"Permainan yang menarik bukan? Semua tersembunyi di balik sebuah topeng kebohongan."
***
Nahla tersenyum tipis menatap gadis kecil di hadapannya saat ini. "Kak Nahla," ujarnya membuat Nahla menggeleng kecil.
Anin, gadis kecil itu hanya diam sambil menunduk tidak mau beranjak dari tempatnya sekarang. "Anin."
"Anin takut," cicit gadis itu sambil menggeleng.
"Ada Kakak," ujar Nahla. Anin mendongkakan kepalanya menatap Nahla.
"Janji," ujar Anin sambil mengacungkan jari kelingkingnya ke hadapan Nahla.
Nahla mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya sebagai janji di jari mungil Anin.
Mereka segera masuk ke dalam rumah, Anin masih takut-takut dan memegang erat tangan Nahla.
"Assalamualaikum," salam Nahla menghampiri wanita paruh baya yang sedang menonton televisi di ruang keluarga sendirian.
"Waalaikumsalam." Wanita itu menoleh menatap Nahla dan Anin.
Wanita itu cukup lama menatap Anin hingga gadis kecil itu semakin takut dan bersembunyi di belakang tubuh Nahla.
"Ngapain kamu ke sini!" ujarnya mengalihkan pandangan dan memilih menonton televisi kembali.
"Mah, Anin tinggal di sini," pinta Nahla membuat wanita yang dipanggil Mama itu menghela napas gusar.
"Terserah," ujarnya tanpa menoleh.
Nahla tersenyum tipis saraya mengangguk kecil. "Tapi ...." lanjut wanita tersebut membuat senyum di bibir Nahla pudar.
"Tau batasannya," ujarnya. Nahla menghela napas lelah.
"Mah, dia ...."
"Dia sebuah kesalahan," papar wanita tersebut menatap datar Anin yang bersembunyi di balik badan Nahla.
"Kak," cicit Anin semakin takut.
"Kamu tetap Adik, Kakak," ucap Nahla melirik ibunya.
"Nahla ke atas," pamitnya langsung membawa Anin ke kamarnya di lantai dua.
Setelah pintu kamar tertutup rapat, ia smenyuruh Anin segera tidur karena gadis kecil itu nampak kelelahan.
"Anin tidur langsung ya," suruhnya membuat gadis kecil itu menatap Nahla dengan mata yang dikedip-kedipkan.
"Janji," ujarnya mengacungkan kembali jari kelingkingnya kepada Nahla.
"Janji," jawab Nahla mengerti apa yang dikatan Anin.
"Makasi Kak," ujar Anin bersamaan dengan matanya tertutup. Nahla hanya mengangguk singkat, sekarang ia merasa tertekan. Entah karena dirinya sendiri atau bisa jadi karena gadis kecil ini.
"Selamat tidur, kamu bukan kesalahan hadir di sini," gumam Nahla mengusap rambut Anin.
Nahla, Nahla kadang ia merasa jengah sekali berada diposisi seperti ini. Kebahagiannya sekarang hanya semata untuk kebahagian orang lain. Jangan ditanyakan capek, sudah pasti itu yang ia rasakan saat ini.
"Anin nggak salah," lirih Anin mengigau saat tidur. Nahla terdiam menatap Anin yang terlalap dengan keringat di keningnya.
"Anin ...." Isakan kecil lolos dari mulutnya.
"An ...." Suara Nahla tercekek, kasian kepada gadis tersebut.
Tok! Tok! Tok!
Nahla menoleh ke pintu yang perlahan terbuka.
"Nahla," panggil pria paruh baya yang barusan masuk ke dalam kamarnya.
Nahla diam menatap pria tersebut. "Maaf," ujarnya mendekat.
"Maaf?" tanya Nahla tersenyum miring.
"Maaf, karena ...."
"Minta maaflah ke dia," ucap Nahla menyela perkataan pria tersebut.
"Dia bukan kesalahan, tapi andalah yang masalahnya." Nahla melirik Anin yang kembali tidur lelap.
Pria itu hanya diam mematung tak jauh dari ranjang Nahla. Dia menatap putrinya dalam diam, semua memang salahnya, ya memang benar karena kebejatannya keluarganya hancur.
"Maaf," gumamnya sekali lagi.
"Hanya maaf yang dapat Ayah katakan sekarang," lanjutnya menyeka sudut matanya.
"Ayah, mau berangkat ke laur kota. Jaga adikmu," ujarnya sekalian pamit.
"Ya," jawab Nahla tersenyum miring. Lagi dan lagi, sudahlah.
Sebelum pria itu keluar dari kamar, dia menyempatkan diri untuk membelai ramput gadis yang tengah tertidur itu.
"Maafin Ayah," gumamnya.
"Ayah, pamit," lanjutnya sekalian berpamitan dengan Nahla.
"Jangan ulangi kesalahan yang sama, jika tidak ingin hancur untuk kesekian kalinya," pesan Nahla saat orang yang dipanggil Ayah itu mau menutup pintu kamar.
Pria tersebut tergegun mendengar perkataan putrinya, lalu mengangguk singkat sebelum benar-benar menutup rapat pintu kamar.
"Makasi," gumam Nahla merebahkan dirinya di sebelah Anin. Ia melirik gadis lima tahun yang ada di sampingnya saat ini.
"Kenapa harus kamu," gumam Nahla menghela napas.
"Oke, La. Stop pikirkan," lanjutnya tapi hatinya menolak untuk bersikap bodo amat.
"Nahla," gumamnya lagi. Nahla tersenyum manis menatap langit-langit kamarnya.
"Oke-oke, stop!" Ia memilih membukus seluruh badannya dengan selimut dan menyusul Anin ke alam kapuk.
Setengah jam terperangkap panas di dalam selimut kembali membuat Nahla membuka matanya dan sekarang sudah menunjukan pukul 22.45 malam.
"Nahla mikirin apa sih," dengkusnya bengkit. Ia melirik Anin yang masih tertidur pulas.
Karena kebetulan botol minumnya kosong, Nahla memilih beranjak pergi ke dapur mengisi ulang botol tersebut.
Saat menuruni anak tangga ia berpapasan dengan mamanya. "Mama belum tidur?" tanya Nahla mrmbuat wanita tersebut menggeleng. Terlihat wajah merah dan mata sembab karena usai menangis.
Ilen, wanita tersebut benama Ilen. Dia menatap Nahla. "Oh, aku mau ngisi botol minum. Habis," ujar Nahla memperlihatkan botol kosong tersebut.
Ilen mengangguk singkat dan memilih melanjutkan naik ke atas menuju ke kamarnya. "He'um, lagi bad mood kali," gumam Nahla walau itu tidak benar menatap punggung mamanya yang mulai tidak kelihatan.
"Non, belum tidur?" tanya Bi In dari bawah mengangetkan Nahla yang masih berada di anakan tangga.
"Eh, Bibi. Ngagetin aja," dengkus Nahla memuat orang yang panggil Bibi tersebut terkekeh.
"Maaf Non," ujarnya tersenyum canggung.
Nahla mengangguk singkat dan mengahampiri Bi In di bawah. "Nahlah mau ngisi botol air, lampu dapur belum mati kan, Bi?" tanyanya.
Bi In menggeleng sebagai jawabannya. "Oh ya Bi, Ayah udah pergi?" tanya Nahla berbisik membuat Bi In bingung.
"Barusan aja pergi," jawab Bi In. Nahla mengangguk singkat dan pamit meluncur ke dapur.
Bi In menggeleng dengan sikap Nahla walau keluarganya sedang dilanda masalah tapi dia tetap tegar menghadapinya.
***
HAPPY READING!
Haloo, selamat malam semua?
Heum, apa kamu Nahla?Memendam tanpa banyak mengurai bahasaGimana?
Selamat membaca dan menikmati setiap untain kata>•<
•RizkaAfrianita
Jangan lupa tinggalkan jejak ya
Vote and comen°_Anak Ayam_°
______________________________________________________________________"Maaf jika hanya dengan kata-kata aku memberi dorongan, tanpa aksi yang nyata."***"La," panggil Syifa teman sebangkunya yang baru datang."Hmm," gumam Nahla tanpa menoleh karena asik membaca novel."Lo ...." Nahla meletakan novel ke atas meja, ia melirik Syifa. "Apa?""Nggak bersahabat banget," celetuk Syifa meletakan tasnya di atas meja."Emang iya." Nahla menghela napas gusar."Ya-ya udah ketebak," dengkus Syifa meletakkan kepalanya di atas tasnya."Btw, nanti ijinin gue ya," ujar Nahla mengeluarkan buku berwarna hitam dari tasnya."Masih pagi?" tanya Syifa menghela napas, bolos lagi ini anak."Malas," gumam Nahla bangkit dan meninggalkan Syifa.Nahla memilih pergi ke perpustakaan dan tidak lupa membawa buku berwana hita
"Ketika rasa tidak lagi bisa dipahami, dan ketika keadaan menjadi tempat pelampiasan."***Nahla membanting handphonenya ke lantai, sekarang ia kesal. Kesal karena pesan yang baru saja ia terima. "Ck."Dia mengambil tas selempangnya yang berada di atas nakas dan bergegas turun ke bawah. "Nahla, kamu mau kemana?" tanya Ilen dari dapur bersama Anin. Gadis kecil itu tersenyum menatap Nahla. "Anin juga anak Mama," ujarnya menjawab kebingungan Nahla melihat mereka berdua.Nahla mengangguk paham, ia merasa l
Kau menyuruhku untuk melupakanmu?***Nahla berjalan tergesa-gesa menelusuri koridor kelas. Ia tidak memerhatikan jalan hingga menabrak seseorang."Nahla!""Eh, maaf," gumam Nahla menunduk.Orang yang ditabrak Nahla berdehem dan menyodorkan buku berwarna hitam ke hadapannya. "Mau cari ini, kan?" tanya Gilang membuat Nahla langsung mengambil buku tersebut."Makasi," ujarnya langsung pergi setelah mengambil buku itu dari genggaman Gilang."Kita ada masalah?" tanya Gilang sedikit berteriak, untuk saja sekolah masih sepi.Teriakan Gilang membuat Nahla menghentikan langkahnya. Ia menghela napas dan memilih segera pergi menuju kelasnya yang berada di lantai dua.Gilang menghela napas gusar. "Oke," gumamnya, dia memilih menyusul Nahla ke lantai dua.Syifa melirik Nahla yang barusan datang. "Tumben telat," celetuknya membuat Nahla menghela napas."Mood gue lagi hancur, jan mulai deh," desis Nahla melet
Aku hanya butuh dipahami itu saja! ***"Gilang!" pekik Syifa membuat siempu hanya diam."Kenapa?" tanya Rendi mengampiri, dia melirik Gilang yang tengah duduk di tengah tumpukan kardus."Gila lo yah, dari tadi kami sibuk nyariin nyatanya lo di sini kek anak hilang," gerutu Syifa.Gilang hanya diam menatap Syifa, dia melirik Nahla yang hanya diam tanpa menoleh atau menghampirinya."Sadboy benaran, baru nemuin gue," ujarnya menatap penampilan Gilang yang sebelumnya rapi saat dia pertemu tadi pagi dengannya."Pergi kalian," usirnya menatap kosong ke depan."Mau jadi apa lo!" Sekarang giliran Rendi yang berbicara, dia 'tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya itu."Nggak usah ikut campur," ketusnya menatap tajam ke Rendi."Kepal
Berdamailah dengan dirimu! ***Nahla menatap perkarangan rumah di depannya. Sepi, itulah yang tergambar dalam pikirannya saat ini.Apa di sini tidak ada kehidupan sama sekali sampai-sampai perkarangan depan rumah tersebut tidak terawat.Nahla melangkahkan kakinya masuk, ia menatap sekitaran hingga suara seseorang mengagetkannya."Ngapain lo ke sini?!" tanyanya menatap Nahla datar.Nahla hanya diam sekarang ia fokos dengan penampilan pria yang ada di depannya saat ini."Gue ...." ucapan Nahla belum selesai tapi tubuhnya langsung dipeluk oleh Gilang.Dia menangis?Gilang menangis didekapan Nahla, tanpa sadar ia ikut membalas pelukan dari Gilang.
Semua akan terbayar!Terik cahaya matahari membuat pandangan Nahla mengkabur. Ia menunduk dan berjalan cepat mencari tempat yang teduh. Huft kenapa hari ini terasa panas sekali, menyebalkan."Nahla," panggil Ilham membuat dirinya menoleh ke belakang karena sumber suara dari sana."Oh, ya bisa ikut saya?" tanyanya. Nahla menjerit heran, ia mengangguk dan mengikuti langkah Ilham.Ilhma mengambil kunci pintu dari dalam saku almamater biru tuanya. Perlahan pintu tersebut terbuka dan memperlihatkan isinya.Ruangan Osis"Beberapa bulan lagi jabatan saya bakal berakhir," ujarnya duduk di kursi dimana ada papan segitiga di atas meja bertulisan Ketua Osis.Nahla hanya diam ia duduk di sofa yang biasa digunakan tempat anak osis sekedar berkumpul dan melepas penat."Begitu juga dengan saya," ujar Nahla karena sekarang ia menduduki sebagai wakil ketua
"Nahla, Nahla," decak seseorang membuat Nahla menoleh ke belakang.Dia Gadis, teman Nahla yang telah lama tidak bertemu. "Gadis," sapa Nahla dengan ekspresi sama, datar.Gadis mengangguk. "Udah lama tidak berjumpa," ujarnya tersenyum miring.Nahla mengangguk, ia memilih duduk di bangku yang ada di depannya. Gadis mengikuti Nahla dan duduk di sampingnya. "Btw, lo sendiri aja?" tanya Gadis menatap lurus ke depan. Desiran angin malam ditambah suara ombak membuat rasa nyaman tersendiri bagi keduanya."Iya, lo sendiri?" tanya Nahla balik."Sama pacar," jawab Gadis tersenyum tipis.Nahla mengangguk singkat. Canggung, mungkin itu yang mereka rasakan sekarang. "Kabar Gilang gimana?" tanya Gadis membuat Nahla diam bergeming.Dua hari belakangan ia belum bertemu sama sekali dengan Gilang. Apa keadaan baik? Ia rasa tidak. Nahla menggeleng tanda tidak tahun bagaimana kabar Gilang saat ini.Gadis mengangguk singkat i
Apakah aku harus menerima pilihan kembali? Kurasa iya.****"La," tegur Syifa karena sadari tadi Nahla hanya melamun."Ha?""Lo kenapa sih?" tanyanya bingung."Kenapa?" tanya Nahla balik."Nggak apa-apa sih," jawab Syifa bertumpu tangan.Nahla bekelik kesal, kemudian merebahkan kepalanya ke atas meja. "La," panggil Syifa lagi.Nahla tidak bergeming. Ia hanya diam sambil memejamkan matanya. "Nahla bantu gue." Terdengar suara bisikan membuat Nahla mendongkan kepalanya."Lo ngomong tadi?" tanya Nahla memicingkan matanya menatap Syifa."Cuman manggil aja," jawab Syifa masuh diposisi bertumpu tangan.Nahla hanya ber 'oh' kemudia bangkit dari bangkunya. "Eh! Lo mau kemana?" tanya Syifa bergegas bangkit.Nahla memicingkan matanya sekita tawanya meledak melihat Syifa tersungkur di lantai."Anjir," gerutu Syifa menatap sekeliling untung hanya mereka berdua saja di kelas.
Nahla tersenyum rasa lega menyerudup ke hatinya. Ia melihat jam dipergelangan tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh malam.Namun, ada satu hal lagi yang menganjal dipikirannya. "Anin," gumamnya.Ia menghela napas gusar kenapa sepulang dari rumah sakit ia tidak langsung ke rumah neneknya. Nahla bangkit dari kursi tak lupa menghambiskan segelas susu yang sebelumnya sudah ia buat.Kepalanya masih pusing karena efek donor darah. Nahla mengambil tas kecilnya dan segera pamit untuk pergi kembali.Namun ..."Nahla." Suara barinto mengagetkan Nahla."Mau kemana?" tanya Ayah menatap Nahla.Nahla menoleh ia tersenyum kecil. "Ke mini market depan." Bohongnya."Boleh Ayah berbicara sebentar," pinta Ayah menatap Nahla.Nahla melirik jam tangannya kemudian melirik ayahnya. "Eum, sebentar," gumam Nahla. Ayah mengangguk senang, lalu mengajak Nahla untuk pergi ke taman depan.Langit yang cerah ditaburi bintang
Nahla menatap teman-temannya dengan cengengesan. Tatapan datar dari Syifa menohok membuat siempu cuman tersenyum. "Ceroboh lagi," dengkus Syifa mendekat. "Untung lo nggak apa-apa," lanjut Syifa mengambil panci yang jatuh ke lantai hingga menimbulkan suara gadung. "Lo nggak apa-apa Karin?" tanya Syifa menatap adik angkatannya itu hanya diam dengan wajah pucat. Dia menggeleng, helaan napasnya membuat Nahla rasa bersalah dan melirik Syifa agar membawanya ke dalam. Nahla kembali mengisi panci dengan air kram. Lalu menghidupkan kompor. Tak lama secangkir teh hangat sudah siap untuk diminum, Nahla membawa ke depan. Ia meletakan di atas meja sambil menatap Karin. "Maaf ya bikin kamu kaget," ujar Nahla. Karin tersenyum tipis lalu menggeleng kecil. "Nggak kok Kak," jawabnya. Syifa menyolek lengan Nahla. "Kamu butuh istirahat, kami temanin ya," ujar Syifa. Karin mengangguk lemah dan bangkit dibantu Nahla. Me
"Nahla!" pekik Syifa lagi-lagi membuat yang lain terkejut."Kenapa sih La," dengkus Nahla yang tepat berdiri di sebelahnya."Jari lo berdarah," gerutunya melihat jari Nahla berdarah karena teriris pisau.Nahla berkelik kesal. "Nggak usah heboh juga kali, luka kecil," gerutunya mengambil tisu di atas meja makan dan menyeka lukanya dengan tisu."Nah, dah siap. Yuk bawa keluar," ujar Nahla membawa nampann berisi rempah-rempah. Mereka akan bikin bakar-bakaran di depan.Setibanya di depan Nahla langsung melatakan nampan di atas meja. "Fa, lo teriak kenapa lagi sih?" tanya salah satu teman mereka."Eh, masak sih. Emang iya?" tanya Syifa balik."Benaran deh Fa," katanya membenarkan. Syifa menggeleng, membantah apa yang mereka ucapan."Salah dengar kalian kali," bantah Syifa mengolesi jagung dengan saus.
Syifa hanya diam berdiri dengan pandangan kosong. Pintu kamar yang terbuka lebar dengan hawa yang mencakam."Fa, ke bawah yuk," ajak Nahla datang dari luar. Namun, karena energi negatif yang menyambutnya membuatnya menatap aneh. "Fa!" tegur Nahla, tapi Syifa hanya diam bergeming.Terpaksa Nahla menyeret tubuh kaku Syifa ke depan. "Astaga lo berat amat sih," gerutu Nahla menuntu jalan.Syifa menatap Nahla tajam. Tangan yang sebelumnya memegang tangannya dicengkram kuat oleh Syifa sampai kukunya memutih."Fa!" Tak apa selain tatapan tajam Syifa. Hingga senyum menyeramkan terbentuk di bibir Syifa.Nahla memutar bola mata malas. "Siapapun kamu tolonglah keluar dari tubuh teman saya," ujar Nahla.Syifa menggeleng. "Nggak mau," cicitnya. Dia melepaskan tangannya dari tangan Nahla kemudian berlalu begitu saja."
Nahla terkejut bukan main. Ia membuka matanya dengan paksa lalu menoleh ke samping. Ilham juga sama dengan dirinya."Ada apa?" cicitnya.Ilham menggeleng, dia menoleh ke belakang di mana Syifa berdiri. Wajah pucat dan keringat membanjiri pipinya.Nahla ikut menoleh ke belakang, menatap bingung ke arah Syifa."Ada apa?" tanyanya lagi bangkit."Lo duduk aja di sana!" sentaknya membuat Nahla terkejut. Ada apa dengan Syifa?"Lo kenapa sih?" Nahla tidak mendengarkan perkataan Syifa ia perlahan melangkah ke arahnya."Stop!" teriakan Syifa mengagetkan seisi bis dan ditambah bis yang mereka tumpangi mengrem mendadak.Syifa membekap kedua telingannya. Dia menggeleng kuat."Ada apa Pak?" tanya Nahla menoleh ke belakang."Ada anjing lewat," ujarnya kembali menjalankan bis.Nahla mengangguk. Dengan cepat ia memengang kedua tangan Syifa. "Tenangin diri lo," bisik Nahla."Kak, pinda
Jam menunjukkan pukul 23.46 akhirnya mereka sampai juga ke tempat tujuan yang memakan waktu yang cukup lama."Yah, ndak jadi challenge," gerutu Syifa turun dari bis sambil menenteng ranselnya."Dah malem," ujar Syafir dengan wajah mengantuk. Dia berjalan lunglai memasuki vila tempat mereka menginap.Ilham masuk terakhir ke dalam vila, takut teman-temannya masih ada berkeliaran di luar."La," panggilnya menatap Nahla masih duduk di teras.Ia memilih menghampiri Nahla yang berselonjoran kaki. Terlihat ranselnya masih ada di sampingnya berarti dia belum masuk sama sekali."Capek ya?" tanyanya. Nahla mengangguk, gimana tidak capek sekitar 10 jam mereka hanya duduk di dalam bis yang berjalan."Ternyata di sini nggak sedingin yang dibayangin," gumam Nahla, masih tetap panas walau di sini puncak.Ilham mengangguk mem
Matahari sudah nampak menyembul dari arah timur dan cahaya menyerambak masuk ke celah gorden di kamar Nahla.Ia membuka perlahan matanya dan mengecek handphone di atas nakas, 05.45.Tok! Tok! Tok!"Nahla bangun nak, sekolah," panggil Ilen dari luar."Iyah, Ma," balas Nahla bengkit dari ranjangnya dan langsung ke kamar mandi.Setengah jam berlalu Nahla sudah stay di ruang makan. "Nanti kalau dah nyampe jangan lupa kabarin Mama, jaga diri di sana," pesan Ilen menyiapkan bekal yang akan dibwa oleh Nahla.Nahla yang tengah mengolesi roti tawar dengan selai cokelat hanya mengangguk."Mama juga jaga diri di rumah." Lengkungan kecil tercetak tersendiri di bibir tipisnya.Rasanya berat sekali meninggalkan mamanya itu sendirian di rumah. Apa lagi dengan kondisi yang masih seperti ini, kacau."Cepatan habisin sarapannya lihat udah jam berapa." Nahla mengangguk dan langsung meneguk setengah susu cokelatnya.Setelah
Jam enam sore Nahla masih betah duduk di resto padahal anak-anak yang lain sudah pada pulang sekitar tiga puluh menit yang lalu."La, pulang yuk," ajak Radit kebetulan dia juga belum pulang."Nggak Nahla pulang sama gue!" tolak Ilham menggeser duduknya ke sebelah Nahla.Radit tersenyum sinis, dia memilih diam membiarkan Ilham mengantarkan Nahla. Mengalah sekali-kali tak apa lah, pikirnya.Nahla menerima ajakan Ilham untuk pulang dan mereka segera berpamitan kepada Radit. Radit yang melihat mereka keluar resto tersenyum sinis. "Nggak bakal lama lagi," gumamnya dan memilih pergi juga dari sana.Ilham melirik Nahla yang hanya diam. "Kak," panggilnya."Merasa aneh nggak sih sama Kak Radit?" tanyanya. Ilham menjerit heran, apa ini hanya kebetulan atau emang ada benar, pikirannya sama dengan Nahla."Sepertinya, tapi kita tidak boleh berburuk sangka loh," balas Ilham. Nahla mengangguk. "Iya, sih.""Mau diantarin kemana?" tanya Ilham.
Senyum sumbringah terpancar dari wajah Nahla yang sedang berselesahan di atas tanah. Terik matahari tambah membuat semangatnya dibakar."Gilang sini!" teriaknya kepada pria jakung yang berada di ujung lapangan.Pria itu menurut dan duduk di sebalahnya sambil menjulurkan kakinya. "Why?" tanyanya bingung."Kenapa?" tanya Nahla balik."Lo aneh," ujar Gilang tersenyum mengejek membuat senyum Nahla luntur."Lo yang aneh, bunglon." Nahla menatap sepupunya itu jengkel."Bunglon, teriak bunglon." Gilang menyeringai dan menyentil kening Nahla."Aduh, sakit tau," desis Nahla memukul punggung tangan Gilang."Nggak nanya," ujarnya membulatkan mulutnya."Lo rese banget sih," gerutu Nahla. "Lo cantik deh kalau lagi ngambek," goda Gilang mencolek pipi Nahla hingga bersemu merah."Apaan sih," bantah Nahla memalingkan wajahnya."Cie salting nih," ledek Gilang mentertawainya."Rese amat sih l