Secercah sinar mentari dengan berani menembus celah antara tirai sutra yang menjadi pembatas antara ruang tidur luas berdinding batu pualam dan beranda terbuka yang menghadap ke pemandangan indah dari puncak Olympus. Di ranjang yang mewah, sesosok perempuan memakai tunik panjang berwarna putih tengah berbaring menyamping memunggungi arah terbitnya mentari dengan tubuh eloknya.
Perempuan itu bangkit dan menghadapkan wajah cantiknya ke arah beranda. Seekor burung gagak yang hinggap di atas pagar pualam mencuri perhatiannya. Dengan malas, ia berdiri dan melingkarkan stola bersulam emas ke sekeliling tubuhnya lalu melangkah anggun menuju burung tersebut. Seolah tahu siapa yang mendekatinya, burung itu terus merendahkan kepala hingga perempuan itu berada tepat di dekatnya."Bicaralah!"Suara lembut mengalun dari sela bibir indah perempuan itu. Merasa mendapat perintah, sang gagak kemudian menegakkan kembali tubuhnya sebelum mulai berkaok-kaok parau. Kemarahan terlihat jelas pada bola mata berwarna emas milik perempuan cantik tersebut setelah mendengar kicauan burung hitam itu. Dengan satu kibasan tangan yang gemulai, sang gagak segera terbang cepat lalu menghilang."Hephaestus!"Entah dari mana datangnya, sesosok laki-laki dengan toga berwarna putih telah berlutut di hadapan perempuan itu."Kau memanggilku, Hera, ratu para dewa dan dewi Olympus?""Kau adalah dewa penguasa teknologi dan segala sesuatu yang menyangkut api dan logam, Hephaestus," perempuan yang ternyata dewi Hera itu berkata dengan suara lembut namun tegas. "Bisakah kau membuatkan aku sesuatu untuk pergi ke dunia lain?"Hephaestus menengadahkan wajah menatap sang dewi seraya mengelus janggut lebat di dagunya. Ia tak bisa menerka tujuan permintaan aneh Hera tersebut."Kita memang mengetahui keberadaan dunia-dunia selain dunia ini. Tapi tak satupun dari dewa-dewi Olympus yang pernah menginjakkan kaki di sana.""Buatkan saja. Aku tahu kau bisa!"Sang dewa metalurgi dan teknologi terdiam mendengar ucapan tajam Hera."Apakah Zeus kembali menyakiti hatimu?""Bukan urusanmu!""Keselamatanmu adalah urusanku dan anak-anakmu yang lain, Ibunda!""Buatkan saja alat yang kuminta, Anakku," ujar Hera lembut. "Aku hanya penasaran dengan dunia selain Olympus dan manusia-manusia yang menyembahku."Meski Hephaestus masih belum percaya dengan alasan ibunya, ia tak punya pilihan lain."Beri aku waktu hingga menjelang siang, Ratu.""Terima kasih."Mata Hephaestus terbelalak mendengar ucapan Hera. Tak biasanya dewi matriarki yang dikenal angkuh dan pendendam itu mengucapkan terima kasih pada siapapun, terutama pada dirinya. Dengan berbagai pertanyaan yang semakin berjejalan di kepala, Hephaestus pamit dan menghilang secepat ia datang.Hera kemudian berjalan menuruni anak tangga menuju taman asri nan luas. Gemericik air di kolam yang bening dan warna-warni bunga yang menentramkan mata tak mampu mengobati kegundahan yang ia rasakan. Setelah menghela napas, Hera duduk pada salah satu bangku dari batu yang dipahat indah. Pada taman itu terdapat banyak patung besar yang mengabadikan keperkasaan Zeus sang dewa petir. Dengan muak, Hera mengalihkan tatapan ke arah awan yang menghampar di bawah istananya.Tebakan Hephaestus benar. Burung gagak tadi adalah mata-mata Hera yang mengabarkan bahwa suaminya lagi-lagi berselingkuh dengan perempuan dari bangsa manusia. Entah sudah berapa kali Hera harus menderita akibat ketidaksetiaan Zeus. Hera adalah dewi pelindung pernikahan. Bagaimana mungkin ia membiarkan pernikahannya sendiri berantakan akibat ulah suami yang gemar selingkuh?Kemarahan membuat Hera gelap mata dan melalaikan tugasnya. Sebagai pelindung perempuan, Hera telah mencelakakan Semele, Lamia, Io, Leto dan setiap perempuan yang berhubungan dengan Zeus. Ia bahkan berusaha menggagalkan persalinan mereka dan mencoba membunuh bayi yang tak berdosa. Di balik kekuatan dan kekuasaannya sebagai dewi tertinggi, Hera hanyalah sosok perempuan yang berusaha menjaga keutuhan pernikahannya. Wajar bila ia merasa cemburu saat suaminya berpaling kepada wanita lain."Kudengar kau sedang gundah, Ibunda Hera."Sebuah suara berat dan gagah membuat sang dewi menoleh ke arah sesosok lelaki muda berpakaian perang yang membungkuk memberi hormat padanya."Ares! Kau membuatku terkejut.""Apa yang kau lamunkan hingga tak menyadari kehadiranku?"Hera menjawab dengan cara menghela napas. Melihatnya, sang dewa perang segera mengerti apa yang tengah dipikirkan ibunya."Ayahanda Zeus pasti kembali padamu.""Mungkin semuanya akan menjadi lebih baik bila ia tak pernah kembali lagi. Atau mungkin sebaiknya aku yang pergi?""Apa itu alasanmu meminta bantuan Hephaestus?""Dia memberitahumu?""Hermes memberitahuku.""Si tukang gosip itu!" maki Hera. "Suatu saat nanti aku akan mengubah sayap pada sepatunya menjadi lidah ular!"Ares tertawa mendengar Hera menggerutu kesal. Meski dewi matriarki itu adalah ibu dari Hephaestus, Ares dan beberapa dewa-dewi lainnya, ia terlihat lebih muda dari dewa perang tersebut. Dalam hati Ares menyayangkan tingkah Zeus yang selalu menyakiti hati dewi tercantik di Olympus itu."Siapa lagi yang tahu mengenai urusanku dengan Hephaestus?""Aku," suara perempuan yang lembut dan mendayu terdengar menjawab.Satu-satunya dewi yang menyaingi kecantikan Hera datang memberi hormat. Rambut keemasannya yang panjang terurai indah saat ia menundukkan kepala."Apa yang dewi cinta lakukan di tamanku?""Hephaestus adalah suamiku, Hera. Aku berhak tahu setiap kegiatannya.""Betapa beruntungnya dirimu, Aphrodite! Aku bahkan tak tahu Zeus menyelinap pergi kemana saja!""Setidaknya ayahanda tidak berwajah seperti Hephaestus, Ibunda," timpal Ares lalu tertawa."Hephaestus adalah saudaramu, Ares! Hormatilah dia sebagaimana kau menghormati anak-anakku yang lain!"Bukan hanya Ares, Aphrodite pun terkejut mendengar ucapannya. Betapa tidak, Hephaestus pernah diusir Hera dari Olympus hanya karena berwajah buruk. Tak lama dari insiden itu, keterampilan dan kecerdikan Hephaestus berhasil membuat sang ratu dewi jatuh dalam perangkap yang ia buat untuk membalas dendam. Hanya berkat kekuatan Zeus, ia berhasil dibujuk untuk memaafkan Hera dan kembali ke Olympus untuk menyandang status sebagai dewa. Tentu saja setelah dijodohkan dengan Aphrodite, sang dewi cinta."Dunia lain bukanlah tempat yang aman, Hera," Aphrodite memperingatkan dengan suara merdunya yang bisa membuat setiap manusia mabuk kepayang hanya karena mendengarnya."Aku lebih suka berada di tempat berbahaya daripada terus-terusan merasa tersiksa oleh kelakuan Zeus!""Setidaknya biarkan aku memastikan dunia yang akan kau datangi aman dari segala bahaya, Ratu," sela Ares menawarkan diri."Kau berbicara dengan salah satu dewi yang menggulingkan kekuasaan para Titan, Ares. Kau pikir aku tak akan mampu menjaga diriku?"Sang dewa perang terdiam mendengar perkataan Hera."Kenapa kau tidak hukum saja perempuan yang digauli Zeus, Hera?" Aphrodite bertanya. "Biasanya perasaanmu menjadi lebih baik setelah menghukum mereka.""Dan menaikkan citra Zeus setelah ia menggagalkan upayaku?" tukas Hera. "Tidak, Dewi Cinta. Aku bosan menjadi sosok jahat bagi para perempuan yang seharusnya aku lindungi.""Kau tahu, Ibunda Ratu? Bahkan dewi cinta pun pernah berusaha mencelakai seorang perempuan hanya karena ia merasa tersaingi.""Psyche si sundal itu layak mendapatkannya, Ares!" ketus Aphrodite. "Kalau saja anakku Eros tidak jatuh cinta padanya, dia sudah mati oleh jebakan Persephone!"Ares tertawa terbahak-bahak melihat dewi cinta merengut marah. Meski terlihat gusar, kecantikan Aphrodite yang membuat semua makhluk memujanya sama sekali tidak pudar."Aku datang, Ibunda Ratu."Semua kepala menoleh ke arah suara berat dan lembut yang mengucapkan kata-kata tersebut. Hephaestus dengan toga putihnya terlihat berlutut hormat. Tangan kanannya tampak memegang sesuatu yang menyerupai sebuah kompas dari emas yang tebal dengan lebar seukuran telapak tangan."Aku tahu kau pasti bisa membuatnya, Anakku!" Hera menyongsong dewa metalurgi itu dengan lengan terentang. "Kau bahkan menyelesaikannya lebih cepat dari tenggat waktu yang kau janjikan!"Hephaestus menarik tangan kanannya saat Hera hendak mengambil benda buatannya."Aku tak akan memberikan alat ini sebelum aku tahu tujuanmu, Ibunda!"Mendengar ketegasan dalam suara Hephaestus, Hera terdiam. Sesaat kemudian sesungging senyuman terlukis di wajahnya. Senyuman yang bahkan membuat Aphrodite terpesona. Senyuman yang hampir tidak pernah terlihat sebelumnya di wajah sang ratu Olympus."Kau mencemaskan aku, Hephaestus?""Kami mencemaskanmu, Ibunda Hera," Ares menukas dengan tegas.Dengan anggun, Hera mendekati sang dewa perang lalu membelai pipinya. Ia kemudian beralih kepada Aphrodite dan melakukan hal yang sama. Hera selanjutnya mendekati Hephaestus yang masih berlutut. Dengan telapak tangannya, sang dewi menengadahkan wajah sang dewa metalurgi. Ia bahkan mengulurkan kedua tangan untuk membantunya berdiri."Aku bukan saudari yang baik untukmu, Aphrodite. Aku juga bukan ibu yang baik untuk semua anakku."Ketiga sosok tersebut merasa sangat heran dengan perubahan drastis dari sikap Hera."Aku hanya ingin sendiri dulu untuk merenungkan keberadaanku tanpa terganggu kabar-kabar menyakitkan tentang ulah Zeus," tutur Hera. "Kemarahan sudah membutakan mataku dari anak-anak dan tanggung jawab yang mestinya kupelihara dengan baik."Tangan Hephaestus bergerak menyerahkan logam bulat pipih kepada Hera."Karena membutuhkan energi besar, alat ini hanya bisa dipakai dua kali. Tekan satu kali untuk pergi dan tekan satu kali lagi untuk kembali."Hera mengangguk seraya tersenyum."Ke mana kau akan pergi, Hera?" Aphrodite bertanya."Ke sebuah tempat di mana kekuatan Olympus tidak bisa menjangkaunya."Dengan kata-kata tersebut, Hera menekan tombol pada lempengan emas berukir tersebut. Serta-merta tubuh semampai ratu para dewa dan dewi Olympus itu pun menghilang. Sesuai keinginannya, Hera telah pergi ke dunia lain."Apakah ia akan baik-baik saja, Hephaestus?""Entahlah, Ares.""Kuharap kepergiannya tak jauh berbeda dengan saat ia lari ke Euboea," komentar Aphrodite. "Tapi Zeus harus mencari cara lain untuk membawanya kembali kali ini.""Zeus mungkin akan menghukumku bila ia tahu kalau aku membuatkan alat tadi. Dan Hera mungkin akan menghukumku bila ia tahu bahwa aku bisa mengetahui di mana ia berada melalui alat itu."Ares tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Hephaestus. Aphrodite pun tampak tersenyum lega memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi."Jangan khawatir, Saudaraku!" Ares menepuk pundak Hephaestus. "Aku akan melindungimu dari kemarahan mereka!"Pada sebuah tebing yang tinggi, sepasang kaki indah milik Hera menjejak rerumputan berwarna biru. Ya, biru! Sang dewi serta-merta terkejut melihat pemandangan di sekitarnya. Betapa tidak, ia berada di dunia di mana semua persepsinya tentang bentuk dan warna sama sekali dimentahkan. Hera mengucek kedua matanya lalu kembali mengamati sekitar tempatnya berada.Ketika ia menengadah, Hera melihat langit berwarna jingga membentang luas tanpa sedikitpun warna lain menodai. Di hadapannya, menjulang dinding alam berupa tebing bebatuan berwarna merah muda. Tak jauh dari tempat Hera berdiri, terdapat banyak benda menyerupai akar kuning besar yang saling berpilin dan melingkar seperti jalinan rambut ikal. Sang dewi merasa pusing dan mual oleh semua warna cerah yang mengelilinginya.Dengan cepat ia menatap kedua lengannya. Betapa leganya Hera setelah mengetahui bahwa kulitnya masih putih bersih seperti sebelumnya. Rambutnya pun masih berwarna coklat gelap seperti seharusnya. Hera menyimpulkan bahwa
Hera masih tak bergerak di hadapan makhluk menyerupai manusia yang masih menatapnya dengan bola mata hitam bak batu onyx. Sang dewi merasa sesuatu memukul-mukul dari dalam dadanya. Tubuhnya seakan kaku dan lidahnya kelu. Seperti inikah rasanya bila manusia dicekam ketakutan? Menyedihkan sekali!Tak ada waktu untuk terdiam seperti patung tak berguna! Binatang-binatang besar itu bisa kembali kapan saja! Meski kekuatan sihirnya hilang, Hera memiliki pengalaman berabad-abad dalam seni perang. Satu makhluk menyerupai manusia tinggi akan lebih mudah dikalahkan ketimbang beberapa binatang besar bertubuh keras. Hera serta-merta mendorong tubuh makhluk itu dan memaksanya kembali ke dalam."Siapa kau?" makhluk tersebut bertanya dengan suara berat laki-laki seraya memegangi kedua tangan Hera.Saat kulit mereka bersentuhan, sang dewi merasa seakan disambar petir Zeus. Ia merasa keberadaannya dirobek menjadi dua. Sebuah kekuatan luar biasa yang menariknya dari dua arah berlawanan benar-benar membua
Pukul setengah enam pagi, Hera sudah mengelap meja serta menata berbagai peralatan makan dan minum di atasnya. Setelah kedelapan meja kayu di ruangan itu rapi dan bersih, ia merapikan empat kursi kayu yang mengelilingi setiap meja tersebut. Sambil mengusap peluh dengan punggung tangannya, Hera kemudian menata berbagai peralatan serta perlengkapan di counter barista. "Kusangka kau akan merengek minta pulang setelah bekerja bersamaku." Sebuah suara berat membuat Hera memutar badannya. Seorang lelaki tinggi berdiri di hadapannya. Ia tersenyum pada Hera."Kau terlalu meremehkan aku, Eggy!" Hera menunjuk hidungnya sendiri lalu mencibir ke arah pemuda itu.Eggy tertawa mendapat reaksi seperti itu dari Hera. Dengan gemas, ia hendak mengacak-acak rambut perempuan itu. Tapi Hera dengan cepat menghindar. Terakhir kali ia bersentuhan dengan Eggy, jiwa dan raga Hera berpisah. Ia tak mau dianggap pingsan lagi oleh lelaki yang telah menolongnya tersebut. Bisa-bisa, Eggy memaksa Hera untuk pergi me
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, meski telah bekerja penuh semangat, malam itu Hera kesulitan untuk memicingkan mata. Tak ada yang memanggil Hera dengan gelar basíleia yang berarti ratu selain para dewa dan dewi di Olympus. Hal itu membuat Hera benar-benar penasaran ingin mengetahui sosok yang memanggilnya tersebut.Ia merasa gelisah karena bisikan yang didengarnya kemarin menandakan bahwa ada seseorang atau sesuatu yang mengenal siapa dirinya. Memiliki sosok yang senasib dengannya di dunia baru akan sangat membantunya menjalani keterasingan. Tapi Hera tak memungkiri kalau ia memiliki banyak musuh di hampir setiap pelosok wilayah kekuasaan Olympus. Dan, ia merasa khawatir kalau-kalau bisikan yang didengarnya kemarin datang dari salah satu musuhnya."Hera!"Sebuah suara membuatnya tersentak dan langsung terduduk di atas ranjang. Kedua matanya terbuka lebar. Ia terkejut mendapati hari telah terang. Entah kapan ia tertidur. Ia sama sekali tak bisa mengin
Hera menikmati hembusan angin meski merasa seakan-akan bisa terjatuh dari motor kapan saja. Ia berpegangan pada apa saja yang bisa diraihnya. Namun yang paling membuatnya merasa aman adalah ketika Hera berpegangan pada pinggang lelaki itu. Ia kagum bagaimana Eggy bisa menjaga keseimbangan kuda besinya. Seperti anak kecil, Hera menoleh ke kiri dan kanan mengamati setiap bangunan dan kendaraan lain yang ia lewati.Hari masih cukup pagi. Namun jalanan sudah mulai sepi karena waktu berangkatnya para karyawan kawasan industri telah terlewati. Eggy telah memasuki area perniagaan Karawang di mana jejeran toko yang memamerkan barang dagangan mereka nampak sudah mulai buka. Hera melihat setiap toko yang mereka lewati dengan kekaguman di matanya. Banyak pertanyaan muncul di kepalanya. Tapi suaranya tak mungkin mengalahkan suara berisik motor Eggy.Mereka tiba di pelataran parkir sebuah gedung kembar yang cukup tinggi dengan jembatan di atas jalan raya sebagai penghubungnya.
Hera berjalan di sebelah Caca dengan beberapa jinjingan belanjaan dalam genggaman. Mereka sudah selesai membeli pakaian, skincare, perlengkapan mandi dan keperluan yang lainnya. Caca bahkan menjelaskan fungsi setiap barang yang dibeli dengan rinci. Pembawaannya yang periang membuat Hera langsung menyukai Caca."Apa? Kau sudah menikah?" tanya Caca kaget setengah berteriak. "Memangnya berapa umurmu? Kau pastinya lebih muda dariku, Ra!"Kebiasaan manusia di dunia itu rupanya memotong nama menjadi satu suku kata. Hera mendapat pelajaran penting tentang salah satu kode etik pergaulan tersebut. Dan, tentunya Hera tak akan pernah menjawab pertanyaan Caca dengan jujur bahwa ia berumur lebih dari satu millenium. Ia tak mau dianggap gila oleh teman barunya itu."Memangnya menurutmu umurku berapa tahun?""Umm... kurasa antara dua puluh dua sampai dua puluh tiga tahun.""Dua puluh tiga," Hera mengambil angka paling besar."Kau sepuluh tahun
Delapan lelaki kekar di hadapan Hera serempak berdiri dan mengacungkan tangan. Mereka tampak bersemangat sambil sesekali melirik ke arah Hera yang masih mencerna situasi yang tengah berlangsung."Caca!" Eggy mendelik ke arah perempuan yang menyeringai penuh kemenangan itu."Sekarang kau harus melawan mereka semua, Profesor!""Profesor?" tanya Hera."Itu julukan yang diberikan pada Eggy karena dia pandai membaca gerakan lawan dan memanfaatkan peluang sekecil apapun untuk memenangkan pertarungan," jelas Caca."Kenapa kau mempertaruhkan Hera?" Eggy merasa kesal oleh akal-akalan Caca."Tidak apa-apa," tukas Hera. "Dengan begitu, aku jadi bisa tahu seberapa besar kepedulianmu padaku."Sementara Caca dan Angga tertawa, Eggy tercengang menatap Hera yang tersenyum jahil padanya. Lelaki itu tak menyangka kalau perempuan polos tersebut ternyata bisa membuatnya terpojok. Eggy akhirnya tertawa terbahak-bahak lalu mencubit pipi perem
Beberapa hari telah berlalu sejak Hera menyaksikan Eggy bertarung di Wai Gym. Seluruh warga di sekitar Moliendo Cafe sudah tahu bahwa Hera adalah adik dari Eggy. Dengan demikian, para suami yang sebelumnya telah diresahkan oleh ketampanan Eggy semakin bertambah merana karena istri mereka juga resah oleh kecantikan Hera.Seperti biasa, di lingkungan ibu-ibu, gosip beredar dari mulut ke mulut seperti bergulirnya bola salju yang semakin membesar oleh serpihan-serpihan salju yang menempel dari atas lereng gunung hingga ke lembah. Meski para wanita mengidolakan Eggy seakan lelaki itu tak punya kekurangan sedikitpun, mereka selalu mencela Hera sebagai penyebab berbagai permasalahan rumah tangga yang terjadi di lingkungan itu.Hera merasa sangat hina dan terpukul ketika buah bibir yang sudah sangat besar oleh keburukan hati para pelontarnya sampai ke telinga perempuan itu. Ia merasakan kemarahan yang luar biasa hingga ingin mengutuk semua perempuan di lingkungan itu. Namu