aku datang, dengan perasaan yang hancur. Waktu itu aku bersimpuh dan menangis sendirian di sini.” Agni menarik
Setelah mengeluarkan isi perutnya, Agni terduduk lemas di sofa ruangan Samudera. Ia sedikit mengerutkan keningnya, saat tidak sengaja menduduki sesuatu. Dan saat melihat benda itu, Agni membelalakkan matanya.“Siapa yang baru datang kemari, Kak?”“Jona, Reinhart? Hanya mereka.”Agni menggeleng. “Perempuan.”“Flora?” Samudera mengangkat sebelah alisnya.“Ck, bukan Bella??” Tuding Agni sembari melipat tangannya di depan dada.“Ada apa?” tanya Sam tanpa daya.“Jawab, kak... Apa Bella berusan kesini?”Samudera memijat pelipisnya. “Ya. Dia baru saja kemari,” jawab Sam sembari menatap Istri cantiknya. “Perusahaan mereka ingin mengajukan kerjasama. Dan dia yang di tunjuk sebagai perwakilan,” jelas Samudera.“Hmm... Pantas saja.”“Ada apa?” Samudera menghampiri Agni, lalu membawanya dalam pel
Namun, suara dari luar berhasil menghentikan aksi gila Mario. Mereka berdua sama-sama terkejut dibuatnya.“Rio!?”Sherly mengembuskan napas lega, berpikir kalau Rio akan berhenti. Nyatanya tidak. Pria itu tetap melanjutkan aksinya.“Rio!?”Barulah saat panggilan kedua, pria itu mengehentikan tindakannya. Ia lalu mengumpat pelan. Kemudian keluar dari paviliun. “Urusan kita belum selesai,” ucapnya. Lalu benar-benar keluar.Setelah bayangan Rio menghilang, kaki Sherly langsung lemas seperti jelly, ia sampai terduduk di lantai.Dia Lalu mengusap pelan dada-nya, sembari bergumam. “Selamat, selamat. Hampir aja, bibir gue nggak perawan lagi.”Dari dalam paviliun, Sherly bisa mendengar percakapan mereka. Ternyata yang memanggil Rio adalah Reinhart. Pria itu mengatakan kalau Rio tengah di cari oleh Samudera. Rio terdengar menolak, tetapi Reinhart menegaskan kalau ini penting. Dan harus sekarang.
Mobil Samudera perlahan memasuki pekarangan rumah. Setelah tadi mereka singgah di pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan Ketam Cili pesanan Agni.Kepulangan mereka di sambut oleh Lautan dan Mayang, si kembar serta Aska, yang tengah menunggu mereka di teras.Mayang yang melihat Samudera menuntun Agni, bergegas menjemput menantunya itu. “Kalian dari mana, Sayang?” Tanya Mayang.Namun, ia langsung mendapatkan jawabannya, saat melihat Reinhart membuka bagasi dan mengeluarkan belanjaan.“Kalian ingin masak?” Tanya Mayang lagi. Dan kali ini Agni mengangguk cepat.“Iya, Ma. Kita mau masak kepiting pedas,” ucap Agni, sembari menelan ludahnya. Baru menyebut namanya saja, sudah membuatnya lapar.Tingkah Agni berhasil membuat mereka semua tertawa. Terkecuali Rio, yang justru tengah menahan geram karena melihat Reinhart memegang pinggang Sherly. Padahal kenyataannya Sherly hampir jatuh, dan Reinhart sigap menahan
BRAKKK Bunyi bantingan pintu, membuat semua orang yang tengah berada di ruang rapat Aditama Corp itu, terlonjak kaget. Bahkan Samudera yang sejak tadi memejamkan matanya, sembari mendengar laporan bawahannya pun, ikut terkejut. Saat menoleh, terlihat Reinhart berdiri dengan nafas memburu. “Tuan!!” Samudera mengangkat sebelah alisnya. Dengan masih mengatur nafasnya, Reinhart menunjuk kearah meja. Bukan, lebih tepatnya pada benda di depan Samudera. “Handphone, Anda.” “Ada apa, Rein?” Tanya Jonatan penasaran. Pasalnya, tidak biasanya sahabat somplak nya itu, mengacau seperti ini. Apalagi di tengah rapat tahunan seperti sekarang. Reinhart tidak menjawab, dia terus menatap Samudera. Sementara Samudera yang ditatap seperti itu, semakin tidak mengerti. “Ada apa?” tanya Sam. “Handphone Anda mati?” Samudera mengambil telepon genggamnya. Dan ya, seperti kata Reinhart, handphonenya memang mati. Mungkin keha
Aska, Marni, Indira serta Stave dan istrinya, terkejut mendengar ucapan Samudera.“Ayo pulang.” Samudera menggendong Aska dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain, merangkul pinggang Agni, kemudian pergi.Indira mencoba mengejar, tapi ia di halangi oleh para bodyguard Samudera. Reinhart yang baru saja tiba, menatap Indira tajam. “Ekhm... Ibu Indira, benar?” Indira mengangguk.“Oh, bagus. Ada pesan dari Tuan Aditama....” Indira memiliki firasat buruk. Dan benar saja, ucapan Reinhart berikutnya berhasil membuatnya terpaku.“Karena sekolah ini sudah lalai menjaga tuan muda kami, mulai sekarang Aditama Corp akan menghentikan pendanaan untuk sekolah ini. Dan, saya di sini juga bermaksud untuk mengurus kepindahan tuan kecil. Sekian.” Reinhart menutup laporannya dengan wajah datar.Indira pucat pasih. Ingin protes, tapi tidak bisa. Karena kalau salah bertindak, bisa-bisa perusahaan ayahnya yang menj
“Ada apa ini?” Suara berat seorang pria, membuat Indira menghentikan ucapannya. Agni dan Indira sama-sama menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri seorang pria bertubuh tambun, yang mengenakan jas biru Dongker. Wajah pria itu terlihat marah, nafasnya juga memburuh. Sepertinya pria itu baru saja berlari kemari. “Sayang....” Wanita bertubuh tambun yang sejak tadi berdiam diri, tiba-tiba berjalan cepat kearah pria di depan pintu. “Ayah....” Anak kecil berpipi chubby yang sejak tadi diam, langsung berbinar saat melihat orang di depan pintu. “Kenapa dengan wajah mu? Kenapa merah seperti ini?” pria itu mengusap wajah istrinya. Wanita bergaun merah tadi, langsung menunjuk Agni. “Karna dia! Dia yang membuat aku seperti ini... Padahal yang salah itu putranya dan aku hanya menegur, tetapi dia langsung marah dan menamparku.” “Benar Ayah! Semua ini perbuatan Tante itu.” Bocah chubby itu ikut memprovokasi. Indira yang melihat