Kebo Ireng mengedarkan pandangannya keseliling, jumlah mereka sekitar dua puluh orang. Cukup ramai. Tapi sepertinya murni perampok, terlihat dari penampilannya yang urakan.Mereka semua mendekat, "Turun! Jatuhkan senjata kalian," teriak ketua dari perampok itu.Kebo Ireng tentu turun lalu melempar pedangnya. Dia mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Matanya melirik kearah Seno Aji, kedua mata mereka bertemu. Mereka prajurit terlatih, mereka pasti tahu jalan keluar di saat keadaan terdesak seperti ini."Gledah," perintah sang ketua. Sosok yang berdiri dengan tubuh tinggi besar.Salah satu dari mereka mendekati Kebo Ireng dan menggeledah pinggang pria berkumis tebal itu. Dia menemukan sekantong koin. "Wah berat juga ya ... sekantong penuh logam perak. Lumayan, haha ... " pria itu terkekeh saking girangnya.Sang ketua yang bernama Barja memicingkan matanya, mata elangnya tertuju pada buntelan yang ada di punggung pria berkumis itu. "Buntelan apa yang dia bawa? Cepat ambil! Siapa ta
Candramaya melirik tajam, "Jangan ikut campur!" Seno Aji dan Kebo Ireng kembali bertarung. Walaupun mereka menang jumlah karena dua lawan satu, tapi mereka lah yang kewalahan. Barja sangat cekatan dan tangkas, hampir semua serangan mereka berdua berhasil di tangkis hingga saat Kebo Ireng berhasil memotong sebelah tangan barja.Zrak!Gedebug!!Barja meringis kesakitan. Saat potongan tangannya jatuh ke tanah. Darah segar mengalir dari lengannya, aroma anyir menyeruak.Kebo Ireng menyeringai puas, namun seketika pudar saat lengan itu melayang dan kembali menyatu. "RAWA RONTEK!" teriak Barja, dia mengusap bekas darah yang ada di lengannya dengan satu tangannya yang lain. Bersih! Tidak ada bekasnya, tangan itu menyatu seperti semula.Kebo Ireng dan Seno Aji tahu persis ajian apa itu. Seseorang yang mempunyai Ajian Rawa Rontek tidak akan pernah bisa mati dengan mudah. Sepertinya meraka akan sulit menghindar dari sosok ini.Tawa Barja menggelegar, saat melihat dua mangsanya terlihat pucat,
Kebo Ireng dan Seno Aji mengangguk. Kebo Ireng menopang tubuh lemah gadis itu. Sedangkan Seno Aji, dia berniat membantu Indrayana. Namun tiba-tiba Indrayana menarik tali di pinggangnya dan menghantamkannya ke sebuah pohon. Duarr!!! Seno Aji dan Kebo Ireng terlonjak kaget, mata mereka melebar. Hanya satu kali ayuan? Pohon besar itu hancur. Seno Aji Akhirnya mengurunkan niatnya. Tanpa sadar Barja melangkah mundur, dia bergidig ngeri. Hanya saja dia menganggap dirinya kekal dan tidak bisa mati, karena memiliki Ajian Rawa Rontek. Pria itu kembali tegak dengan dagu terangkat. Sangat jumawa. Indrayana berjalan maju sambil menyeret cemetinya. "Apakah itu ikat pinggang?" tanya Kebo Ireng, mengerjab-erjabkan matanya. Candramaya menyeringai, "Heh! Riwayatnya telah berakhir," ujarnya lirih. "Kamu melakukan kesalahan dengan menyakiti istriku!" Indrayana mengeram dengan gigi bekertak. Mata elangnya menghunus tajam. Barja menyeringai, dia tertawa terbahak-bahak, "Jadi gadis itu istrimu? Ta
Indrayana memang berlari, tapi tidak di atas tanah. Pemuda itu lari di atas dahan-dahan pohon dengan begitu cepat. Bahkan dalam sekejap sosok itu telah menghilang dalam gelapnya hutan.Kebo Ireng menelan salivanya dengan susah payah lalu berkata, "Dia juga punya ilmu meringankan tubuh."Seno Aji pun sama syoknya, "Ayo kita susul sebelum hari semakin larut," pungkasnya sambil menepuk pundak Kebo Ireng.Mereka berdua menuju kudanya dan kembali melanjutkan perjalanan. Pada akhirnya yang menyelamatkan mereka adalah sosok yang selama ini mereka ragukan.***Di Tanah Para Dewa.Indrayana telah melewati dinding gaib. Dari Kejauhan rumahnya tampak terang benderang. Satu-satunya rumah di tempat itu. Besar dan mempunyai banyak kamar. Semua orang yang tinggal di Tanah Para Dewa hidup satu atap layaknya satu keluarga besar.Obor-obor telah di nyalakan di sepanjang jalan dari dinding gaib hingga menuju rumahnya. Dia semakin mempercepat langkahnya. Pemuda itu berjalan di jalan yang sekelilingnya di
Darma merasakan hatinya begitu sakit dan sesak, dia langsung memeluk tubuh dingin Indrayana lalu berbisik, "Dia akan bangun, Nak. Sadarlah! Jangan seperti ini."Ranu Baya mengepalkan kedua tangannya, dia berusaha bersikap tenang dan menghibur putranya, "Dia hanya pingsan, dia akan bangun, Nak."Indrayana menurut untuk pergi bersama Darma dan Ki Sentot. Mereka menuju sungai untuk menemani Indrayana mandi.Tepat si saat Indrayana pergi untuk membersihkan diri, muncul dua orang tamu."Ketua ... Tuan Seno Aji dan Tuan Kebo Ireng datang," ujar Brama, salah satu paman Indrayana.Ranu Baya mengernyit lalu meminta Cempaka untuk mengurus Candramaya. "Kamu urus Candramaya, Paman ada tamu," ujarnya.Cempaka mwngangguk, dia meminumkan ramuan itu dan memberikan salep pada bekas memar yang ada di tubuh gadis itu. Sedangkan untuk memar yang lumayan oarah di perut Candramaya telah menghilang karena Ranu Baya menggunakan Ajian Aksamala miliknya."Kalian? Selarut ini. Ada apa?" tanya Ranu Baya yang mer
Indrayana kaget lalu tangannya menarik kedua tangan Candramaya dan mencoba menjauhkan dari perutnya. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan cemas.Gadis itu meremas perutnya sendiri dan meringkuk. Wajahnya pucat pasi dengan alis tertekuk ke bawah. Dia terus merintih, "Pe-perutku sakittt!"Cempaka berdiri tertegun dengan wajah pucat, "Aku akan memanggil Paman." Gadis itu baru mau keluar kamar. Ranu Baya, Seno Aji dan Kebo Ireng sudah berada di ambang pintu. Mereka yang sedang duduk di ruang tamu mendengar suara rintihan Candramaya. Jadi mereka bergegas untuk memeriksa."Romo!" Indrayana memekik."Memang harus di keluarkan semua, jika tidak gadis itu bisa mati," ujar Ranu Baya panik. Dia mendekat keranjang. "Tutup pintunya!" titahnya.Seno Aji dan Kebo Ireng paham dan mereka keluar dan menutup pintu.Samar-samar dia mendengar apa yang di katakan mertuanya, "Apa yang harus dikeluarkan?" batin Candramaya. Dahinya telah berkeringat dingin, tenggorokannya juga terasa kering."Cempaka pega
Candramaya mengedarkan pandangan dan tidak ada siapa pun di ruang tamu, semua kamar juga tertutup. Mungkin mereka sudah tidur karena hari memang sudah larut malam. Tapi pandangannya tertuju pada pintu utama yang sedikit terbuka. Dia berjalan mendekati pintu itu, samar-samar dia mendengar sebuah tangisan yang terdengar pilu. Dan suara itu tidak asing di telinganya. Semakin lama semakin jelas. Candramaya membuka sedikit pintu dan mengintip dari dalam. Mungkin terlihat tidak sopan, hanya saja dia sangat penasaran.Di teras depan rumah begitu terang dengan cahaya obor. Terlihat Ranu Baya berdiri, pandangannya lurus ke depan, tubuhnya terlihat dari samping. Dan ada sosok yang sedang bersimpuh di kakinya dan sedang menangis, dia adalah Indrayana. "Romoo ... to-tolong hidupkan kembali calon anak kamiii!" pinta Indrayana dengan suara terdengar parau.Deg!!Jantung Candramaya bergemuruh dan tenggorokannya terasa tercekat, dia dengar Indrayana mengatakan, 'Calon anak kami!' Walaupun suaranya
Brak!!!Suara pintu terdobrak paksa, membuat Candramaya kecil langsung loncat ke dalam pangkuan Ibunya. Wanita berusia 27 tahun yang duduk di sisi ranjang dengan perasaan was-was. Padmasari mendekap tubuh munyil putrinya yang menggigil ketakutan. Tangannya mengelus pucuk surai Candramaya menyalurkan rasa aman dan nyaman. Padmasari menatap suaminya dengan cemas. Dia sedang berdiri di depan pintu kamar, sambil memegang pedang yang masih di dalam sarungnya.Terdengar suara rintik hujan yang mulai terdengar deras begitu juga dengan suara gaduh pertaruangan. "Menyingkir! Kalian bukan tandinganku!""Dasar pengacau! Serang!"Cuaca malam itu sangat buruk. Menciptakan suasana mencengkam, seiring dengan suara eraman dan teriakkan. Damarjati menoleh ke arah istrinya yang sedang memeluk putri semata wayangnya. Tatapannya dalam dan lekat, begitu juga perasaannya yang berkecambuk. Setelah menyaksikan para pengawalnya yang sedang bertarung dengan penyusup mulai terlihat kewalahan.Candramaya kec
Candramaya mengedarkan pandangan dan tidak ada siapa pun di ruang tamu, semua kamar juga tertutup. Mungkin mereka sudah tidur karena hari memang sudah larut malam. Tapi pandangannya tertuju pada pintu utama yang sedikit terbuka. Dia berjalan mendekati pintu itu, samar-samar dia mendengar sebuah tangisan yang terdengar pilu. Dan suara itu tidak asing di telinganya. Semakin lama semakin jelas. Candramaya membuka sedikit pintu dan mengintip dari dalam. Mungkin terlihat tidak sopan, hanya saja dia sangat penasaran.Di teras depan rumah begitu terang dengan cahaya obor. Terlihat Ranu Baya berdiri, pandangannya lurus ke depan, tubuhnya terlihat dari samping. Dan ada sosok yang sedang bersimpuh di kakinya dan sedang menangis, dia adalah Indrayana. "Romoo ... to-tolong hidupkan kembali calon anak kamiii!" pinta Indrayana dengan suara terdengar parau.Deg!!Jantung Candramaya bergemuruh dan tenggorokannya terasa tercekat, dia dengar Indrayana mengatakan, 'Calon anak kami!' Walaupun suaranya
Indrayana kaget lalu tangannya menarik kedua tangan Candramaya dan mencoba menjauhkan dari perutnya. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan cemas.Gadis itu meremas perutnya sendiri dan meringkuk. Wajahnya pucat pasi dengan alis tertekuk ke bawah. Dia terus merintih, "Pe-perutku sakittt!"Cempaka berdiri tertegun dengan wajah pucat, "Aku akan memanggil Paman." Gadis itu baru mau keluar kamar. Ranu Baya, Seno Aji dan Kebo Ireng sudah berada di ambang pintu. Mereka yang sedang duduk di ruang tamu mendengar suara rintihan Candramaya. Jadi mereka bergegas untuk memeriksa."Romo!" Indrayana memekik."Memang harus di keluarkan semua, jika tidak gadis itu bisa mati," ujar Ranu Baya panik. Dia mendekat keranjang. "Tutup pintunya!" titahnya.Seno Aji dan Kebo Ireng paham dan mereka keluar dan menutup pintu.Samar-samar dia mendengar apa yang di katakan mertuanya, "Apa yang harus dikeluarkan?" batin Candramaya. Dahinya telah berkeringat dingin, tenggorokannya juga terasa kering."Cempaka pega
Darma merasakan hatinya begitu sakit dan sesak, dia langsung memeluk tubuh dingin Indrayana lalu berbisik, "Dia akan bangun, Nak. Sadarlah! Jangan seperti ini."Ranu Baya mengepalkan kedua tangannya, dia berusaha bersikap tenang dan menghibur putranya, "Dia hanya pingsan, dia akan bangun, Nak."Indrayana menurut untuk pergi bersama Darma dan Ki Sentot. Mereka menuju sungai untuk menemani Indrayana mandi.Tepat si saat Indrayana pergi untuk membersihkan diri, muncul dua orang tamu."Ketua ... Tuan Seno Aji dan Tuan Kebo Ireng datang," ujar Brama, salah satu paman Indrayana.Ranu Baya mengernyit lalu meminta Cempaka untuk mengurus Candramaya. "Kamu urus Candramaya, Paman ada tamu," ujarnya.Cempaka mwngangguk, dia meminumkan ramuan itu dan memberikan salep pada bekas memar yang ada di tubuh gadis itu. Sedangkan untuk memar yang lumayan oarah di perut Candramaya telah menghilang karena Ranu Baya menggunakan Ajian Aksamala miliknya."Kalian? Selarut ini. Ada apa?" tanya Ranu Baya yang mer
Indrayana memang berlari, tapi tidak di atas tanah. Pemuda itu lari di atas dahan-dahan pohon dengan begitu cepat. Bahkan dalam sekejap sosok itu telah menghilang dalam gelapnya hutan.Kebo Ireng menelan salivanya dengan susah payah lalu berkata, "Dia juga punya ilmu meringankan tubuh."Seno Aji pun sama syoknya, "Ayo kita susul sebelum hari semakin larut," pungkasnya sambil menepuk pundak Kebo Ireng.Mereka berdua menuju kudanya dan kembali melanjutkan perjalanan. Pada akhirnya yang menyelamatkan mereka adalah sosok yang selama ini mereka ragukan.***Di Tanah Para Dewa.Indrayana telah melewati dinding gaib. Dari Kejauhan rumahnya tampak terang benderang. Satu-satunya rumah di tempat itu. Besar dan mempunyai banyak kamar. Semua orang yang tinggal di Tanah Para Dewa hidup satu atap layaknya satu keluarga besar.Obor-obor telah di nyalakan di sepanjang jalan dari dinding gaib hingga menuju rumahnya. Dia semakin mempercepat langkahnya. Pemuda itu berjalan di jalan yang sekelilingnya di
Kebo Ireng dan Seno Aji mengangguk. Kebo Ireng menopang tubuh lemah gadis itu. Sedangkan Seno Aji, dia berniat membantu Indrayana. Namun tiba-tiba Indrayana menarik tali di pinggangnya dan menghantamkannya ke sebuah pohon. Duarr!!! Seno Aji dan Kebo Ireng terlonjak kaget, mata mereka melebar. Hanya satu kali ayuan? Pohon besar itu hancur. Seno Aji Akhirnya mengurunkan niatnya. Tanpa sadar Barja melangkah mundur, dia bergidig ngeri. Hanya saja dia menganggap dirinya kekal dan tidak bisa mati, karena memiliki Ajian Rawa Rontek. Pria itu kembali tegak dengan dagu terangkat. Sangat jumawa. Indrayana berjalan maju sambil menyeret cemetinya. "Apakah itu ikat pinggang?" tanya Kebo Ireng, mengerjab-erjabkan matanya. Candramaya menyeringai, "Heh! Riwayatnya telah berakhir," ujarnya lirih. "Kamu melakukan kesalahan dengan menyakiti istriku!" Indrayana mengeram dengan gigi bekertak. Mata elangnya menghunus tajam. Barja menyeringai, dia tertawa terbahak-bahak, "Jadi gadis itu istrimu? Ta
Candramaya melirik tajam, "Jangan ikut campur!" Seno Aji dan Kebo Ireng kembali bertarung. Walaupun mereka menang jumlah karena dua lawan satu, tapi mereka lah yang kewalahan. Barja sangat cekatan dan tangkas, hampir semua serangan mereka berdua berhasil di tangkis hingga saat Kebo Ireng berhasil memotong sebelah tangan barja.Zrak!Gedebug!!Barja meringis kesakitan. Saat potongan tangannya jatuh ke tanah. Darah segar mengalir dari lengannya, aroma anyir menyeruak.Kebo Ireng menyeringai puas, namun seketika pudar saat lengan itu melayang dan kembali menyatu. "RAWA RONTEK!" teriak Barja, dia mengusap bekas darah yang ada di lengannya dengan satu tangannya yang lain. Bersih! Tidak ada bekasnya, tangan itu menyatu seperti semula.Kebo Ireng dan Seno Aji tahu persis ajian apa itu. Seseorang yang mempunyai Ajian Rawa Rontek tidak akan pernah bisa mati dengan mudah. Sepertinya meraka akan sulit menghindar dari sosok ini.Tawa Barja menggelegar, saat melihat dua mangsanya terlihat pucat,
Kebo Ireng mengedarkan pandangannya keseliling, jumlah mereka sekitar dua puluh orang. Cukup ramai. Tapi sepertinya murni perampok, terlihat dari penampilannya yang urakan.Mereka semua mendekat, "Turun! Jatuhkan senjata kalian," teriak ketua dari perampok itu.Kebo Ireng tentu turun lalu melempar pedangnya. Dia mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Matanya melirik kearah Seno Aji, kedua mata mereka bertemu. Mereka prajurit terlatih, mereka pasti tahu jalan keluar di saat keadaan terdesak seperti ini."Gledah," perintah sang ketua. Sosok yang berdiri dengan tubuh tinggi besar.Salah satu dari mereka mendekati Kebo Ireng dan menggeledah pinggang pria berkumis tebal itu. Dia menemukan sekantong koin. "Wah berat juga ya ... sekantong penuh logam perak. Lumayan, haha ... " pria itu terkekeh saking girangnya.Sang ketua yang bernama Barja memicingkan matanya, mata elangnya tertuju pada buntelan yang ada di punggung pria berkumis itu. "Buntelan apa yang dia bawa? Cepat ambil! Siapa ta
Candramaya mengelus dadanya karena terkejut, matanya mengerjab-erjab. Dia sebenarnya sudah terbiasa menghadapi amarah kakak sepupunya yang tempramental itu. Hanya saja dia tetap kaget karena teriakan Danumaya yang menggelegar.Sedangkan Indrayana mengacungkan jempol kearah Danumaya, "Terima kasih kakak ipar," ujarnya sambil tersenyum bahagia.Danumaya hanya berdecis sinis, "Cih!!!" Pemuda itu melengos tidak suka. Dia menuju balai di depan rumah. Di mana Wismaya dan Aji Suteja berada.Kumala hanya bisa mengikuti kemauan Danumaya, karena dia sangat takut dengan pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya. Kedua tangan Kumala saling meremas, dia hanya bisa melihat Candramaya dan Indrayana naik ke atas kuda yang sama. Candramaya duduk di depan. Tangan kanan Indrayana memegang tali pengengkang dan tangan kirinya memeluk pinggang gadis itu dengan kuat. Mereka melajukan kuda dengan pelan.Gadis itu merasa cemburu karena mereka tampak mesra dan akur.Wismaya tersenyum melihat hubungan rumah tan
Seno Aji Dan Kebo Ireng saling memandang lalu mereka mengangguk. Mereka memang harus selalu waspada. "Kami tidak akan berhenti apapun yang terjadi," ujar Seno Aji penuh keyakinan.Wismaya menepuk pundak Kebo Ireng, "Kalian tetap lah di sana. Kami akan segera menyusul bersama Bima Reksa.Kebo Ireng menjawab, "Baiklah!"Aji Suteja dan Wismaya mengantar Kebo Ireng dan Seno Aji keluar. Mereka berdua pergi menggunakan kuda. Saat kuda mereka melaju dan mulai tidak terlihat, Wismaya menghela nafas. Dia merasa khawatir. "Semoga tidak ada kendala," batinnya.Gulungan surat itu benar-benar harus sampai ketangan Arya Balaaditya. Karena surat itu yang akan membersihkan namanya. Candramaya kini sudah berada di kamar. Dia berdiri dan bersandar pada pintu kamar dan masih memegang keris kecil itu. Dia memutuskan untuk ikut bersama Pamannya dan mempercayainya untuk yang terakhir kali.Dia memilih percaya pada pamannya, hanya saja dia harus lebih waspada sekarang.Tubuh Indrayana menggeliat lalu mereg