Gjorrak melemparkan tubuh dan kepala Typhon ke arah hutan seolah makhluk raksasa itu hanya seberat ranting pohon. Mendadak langit cerah tak berawan di atas padang rumput itu berubah menjadi hitam dengan sangat cepat. Semburat kemerahan menyerupai urat-urat lahar muncul dan di antara awan-awan hitam dan bergerak serempak memutar ke satu arah.
Secepat kemunculannya, awan hitam dan merah itu membentuk sebuah pusaran raksasa seperti mata badai. Dari tengah-tengahnya, tentakel hitam raksasa meliuk-liuk menjijikkan. Tiba-tiba dan tanpa disangka-sangka pusaran awan itu jatuh dengan sangat cepat ke arah Gjorrak dan menarik Hera, Shamash dan Ishtar dengan kuat.Semuanya berlangsung terlalu cepat bagi sang ratu hingga ia tak sempat bereaksi selain hanya memejamkan mata. Lambat laun, seluruh indera Hera berhasil mencerna keadaan di sekitarnya. Hening. Namun ada samar-samar suara kehidupan. Begitu membuka mata, Hera menemukan dirinya berada dalam sebuah ruangan yang berantakaSecercah sinar mentari dengan berani menembus celah antara tirai sutra yang menjadi pembatas antara ruang tidur luas berdinding batu pualam dan beranda terbuka yang menghadap ke pemandangan indah dari puncak Olympus. Di ranjang yang mewah, sesosok perempuan memakai tunik panjang berwarna putih tengah berbaring menyamping memunggungi arah terbitnya mentari dengan tubuh eloknya.Perempuan itu bangkit dan menghadapkan wajah cantiknya ke arah beranda. Seekor burung gagak yang hinggap di atas pagar pualam mencuri perhatiannya. Dengan malas, ia berdiri dan melingkarkan stola bersulam emas ke sekeliling tubuhnya lalu melangkah anggun menuju burung tersebut. Seolah tahu siapa yang mendekatinya, burung itu terus merendahkan kepala hingga perempuan itu berada tepat di dekatnya."Bicaralah!"Suara lembut mengalun dari sela bibir indah perempuan itu. Merasa mendapat perintah, sang gagak kemudian menegakkan kembali tubuhnya sebelum mulai berkaok-kaok parau. Kemarahan terlihat jelas pada bola mata b
Pada sebuah tebing yang tinggi, sepasang kaki indah milik Hera menjejak rerumputan berwarna biru. Ya, biru! Sang dewi serta-merta terkejut melihat pemandangan di sekitarnya. Betapa tidak, ia berada di dunia di mana semua persepsinya tentang bentuk dan warna sama sekali dimentahkan. Hera mengucek kedua matanya lalu kembali mengamati sekitar tempatnya berada.Ketika ia menengadah, Hera melihat langit berwarna jingga membentang luas tanpa sedikitpun warna lain menodai. Di hadapannya, menjulang dinding alam berupa tebing bebatuan berwarna merah muda. Tak jauh dari tempat Hera berdiri, terdapat banyak benda menyerupai akar kuning besar yang saling berpilin dan melingkar seperti jalinan rambut ikal. Sang dewi merasa pusing dan mual oleh semua warna cerah yang mengelilinginya.Dengan cepat ia menatap kedua lengannya. Betapa leganya Hera setelah mengetahui bahwa kulitnya masih putih bersih seperti sebelumnya. Rambutnya pun masih berwarna coklat gelap seperti seharusnya. Hera menyimpulkan bahwa
Hera masih tak bergerak di hadapan makhluk menyerupai manusia yang masih menatapnya dengan bola mata hitam bak batu onyx. Sang dewi merasa sesuatu memukul-mukul dari dalam dadanya. Tubuhnya seakan kaku dan lidahnya kelu. Seperti inikah rasanya bila manusia dicekam ketakutan? Menyedihkan sekali!Tak ada waktu untuk terdiam seperti patung tak berguna! Binatang-binatang besar itu bisa kembali kapan saja! Meski kekuatan sihirnya hilang, Hera memiliki pengalaman berabad-abad dalam seni perang. Satu makhluk menyerupai manusia tinggi akan lebih mudah dikalahkan ketimbang beberapa binatang besar bertubuh keras. Hera serta-merta mendorong tubuh makhluk itu dan memaksanya kembali ke dalam."Siapa kau?" makhluk tersebut bertanya dengan suara berat laki-laki seraya memegangi kedua tangan Hera.Saat kulit mereka bersentuhan, sang dewi merasa seakan disambar petir Zeus. Ia merasa keberadaannya dirobek menjadi dua. Sebuah kekuatan luar biasa yang menariknya dari dua arah berlawanan benar-benar membua
Pukul setengah enam pagi, Hera sudah mengelap meja serta menata berbagai peralatan makan dan minum di atasnya. Setelah kedelapan meja kayu di ruangan itu rapi dan bersih, ia merapikan empat kursi kayu yang mengelilingi setiap meja tersebut. Sambil mengusap peluh dengan punggung tangannya, Hera kemudian menata berbagai peralatan serta perlengkapan di counter barista. "Kusangka kau akan merengek minta pulang setelah bekerja bersamaku." Sebuah suara berat membuat Hera memutar badannya. Seorang lelaki tinggi berdiri di hadapannya. Ia tersenyum pada Hera."Kau terlalu meremehkan aku, Eggy!" Hera menunjuk hidungnya sendiri lalu mencibir ke arah pemuda itu.Eggy tertawa mendapat reaksi seperti itu dari Hera. Dengan gemas, ia hendak mengacak-acak rambut perempuan itu. Tapi Hera dengan cepat menghindar. Terakhir kali ia bersentuhan dengan Eggy, jiwa dan raga Hera berpisah. Ia tak mau dianggap pingsan lagi oleh lelaki yang telah menolongnya tersebut. Bisa-bisa, Eggy memaksa Hera untuk pergi me
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, meski telah bekerja penuh semangat, malam itu Hera kesulitan untuk memicingkan mata. Tak ada yang memanggil Hera dengan gelar basíleia yang berarti ratu selain para dewa dan dewi di Olympus. Hal itu membuat Hera benar-benar penasaran ingin mengetahui sosok yang memanggilnya tersebut.Ia merasa gelisah karena bisikan yang didengarnya kemarin menandakan bahwa ada seseorang atau sesuatu yang mengenal siapa dirinya. Memiliki sosok yang senasib dengannya di dunia baru akan sangat membantunya menjalani keterasingan. Tapi Hera tak memungkiri kalau ia memiliki banyak musuh di hampir setiap pelosok wilayah kekuasaan Olympus. Dan, ia merasa khawatir kalau-kalau bisikan yang didengarnya kemarin datang dari salah satu musuhnya."Hera!"Sebuah suara membuatnya tersentak dan langsung terduduk di atas ranjang. Kedua matanya terbuka lebar. Ia terkejut mendapati hari telah terang. Entah kapan ia tertidur. Ia sama sekali tak bisa mengin
Hera menikmati hembusan angin meski merasa seakan-akan bisa terjatuh dari motor kapan saja. Ia berpegangan pada apa saja yang bisa diraihnya. Namun yang paling membuatnya merasa aman adalah ketika Hera berpegangan pada pinggang lelaki itu. Ia kagum bagaimana Eggy bisa menjaga keseimbangan kuda besinya. Seperti anak kecil, Hera menoleh ke kiri dan kanan mengamati setiap bangunan dan kendaraan lain yang ia lewati.Hari masih cukup pagi. Namun jalanan sudah mulai sepi karena waktu berangkatnya para karyawan kawasan industri telah terlewati. Eggy telah memasuki area perniagaan Karawang di mana jejeran toko yang memamerkan barang dagangan mereka nampak sudah mulai buka. Hera melihat setiap toko yang mereka lewati dengan kekaguman di matanya. Banyak pertanyaan muncul di kepalanya. Tapi suaranya tak mungkin mengalahkan suara berisik motor Eggy.Mereka tiba di pelataran parkir sebuah gedung kembar yang cukup tinggi dengan jembatan di atas jalan raya sebagai penghubungnya.
Hera berjalan di sebelah Caca dengan beberapa jinjingan belanjaan dalam genggaman. Mereka sudah selesai membeli pakaian, skincare, perlengkapan mandi dan keperluan yang lainnya. Caca bahkan menjelaskan fungsi setiap barang yang dibeli dengan rinci. Pembawaannya yang periang membuat Hera langsung menyukai Caca."Apa? Kau sudah menikah?" tanya Caca kaget setengah berteriak. "Memangnya berapa umurmu? Kau pastinya lebih muda dariku, Ra!"Kebiasaan manusia di dunia itu rupanya memotong nama menjadi satu suku kata. Hera mendapat pelajaran penting tentang salah satu kode etik pergaulan tersebut. Dan, tentunya Hera tak akan pernah menjawab pertanyaan Caca dengan jujur bahwa ia berumur lebih dari satu millenium. Ia tak mau dianggap gila oleh teman barunya itu."Memangnya menurutmu umurku berapa tahun?""Umm... kurasa antara dua puluh dua sampai dua puluh tiga tahun.""Dua puluh tiga," Hera mengambil angka paling besar."Kau sepuluh tahun
Delapan lelaki kekar di hadapan Hera serempak berdiri dan mengacungkan tangan. Mereka tampak bersemangat sambil sesekali melirik ke arah Hera yang masih mencerna situasi yang tengah berlangsung."Caca!" Eggy mendelik ke arah perempuan yang menyeringai penuh kemenangan itu."Sekarang kau harus melawan mereka semua, Profesor!""Profesor?" tanya Hera."Itu julukan yang diberikan pada Eggy karena dia pandai membaca gerakan lawan dan memanfaatkan peluang sekecil apapun untuk memenangkan pertarungan," jelas Caca."Kenapa kau mempertaruhkan Hera?" Eggy merasa kesal oleh akal-akalan Caca."Tidak apa-apa," tukas Hera. "Dengan begitu, aku jadi bisa tahu seberapa besar kepedulianmu padaku."Sementara Caca dan Angga tertawa, Eggy tercengang menatap Hera yang tersenyum jahil padanya. Lelaki itu tak menyangka kalau perempuan polos tersebut ternyata bisa membuatnya terpojok. Eggy akhirnya tertawa terbahak-bahak lalu mencubit pipi perem