Dypta melepaskan pagutan bibirnya dari Audry ketika pasokan oksigen di sekitar mereka terasa berkurang. Napas keduanya terdengar memburu, berkejaran satu sama lain.Dengan kekhawatiran yang kuat melandanya, Audry menyapukan mata ke setiap sudut penjuru ruangan.Tempat mereka berada sekarang adalah ruangan Audry. Dypta sengaja merancang ruangan itu di sudut dan sedikit tersembunyi.“Nggak ada CCTV di sini, Ry.”Bisikan Dypta membuat Audry kembali mengarahkan mata pada laki-laki itu. Dypta seakan tahu apa yang saat ini menggayuti benak Audry.Seketika Audry mengembuskan napas lega meski belum sepenuhnya. “Kamu yakin?”“Yakin dong, kan aku yang mendesain ruangan ini. Aku yang mengatur semuanya.”Kali ini Audry benar-benar merasa lega. ”Kenapa nggak dikasih CCTV?”“Apa aku harus menjawab pertanyaan itu?”Senyum Dypta dan tatapan mesra laki-laki itu sudah cukup memberi jawaban. Audry rasa ia tidak perlu bertanya lagi.Dypta memang cerdik dan mengantisipasi semuanya dari awal. Ia sengaja me
”Dyp, sini dulu!”Dypta menghentikan langkah dan menoleh pada sosok yang memanggilnya. “Tania main dulu ya, Om mau bicara sama Papi,” ujar laki-laki itu melepaskan Tania dari gandengan tangannya.Tania lalu berlari menjauh, sedangkan Dypta berjalan mendekati Jeff.“Iya, Om, ada apa?”“Duduk, Dyp.” Jeff menunjuk kursi di hadapannya.Pikiran buruk mulai menghantui Dypta melihat raut serius yang ditunjukkan Jeff. Apa ini tentang Audry?“Kamu tuh keren tahu nggak?”Pikiran buruk tadi seketika berubah melihat senyum di bibir Jeff.“Keren gimana, Om?” ”Gimana nggak keren, kamu nyiapin semua ini hanya dalam tempo dua minggu di saat orang lain belum tentu bisa menyelesaikannya di waktu yang sama.””Oh, soal itu. Asal ada uang semuanya pasti beres,” jawab Dypta merendah.”Kamu paling bisa kalau merendah. Asal kamu tahu, Dyp, kamu lebih cocok jadi pengusaha. Udahlah, nggak usah mikir passion, passion-an.”Dypta hanya tersenyum kecil. Orang tuanya adalah pengusaha. Begitu pun dengan dua saudar
“Pi, tapi aku-”“Ayolah, Audry, jangan menolakku, jangan membuatku marah malam ini. Lagi pula aku akan lama di London, aku pasti akan merindukanmu.” Jeff memotong perkataan Audry sebelum perempuan itu berhasil menuntaskan ucapannya.Ya Tuhan ….Audry menghela napas panjang. Audry sungguh tidak ingin melakukannya. Ia tidak rela berbagi tubuhnya dengan Jeff setelah Dypta menyentuhnya. Tapi tidak mungkin ia menolak suaminya sendiri kan? Yang ada Jeff bakalan curiga lantaran penolakannya.Jeff menarik handuk yang membungkus badan Audry hingga terlepas dan menumpuk di kaki perempuan itu.Audry memekik yang membuat Jeff melotot padanya.“Kenapa berteriak? Apa kamu ingin seluruh penghuni rumah ini tahu apa yang kita lakukan?”Audry lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan dan kembali mengingatkan dirinya sendiri bahwa Jeff adalah suaminya, bukan orang lain.Jeff menarik Audry ke ranjang, tapi Audry bertahan di tempatnya. Ia ingin seseorang memaku kakinya saja agar tidak bisa ke mana-mana.
Dypta yang tadi hampir memejamkan mata membuka dengan lebih lebar. Laki-laki itu menatap perempuan yang sedang memangkunya dengan penuh tanda tanya.“Ry, kamu kenapa?”Audry tidak menjawab. Ia masih terus menutup mulutnya dengan telapak tangan. Audry tidak tahu kenapa dirinya menjadi mual dan ingin muntah begini. Semua datang secara mendadak dan tiba-tiba.Karena Audry masih mengunci mulut, Dypta beranjak dari pangkuan perempuan itu lalu duduk di sebelahnya dan memperhatikannya baik-baik. Muka Audry terlihat sedikit pucat, berbeda dari biasanya.“Huek … huek …” Audry segera berlari ke kamar mandi ketika tidak sanggup lagi menahan dorongan rasa ingin muntah dari perutnya. Baru saja dibukanya pintu kamar mandi Audry langsung menyemburkan muntahan dari mulutnya yang sebagian besar adalah cairan.Dypta menyusul ke kamar mandi dan berdiri di belakang Audry sambil memijit tengkuk perempuan itu serta mengusap-usap punggungnya.Audry terkulai lemas setelah tidak ada lagi yang bisa dikeluark
Audry sedang mematut dirinya di cermin setelah menyapukan pulasan terakhir pemulas bibir berwarna merah menyala. Sementara tubuh mungilnya terbungkus tube dress berwarna hitam yang membuatnya terlihat seksi. Lipstick merah serta gaun hitam adalah paduan yang sangat pas untuk dikenakan di malam hari terutama untuk acara yang sangat intim karena memberi kesan sensual.Audry berkaca sekali lagi memastikan penampilannya sudah oke. Sebenarnya ia kurang percaya diri dengan gaun yang mengekspos dengan jelas area dada dan lehernya. Belum lagi warna lipstick yang bukan Audry banget. Tapi apa sih yang enggak buat Dypta?Malam ini Audry akan merayakan ulang tahunnya bersama Dypta. Bukan perayaan besar-besaran, hanya sekadar mengingat dan menandai bahwa hari ini adalah momen yang sangat berarti baginya.Bukan Audry yang meminta tapi Dypta yang menginginkannya. “Belum tahu tahun depan aku masih di sini, Ry.” Itu kata Dypta tadi.Audry mendadak tegang. “Memang kamu mau ke mana, Dyp?” tanyanya cema
Dypta merangkul punggung Audry keluar dari ruangannya dan membawa ke restoran yang berada di area lain tempat itu.Dypta memilih bagian luar restoran yang langsung beratapkan langit dengan penuh taburan bintang.Malam itu telah tersedia hidangan ala Perancis seperti beef bourguignon, yaitu sup daging sapi yang dimasak menggunakan anggur merah. Ada juga classic wedge salad serta creme bulee sebagai hidangan penutup. Beberapa lilin dinyalakan membuat termaram suasana yang menjadikan kesan candle light dinner malam itu terasa begitu romantis.Dypta menarik kursi dengan pelan kemudian meminta Audry duduk di sana. Sikapnya yang manis lagi-lagi membuat Audry membandingkannya dengan Jeff. Waiter datang dan menuangkan wine untuk mereka kemudian berlalu pergi setelah menanyakan pada Dypta apa ada lagi yang mereka butuhkan. Dypta menjawab dengan memberikan bisikan pelan yang Audry tidak bisa mendengarnya.“Tadi kamu bilang apa sama dia, Dyp?” tanya Audry setelah pelayan itu pergi.“Mau tahu ap
Kalau saja bukan karena alarm yang menjerit-jerit memekakkan telinga mungkin hingga saat ini Audry masih meringkuk malas di bawah selimut.Audry membuka mata dan terkesiap saat mengetahui waktu saat ini. Sudah saatnya ia bangun. Ia harus mengurus Tania dan menyiapkan segala kebutuhannya sebelum berangkat ke sekolah.Audry membuka lagi matanya yang masih begitu berat dengan selebar mungkin. Bibirnya menyunggingkan senyum kala menyadari tempatnya berada sekarang. Di mana lagi kalau bukan di apartemen Dypta.Dypta masih tertidur di sebelahnya dengan tangan yang melingkari Audry begitu erat.Audry masih ingin melanjutkan tidurnya dalam dekapan hangat laki-laki itu. Namun ia harus meninggalkan kenyamanannya karena harus mengurus Tania. Ia wajib pulang pagi ini.Dengan gerakan seperlahan mungkin Audry bergerak menuruni ranjang. Muka tenang Dypta yang pulas dalam tidurnya membuat Audry jadi tidak tega kalau sampai laki-laki itu jadi terusik dan membuatnya terbangun.Baru saja Audry menjejakk
Audry duduk di sebelah Inggrid sambil mengemut permen dengan santai. Sedangkan sang sahabat menyetir dengan gelisah. Sesekali Inggrid terlihat merenggangkan seat belt-nya. Lalu di saat yang lain perempuan itu akan memajukan tubuh atau memundurkan duduk.Audry yang awalnya acuh tak acuh tak pelak menoleh ke sebelahnya. “Lo kenapa, Rid? Dari tadi gue lihat kek cacing kepanasan.”Inggrid balas memandang Audry dan menyunggingkan senyumnya. “Nggak apa-apa.””Kalo nggak apa-apa terus kenapa lo duduknya gelisah kayak gitu?” “Pantat gue gatal makanya jadi nggak nyaman.”“Hoo, lo bisulan?”“Bukan ah!” Inggrid mendelik membantahnya.Lalu Audry pun tertawa dan tidak lagi membahasnya.Mereka tiba di rumah sakit beberapa saat kemudian dan ikut menunggu bersama antrian pasien lainnya hingga nama Audry dipanggil.Inggrid mengekor di belakang Audry masuk ke ruangan dokter.Dokter yang ramah itu menyapa Audry dan menanyakan apa saja keluhannya.”Ibu Audry Zhelby?’” Dokter mengeja nama Audry setelah
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama