Share

Bab 3

Cambuk itu menimpa ibuku, tapi ibuku tidak kelihatan kesakitan.

Dia berbalik, lalu menatap langsung ke arah Ravel.

"Ravel, kamu benar-benar salah paham kepada Clara. Jangan pukul dia. Sekarang duduk dan bicarakan dengan baik-baik. Kalau kamu terus seperti ini, kamu pasti akan menyesalinya."

"Menyesal? Aku menyesal nggak memukulnya lebih awal. Seharusnya aku menamparnya saat melihat hasil tes kehamilannya."

"Tua bangka, kamu pikir kamu bisa melindunginya? Kamu selalu memintaku untuk melepaskannya. Kenapa kamu nggak mengajari putrimu menjadi seorang wanita yang benar?"

"Hari ini aku akan menegakkan keadilan dan juga akan menghabisimu."

Ravel mengangkat tangannya, lalu mencambuk beberapa kali lagi.

Ibuku takut aku akan terluka.

Jadi, dia maju seraya memelukku erat-erat.

Dia menahan cambuk itu dengan sekuat tenaga.

Saat mendengar teriakan kesakitan ibuku, seluruh hatiku terkoyak.

Demi melindungi ibuku, aku rela mengorbankan martabatku.

Aku memohon pada Ravel dengan putus asa.

"Berhenti memukulnya, Ravel. Tolong, aku mohon berhenti!"

"Aku benar-benar nggak pernah bersama dengan pria lain."

"Tolong, demi pernikahan kita selama bertahun-tahun ... tolong berhenti memukul ibuku."

Ibuku sudah tidak bisa menahannya lagi.

Dihadapkan dengan permohonanku, Ravel tetap saja tidak berhenti.

Dia justru berteriak, "Beraninya kamu mengungkit soal pernikahan kita? Apa aku memperlakukanmu dengan buruk selama bertahun-tahun pernikahan kita? Kamu belum bisa memberiku anak dan aku nggak pernah menekanmu. Bahkan di saat ibuku memintaku untuk bercerai, aku menolaknya. Sedangkan kamu, bagaimana kamu memperlakukanku?"

Setelah beberapa pukulan cambuk berturut-turut ....

Aku merasa bahwa ibuku yang sedang melindungiku sudah tidak punya kekuatan yang tersisa di tubuhnya.

Saat ini, Ravel menghentikan tangannya dan ibuku langsung melunak seperti mi.

Aku segera mengelus punggungnya.

Tanganku berlumuran darah.

Aku berteriak.

"Bu, Bu, bangun, bangun!"

Ibuku pingsan.

Seberapa kerasnya aku berteriak, aku tetap tidak bisa membangunkannya.

Melihat keadaan ibuku seperti ini, Ravel menjadi panik.

Dia mengulurkan tangan, memeriksa hidung ibuku dan menyadari bahwa ibuku masih bernapas.

Ravel seketika menghela napas lega.

Ravel menggendong ibuku, lalu membaringkannya di sofa.

Aku melihat tas yang tergeletak di atas meja kopi, berlari, lalu mengeluarkan ponsel untuk menelepon nomor darurat.

Tanpa diduga, Ravel datang dan langsung mengambil ponselku setelah melihatnya.

"Kamu menelepon siapa? Nggak mungkin Edo, 'kan? Sudah kubilang, dia nggak akan punya waktu untuk menyelamatkanmu sekarang."

Aku menyahut dengan nada cemas, "Aku menelepon nomor darurat. Ibuku pingsan. Dia harus pergi ke rumah sakit."

"Nggak boleh telepon!"

Ravel mengambil ponselku, lalu langsung melemparkannya ke lantai.

Ponsel itu langsung hancur seketika.

"Aku lihat kamu ini ingin menelepon kekasihmu."

"Ravel, kamu sudah gila, ya?"

Aku sangat cemas hingga air mataku mengalir. Aku juga menampar Ravel dengan seluruh kekuatanku.

Tamparan ini membuat Ravel naik pitam lagi.

"Sial, beraninya kamu memukulku?"

Dia mengangkat kakinya, lalu menendang perutku.

Aku segera menutupi perutku dengan tanganku.

Dia menendang tanganku.

Tindakanku ini membuat Ravel menjadi benar-benar gila.

"Kamu jelas sekali sedang melindungi anak itu. Aku sangat mencintaimu, tapi pada akhirnya kamu malah berusaha melindungi anak orang lain!"

Ravel menendang tanganku dengan keras secara bergantian.

Tanganku hampir patah karena tendangannya.

"Sudah cukup, berhenti memukulnya!" sahut seseorang. Kekejaman Ravel menyebabkan tetangga yang berada di luar maju. Dia berseru, "Kamu akan menyebabkan masalah besar kalau terus seperti ini!"

Ravel langsung mengambil asbak di atas meja, lalu melemparkannya ke arah orang tersebut.

"Pak Tua, jangan ikut campur masalah orang!"

Para tetangga yang tinggal di daerah sini memang sudah cukup tua.

Melihat Ravel yang matanya sudah memerah, mereka semua langsung pergi.

Ravel berbalik dan terus menendangku.

"Clara, kamu bisa-bisanya selingkuh dengan Edo. Kamu tahu kalau aku sangat membencinya."

Ravel dan Edo bisa dibilang sebagai teman kuliah yang baik, tetapi Edo sering menindas Ravel saat di kampus.

Edo sering menyuruh Ravel untuk membeli makanan tanpa memberinya uang. Edo juga selalu menceritakan hal-hal kotor kepada teman sekelas perempuannya tentang Ravel.

Suatu kali saat ujian akhir, Edo mematikan jam alarm Ravel, juga menyalin skripsi milik Ravel. Edo juga sering menganggap dirinya sebagai ayah Ravel.

Ayah mertuaku sudah lama meninggal dunia, jadi Ravel sangat sensitif dengan sebutan "Ayah".

Edo tidak berubah meski sudah diingatkan berkali-kali.

Keduanya bertengkar hebat saat hari wisuda.

Tidak ada yang menyangka bahwa Edo akan menjadi bos Ravel tiga tahun setelah lulus.

Demi bertahan hidup, Ravel harus tunduk pada Edo.

Ravel hidup dengan rasa gentar di tempat kerja.

Oleh karena itu, aku tahu bagaimana perasaan Ravel sekarang.

Namun, aku tidak mengerti. Ravel jelas-jelas sangat membenci Edo, tapi bukannya pergi memukuli Edo, dia justru datang untuk memukulku.

Apakah karena Edo adalah laki-laki?

Aku akhirnya melihat dengan jelas orang di depanku, yang terus mengatakan bahwa dia mencintaiku.

Aku mengerti mengapa ayahku selalu mengatakan bahwa Ravel berbahaya, seperti bajingan.

Rasa sakit itu membawaku kembali ke dunia nyata.

Tanganku perlahan-lahan sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

Aku menatap Ravel seraya berkata kepadanya, "Ravel, kalau anak ini benar-benar anakmu dan kamu menggugurkannya seperti ini ... apa kamu akan menyesalinya?"

Ravel justru menjawab dengan mengejutkan, "Dia nggak mungkin adalah anakku. Kuberi tahu saja padamu, aku sudah memeriksanya empat tahun lalu. Aktivitas spermaku sangat rendah, mustahil kalau aku bisa punya anak."

"Kamu benar-benar sudah memeriksanya?"

Selama bertahun-tahun ini, kami belum punya anak.

Bukan hanya Ravel yang berada di bawah tekanan besar, tetapi aku juga demikian.

Ibu mertuaku menatap perutku setiap hari dan memaksaku minum sup obat yang terbuat dari kecoa dan kelabang.

Suatu kali, aku hampir mati karena keracunan makanan.

Namun, Ravel tidak pernah mengatakan bahwa dia sudah pernah memeriksa masalah spermanya.

Dia jelas tahu itu bukan masalahku, tetapi dia justru membiarkan ibunya memperlakukanku seperti ini.

Saat Ravel mengatakan bahwa dia mencintaiku, dia jelas berbohong.

Aku benar-benar kecewa.

Aku pun melepaskan tanganku dan membiarkan dia menendang perutku dengan keras.

Bersama dengan rasa sakit yang menusuk, arus hangat tiba-tiba mengalir di bawahku.

Pada saat yang sama, ponsel Ravel tiba-tiba berdering.

Dia segera menjawabnya. Itu adalah panggilan dari Pusat Tes DNA.

"Pak Ravel, hasilnya sudah keluar. Anak dalam perut Bu Clara memang benar anakmu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status