Di Desa Pinus.Di pagi hari, Wismaya mengetuk pintu. Dia tidur larut malam. Entah mengapa perasaannya tidak enak dan merasa gelisah tanpa alasan.Tok! Tok!Berulang kali namun tidak ada jawaban. Justru pintu kamar sebelah yang terbuka, seorang gadis yang begitu lembut keluar dari kamar."Mereka tidak pulang, Tuan," ujar Kumala dengan lembut. Wajahnya tampak lesu dan kantung matanya menghitam, sepertinya dia tidak tidur sepanjang malam. "Baiklah kalau begitu," ujar Wismaya, acuh tak acuh. "Kalau begitu kita bersiap, kami akan mengantarmu pulang." "Mungkin lebih baik jika Candramaya tidak ikut, lagian dia bersama Indrayana. Mereka pasti baik-baik saja."Kumala tersenyum, tapi sebenarnya dia tidak rela untuk kembali pulang sebelum merebut Indrayana dari gadis angkuh itu. Gadis itu meremas kedua tangannya, dia bingung alasan apa yang akan dia katakan pada kakeknya nanti saat di rumah.Mereka akhirnya berpamitan dengan Wirata. Keempat orang itu pergi menuju desa kuningan dengan menaiki k
Wismaya tertawa mencibir, "Kamu memang sangat setia pada rajamu! Tapi kamu telah menghianati Rakyat Harsa Loka."Bima Reksa merasa tersinggung, walaupun yang dikatakan oleh Wismaya memang benar. Makanya dia hanya diam sambil mengatupkan rahangnya."Sampai kapan Tuan akan terus dimanfaatkan oleh Adi Wijaya? Sampai negeri ini hancur!" ujar Aji Suteja geram. Pria tua ini bebal dan bodoh.Bima Reksa mengerjab-erjabkan matanya yang terasa panas, dia menghela nafas panjang, "Kalian datang kemari karena ingin balas dendamkan? Kalau begitu tunaikan hasrat kalian. Asalkan lepaskan cucuku dan desa ini," pintanya dengan kepala menunduk. Pria itu akan menyerah, lagian dia sudah terlalu lama hidup.Orang sesabar dan setenang Wismaya saja bisa terpancing emosinya. Tapi sekuat tenaga dia tetap harus tenang. Orang tua di hadapannya adalah pelaku sekaligus saksi yang penting. "Apa kamu tidak ingin membersihkan namamu?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alisnya.Wajah Bima Reksa terangkat, tatapan ma
Di saat Kumala sedang asyik dengan khayalannya, pintu itu terbuka. Tubuhnya akhirnya terdorong dan jatuh. Gadis itu mendongak, wajahnya menegang. Sorot mata tajam dan wajah yang begitu manis menatapnya dengan jijik. Gadis itu menelan salivanya dengan kasar, "Tu-tuan!"Danumaya mendengkus kesal, tatapannya acuh tak acuh. "Dari pada sibuk menguping di sini! Lebih baik suguhkan minuman untuk tamumu," ujarnya dingin dan galak.Kumala mengangguk dengan cepat dan langsung berlari ke dalam. Danumaya mendengkus, "Dasar wanita pembawa bencana!" gumamnya.Danumaya kembali duduk bersama orang tua, dia diam dan merenung. "Candramaya pasti tidak tahu jati diri pemuda itu. Haruskah aku memberitahunya? Tapi rasanya tidak perlu. Jati dirinya sebentar lagi pasti terungkap," batinnya.Saking larutnya Danumaya dalam lamunannya, dia bahkan tidak sadar saat Kumala menghidangkan minuman dan kudapan. Kumala menaruh gelas dengan tangan gemetar, dia kira Danumaya sedang menatapnya dengan tajam. Jadi saat Ku
Wajah Kumala terlihat kejam dan sorot matanya begitu dingin. Tapi saat kereta kuda itu berhenti di depan rumah besar itu. Wajahnya berubah lembut dan sorot matanya tampak bersinar. Sekian banyak orang-orang yang berkumpul di depan rumah, ada satu yang menarik perhatian yaitu sosok Arya Balaaditya. Wajahnya mungkin sudah tua dan berkeriput tapi jejak ketampanannya masih ada. Danumaya langsung mengenalinya karena pria itu wajahnya sangat mirip dengan Indrayana. Sedangkan Indrayana tidak ada diantara kerumunan itu hanya ada Candramaya yang duduk di samping seorang gadis yang jauh lebih tua darinya. "Adik ... " panggil Danumaya. Pemuda itu berjalan mendekatinya dengan suka cita. Hanya saja seperti biasa, gadis itu tidak menunjukan ekspresi apapun. Datar dan dingin. Kumala berjalan dengan malu-malu, dia menyapa Candramaya, "Candramaya ... " Candramaya hanya diam, dia bahkan membuang muka. Dia muak dengan gadis itu. Cempaka merasa tidak enak, namun dia juga tidak bisa menegur Ca
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Indrayana. Pemuda itu sedang menyandarkan kepalanya di bahu Candramaya dengan mata terpejam. Kedua tangannya meremas lembut tangan gadis itu. Candramaya menatap hamparan langit hitam kelam. Tidak ada bulan ataupun bintang. Yang ada hanya kesunyian yang Candramaya rasakan. Hanya angin yang berhembus lembut menerpa wajahnya yang dingin. Kesedihannya dia sembunyikan dari sorot matanya yang tajam."Bisakah kamu lanjutkan ceritamu tentang kisah keluargamu? Aku ingin mendengarnya," ujarnya dengan lirih.Indrayana mengangkat kepalanya, dia duduk tegak dan menyerong ke arahnya. Jantungnya tiba-tiba berdebar, dia menggigit bibir bawahnya. Mungkin ini sudah saatnya dia berkata jujur. Sebelum gadis ini mendengar dari orang lain. Setelah mengatur nafas, dia berkata, "Bagaimana jika aku adalah seorang pangeran. Apa kamu masih mau bersamaku?"Candramaya menyerongkan tubuhnya juga, mereka kini berhadapan. Wajah gadis itu terlihat datar tanpa ekspresi. Indrayana menel
Seisi rumah berhambur keluar saat mendengar Kumala berteriak dan marah-marah. Sebagian dari mereka merasa terkejut dengan perubahan gadis itu. Tapi tidak dengan Danumaya. Dia menyeringai, "Akhirnya dia membuka topengnya sendiri!""Apa kamu buta pangeran? Gadis itu terus saja merendahkanmu dan kamu malah memberinya cinta yang sangat besar. Sedangkan di sini ada aku yang jelas-jelas mencintaimu, harusnya kamu memandangku bukan dia," ujar Kumala dengan gigi bekertak.Semua orang benar-benar tidak habis pikir, gadis selembut itu bisa berbuat lancang.Indrayana memicingkan matanya lalu mencibir, "Memang apa yang sudah kamu berikan padaku? Hingga kamu sangat percaya diri."Mata Kumala berkedip-kedip lalu membuka mulutnya tanpa malu, "Dia memberikan tubuhnya kan? Aku juga bisa. Dia bahkan tidak becus menjaga benihmu! Apalagi cintamu yang terlalu besar itu. Sadarlah Pangeran! Sadarlah" ujarnya dengan nada melembut di akhir kalimat. Gadis itu mendekat dan bahkan berusaha untuk menyentuh lengan
Bima Reksa yang sudah lama tidak di panggil, 'Patih' langsung menoleh ke arah seorang gadis yang menyapanya, dia sedang tersenyum tipis padanya. Dia duduk di meja sebelah mejanya.Padahal di tempat ini yang tahu dia dulu adalah seorang patih hanyalah Arya Balaaditya, Wismaya dan ketiga temannya. Bahkan cucunya sendiri tidak tahu. Lalu siapa gadis itu?Bima Reksa memicingkan matanya lalu merenung, dia rasa tidak pernah mengenal gadis itu. Saat dia masih menjadi Mahapatih Harsa Loka rasanya gadia kecil yang dia tahu adalah cucunya yang masih berusia 3 tahun dan sekarang sudah 18 tahun. Lalu dia mengingat-ingat kembali anak kecil yang pernah dia kenal dulu. Namun sepertinya tidak ada. Bima Reksa lalu tersenyum, "Kamu mengenalku, Nak?"Candramaya tertawa geli, lalu menutup mulutnya, dari matanya yang merah tersirat sebuah kemarahan yang besar, "Masih belum ingat!" ujarnya lirih dengan gigi berkertak.Pupil mata Bima Reksa melebar, "Ka-kamu gadis kecil yang ada di bawah ranjang itu?" ujar
Arya Balaaditya berdiri di depan meja Bima Reksa, kepalanya menunduk ke arah orang tua yang sedang duduk sambil memeriksa dua gulungan itu, "Sekarang Paman tahukan bahwa semua ini sudah di rencanakan," ujarnya. Bima Reksa mengangguk dan mengangkat wajahnya yang terlihat sedih dan kecewa, "Jadi ini jebakan! Jadi Gusti Adi Wijaya menjebakku?" Kenapa? Bukankah selama ini Bima Reksa telah setia kepadanya, dia bahkan membunuh hati nuraninya demi menjalankan perintahnya. Namun balasannya adalah dia di jadikan umpan untuk meredam skandal yang di buat putranya sendiri. Bima Reksa kira kematian palsunya adalah bentuk dari kasih sayang seorang raja pada abdinya rupanya hanya kompensasi semata. Arya Balaaditya bersedekap, "Bukan! Ada sosok yang ingin menghabisi Damarjati dan para rekannya untuk menutupi rahasianya. Aku yakin Damarjati dan rekannya tahu segalanya. Bukankah waktu itu mereka yang bertugas untuk menyelidikinya?" "Tapi Adi Wijaya yang menyimpan dua gulungan perintah itu. Itu art
Sudut bibir Kumala berdarah, kedua tangannya terus saja memberontak tanpa memperdulikan resikonya. Dia bahkan menangis histeris karena rasa sakit yang luar biasa. Saat pinggul Narendra terus menghujami miliknya.Pria kejam tak punya empati seperti Narendra tidak akan terpengaruh. Sekalipun Kumala menangis darah, hatinya tidak akan tergerak. Yang dia pikirkan hanya kesenangannya saja, "Diam!!" eramnya."Hiks! Hentikan Pangeran! Hiks!" gadis itu berteriak-teriak sampai suaranya serak, dia berharap belas kasihan pangeran Harsa Loka itu."Tolong! Tolong!" Kumala kembali berteriak meminta tolong, namun tidak ada siapapun yang datang menolongnya.Narendra hanya menyeringai, lalu melumat bibir gadis itu agar diam. Tubuh Kumala semakin menegang dan terasa panas.Semakin mangsanya memberontak, semakin Narendra merasa tertantang dan hilang akal. Pria itu memegang kedua tangan gadis itu dengan kuat. Dan pinggulnya terus bergerak, darah kesucian itu mengalir seiring tangisan pilu gadis itu. Naren
Kumala terlentang secara menyedihkan di atas ranjang, tubuhnya kaku dan gemetar hebat. Nafasnya naik turun tidak beraturan. Saat menyadari ajalnya sudah dekat. Dia tidak ingin nasibnya sama seperti gadis lain, mati setelah di hisap madunya."Tu-tunggu," ujar Kumala dengan gagap, lidahnya mendadak kelu seiring punggungnya yang terasa panas dan tegang.Pangeran Narendra yang telah kesetanan, hanya menyeringai. Dia tidak perduli dengan gadis yang sedang ketakutan dan memilih untuk melepaskan mahkotanya, lalu perhiasan yang dia kenakan juga. Namun matanya penuh dengan hawa nafsu tidak lepas dari mangsanya.Semakin mangsanya ketakutan maka akan semakin menantang."Tubuhmu sangat indah," suara deep Narendra mengalun. Kumala menelan salivanya dan merinding, dia meremas kedua tangannya, wajahnya pucat dan matanya mulai berair. Dia menyakinkan dirinya dan berusaha berpikir dengan cepat. Dia harus lepas dari tragedi ini, jika tidak hidupnya akan hancur dan berantakan."Ja-jangan!" gadis itu me
Bima Reksa tidak mengucapkan sepatah katapun, dia melengos dan pergi menaiki kudanya. Tentu membuat Kumala semakin bingung. Akhirnya Kumala mengambil salah satu kuda yang berjejer terikat di pohon. Dia sekilas melirik kereta kencana yang kemarin mengantarnya dengan perasaan sedih. Baru saja dia merasakan kemewahan dan sekarang dia sudah tidak punya harapan lagi. Di tepi pantai ada Ki Sentot dan Darma yang berjaga di tempat itu. Mereka tampak acuh dan dingin seolah-olah tidak perduli dengan keberadaan Kumala. Mereka hanya sibuk membakar ikan dan saling berbincang ringan. Kumala juga tidak menyapa, dia memilih mengikuti kakeknya yang terlihat marah. "Pulang! Jangan sampai Aki bersikap kasar padamu," ancam Bima Reksa tanpa menoleh sedikit pun. Kumala menghela nafas dalam-dalam dan naik ke atas kuda dengan patuh, dia bergumam, "Untuk saat ini aku patuh, Aki!" Mereka berdua melakukan perjalanan menuju desa Kuningan. Menembus gelapnya malam dan rimbunnya pepohonan. Hanya menga
"Huaaa!!!" Kumala jatuh terjerembab di dalam perahu dengan menyedihkan. Perahu yang Kumala naiki juga bergoyang-goyang di atas air. Kumala segera bangun dan menyesuaikan duduknya agar perahu bisa seimbang. Dia memegangi dua sisi perahu dan berteriak marah, "Jangan keterlaluan! Kamu ingin aku tenggelam!" Danumaya tertawa sinis sambil melempar dayung ke arah Kumala, "Cepat pergi!" Mata Kumala seketika melotot dan giginya berkertak, "Awas kamu!" "Jika lain kali kamu mendapatkan kesulitan. Aku tidak akan pernah menolongmu lagi," ujar Danumaya dengan sinis. Dia tidak seharusnya menyesal karena telah menolong seseorang. Hanya saja orang yang dia tolong ternyata orang yang tidak tahu diri. Kumala membuang muka lalu berbalik badan, sejenak dia merenung. Gadis itu menggenggam dayung kayu itu dengan erat. Dia harus melawan rasa takut yang dia rasakan. Jarak antara pulau Wijaya Kusuma dan pulau Jawa memang tidak terlalu jauh. Hanya saja dua pulau itu di pisahkan oleh sebuah lautan. Jad
Wanita lemah lembut itu menatap ke arah Kumala yang sedang berdiri sambil berkacak pinggang, matanya berkilat dengan amarah. "Pantas putraku tidak menyukaimu! Selain kasar, kamu juga tidak tahu malu. Bagaimana bisa kamu berteriak dan mengumpat di depan orang tua. Apa kamu tidak tahu adab dan sopan santun?"Kumala merasa malu, pipinya memerah dan wajahnya tertunduk. Dia kembali duduk dan berkata lirih tanpa berani menatap mata Asri Kemuning, "Maaf, Tuan Putri."Suasana menjadi hening, semua orang tertunduk dan kembali melanjutkan makannya. Berbeda dengan Candramaya yang terang-terangan menatap wajah Ibu Mertuanya. Dia merasa kagum terhadap wanita yang begitu lembut namun sangat tegas.Dia jadi teringat dengan ibunya, mereka sangat mirip.Merasa sedang diamati, Asri Kemuning ikut menatap Candramaya. Mereka saling memandang untuk beberapa detik. Hingga tatapan itu berubah menjadi tatapan canggung. Wajah Candramaya yang dingin melembut, dia tersenyum tipis. Asri Kemuning juga ikut tersen
Kesedihan meliputi semua orang, gadis ceria seperti Cempaka sekarang hancur karena kematian orang yang dia Cintai. Cempaka terus menangis di atas jasad Saka, cinta pertama dan mungkin cinta terakhirnya.Sebuah tangan terulur dan menyentuh pundak Cempaka yang bergetar, "Lepaskan dia, biarkan dia beristirahat dengan tenang."Cempaka mendongak dan membiarkan Indrayana dan Baladewa mengangkat jasad Saka. Cempaka memeluk tubuh Candramaya dan menangis di pelukannya."Menangislah Cempaka! Itu akan membuatmu semakin lebih baik," ucap Candramaya dengan penuh kasih sayang."Terima kasih, Adik," ujar Cempaka dengan suara parau.Memang benar kata pepatah, 'Hanya wanita yang bisa mengerti wanita.'Asri Kemuning sangat tersentuh, dia tidak menyangka gadis dengan wajah dingin itu sangat begitu lembut dan dewasa. "Mungkin ini alasan Indrayana berselingkuh dengannya. Tapi alangkah baiknya jika aku memastikannya lebih dulu," batinnya.Setelah semua mayat di kebumikan termasuk Saka. Cempaka berdiri di
"Sebentar Romo," Candramaya berlari dan mengambil air dalam sebuah kendi besar. Ada gayung yang terbuat dari cangkang kelapa. "Ini Romo, basuh mata Romo," ujar Candramaya.Arya Balaaditya membasuh matanya, perlahan matanya terasa lebih baik dan pandangannya kembali membaik."Siapa gadis itu?" tanya Asri Kemuning. Dia tersenyum melihat perlakuan manis gadis itu. Dia kira gadis itu sangat kejam, terlihat dari wajahnya yang dingin dan galak. Apalagi saat gadis itu membunuh satu persatu para pemanah dengan keji dan sadis. Seperti pembunuh berdarah dingin.Asri Kemuning mulai semakin meragukan kata-kata Kumala.Indrayana sedang bertarung dengan Saka. Dia menyerang dengan membabi buta, Marah karena orang itu berani melukai ayahnya.Kumala semakin terdesak, dia kira Candramaya tidak ikut. Dengan begitu dia bisa membujuk Asri Kemuning untuk membujuk Putra dan suaminya.Beraninya Paman melukai Romoku!" teriak Indrayana dengan marah. Karena dia mulai kewalahan jadi Indrayana menarik cemetinya.
"Kang Mas!!" Asri Kemuning bangkit. Rasa lega dan bahagia bercampur membuatnya semakin terharu. Air mata kebahagian mengalir dari matanya yang indah. Dia hendak pergi menuju sumber suara, namun sayang Saka menghalanginya. Wajah pria itu terlihat semakin dingin, dia bahkan memberi isyarat agar Asri Kemuning kembali duduk dengan tenang.Suara riuh itu semakin kencang dan semakin mendekat. Mata Asri Kemuning semakin liar, bergerak-gerak mencari sosok yang dia kenal.Tangan Kumala bergetar, dia sedikit panik kalau kebohongannya akan terbongkar. Tapi dalam sekejab dia berusaha mengendalikan emosinya dan bersikap wajar. Asalkan mendapatkan dukungan Ibu dan Kakek Indrayana, pemuda itu pasti akan patuh.Arya Baladitya dan pasukannya yang dipimpin oleh Baladewa telah sampai di pulau Wijaya Kusuma. Indrayana, Candramaya, Cempaka dan Danumaya juga ikut bersama mereka.Perasaan Arya Balaaditya berkecambuk. Kerinduannya semakin besar dan tak terkendali lagi. Rasa ingin bertemu semakin menggebu-geb
Saat pintu terbuka mata Saka terbelaklak, dia tercengang bukan main. Bukan karena terpesona melainkan kaget dengan dandanan Kumala yang begitu mewah dan terkesan norak. Dia memakai kain sutra terbaik dan rambutnya terlihat begitu berat dan ramai dengan banyak hiasan yang terbuat dari emas. Begitu juga dengan riasannya yang begitu tebal. Dan perhiasan emas yang dia kenakan."Apa gadis ini benar-benar waras," batin Saka. Pria yang biasa selalu acuh dengan sekitar dan sibuk dengan dunianya kini teralihkan.Pemandangan itu benar-benar membuat matanya sakit."Aku sudah selesai," ujar Kumala, dia mengangkat dagunya dan berjalan lebih dulu.Ketakutan Saka saat ini bukanlah pertempuran yang mengancam hidupnya. Dia lebih takut jika perahu yang nanti mereka tumpangi terbalik dan Kumala akan tenggelam ke dasar laut akibat tubuhnya yang terlalu berat karna emas-emas yang dia kenakan.Saka naik ke atas kuda, sedangkan Kumala hanya berdiri dengan wajah masam. Gadis itu mulai bertingkah, " Apakah k