Indrayana memang berlari, tapi tidak di atas tanah. Pemuda itu lari di atas dahan-dahan pohon dengan begitu cepat. Bahkan dalam sekejap sosok itu telah menghilang dalam gelapnya hutan.Kebo Ireng menelan salivanya dengan susah payah lalu berkata, "Dia juga punya ilmu meringankan tubuh."Seno Aji pun sama syoknya, "Ayo kita susul sebelum hari semakin larut," pungkasnya sambil menepuk pundak Kebo Ireng.Mereka berdua menuju kudanya dan kembali melanjutkan perjalanan. Pada akhirnya yang menyelamatkan mereka adalah sosok yang selama ini mereka ragukan.***Di Tanah Para Dewa.Indrayana telah melewati dinding gaib. Dari Kejauhan rumahnya tampak terang benderang. Satu-satunya rumah di tempat itu. Besar dan mempunyai banyak kamar. Semua orang yang tinggal di Tanah Para Dewa hidup satu atap layaknya satu keluarga besar.Obor-obor telah di nyalakan di sepanjang jalan dari dinding gaib hingga menuju rumahnya. Dia semakin mempercepat langkahnya. Pemuda itu berjalan di jalan yang sekelilingnya di
Darma merasakan hatinya begitu sakit dan sesak, dia langsung memeluk tubuh dingin Indrayana lalu berbisik, "Dia akan bangun, Nak. Sadarlah! Jangan seperti ini." Ranu Baya mengepalkan kedua tangannya, dia berusaha bersikap tenang dan menghibur putranya, "Dia hanya pingsan, dia akan bangun, Nak." Indrayana menurut untuk pergi bersama Darma dan Ki Sentot. Mereka menuju sungai untuk menemani Indrayana mandi. Tepat si saat Indrayana pergi untuk membersihkan diri, muncul dua orang tamu. "Ketua ... Tuan Seno Aji dan Tuan Kebo Ireng datang," ujar Brama, salah satu paman Indrayana. Ranu Baya mengernyit lalu meminta Cempaka untuk mengurus Candramaya. "Kamu urus Candramaya, Paman ada tamu," ujarnya. Cempaka mengangguk, dia meminumkan ramuan itu dan memberikan salep pada bekas memar yang ada di tubuh gadis itu. Sedangkan untuk memar yang lumayan parah di perut Candramaya telah menghilang karena Ranu Baya menggunakan Ajian Aksamala. "Kalian? Selarut ini. Ada apa?" tanya Ranu Baya yang merasa
Indrayana kaget lalu tangannya menarik kedua tangan Candramaya dan mencoba menjauhkan dari perutnya. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan cemas.Gadis itu meremas perutnya sendiri dan meringkuk. Wajahnya pucat pasi dengan alis tertekuk ke bawah. Dia terus merintih, "Pe-perutku sakittt!"Cempaka berdiri tertegun dengan wajah pucat, "Aku akan memanggil Paman." Gadis itu baru mau keluar kamar. Ranu Baya, Seno Aji dan Kebo Ireng sudah berada di ambang pintu. Mereka yang sedang duduk di ruang tamu mendengar suara rintihan Candramaya. Jadi mereka bergegas untuk memeriksa."Romo!" Indrayana memekik."Memang harus di keluarkan semua, jika tidak gadis itu bisa mati," ujar Ranu Baya panik. Dia mendekat keranjang. "Tutup pintunya!" titahnya.Seno Aji dan Kebo Ireng paham dan mereka keluar dan menutup pintu.Samar-samar dia mendengar apa yang di katakan mertuanya, "Apa yang harus dikeluarkan?" batin Candramaya. Dahinya telah berkeringat dingin, tenggorokannya juga terasa kering."Cempaka pega
Candramaya mengedarkan pandangan dan tidak ada siapa pun di ruang tamu, semua kamar juga tertutup. Mungkin mereka sudah tidur karena hari memang sudah larut malam. Tapi pandangannya tertuju pada pintu utama yang sedikit terbuka. Dia berjalan mendekati pintu itu, samar-samar dia mendengar sebuah tangisan yang terdengar pilu. Dan suara itu tidak asing di telinganya. Semakin lama semakin jelas. Candramaya membuka sedikit pintu dan mengintip dari dalam. Mungkin terlihat tidak sopan, hanya saja dia sangat penasaran. Di teras depan rumah begitu terang dengan cahaya obor. Terlihat Ranu Baya berdiri, pandangannya lurus ke depan, tubuhnya terlihat dari samping. Dan ada sosok yang sedang bersimpuh di kakinya dan sedang menangis, dia adalah Indrayana. "Romoo ... to-tolong hidupkan kembali calon anak kamiii!" pinta Indrayana dengan suara terdengar parau. Deg!! Jantung Candramaya bergemuruh dan tenggorokannya terasa tercekat, dia dengar Indrayana mengatakan, 'Calon anak kami!' Walaup
Di Desa Pinus.Di pagi hari, Wismaya mengetuk pintu. Dia tidur larut malam. Entah mengapa perasaannya tidak enak dan merasa gelisah tanpa alasan.Tok! Tok!Berulang kali namun tidak ada jawaban. Justru pintu kamar sebelah yang terbuka, seorang gadis yang begitu lembut keluar dari kamar."Mereka tidak pulang, Tuan," ujar Kumala dengan lembut. Wajahnya tampak lesu dan kantung matanya menghitam, sepertinya dia tidak tidur sepanjang malam. "Baiklah kalau begitu," ujar Wismaya, acuh tak acuh. "Kalau begitu kita bersiap, kami akan mengantarmu pulang." "Mungkin lebih baik jika Candramaya tidak ikut, lagian dia bersama Indrayana. Mereka pasti baik-baik saja."Kumala tersenyum, tapi sebenarnya dia tidak rela untuk kembali pulang sebelum merebut Indrayana dari gadis angkuh itu. Gadis itu meremas kedua tangannya, dia bingung alasan apa yang akan dia katakan pada kakeknya nanti saat di rumah.Mereka akhirnya berpamitan dengan Wirata. Keempat orang itu pergi menuju desa kuningan dengan menaiki k
Wismaya tertawa mencibir, "Kamu memang sangat setia pada rajamu! Tapi kamu telah menghianati Rakyat Harsa Loka."Bima Reksa merasa tersinggung, walaupun yang dikatakan oleh Wismaya memang benar. Makanya dia hanya diam sambil mengatupkan rahangnya."Sampai kapan Tuan akan terus dimanfaatkan oleh Adi Wijaya? Sampai negeri ini hancur!" ujar Aji Suteja geram. Pria tua ini bebal dan bodoh.Bima Reksa mengerjab-erjabkan matanya yang terasa panas, dia menghela nafas panjang, "Kalian datang kemari karena ingin balas dendamkan? Kalau begitu tunaikan hasrat kalian. Asalkan lepaskan cucuku dan desa ini," pintanya dengan kepala menunduk. Pria itu akan menyerah, lagian dia sudah terlalu lama hidup.Orang sesabar dan setenang Wismaya saja bisa terpancing emosinya. Tapi sekuat tenaga dia tetap harus tenang. Orang tua di hadapannya adalah pelaku sekaligus saksi yang penting. "Apa kamu tidak ingin membersihkan namamu?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alisnya.Wajah Bima Reksa terangkat, tatapan ma
Di saat Kumala sedang asyik dengan khayalannya, pintu itu terbuka. Tubuhnya akhirnya terdorong dan jatuh. Gadis itu mendongak, wajahnya menegang. Sorot mata tajam dan wajah yang begitu manis menatapnya dengan jijik. Gadis itu menelan salivanya dengan kasar, "Tu-tuan!"Danumaya mendengkus kesal, tatapannya acuh tak acuh. "Dari pada sibuk menguping di sini! Lebih baik suguhkan minuman untuk tamumu," ujarnya dingin dan galak.Kumala mengangguk dengan cepat dan langsung berlari ke dalam. Danumaya mendengkus, "Dasar wanita pembawa bencana!" gumamnya.Danumaya kembali duduk bersama orang tua, dia diam dan merenung. "Candramaya pasti tidak tahu jati diri pemuda itu. Haruskah aku memberitahunya? Tapi rasanya tidak perlu. Jati dirinya sebentar lagi pasti terungkap," batinnya.Saking larutnya Danumaya dalam lamunannya, dia bahkan tidak sadar saat Kumala menghidangkan minuman dan kudapan. Kumala menaruh gelas dengan tangan gemetar, dia kira Danumaya sedang menatapnya dengan tajam. Jadi saat Ku
Wajah Kumala terlihat kejam dan sorot matanya begitu dingin. Tapi saat kereta kuda itu berhenti di depan rumah besar itu. Wajahnya berubah lembut dan sorot matanya tampak bersinar. Sekian banyak orang-orang yang berkumpul di depan rumah, ada satu yang menarik perhatian yaitu sosok Arya Balaaditya. Wajahnya mungkin sudah tua dan berkeriput tapi jejak ketampanannya masih ada. Danumaya langsung mengenalinya karena pria itu wajahnya sangat mirip dengan Indrayana. Sedangkan Indrayana tidak ada diantara kerumunan itu hanya ada Candramaya yang duduk di samping seorang gadis yang jauh lebih tua darinya. "Adik ... " panggil Danumaya. Pemuda itu berjalan mendekatinya dengan suka cita. Hanya saja seperti biasa, gadis itu tidak menunjukan ekspresi apapun. Datar dan dingin. Kumala berjalan dengan malu-malu, dia menyapa Candramaya, "Candramaya ... " Candramaya hanya diam, dia bahkan membuang muka. Dia muak dengan gadis itu. Cempaka merasa tidak enak, namun dia juga tidak bisa menegur Ca
Adhinatha mengerjabkan matanya. Sejak terakhir pemuda itu melukai saudara sepupunya. Tidak pernah Adhinatha menunjukan batang hidungnya ataupun menyapa pada Indrayana. Itu semua karena dia merasa malu. "Lepaskan! Aku juga ingin melakukan penebusan dosa." "Dengan bunuh diri maksudmu!" Ujar Indrayana tanpa melepas cekalannya, sebelah alisnya terangkat. "Ibuku tidak bunuh diri! Begitu pun aku!" ujar Adhinatha dingin. Indrayana melepas cekalannya, sudut bibirnya terangkat, "Nyawa memang harus di bayar dengan nyawa. Hukuman mati memang pantas untuk Ibumu. Tapi kamu tidak!" "Berhenti membuatku malu, Indrayana. Aku telah melukai dirimu dan berniat melenyapkanmu!" ujar Adhinatha dengan nada putus asa. Indrayana menatap lamat ke arah adik sepupunya lalu kembali berkata, "Kalau begitu aku yang berhak menghukummu. Maka hukumanmu adalah dengan menuruti permintaanku!" Pemuda itu melirik ke arah istrinya dengan senyum jahil. Candramaya yang sangat hafal dengan sifat Indrayana hanya bisa menden
Damayanti Citra merenung sepanjang malam, dia meringkuk di atas ranjang dengan perasaan bersalah. Semakin dia mengelak semakin merasa malu. "Aku akan melakukan penebusan dosa!" Gumamnya dengan penuh tekad. Wanita itu melakukan puasa mutih untuk membersihkan diri dan jiwanya dari segala dosa dan kepahitan. Hal sama juga di lakukan oleh Candramaya. Setelah satu pekan masa berkabung, Arya Balaaditya naik tahta menjadi raja pengganti Adi Wijaya. Karena stempel kerajaan ada di tangannya sekarang. Dan Asri Kemuning adalah pewaris yang sah. Namun karena negeri Harsa Loka harus di pimpin oleh laki-laki, maka suaminya-lah yang akan naik tahta. Upacara penobatannya di lakukan dengan hidmat di alun-alun di depan rakyat. Tugas pertama yang harus dilakukan oleh Arya Balaaditya adalah menghukum pelaku teror dan pembunuh Damarjati dan ketiga rekannya. Awalnya semua orang cukup terkejut dengan pakaian yang dikenakan oleh Damayanti Citra, pasalnya dia memakai pakaian yang membuat orang bertanya-t
Deg!Ucapan putranya telah menghancurkan keyakinan Damayanti Citra. Wanita itu mengerjabkan matanya yang mulai terasa panas. Genangan air mata itu telah tumpah. Kenyataan itu membuatnya sakit. "Narendra ... " gumamnya.Adhinatha mengerjabkan matanya yang mulai memanas, dia merasa sedih dan tidak tega. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah sel. Kedua tangannya terangkat dan hendak memasukannya ke dalam celah besi.Damayanti Citra tetap bergeming saat Adhinatha memanggilnya, "Ibu ... kemarilah."Perubahan emosi Damayanti Citra sangat mudah berubah. Tadi dia menangis tersedu-sedu dan sekarang tertawa sinis, "Kenapa hanya aku yang terbakar? Kamu dan wanita sialan itu tidak. Kenapa?" tanyanya dengan nada putus asa."Karena aku telah membuang segala kepahitan dalam hatiku," jawab Adhinatha dengan lirih."Jadi kamu mau bilang kalau hati Ibumu ini penuh dengan kepahitan?" ucapan Damayanti Citra terhenti, wanita itu mengangkat sudut bibirnya lalu kembali tertawa sinis, "Heh! Mereka telah menyu
Damayanti Citra mendengkus kesal, kedua alisnya semakin menukik tajam. Asri Kemuning memegang jeruji besi dengan kuat, wajahnya yang lembut berubah dingin. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berkata dengan sedikit berteriak, "Aku berpenyakitan! Bahkan setiap detik aku takut mati. Aku takut tidak bisa melihat tumbuh kembang putraku. Sedangkan kamu? Kamu sehat Citra! Kamu sehat dan kamu bisa berada di sisinya setiap waktu. Jika masalah kasih sayang dan dukungan orang tua, kita sama Citra. Kamu tidak mendapatkan kasih sayang Ibumu dan aku Romoku. Hanya bedanya adalah Ibumu telah wafat saat melahirkanmu dan Romoku masih hidup dan terus mengabaikanku."Damayanti Citra juga ikut berteriak karena merasa tertohok. Namun tidak mau mengakuinya, "Tapi suamimu setia! Sedangkan aku tidak!"Asri Kemuning terperangah mendengar jawaban Iparnya lalu menggelengkan kepala. "Kenapa kamu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain? Setia atau tidaknya seseorang itu pilihan. Bukan takdir atau nasib, Ci
"Hah!" Candramaya tersadar. Candramaya membuka matanya. Mata merah menyala itu kembali ke semula. "Indrayana ... " panggilnya dengan linglung.Indrayana tertawa lirih, "Kamu kembali!""Apa yang terjadi? Kenapa tanganku menyerangmu?" Candramaya memang tersadar tapi tubuhnya masih dikendalikan oleh sosok hitam Putri Tanjung Kidul. Gadis itu mendongak dan menatap sekitar dengan bingung. Candramaya mencoba mengangkat tangannya ke atas namun yang terjadi justru tangan itu semakin kuat menekan ke bawah. "Gunakan mustika itu, cepattt!!" pekiknya."Tapi aku akan melukaimu!" ujar Indrayana dengan perasaan gamang."Tidak akan!" Karena kedua tangan Indrayana sedang menahan serangan Candramaya. Pemuda itu akhirnya memukul punggung Candramaya dengan menggunakan lututnya dengan cukup keras.Bug!Akkhhh!Tubuh Candramaya oleng, keris itu terlempar cukup jauh. Indrayana mengambil kesempatan itu untuk memegangi kedua tangan Candramaya. Dan membalikkan keadaan dengan menduduki tubuh gadis itu yang ja
Arya Balaaditya menahan tubuh Istrinya yang hendak menghampiri putranya. Sedangkan Kumala, gadis itu meringsut di dalam pelukan kakeknya.Di bawah derasnya air hujan dan angin yang bertiup kencang. Indrayana bangun dan terduduk di tanah. Pemuda itu meringis saat melihat ekspresi dingin Candramaya.Candramaya berjalan mendekat sambil menggerak-gerakan kuku-kukunya yang panjang. Wajah datar dan menyeramkan itu menyeringai. Indrayana tidak berniat untuk kabur atau semacamnya. Dia hanya mengatur nafas dan menunggu Candramaya menghampirinya dengan pasrah. "Dewata ... " gumamnya.Tatapan Indrayana tertuju pada Mustika yang dia genggam. "Cik! Lemah," eram Candramaya. Tatapannya begitu liar dan beringas. Mendengar cibiran Candramaya, Indrayana tersenyum getir lalu bergumam, "Aku memang lemah!"Baladewa yang tidak tahan akhirnya hendak menyerang Candramaya namun Indrayana berteriak, "Jangan, Paman! Jangan ikut campur!"Indrayana langsung mengangkat tangannya dan membuat jarak dengan membuat
Ketiga orang itu akhirnya menajamkan telinganya, Kebo Ireng berkomentar, "Sepertinya ada yang sedang bertarung?""Benar Kakang! Ayo kita periksa!" imbuh Seno Aji.Wismaya memberi saran, "Tunggu! Sebaiknya kiita harus fokus. Kalian cari Pangeran Narendra dan Dewi Puspita Sari saja, sebelum orang itu pergi lebih jauh. Aku dan Aji Suteja yang akan memeriksa siapa yang sedang bertarung itu."Setelah menimbang-nimbang saran Wismaya yang masuk akal, mereka bertiga akhirnya mengangguk dan setuju.Kebo Ireng dan Seno Aji pergi menuju tempat kediaman Puspita Sari dan Narendra. Sedangkan Wismaya dan Aji Suteja pergi ke tempat pertarungan itu.Saat Wismaya dan Aji Suteja ke sumber suara, mereka berdua terperangah saat melihat Candramaya dan Indrayana sedang bahu hantam."Apa yang terjadi?" tanya Aji Suteja dengan wajah yang menegang.Wismaya merasakan kejanggalan pada sosok keponakannya. Tentu sosok berwujud Candramaya itu tidak dia kenal. Jantung Wismaya seketika bergemuruh, wajahnya pucat lalu
Alih-alih patuh, Candramaya justru semakin gila menyerang Danadyaksa yang terlihat kewalahan. Tubuh Danadyaksa penuh dengan sabetan keris.Tanpa pikir panjang, Indrayana masuk dalam pertarungan dan mencoba melerai. Dia bahkan tidak segan memukul pundak Candramaya guna menghentikan aksinya, "Hentikan kataku!"Bug!"Akhhh!!" Candramaya memekik kesakitan."Maaf!" ujar Indrayana. Pemuda itu memeluk tubuh Candramaya dari belakang. Perasaan bersalah muncul di hatinya setelah memukul istrinya. Candramaya menoleh, seringainya tampak mengerikan. Indrayana reflek langsung melerai pelukannya karena terkejut.Danadyaksa yang licik menggunakan kesempatan saat melihat pasangan itu lengah. Namun langkah pria itu terhenti saat Candramaya membuat gerakan yang membuat keris itu melesat dan menebas leher Danadyaksa dengan cepat. Secepat kedipan mata.Swwisss!Zrak!Bug!!Kepala Danadyaksa jatuh ke tanah lalu tubuh gempal itu tersungkur. Tubuh yang terpenggal itu mengejang dan menyemburkan banyak darah.
Prang!!Botol itu jatuh ke lantai dan pecah, namun ternyata hanya botol kosong. Arah mata semua orang kini tertuju pada pecahan botol itu. Narendra merasa terkejut sedangkan Asri Kemuning dan Arya Balaaditya merasa keheranan.Puspita Sari merasa malu sekarang, kedua tangannya saling meremas. Dia menyadari reaksinya menunjukan bahwa dia adalah wanita yang egois. "Kangmas mempermainkanku?!" eram Puspita Sari. Wanita itu mendelik karena merasa dipermainkan."Haha ... Ohok! Ohok!" Adi Wijaya tertawa di sela batuk berdarahnya. Nafasnya terengah dan dadanya mulai sesak. Keringat dingin kini bermunculan di kening pria itu seiring wajahnya yang memucat dan bibirnya yang mulai membiru. Dia menatap istri mudanya dengan tatapan nanar sambil menekan dadanya. Sekarang dia sadar, tidak ada yang benar-benar mencintainya. Tiba-tiba Asri Kemuning menangis, dia berhambur memeluk lengan ayahnya.Sedangkan Narendra dan Puspita Sari yang sudah tahu akhir dari pertarungan ini memilih untuk kabur meningga