Audry mengetuk-ngetuk meja dengan buku jarinya. Suara ketukan itu menimbulkan suara pelan.Sementara matanya menatap kosong ke layar laptop, memandangi tulisan yang beberapa menit lalu diketiknya di sana. Apa pun yang tertera di layar kertas digital itu semuanya adalah tentang Dypta. Dypta lagi dan Dypta terus.Semalam hal itu terjadi lagi. Jeff memintanya lagi dan Audry tidak punya alasan untuk menolak atau laki-laki itu akan marah dan curiga padanya.Audry merasa bersalah karena menganggap dirinya mengkhianati Dypta. Tapi bagaimana dengan Dypta? Apa dia juga merasakan hal yang sama? Apa tidak terlintas di hatinya perasaan serupa lantaran telah menyakiti Audry?Audry bahkan tidak yakin perasaan itu ada. Audry bahkan mulai berpikir jangan-jangan Dypta menikmati permainannya. Lelaki mana yang tidak akan tergoda oleh perempuan seksi dan secantik Drey? Bahkan Audry yang jelas-jelas adalah seorang wanita sangat terpesona oleh kesempurnaan fisik perempuan itu.'Mikir apa sih aku?' Audry
"Soal penting apa, Dyp? Nggak bisa sekarang aja?" Audry sudah tidak sabar ingin tahu apa yang akan disampaikan Dypta."Nanti aja pulang dari dokter."Audry mengangguk dan tidak bertanya lagi.Mereka kemudian saling diam dihanyutkan pikiran masing-masing. Satu-satunya suara yang terdengar adalah lagu melankolis yang mengalun dari radio mobil."Situasi di rumah gimana, Yang?" Pertanyaan itu menyentak Audry dan membuatnya menoleh ke arah Dypta."Biasa aja.""Kabar Tania gimana?""Dia sehat, masih seceria biasa.""Kalau Om Jeff?""Kayak yang aku bilang kemarin. Dia agak berubah setelah aku ngelakuin apa yang kamu suruh. Tapi ..." Audry berhenti, rasanya tidak sanggup untuk meneruskannya. Suara Audry yang tercekat rupanya menarik perhatian Dypta untuk menoleh. "Tapi apa, Yang?" burunya ingin tahu."Jeff minta itu lagi," jawab Audry lirih."Dan kamu kasih?"Audry mengangguk pelan. "Aku nggak mungkin menolak. Nanti dia bakal curiga. Selama masih serumah sama dia aku nggak akan bisa menolak
Audry menatap Dypta lebih dekat di sela-sela keheranannya. Audry ingin agar Dypta memperjelas kata-katanya. Meski hampir bisa membacanya, namun Audry tidak ingin berasumsi.“Dyp, jadi yang mau kamu omongin sebenarnya apa?”Dypta tidak langsung menjawab. Ia menelan salivanya. Rasanya tidak ingin menyakiti perempuan berparas manis di sebelahnya ini. Tapi keadaan memaksanya. Ia sudah terlanjur masuk ke dalam permainan yang dibuatnya sendiri. Dan dirinya juga yang harus menyelesaikannya.”Dyp, ayo dong! Kamu bilang semua ini maksudnya apa?” desak Audry tidak lagi bisa membendung rasa ingin tahu. Seharusnya dari tadi Dypta mengatakannya.“Aku akan menikahi Audi,” ucap Dypta lirih. Hal yang sesungguhnya tidak ingin ia sampaikan.Audry langsung terdiam setelah mendengar ucapan Dypta. Tolong katakan padanya, Audry tidak salah dengar kan? Dypta pasti sedang bergurau. Gurauan yang nggak ada lucu-lucunya.“Dyp, aku nggak ngerti deh, kamu ngomong begini ke aku maksudnya apa? Kamu pengen becandain
Audry terdiam begitu lama, sementara Dypta yang sedang menyetir di sebelahnya terus menanti jawaban perempuan itu. Audry tidak ingin Dypta menikah dengan Audi. Ia tidak yakin Dypta bisa melepaskan diri dari perempuan itu setelahnya. Audry memang tidak mengenal Audi secara pribadi. Namun melihat sikap yang ditunjukkan perempuan itu pada Audry, ia yakin semua tidaklah segampang yang dipikirkan Dypta. Audi membenci Audry, apalagi jika nanti tahu siapa ia sebenarnya.Dypta menepi kemudian berhenti di pinggir jalan. Pembahasan ini tidak bisa dilakukan secara sambil lalu.“Gimana, Yang? Aku udah kasih pilihan dan semua ada risiko masing-masing. Aku siap menjalankan apa pun yang kamu pilih. Aku menikah dengan Audi tapi kamu harus sabar sementara waktu. Atau aku muncul di hadapan Om Jeff dan kita mengakui semuanya dengan konsekuensi kita sama-sama berada pada posisi yang tidak aman. Aku akan kehilangan pekerjaan, kehilangan uang, kehilangan segalanya. Aku nggak punya apa-apa.””Tapi kamu ngg
Masuk ke dalam rumah, Dypta duduk sendiri di ruang tamu. Audry meninggalkannya sesaat.Kilasan percakapan tadi terngiang lagi di telinga Dypta. Sebelum memutuskan untuk mengaku dan menemui Jeff, mereka berbicara sangat lama dan panjang sebelum akhirnya mencapai keputusan itu."Ini semua tentang harga diri. Kamu nggak akan ngerti," ujar Dypta pada Audry."Aku hidup tanpa harga diri selama bertahun-tahun, tapi aku tetap hidup. Kita nggak akan mati hanya karena dianggap rendah dan dilecehkan, Dyp," jawab Audry membalas perkataan Dypta.Dypta terpaksa membelokkan rencananya dari tujuan awal setelah Audry memohon-mohon padanya. Menyerahkan diri pada Jeff sama dengan menuju tiang gantungan. Jeff akan membunuhnya untuk kedua kali. Entahlah. Dypta tidak tahu apa kali ini ia akan betul-betul mati. *Jef mengendara serampangan. Ia juga membunyikan klakson dengan keras dan tidak sekali dua kali menyalib kendaraan di depannya dari sebelah kiri. Berita yang disampaikan Nora tadi padanya membuat
Jeff terkejut setengah mati. Tidak hanya karena kemunculan Dypta yang begitu mendadak dan tidak pernah ada dalam prediksinya. Namun juga karena pengakuan laki-laki itu. Ia tidak tahu bukti apa yang dimiliki Dypta. Tapi membuatnya cukup gentar.Jujur saja Dypta yang duduk di depannya saat ini begitu berbeda dengan Dypta keponakannya yang dikenalnya dulu. Siapapun dia dan meskipun suaranya sama tapi sukses membuat Jeff tertipu."Untuk apa Om pertahankan Audry? Dia tidak mencintai Om. Om juga tidak mencintai dia." Dypta memecah lamunan singkat pamannya.'Tahu apa bajingan kecil ini tentang perasaanku?!' Jeff menggeram di dalam hati."Audry memang istri Om tapi hidupnya sangat tersiksa karena Om nggak berhenti menganiayanya lahir dan batin. Om bisa dapat perempuan yang jauh lebih baik dari Audry. Aku ingin Om lepaskan Audry dan Tania. Aku juga ingin memberi Om penawaran.""Penawaran apa?" tanya Jeff dingin."Om jangan anggap aku main-main. Aku mempunyai barang buktinya, Om. Om bisa dipenj
“Dyp, putar balik, kita pulang aja!” cetus Audry tiba-tiba.Sudah sejak tadi Audry hanya diam dan larut dalam renungan panjang. Audry memikirkan Tania. Audry khawatir jika Jeff berbuat nekat pada putri mereka.Dypta yang sedang menyetir terkejut mendengar seruan Audry dan refleks menoleh ke sebelahnya. “Jangan,” larangnya tidak setuju.“Tapi aku takut kalau Jeff bakalan nekat dan nyakitin Tania.””Aku juga takut, tapi Tania anak dia, anak kalian berdua. Jeff mungkin bisa ngelakuin apa pun ke kamu, tapi bukan pada Tania. Kamu tenang aja, besok pagi-pagi kita datang ke rumah dan ketemu sama Tania,” ujar Dypta mencoba menenangkan Audry sambil mengusap lembut pundaknya.Sesungguhnya Dypta jauh lebih khawatir dibandingkan Audry. Kenapa? Karena semua terasa sangat mudah. Jeff percaya begitu saja bahwa Dypta memiliki barang bukti atas kejahatannya. Dan Jeff juga begitu gampang menyerahkan Audry pada Dypta.Mereka tiba di North Apartment tak lama kemudian. Meski Dypta sudah semaksimal menenan
Tania bergerak pelan. Kelopak matanya pun terbuka pelan-pelan. Kejadian tadi pagi melintas lagi di depan matanya. Membuat anak itu takut dan mengalami trauma.Tania kembali menangis sesenggukan sambil menggumamkan nama ibunya."Mommy ... Papi jahat, Mommy di mana ...""Tania ..."Suara seseorang yang memanggil namanya membuat Tania menolehkan kepala. Ia mendapati Nora berjalan mendekat ke arahnya."Tania kenapa menangis, Sayang?" Nora duduk di pinggir sofa di dekat Tania."Papi jahat, Tante," jawab Tania sesenggukan."Papi jahat gimana, Nak?" tanya Nora sambil mengamati wajah Tania lebih dekat."Papi ..."Suara deheman Jeff yang muncul tiba-tiba menghentikan Tania.Jeff ikut menghampiri Tania yang membuat anak itu langsung memeluk dan menyembunyikan mukanya di dada Nora.Tindakan Tania membuat Nora memandang ke arah Jeff penuh tanda tanya.Jeff mengangkat bahu pura-pura tidak tahu."Tata tadi mimpi apa, Sayang? Pasti mimpi buruk lagi. Makanya Papi bilang sebelum tidur baca doa dulu. K
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama