Semua akan terbayar!
Terik cahaya matahari membuat pandangan Nahla mengkabur. Ia menunduk dan berjalan cepat mencari tempat yang teduh. Huft kenapa hari ini terasa panas sekali, menyebalkan.
"Nahla," panggil Ilham membuat dirinya menoleh ke belakang karena sumber suara dari sana.
"Oh, ya bisa ikut saya?" tanyanya. Nahla menjerit heran, ia mengangguk dan mengikuti langkah Ilham.
Ilhma mengambil kunci pintu dari dalam saku almamater biru tuanya. Perlahan pintu tersebut terbuka dan memperlihatkan isinya.
Ruangan Osis
"Beberapa bulan lagi jabatan saya bakal berakhir," ujarnya duduk di kursi dimana ada papan segitiga di atas meja bertulisan Ketua Osis.
Nahla hanya diam ia duduk di sofa yang biasa digunakan tempat anak osis sekedar berkumpul dan melepas penat.
"Begitu juga dengan saya," ujar Nahla karena sekarang ia menduduki sebagai wakil ketua osis di sekolahnya.
"Kenapa, bukannya kamu masih kelas sebelas dan masih ada kesempatan lagi untuk menjabat bahkan lebih dari jabatan kamu itu?" tanya Ilham mengambil dokumen di dalam laci mejanya.
Nahla tersenyum miring. Ia menatap beberapa titik ruangan tersebut. "Akan ada saatnya jengan dengan tanggung jawab, begitu juga dengan saya," jawab Nahla bersandar ke sofa.
Ilham mengangguk dari raut wajah Nahla selama ini sebenarnya dia merasa terpaksa menjalaninya.
"Eum, Kak Ilham mau lanjut kemana?" tanya Nahla sekedar basa-basi.
Ilham melirik sekilas Nahla. "Alhamdulillah, diberi kesempatan melanjutkan pendidikan ke Jerman," jawab Ilham seraya tersenyum.
Nahla ikut tersenyum ikut senang mendengar kabar baik tersebut. "Selamat, sukses buat pak ketos," kekeh Nahla.
Ilham mengangguk kemudian dia bangkit duduk di sebelah Nahla. Dia meletakkan beberapa dokumen di atas meja.
"Ini program kerja terakhir kita," tunjuk Ilham menunjuk beberapa dokumen yang terbuka di hadapan mereka.
Nahla mengangguk dan mengambil pena di atas meja Ilham. Ia mengambil beberapa dokumen dan mendatanganinya. "Oh ya, ini ada beberapa lagi dokumen untuk diajukan ke kepala sekolah." Ilham mengambil dokumen itu di rak dekatnya.
"Dokumen apa?" Pasalnya Nahla tidak tahu menahu soal dokumen itu kecuali yang bergelekan di atas meja ini.
"Baca dulu," ujar Ilham tersenyum tipis.
Nahla membaca dengan seksama, seketika ia berdecak antara kagum dan kaget sekaligus.
"Serius?" tanya Nahla masih tidak percaya dengan isi dokumen tersebut.
"Heum, buat kita dong. Hehe, setahun kerja waktunya nikmati liburan jauh," ujar Ilham.
"I lake," decak Nahla, karena sebelumnya angkatan osis belum ada seperti ini.
Ilham mengangguk, dalam hati ia bersyukur Nahla bisa senang karena rencananya ini dan juga yang lain walau belum dia beri tahu.
Sudah sejam mereka diskusi, sebenarnya bukan diskusi tapi hanya mengobrol biasa. Hingga gesekan pintu mengagetkan mereka berdua.
"Hayo, Pak Ketos sama Bu Waketos ngapain dua-duan?" tuding Anak Osis berbarangan masuk ke dalam ruangan itu.
Mereka langsung menyebar mencari tempat duduk senyaman mereka. Syifa memicingkan matanya menatap Ilham dan Nahla bergantian. "Ngapain kaliam berdua-duan dalam sini?" tanyanya dengan senyum devil.
Ilham melirik Nahla yang hanya cuek. "Kalian nggak lihat kami ngapain?" tanya Nahla balik membuat anak osis lainnya menatap curiga.
"Kalian—"
"Kalian tadi senyum-senyum tatap-tatapan juga, hayo Pak Ketos Buk Ketos ada apa diantara kalian?" celetuk Syafir dari kursi yang biasa ditempati Ilham.
"Ada dua hati yang akan bersatu," celetuk Syifa duduk berselang kaki di depan meja.
Dua orang yang tengah duduk di tengah-tengah mereka hanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing.
Karena tidak ada respon dari mereka, yang lain juga ikut membisu. Syifa menatap ke dinding di depannya. Terdapat jam dinding yang tergantung rapi.
"Tik, tik, tik, tik," gumam Syifa bertumpu tangan di atas meja.
"Gabutnya nggak ketulung," celetuk Syafir.
"Sirik anda," ujar Syifa menatap sinis Syafir.
Syafir tersenyum davil dia mengetok-ngetok meja dengan jarinya. "Gaes, kalian tau nggak." Syafir sengaja menggantungkan ucapannya melihat reaksi Syifa.
"He!"
"Kemarin kan dia sama Nahla ngambil tongkat ke gudang, trus—"
"Kak Syafir!" pekik Syifa bangkit dari duduk ingin sekali dia memasukan kaos kakinya sekarang juga ke dalam mulutnya.
Karena yang lain pemasaran dengan cerita Syafir. Mereka mengomporin Syafir dan Syifa.
"Awalnya sih gue sama Ilham dengar pekik sesorang. Masak ya tikus di suruh tidur," ujarnya tertawa melihat reaksi Syifa yang tengah menahan kesal.
"Buset, baru kali ini gue dengar." Tawa anak-anak lainnya. "Nah, pas udah di suruh sama Nahla turun. Tau nggak apa yang terjadi sama ni anak.." Syafir menahan tawa karena wajah Syifa sudah merah siap-siap mengamuk.
"Dia tajuh dengan estetiknya, cium lantai." Tawa Syafir meledak dia bangit dan menghindar dari Syifa yang tengah mengenggam penggaris kayu.
"Syafir, gue ndah bilang kemarin kan!" amuk Syifa berusaha menangkap Syifit yang menghindar.
Tapi naas saat Syafir hampir ketangkap.
Bruk!
Syifa menimpa badan Syafir. Mereka jatuh bersamaan ke kolong meja. Syifa tergegung detak jantungnya tidak terkendali seperti dikerja habis-habisan sama anjing keliling komplek.
"Hem, yang di kolong meja apa aman?"
Celetukan anak-anak membuat Syifa tersadar dia bangkit tapi ...
"Aduh!" Kepalanya kebentur langit-langit meja.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Syafir keluar sambil mengelus kepala Syifa.
"Sakit tau," ringis Syifa duduk di atas kursi. "Makanya sih lo nggak hati-hati," omel Syafir membuat Syifa memanyumkan bibirnya kesal.
"Yang jomlo bisa apa kan?" ledek anak-anak membuat mereka tersadar.
"He! Kalian jan—" Syifa terdiam, anak-anak menatapnya bingung.
"Kenapa lagi tuh anak?" tanya Gibran karena tidak heran lagi dengan sikap Syifa kek bunglon yang berubah-rubah.
"Bentar tadi gue mau bilang apa ya? Bingung," gumamnya sambil bertumpu tangan menatap ke depan.
"Kumat lagi dia." Syafir menepuk jidatnya. "Eh tapi ndak apa kan lupa soal yang tadi," lanjut Syafir duduk di sebelah Gibran.
Yang lain kembali diam. "Lo ngapain sih Ham? Masih ada berkas yang mau diurus?" tanya Gibran yang sadari tadi memerhatikan Ilham yang sibuk sendiri membolak-balik isi dokumen.
Ilham melirik Nahla yang tengah bersandar sambil memejamkan matanya. "Kalian ngerahasian sesuatu, ada masalah sama program kerja kita?"
"Nggak ada," jawab Ilham cuek.
"Sepandai-pandai penjahat bersembunyi bakal ketauan juga," celetuk Syifa sambil memain-mainkan peda.
"Noh, benar." Syafir mengacungkan jempul ke Syifa.
"Apa yang benar?" tanya Syifa menatap datar Syafir.
"Kenapa lagi sih lo?"
"Urusan kita belum selesai ya, gue nggak lupa," gerutu Syifa.
"Berisik!" Semua menoleh ke arah Nahla. Perlahan Nahla membuka matannya, kemudian ia mengambil dokumen yang diberikan Ilham.
"Baca jan banyak tanya!" Nahla kembali bersandar dan memejamkan matanya karena pusing melandanya.
"Woh, benaran?"
______________________________________________________________________
"Nahla, Nahla," decak seseorang membuat Nahla menoleh ke belakang.Dia Gadis, teman Nahla yang telah lama tidak bertemu. "Gadis," sapa Nahla dengan ekspresi sama, datar.Gadis mengangguk. "Udah lama tidak berjumpa," ujarnya tersenyum miring.Nahla mengangguk, ia memilih duduk di bangku yang ada di depannya. Gadis mengikuti Nahla dan duduk di sampingnya. "Btw, lo sendiri aja?" tanya Gadis menatap lurus ke depan. Desiran angin malam ditambah suara ombak membuat rasa nyaman tersendiri bagi keduanya."Iya, lo sendiri?" tanya Nahla balik."Sama pacar," jawab Gadis tersenyum tipis.Nahla mengangguk singkat. Canggung, mungkin itu yang mereka rasakan sekarang. "Kabar Gilang gimana?" tanya Gadis membuat Nahla diam bergeming.Dua hari belakangan ia belum bertemu sama sekali dengan Gilang. Apa keadaan baik? Ia rasa tidak. Nahla menggeleng tanda tidak tahun bagaimana kabar Gilang saat ini.Gadis mengangguk singkat i
Apakah aku harus menerima pilihan kembali? Kurasa iya.****"La," tegur Syifa karena sadari tadi Nahla hanya melamun."Ha?""Lo kenapa sih?" tanyanya bingung."Kenapa?" tanya Nahla balik."Nggak apa-apa sih," jawab Syifa bertumpu tangan.Nahla bekelik kesal, kemudian merebahkan kepalanya ke atas meja. "La," panggil Syifa lagi.Nahla tidak bergeming. Ia hanya diam sambil memejamkan matanya. "Nahla bantu gue." Terdengar suara bisikan membuat Nahla mendongkan kepalanya."Lo ngomong tadi?" tanya Nahla memicingkan matanya menatap Syifa."Cuman manggil aja," jawab Syifa masuh diposisi bertumpu tangan.Nahla hanya ber 'oh' kemudia bangkit dari bangkunya. "Eh! Lo mau kemana?" tanya Syifa bergegas bangkit.Nahla memicingkan matanya sekita tawanya meledak melihat Syifa tersungkur di lantai."Anjir," gerutu Syifa menatap sekeliling untung hanya mereka berdua saja di kelas.
Kaki jenjang Nahla terus melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Bau obat sangat menyengat yang biasa tidak disukai Nahla. Tapi, sekarang mati-matian membiarkan itu."Nahla." Rendi menghadang jalan Nahla."Ngapain lo ke sini?" tanyanya dengan nada yang tak bersahabat."Urusan lo?" tanya Nahla balik dengan nada yang sama."Pergi!" Rendi mengusir Nahla, bukan tanpa sebab dia mengusir Nahla tapi ini semua sebab Nahla."Oke," gumam Nahla menatap kosong ke depan. Ia pergi dari hadapan Rendi.Bagaikan tak ada semangat Nahla duduk di salah satu bangku di koridur rumah sakit tersebut. Ia menghela napas berat, apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi.Ia menunduk sambil mengusap-usap tangannya yang dingin karena hawa angin malam."Nahla," panggil wanita paruh baya yang mendekat ke arahnya. Nahla mendongkakan kepalanya."Tante Iren?" tanyanya bingung.Wanita tersebut mengangguk lalu duduk di samping
Sekarang Nahla tengah bermain dengan Anin di ruang keluarga. Sekarang rumahnya sedang kedatangan tamu teman mamanya."Anin Kakak kebelakang dulu ya," ujar Nahla menyuruh Anin tetap di sana. Gadis tersebut hanya mengangguk karena tengah asik bermain boneka."Bi In," panggil Nahla membuat wanita paruh baya itu menoleh."Iya, Non?""Biar Nahla aja ngantarin," ujarnya kebetulan ia juga mau pamit sama mamanya ke rumah sakit."Nggak apa-apa Non?""Nggak apa-apa Bi, Nahla minta bantuan aja jagain Anin. Kasian sendiri," ujar Nahla. Bi In mengangguk.Nahla membawa baki yang berisi minuman ke ruang tamu."Tante Iren?" Nahla terkejut ternyata Tante Iren yang berada di rumahnya."Nahla?" tanyanya bingung. Ilen yang melihat itu tersenyum. "Duduk dulu sini," suruhnya kepada Nahla.Nahla menurut saja, ia duduk di sebelah Ilen, mamanya. "Kamu udah kenal Tante Iren?" tanya Ilen membuat Nahla mengangguk."B
Nahla menatap tajam seisi ruangan tersebut. "Kalian bisa serius nggak sih?"Semua diam membisu 'tak ada sahutan sama sekali dari mereka. "Lo ngumpulin kita cuman mau marah-marah?" tanya salah satu dari mereka.Ilham memberi isyarat kepada mereka semua agar diam. Karena melihat emosi Nahla yang tidak terkontrol dia memilih inisiatif sendiri mengambil Infocus Projektor."Silakan kalian pahami lebih dahulu," ujar Ilham setelah menyalakan infocus tersebut dan menyambungkan ke laptopnya."Lah? Kok bisa?!" tanyanya membaca berkas yang terpampang jelas di hadapan mereka saat ini yang tidak sesuai dengan sistem program kerja mereka."Ada yang bisa jelasin?" tanya Nahla dengan sorot mata tajam."Ini bukan kebetulan!" bentak Nahla membuat yang lain terkejut."Maksudnya?" tanya Gibran bingung."Duduk aja dulu," suruh Ilham membuat Nahla menghela napas berat, emosinya tidak terkendali bahkan ingin sekali hia membanting ba
Nahla tersenyum simpul melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Abangnya dan mamanya duduk berdampingan sudah lama sekali ia tidak melihat pemandangan tersebut."Kali ini aja, nginap di sini," bujuk Ilen tetapi Naufal tetap kekuah dengan pendiriannya."Demi Nahla," gumam Ilen pada akhirnya.Naufal terdiam kemudian melirik Nahla yang tengah menatapnya. "Oke," jawabnya final. Setelah itu dia izin kebelakang untuk menelfon Nurul agar menyusulnya kemari.***"Kak lucu deh," bisik Nahla di samping Nurul kebetulan kakak iparnya itu sudah sampai.Nurul tersenyum geli. "Biarin aja mereka berdua yuk. Kita kabur," ajaknya membuat Nahla mengangguk.Mereka berdua memilih naik ke lantai atas tepatnya ke kamar Nahla. "Dah lama Kakak nggak ke sini, nggak banyak berubah ya," ujar Nurul duduk ke atas ranjang Nahla."Heum, begitulah." Nahla duduk di kursi belajarnya menghadap ke arah ranjang."Kamu, ada perubahan nggak?" tanya Nu
Syifa menyipitkan matanya menatap Syafir dan Ilham. "Kalian ngapain?" tanyanya menghampiri yang sadari tadi hanya diam berdiri di depan pintu kelasnya."Oh, nggak lo lihat, ee lihat Nahla nggak?" tanya Syafir agak gugup.Syifa mengedikan bahunya dan berlalu dari hadapannya. "Huft, untung nggak banyak tanya tuh bocah," gumam Syafir menghela napas."Siapa yang lo bilang bocah," ujar Syifa berada di belakang Syafir hingga menggagetkan dirinya dan juga Ilham."Buset, bukannya lo dah pergi?" tanyanya bingung."Kalian mau ngibahin gue ya?" sosor Syifa menatap datar."Nggak, kami nunggu Nahla," jawab Ilham datar.Syifa membulakan mulutnya ber 'oh'. "Kak yang kemarin gimana?" tanyanya penasaran."Kemarin apanya," sahut Syafir memilih duduk di samping cewek tengil itu."Yang itu," jawab Syifa melirik ke sekitar. "Promosal kita yang dicolong itu," bisiknya ke telinga Syafir."Entah," jawabnya cuek. "Pinjem handphone l
Apa yang kau pikirkan, tak semua berjalan dengan semestinya. Nahla menghembuskan napas panjang. Pikirannya berkecamuk, sekarang tujuannya ialah ke rumah sakit."Apa lo yakin?" bisikan tersebut selalu menghantui pikiran Nahla. Tapi Nahla ialah Nahla, akan tetap jadi keras kepala.Sekarang ia tengah siap-siap untuk pergi, tapi ...Terdengar seperti pecahan piring dari bawah. "Apa lagi ini Tuhan," gumamnya beranjak melihat apa yang sebenarnya terjadi di bawah sana.Saat genggang pintu mau ia tutup. Tangannya langsung dicekal oleh Nurul. "Kak Nurul?" tanyanya bingung."Masuk gih," suruh Nurul tambah membuat Nahla kebingungan."Masuk aja." Nurul mendorong tubuh Nahla masuk ke dalam kamarnya kembali dan dia juga ikut masuk tak lupa mengunci pintu kamar."Ada apa di bawah Kak?" tanyanya bingung."Nggak ada apa-apa. Sini aja, palingan Anin nggak sengaja jatuhin piring," ujar Nurul. Tapi dia tersadar. "Anin."Nurul la
Nahla tersenyum rasa lega menyerudup ke hatinya. Ia melihat jam dipergelangan tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh malam.Namun, ada satu hal lagi yang menganjal dipikirannya. "Anin," gumamnya.Ia menghela napas gusar kenapa sepulang dari rumah sakit ia tidak langsung ke rumah neneknya. Nahla bangkit dari kursi tak lupa menghambiskan segelas susu yang sebelumnya sudah ia buat.Kepalanya masih pusing karena efek donor darah. Nahla mengambil tas kecilnya dan segera pamit untuk pergi kembali.Namun ..."Nahla." Suara barinto mengagetkan Nahla."Mau kemana?" tanya Ayah menatap Nahla.Nahla menoleh ia tersenyum kecil. "Ke mini market depan." Bohongnya."Boleh Ayah berbicara sebentar," pinta Ayah menatap Nahla.Nahla melirik jam tangannya kemudian melirik ayahnya. "Eum, sebentar," gumam Nahla. Ayah mengangguk senang, lalu mengajak Nahla untuk pergi ke taman depan.Langit yang cerah ditaburi bintang
Nahla menatap teman-temannya dengan cengengesan. Tatapan datar dari Syifa menohok membuat siempu cuman tersenyum. "Ceroboh lagi," dengkus Syifa mendekat. "Untung lo nggak apa-apa," lanjut Syifa mengambil panci yang jatuh ke lantai hingga menimbulkan suara gadung. "Lo nggak apa-apa Karin?" tanya Syifa menatap adik angkatannya itu hanya diam dengan wajah pucat. Dia menggeleng, helaan napasnya membuat Nahla rasa bersalah dan melirik Syifa agar membawanya ke dalam. Nahla kembali mengisi panci dengan air kram. Lalu menghidupkan kompor. Tak lama secangkir teh hangat sudah siap untuk diminum, Nahla membawa ke depan. Ia meletakan di atas meja sambil menatap Karin. "Maaf ya bikin kamu kaget," ujar Nahla. Karin tersenyum tipis lalu menggeleng kecil. "Nggak kok Kak," jawabnya. Syifa menyolek lengan Nahla. "Kamu butuh istirahat, kami temanin ya," ujar Syifa. Karin mengangguk lemah dan bangkit dibantu Nahla. Me
"Nahla!" pekik Syifa lagi-lagi membuat yang lain terkejut."Kenapa sih La," dengkus Nahla yang tepat berdiri di sebelahnya."Jari lo berdarah," gerutunya melihat jari Nahla berdarah karena teriris pisau.Nahla berkelik kesal. "Nggak usah heboh juga kali, luka kecil," gerutunya mengambil tisu di atas meja makan dan menyeka lukanya dengan tisu."Nah, dah siap. Yuk bawa keluar," ujar Nahla membawa nampann berisi rempah-rempah. Mereka akan bikin bakar-bakaran di depan.Setibanya di depan Nahla langsung melatakan nampan di atas meja. "Fa, lo teriak kenapa lagi sih?" tanya salah satu teman mereka."Eh, masak sih. Emang iya?" tanya Syifa balik."Benaran deh Fa," katanya membenarkan. Syifa menggeleng, membantah apa yang mereka ucapan."Salah dengar kalian kali," bantah Syifa mengolesi jagung dengan saus.
Syifa hanya diam berdiri dengan pandangan kosong. Pintu kamar yang terbuka lebar dengan hawa yang mencakam."Fa, ke bawah yuk," ajak Nahla datang dari luar. Namun, karena energi negatif yang menyambutnya membuatnya menatap aneh. "Fa!" tegur Nahla, tapi Syifa hanya diam bergeming.Terpaksa Nahla menyeret tubuh kaku Syifa ke depan. "Astaga lo berat amat sih," gerutu Nahla menuntu jalan.Syifa menatap Nahla tajam. Tangan yang sebelumnya memegang tangannya dicengkram kuat oleh Syifa sampai kukunya memutih."Fa!" Tak apa selain tatapan tajam Syifa. Hingga senyum menyeramkan terbentuk di bibir Syifa.Nahla memutar bola mata malas. "Siapapun kamu tolonglah keluar dari tubuh teman saya," ujar Nahla.Syifa menggeleng. "Nggak mau," cicitnya. Dia melepaskan tangannya dari tangan Nahla kemudian berlalu begitu saja."
Nahla terkejut bukan main. Ia membuka matanya dengan paksa lalu menoleh ke samping. Ilham juga sama dengan dirinya."Ada apa?" cicitnya.Ilham menggeleng, dia menoleh ke belakang di mana Syifa berdiri. Wajah pucat dan keringat membanjiri pipinya.Nahla ikut menoleh ke belakang, menatap bingung ke arah Syifa."Ada apa?" tanyanya lagi bangkit."Lo duduk aja di sana!" sentaknya membuat Nahla terkejut. Ada apa dengan Syifa?"Lo kenapa sih?" Nahla tidak mendengarkan perkataan Syifa ia perlahan melangkah ke arahnya."Stop!" teriakan Syifa mengagetkan seisi bis dan ditambah bis yang mereka tumpangi mengrem mendadak.Syifa membekap kedua telingannya. Dia menggeleng kuat."Ada apa Pak?" tanya Nahla menoleh ke belakang."Ada anjing lewat," ujarnya kembali menjalankan bis.Nahla mengangguk. Dengan cepat ia memengang kedua tangan Syifa. "Tenangin diri lo," bisik Nahla."Kak, pinda
Jam menunjukkan pukul 23.46 akhirnya mereka sampai juga ke tempat tujuan yang memakan waktu yang cukup lama."Yah, ndak jadi challenge," gerutu Syifa turun dari bis sambil menenteng ranselnya."Dah malem," ujar Syafir dengan wajah mengantuk. Dia berjalan lunglai memasuki vila tempat mereka menginap.Ilham masuk terakhir ke dalam vila, takut teman-temannya masih ada berkeliaran di luar."La," panggilnya menatap Nahla masih duduk di teras.Ia memilih menghampiri Nahla yang berselonjoran kaki. Terlihat ranselnya masih ada di sampingnya berarti dia belum masuk sama sekali."Capek ya?" tanyanya. Nahla mengangguk, gimana tidak capek sekitar 10 jam mereka hanya duduk di dalam bis yang berjalan."Ternyata di sini nggak sedingin yang dibayangin," gumam Nahla, masih tetap panas walau di sini puncak.Ilham mengangguk mem
Matahari sudah nampak menyembul dari arah timur dan cahaya menyerambak masuk ke celah gorden di kamar Nahla.Ia membuka perlahan matanya dan mengecek handphone di atas nakas, 05.45.Tok! Tok! Tok!"Nahla bangun nak, sekolah," panggil Ilen dari luar."Iyah, Ma," balas Nahla bengkit dari ranjangnya dan langsung ke kamar mandi.Setengah jam berlalu Nahla sudah stay di ruang makan. "Nanti kalau dah nyampe jangan lupa kabarin Mama, jaga diri di sana," pesan Ilen menyiapkan bekal yang akan dibwa oleh Nahla.Nahla yang tengah mengolesi roti tawar dengan selai cokelat hanya mengangguk."Mama juga jaga diri di rumah." Lengkungan kecil tercetak tersendiri di bibir tipisnya.Rasanya berat sekali meninggalkan mamanya itu sendirian di rumah. Apa lagi dengan kondisi yang masih seperti ini, kacau."Cepatan habisin sarapannya lihat udah jam berapa." Nahla mengangguk dan langsung meneguk setengah susu cokelatnya.Setelah
Jam enam sore Nahla masih betah duduk di resto padahal anak-anak yang lain sudah pada pulang sekitar tiga puluh menit yang lalu."La, pulang yuk," ajak Radit kebetulan dia juga belum pulang."Nggak Nahla pulang sama gue!" tolak Ilham menggeser duduknya ke sebelah Nahla.Radit tersenyum sinis, dia memilih diam membiarkan Ilham mengantarkan Nahla. Mengalah sekali-kali tak apa lah, pikirnya.Nahla menerima ajakan Ilham untuk pulang dan mereka segera berpamitan kepada Radit. Radit yang melihat mereka keluar resto tersenyum sinis. "Nggak bakal lama lagi," gumamnya dan memilih pergi juga dari sana.Ilham melirik Nahla yang hanya diam. "Kak," panggilnya."Merasa aneh nggak sih sama Kak Radit?" tanyanya. Ilham menjerit heran, apa ini hanya kebetulan atau emang ada benar, pikirannya sama dengan Nahla."Sepertinya, tapi kita tidak boleh berburuk sangka loh," balas Ilham. Nahla mengangguk. "Iya, sih.""Mau diantarin kemana?" tanya Ilham.
Senyum sumbringah terpancar dari wajah Nahla yang sedang berselesahan di atas tanah. Terik matahari tambah membuat semangatnya dibakar."Gilang sini!" teriaknya kepada pria jakung yang berada di ujung lapangan.Pria itu menurut dan duduk di sebalahnya sambil menjulurkan kakinya. "Why?" tanyanya bingung."Kenapa?" tanya Nahla balik."Lo aneh," ujar Gilang tersenyum mengejek membuat senyum Nahla luntur."Lo yang aneh, bunglon." Nahla menatap sepupunya itu jengkel."Bunglon, teriak bunglon." Gilang menyeringai dan menyentil kening Nahla."Aduh, sakit tau," desis Nahla memukul punggung tangan Gilang."Nggak nanya," ujarnya membulatkan mulutnya."Lo rese banget sih," gerutu Nahla. "Lo cantik deh kalau lagi ngambek," goda Gilang mencolek pipi Nahla hingga bersemu merah."Apaan sih," bantah Nahla memalingkan wajahnya."Cie salting nih," ledek Gilang mentertawainya."Rese amat sih l