Home / Fiksi Remaja / Kenapa Aku Harus Peduli? / Menangislah selagi bisa!

Share

Menangislah selagi bisa!

Author: Rizkia
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

                 Berdamailah dengan dirimu!

                                     ***

Nahla menatap perkarangan rumah di depannya. Sepi, itulah yang tergambar dalam pikirannya saat ini.

Apa di sini tidak ada kehidupan sama sekali sampai-sampai perkarangan depan rumah tersebut tidak terawat.

Nahla melangkahkan kakinya masuk, ia menatap sekitaran hingga suara seseorang mengagetkannya.

"Ngapain lo ke sini?!" tanyanya menatap Nahla datar.

Nahla hanya diam sekarang ia fokos dengan penampilan pria yang ada di depannya saat ini.

"Gue ...." ucapan Nahla belum selesai tapi tubuhnya langsung dipeluk oleh Gilang.

Dia menangis?

Gilang menangis didekapan Nahla, tanpa sadar ia ikut membalas pelukan dari Gilang.

"Lo kenapa?" tanya Nahla pelan, Gilang hanya diam menangis tanpa bersuara.

Nahla melepaskan pelukan Gilang, ia mengajak Gilang duduk di teras. Nahla hanya diam menunggu cerita dari Gilang.

"Gue lagi nggak pengen cerita," gumamnya mengalihkan pandangan.

"Lo nggak biasanya sampai begini," ujar Nahla.

"Nggak semua harus bisa diceritakan," gumamnya menatap datar Nahla.

Nahla nampak berfikir. "Yaudah, kalau gitu gue mau pulang," pamit Nahla tersenyum sinis.

Gilang hanya diam membiarkan Nahla pergi tanpa mencegahnya lagi. Sekarang salahnya ya salahnya tidak bisa jujur karena tidak ingin membuat gadis itu merasakannya.

***

Nahla duduk di halte bis sudah sekitar 45 menit ia menunggu dan belum juga ada bis yang datang satu pun, menyebalkan.

"Eh, nunggu bis juga ya Dek?" tanya Ibu-Ibu duduk di samping Nahla.

"Iya Bu," jawab Nahla sopan.

"Udah lama?" tanyanya membuat Nahla mengangguk.

"Owh, pantesan dari raut wajahnya udah kesal begitu," kekeh Ibu tersebut membuat Nahla malu.

"Ibu juga nunggu bis?" tanya Nahla tersenyum tipis.

"Iya, akhir-akhir ini memang jarang bis lewat daerah ini," jelas Ibu tersebut memnuat Nahla menganggu, pantas saja sudah menunggu lama tapi belum ada lewat.

"Ibu mau kemana?" tanya Nahla membuat Ibu tersebut terdiam. Dia menghela napas kemudian kembali tersenyum.

"Ke jalan Merpati, komplek pemakaman," ujarnya menatap jalanan yang sepi.

Nahla hanya diam. "Dua tahun lalu anak Ibu dan kecelakaan, nyawanya nggak bisa diselamatkan. Ibu mau jenguk dia ke sana," ujar Ibu tersebut menatap Nahla.

"Maaf Bu," ujar Nahla merasa tidak enak.

"Nggak apa-apa setidaknya Ibu bisa bercerita, karena sudah lama sekali pengen berbalas sapa dengan gadis seumuran kamu, kamu mirip anak Ibu," ujarnya. Nahla membalas dengan anggukan.

"Eh, nama kamu siapa Dek, dari tadi kita berbicara tapi tidak saling tau nama," kekehnya.

"Nama saya Nahla Bu," balas Nahla tersenyum.

"Nama yang bagus seperti orangnya."

Setalah mengobrol cukup lama akhirnya bis yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.

Nahla duduk di dekat jendela, ia menatap jalan raya. Suasanya sore diperempatan lampu merah pasti 'tak luput dengan kemacetan karena para pekerja kantor yang hendak pulang ke rumah masing-masing.

Sesampainya di halte menuju perumahan Nahla langsung berjalan menuju komplek dimana rumahnya berada.

"Assalamualaikum," ucap Nahla memasuki rumahnya.

Sepi? Kenapa sepi sekali Mama atau Anin bahkan Bi In tidak terlihat. Nahla memilih pergi ke dapur sekedar membasahi tenggorokannya yang kering.

"Non Nahla, baru pulang?" tanya Bi In mengagetkan Nahla yang tengah minum.

"Bibi kebiasaan." Ngambek Nahla karen Bi In muncul dari bawah bar.

"Hehe, maaf non. Bibi ngambil sendok jatuh," ujarnya tersenyum.

Nahla mengangguk kecil, karena sudah hafal sekali dengan kebiasaan Bi In. "Bi, Mama sama Anin mana kok nggak kelihatan?" tanya Nahla duduk di depan Bi In yang tengah memotong bawang.

"Oh, nyonya sama Anin lagi keluar tadi Tuan datang," ujar Bi In.

"Mereka pergi bareng?" tanya Nahla heran.

"Iya."

"Tumben," gumam Nahla bingung karena tidak biasanya melihat hubungan antara Mama dan papanya itu.

"Positif thingking aja Non, semoga hubungan mereka baik," ujar Bi In meyakini Nahla.

Nahla masih bingung, tapi ia tetap mangangguk, semoga saja.

"Kok telat lagi pulangnya Non?"

"Eum, tadi ada rapat osis sama mampir ke rumah Gilang," jawab Nahla jujur.

"Gilang?" tanya Bi In bingung.

"Teman Nahla Bi," jawab Nahla sambil tersenyum nyegir.

"Teman tapi ke rumah dia segalak," ledek Bi In.

"Kebetulan aja ada urusan sekolah sama dia, mampir deh," ujar Nahla berbohong.

"Owh, gitu." Nahla mengangguk dan memilih pamit ke kamarnya untuk istirahat.

"Rasanya gue terjebak dalam dimensi waktu," gumam Nahla karena ia merasa baik hari ini atau hari sebelumnya terasa lama sekali.

Nahla merebahkan badannya ke kasur. Ia manatap langit-langit kamarnya yang bosan untuk dipandang.

"Sepuluh menit, fiks tidur," gumam Nahla memejamkan matanya.

***

Pria itu menatap tetesan hujan dari balik kaca. Dia merasa hampa dengan keadaannya. Gilang, dia Gilang tengah  melamun memikirkan masalahnya.

"Kapan berakhir. Tuhan?" bisiknya mengedarkan pandangannya ke ruangan yang sepi tersebut.

"Ya, aku memang bodoh!" Gilang mendudukkam dirinya dengan kasar di atas sofa.

Dia memejamkan matanya, menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Baru saja matanya terpejam, harus kembali terbuka paksa karena ketokan pintu dari luar.

Gilang kesal dia bangkit dengan ogah-ogahan menuju pintu. Saat pintu terbuka dia diam membeku melihat siapa yang sekarang berdiri di hadapannya.

"Ngapain anda kembali ke sini?" tanyanya menatap tajam orang tersebut.

"Maaf."

"Pergi!" usir Gilang kepada wanita tersebut.

"Maaf." Dia berulang kali mengucapkan kata maaf tapi tidak didengarkan oleh Gilang.


______________________________________________________________________

Related chapters

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Liburan Terencana

    Semua akan terbayar!Terik cahaya matahari membuat pandangan Nahla mengkabur. Ia menunduk dan berjalan cepat mencari tempat yang teduh. Huft kenapa hari ini terasa panas sekali, menyebalkan."Nahla," panggil Ilham membuat dirinya menoleh ke belakang karena sumber suara dari sana."Oh, ya bisa ikut saya?" tanyanya. Nahla menjerit heran, ia mengangguk dan mengikuti langkah Ilham.Ilhma mengambil kunci pintu dari dalam saku almamater biru tuanya. Perlahan pintu tersebut terbuka dan memperlihatkan isinya.Ruangan Osis"Beberapa bulan lagi jabatan saya bakal berakhir," ujarnya duduk di kursi dimana ada papan segitiga di atas meja bertulisan Ketua Osis.Nahla hanya diam ia duduk di sofa yang biasa digunakan tempat anak osis sekedar berkumpul dan melepas penat."Begitu juga dengan saya," ujar Nahla karena sekarang ia menduduki sebagai wakil ketua

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Cowok Ganteng

    "Nahla, Nahla," decak seseorang membuat Nahla menoleh ke belakang.Dia Gadis, teman Nahla yang telah lama tidak bertemu. "Gadis," sapa Nahla dengan ekspresi sama, datar.Gadis mengangguk. "Udah lama tidak berjumpa," ujarnya tersenyum miring.Nahla mengangguk, ia memilih duduk di bangku yang ada di depannya. Gadis mengikuti Nahla dan duduk di sampingnya. "Btw, lo sendiri aja?" tanya Gadis menatap lurus ke depan. Desiran angin malam ditambah suara ombak membuat rasa nyaman tersendiri bagi keduanya."Iya, lo sendiri?" tanya Nahla balik."Sama pacar," jawab Gadis tersenyum tipis.Nahla mengangguk singkat. Canggung, mungkin itu yang mereka rasakan sekarang. "Kabar Gilang gimana?" tanya Gadis membuat Nahla diam bergeming.Dua hari belakangan ia belum bertemu sama sekali dengan Gilang. Apa keadaan baik? Ia rasa tidak. Nahla menggeleng tanda tidak tahun bagaimana kabar Gilang saat ini.Gadis mengangguk singkat i

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Semua Menjauh?!

    Apakah aku harus menerima pilihan kembali? Kurasa iya.****"La," tegur Syifa karena sadari tadi Nahla hanya melamun."Ha?""Lo kenapa sih?" tanyanya bingung."Kenapa?" tanya Nahla balik."Nggak apa-apa sih," jawab Syifa bertumpu tangan.Nahla bekelik kesal, kemudian merebahkan kepalanya ke atas meja. "La," panggil Syifa lagi.Nahla tidak bergeming. Ia hanya diam sambil memejamkan matanya. "Nahla bantu gue." Terdengar suara bisikan membuat Nahla mendongkan kepalanya."Lo ngomong tadi?" tanya Nahla memicingkan matanya menatap Syifa."Cuman manggil aja," jawab Syifa masuh diposisi bertumpu tangan.Nahla hanya ber 'oh' kemudia bangkit dari bangkunya. "Eh! Lo mau kemana?" tanya Syifa bergegas bangkit.Nahla memicingkan matanya sekita tawanya meledak melihat Syifa tersungkur di lantai."Anjir," gerutu Syifa menatap sekeliling untung hanya mereka berdua saja di kelas.

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Diantara Ribuan Bintang

    Kaki jenjang Nahla terus melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Bau obat sangat menyengat yang biasa tidak disukai Nahla. Tapi, sekarang mati-matian membiarkan itu."Nahla." Rendi menghadang jalan Nahla."Ngapain lo ke sini?" tanyanya dengan nada yang tak bersahabat."Urusan lo?" tanya Nahla balik dengan nada yang sama."Pergi!" Rendi mengusir Nahla, bukan tanpa sebab dia mengusir Nahla tapi ini semua sebab Nahla."Oke," gumam Nahla menatap kosong ke depan. Ia pergi dari hadapan Rendi.Bagaikan tak ada semangat Nahla duduk di salah satu bangku di koridur rumah sakit tersebut. Ia menghela napas berat, apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi.Ia menunduk sambil mengusap-usap tangannya yang dingin karena hawa angin malam."Nahla," panggil wanita paruh baya yang mendekat ke arahnya. Nahla mendongkakan kepalanya."Tante Iren?" tanyanya bingung.Wanita tersebut mengangguk lalu duduk di samping

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Ternyata Dunia Itu Sempit!

    Sekarang Nahla tengah bermain dengan Anin di ruang keluarga. Sekarang rumahnya sedang kedatangan tamu teman mamanya."Anin Kakak kebelakang dulu ya," ujar Nahla menyuruh Anin tetap di sana. Gadis tersebut hanya mengangguk karena tengah asik bermain boneka."Bi In," panggil Nahla membuat wanita paruh baya itu menoleh."Iya, Non?""Biar Nahla aja ngantarin," ujarnya kebetulan ia juga mau pamit sama mamanya ke rumah sakit."Nggak apa-apa Non?""Nggak apa-apa Bi, Nahla minta bantuan aja jagain Anin. Kasian sendiri," ujar Nahla. Bi In mengangguk.Nahla membawa baki yang berisi minuman ke ruang tamu."Tante Iren?" Nahla terkejut ternyata Tante Iren yang berada di rumahnya."Nahla?" tanyanya bingung. Ilen yang melihat itu tersenyum. "Duduk dulu sini," suruhnya kepada Nahla.Nahla menurut saja, ia duduk di sebelah Ilen, mamanya. "Kamu udah kenal Tante Iren?" tanya Ilen membuat Nahla mengangguk."B

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Pikirkan Dirimu!

    Nahla menatap tajam seisi ruangan tersebut. "Kalian bisa serius nggak sih?"Semua diam membisu 'tak ada sahutan sama sekali dari mereka. "Lo ngumpulin kita cuman mau marah-marah?" tanya salah satu dari mereka.Ilham memberi isyarat kepada mereka semua agar diam. Karena melihat emosi Nahla yang tidak terkontrol dia memilih inisiatif sendiri mengambil Infocus Projektor."Silakan kalian pahami lebih dahulu," ujar Ilham setelah menyalakan infocus tersebut dan menyambungkan ke laptopnya."Lah? Kok bisa?!" tanyanya membaca berkas yang terpampang jelas di hadapan mereka saat ini yang tidak sesuai dengan sistem program kerja mereka."Ada yang bisa jelasin?" tanya Nahla dengan sorot mata tajam."Ini bukan kebetulan!" bentak Nahla membuat yang lain terkejut."Maksudnya?" tanya Gibran bingung."Duduk aja dulu," suruh Ilham membuat Nahla menghela napas berat, emosinya tidak terkendali bahkan ingin sekali hia membanting ba

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Bisakah Untuk Selamanya?

    Nahla tersenyum simpul melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Abangnya dan mamanya duduk berdampingan sudah lama sekali ia tidak melihat pemandangan tersebut."Kali ini aja, nginap di sini," bujuk Ilen tetapi Naufal tetap kekuah dengan pendiriannya."Demi Nahla," gumam Ilen pada akhirnya.Naufal terdiam kemudian melirik Nahla yang tengah menatapnya. "Oke," jawabnya final. Setelah itu dia izin kebelakang untuk menelfon Nurul agar menyusulnya kemari.***"Kak lucu deh," bisik Nahla di samping Nurul kebetulan kakak iparnya itu sudah sampai.Nurul tersenyum geli. "Biarin aja mereka berdua yuk. Kita kabur," ajaknya membuat Nahla mengangguk.Mereka berdua memilih naik ke lantai atas tepatnya ke kamar Nahla. "Dah lama Kakak nggak ke sini, nggak banyak berubah ya," ujar Nurul duduk ke atas ranjang Nahla."Heum, begitulah." Nahla duduk di kursi belajarnya menghadap ke arah ranjang."Kamu, ada perubahan nggak?" tanya Nu

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Nothing!

    Syifa menyipitkan matanya menatap Syafir dan Ilham. "Kalian ngapain?" tanyanya menghampiri yang sadari tadi hanya diam berdiri di depan pintu kelasnya."Oh, nggak lo lihat, ee lihat Nahla nggak?" tanya Syafir agak gugup.Syifa mengedikan bahunya dan berlalu dari hadapannya. "Huft, untung nggak banyak tanya tuh bocah," gumam Syafir menghela napas."Siapa yang lo bilang bocah," ujar Syifa berada di belakang Syafir hingga menggagetkan dirinya dan juga Ilham."Buset, bukannya lo dah pergi?" tanyanya bingung."Kalian mau ngibahin gue ya?" sosor Syifa menatap datar."Nggak, kami nunggu Nahla," jawab Ilham datar.Syifa membulakan mulutnya ber 'oh'. "Kak yang kemarin gimana?" tanyanya penasaran."Kemarin apanya," sahut Syafir memilih duduk di samping cewek tengil itu."Yang itu," jawab Syifa melirik ke sekitar. "Promosal kita yang dicolong itu," bisiknya ke telinga Syafir."Entah," jawabnya cuek. "Pinjem handphone l

Latest chapter

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Caraku Tentu Berbeda

    Nahla tersenyum rasa lega menyerudup ke hatinya. Ia melihat jam dipergelangan tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh malam.Namun, ada satu hal lagi yang menganjal dipikirannya. "Anin," gumamnya.Ia menghela napas gusar kenapa sepulang dari rumah sakit ia tidak langsung ke rumah neneknya. Nahla bangkit dari kursi tak lupa menghambiskan segelas susu yang sebelumnya sudah ia buat.Kepalanya masih pusing karena efek donor darah. Nahla mengambil tas kecilnya dan segera pamit untuk pergi kembali.Namun ..."Nahla." Suara barinto mengagetkan Nahla."Mau kemana?" tanya Ayah menatap Nahla.Nahla menoleh ia tersenyum kecil. "Ke mini market depan." Bohongnya."Boleh Ayah berbicara sebentar," pinta Ayah menatap Nahla.Nahla melirik jam tangannya kemudian melirik ayahnya. "Eum, sebentar," gumam Nahla. Ayah mengangguk senang, lalu mengajak Nahla untuk pergi ke taman depan.Langit yang cerah ditaburi bintang

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Bahagia

    Nahla menatap teman-temannya dengan cengengesan. Tatapan datar dari Syifa menohok membuat siempu cuman tersenyum. "Ceroboh lagi," dengkus Syifa mendekat. "Untung lo nggak apa-apa," lanjut Syifa mengambil panci yang jatuh ke lantai hingga menimbulkan suara gadung. "Lo nggak apa-apa Karin?" tanya Syifa menatap adik angkatannya itu hanya diam dengan wajah pucat. Dia menggeleng, helaan napasnya membuat Nahla rasa bersalah dan melirik Syifa agar membawanya ke dalam. Nahla kembali mengisi panci dengan air kram. Lalu menghidupkan kompor. Tak lama secangkir teh hangat sudah siap untuk diminum, Nahla membawa ke depan. Ia meletakan di atas meja sambil menatap Karin. "Maaf ya bikin kamu kaget," ujar Nahla. Karin tersenyum tipis lalu menggeleng kecil. "Nggak kok Kak," jawabnya. Syifa menyolek lengan Nahla. "Kamu butuh istirahat, kami temanin ya," ujar Syifa. Karin mengangguk lemah dan bangkit dibantu Nahla. Me

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Ceroboh

    "Nahla!" pekik Syifa lagi-lagi membuat yang lain terkejut."Kenapa sih La," dengkus Nahla yang tepat berdiri di sebelahnya."Jari lo berdarah," gerutunya melihat jari Nahla berdarah karena teriris pisau.Nahla berkelik kesal. "Nggak usah heboh juga kali, luka kecil," gerutunya mengambil tisu di atas meja makan dan menyeka lukanya dengan tisu."Nah, dah siap. Yuk bawa keluar," ujar Nahla membawa nampann berisi rempah-rempah. Mereka akan bikin bakar-bakaran di depan.Setibanya di depan Nahla langsung melatakan nampan di atas meja. "Fa, lo teriak kenapa lagi sih?" tanya salah satu teman mereka."Eh, masak sih. Emang iya?" tanya Syifa balik."Benaran deh Fa," katanya membenarkan. Syifa menggeleng, membantah apa yang mereka ucapan."Salah dengar kalian kali," bantah Syifa mengolesi jagung dengan saus.

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Peringatan Hantu Centil

    Syifa hanya diam berdiri dengan pandangan kosong. Pintu kamar yang terbuka lebar dengan hawa yang mencakam."Fa, ke bawah yuk," ajak Nahla datang dari luar. Namun, karena energi negatif yang menyambutnya membuatnya menatap aneh. "Fa!" tegur Nahla, tapi Syifa hanya diam bergeming.Terpaksa Nahla menyeret tubuh kaku Syifa ke depan. "Astaga lo berat amat sih," gerutu Nahla menuntu jalan.Syifa menatap Nahla tajam. Tangan yang sebelumnya memegang tangannya dicengkram kuat oleh Syifa sampai kukunya memutih."Fa!" Tak apa selain tatapan tajam Syifa. Hingga senyum menyeramkan terbentuk di bibir Syifa.Nahla memutar bola mata malas. "Siapapun kamu tolonglah keluar dari tubuh teman saya," ujar Nahla.Syifa menggeleng. "Nggak mau," cicitnya. Dia melepaskan tangannya dari tangan Nahla kemudian berlalu begitu saja."

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Kecelakaan

    Nahla terkejut bukan main. Ia membuka matanya dengan paksa lalu menoleh ke samping. Ilham juga sama dengan dirinya."Ada apa?" cicitnya.Ilham menggeleng, dia menoleh ke belakang di mana Syifa berdiri. Wajah pucat dan keringat membanjiri pipinya.Nahla ikut menoleh ke belakang, menatap bingung ke arah Syifa."Ada apa?" tanyanya lagi bangkit."Lo duduk aja di sana!" sentaknya membuat Nahla terkejut. Ada apa dengan Syifa?"Lo kenapa sih?" Nahla tidak mendengarkan perkataan Syifa ia perlahan melangkah ke arahnya."Stop!" teriakan Syifa mengagetkan seisi bis dan ditambah bis yang mereka tumpangi mengrem mendadak.Syifa membekap kedua telingannya. Dia menggeleng kuat."Ada apa Pak?" tanya Nahla menoleh ke belakang."Ada anjing lewat," ujarnya kembali menjalankan bis.Nahla mengangguk. Dengan cepat ia memengang kedua tangan Syifa. "Tenangin diri lo," bisik Nahla."Kak, pinda

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Di bawah Langit Malam

    Jam menunjukkan pukul 23.46 akhirnya mereka sampai juga ke tempat tujuan yang memakan waktu yang cukup lama."Yah, ndak jadi challenge," gerutu Syifa turun dari bis sambil menenteng ranselnya."Dah malem," ujar Syafir dengan wajah mengantuk. Dia berjalan lunglai memasuki vila tempat mereka menginap.Ilham masuk terakhir ke dalam vila, takut teman-temannya masih ada berkeliaran di luar."La," panggilnya menatap Nahla masih duduk di teras.Ia memilih menghampiri Nahla yang berselonjoran kaki. Terlihat ranselnya masih ada di sampingnya berarti dia belum masuk sama sekali."Capek ya?" tanyanya. Nahla mengangguk, gimana tidak capek sekitar 10 jam mereka hanya duduk di dalam bis yang berjalan."Ternyata di sini nggak sedingin yang dibayangin," gumam Nahla, masih tetap panas walau di sini puncak.Ilham mengangguk mem

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Perjalanan

    Matahari sudah nampak menyembul dari arah timur dan cahaya menyerambak masuk ke celah gorden di kamar Nahla.Ia membuka perlahan matanya dan mengecek handphone di atas nakas, 05.45.Tok! Tok! Tok!"Nahla bangun nak, sekolah," panggil Ilen dari luar."Iyah, Ma," balas Nahla bengkit dari ranjangnya dan langsung ke kamar mandi.Setengah jam berlalu Nahla sudah stay di ruang makan. "Nanti kalau dah nyampe jangan lupa kabarin Mama, jaga diri di sana," pesan Ilen menyiapkan bekal yang akan dibwa oleh Nahla.Nahla yang tengah mengolesi roti tawar dengan selai cokelat hanya mengangguk."Mama juga jaga diri di rumah." Lengkungan kecil tercetak tersendiri di bibir tipisnya.Rasanya berat sekali meninggalkan mamanya itu sendirian di rumah. Apa lagi dengan kondisi yang masih seperti ini, kacau."Cepatan habisin sarapannya lihat udah jam berapa." Nahla mengangguk dan langsung meneguk setengah susu cokelatnya.Setelah

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Perseteruan

    Jam enam sore Nahla masih betah duduk di resto padahal anak-anak yang lain sudah pada pulang sekitar tiga puluh menit yang lalu."La, pulang yuk," ajak Radit kebetulan dia juga belum pulang."Nggak Nahla pulang sama gue!" tolak Ilham menggeser duduknya ke sebelah Nahla.Radit tersenyum sinis, dia memilih diam membiarkan Ilham mengantarkan Nahla. Mengalah sekali-kali tak apa lah, pikirnya.Nahla menerima ajakan Ilham untuk pulang dan mereka segera berpamitan kepada Radit. Radit yang melihat mereka keluar resto tersenyum sinis. "Nggak bakal lama lagi," gumamnya dan memilih pergi juga dari sana.Ilham melirik Nahla yang hanya diam. "Kak," panggilnya."Merasa aneh nggak sih sama Kak Radit?" tanyanya. Ilham menjerit heran, apa ini hanya kebetulan atau emang ada benar, pikirannya sama dengan Nahla."Sepertinya, tapi kita tidak boleh berburuk sangka loh," balas Ilham. Nahla mengangguk. "Iya, sih.""Mau diantarin kemana?" tanya Ilham.

  • Kenapa Aku Harus Peduli?   Ngomong Apa?

    Senyum sumbringah terpancar dari wajah Nahla yang sedang berselesahan di atas tanah. Terik matahari tambah membuat semangatnya dibakar."Gilang sini!" teriaknya kepada pria jakung yang berada di ujung lapangan.Pria itu menurut dan duduk di sebalahnya sambil menjulurkan kakinya. "Why?" tanyanya bingung."Kenapa?" tanya Nahla balik."Lo aneh," ujar Gilang tersenyum mengejek membuat senyum Nahla luntur."Lo yang aneh, bunglon." Nahla menatap sepupunya itu jengkel."Bunglon, teriak bunglon." Gilang menyeringai dan menyentil kening Nahla."Aduh, sakit tau," desis Nahla memukul punggung tangan Gilang."Nggak nanya," ujarnya membulatkan mulutnya."Lo rese banget sih," gerutu Nahla. "Lo cantik deh kalau lagi ngambek," goda Gilang mencolek pipi Nahla hingga bersemu merah."Apaan sih," bantah Nahla memalingkan wajahnya."Cie salting nih," ledek Gilang mentertawainya."Rese amat sih l

DMCA.com Protection Status