Aku hanya butuh dipahami itu saja!
***
"Gilang!" pekik Syifa membuat siempu hanya diam.
"Kenapa?" tanya Rendi mengampiri, dia melirik Gilang yang tengah duduk di tengah tumpukan kardus.
"Gila lo yah, dari tadi kami sibuk nyariin nyatanya lo di sini kek anak hilang," gerutu Syifa.
Gilang hanya diam menatap Syifa, dia melirik Nahla yang hanya diam tanpa menoleh atau menghampirinya.
"Sadboy benaran, baru nemuin gue," ujarnya menatap penampilan Gilang yang sebelumnya rapi saat dia pertemu tadi pagi dengannya.
"Pergi kalian," usirnya menatap kosong ke depan.
"Mau jadi apa lo!" Sekarang giliran Rendi yang berbicara, dia 'tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya itu.
"Nggak usah ikut campur," ketusnya menatap tajam ke Rendi.
"Kepala batu," denkusnya memberi ruang kepada Nahla supaya mendekat.
"Ck, lo kenapa sih?!" Nahla menatap Gilang dengan tatap tidak bisa diartikan.
Gilang tidak membelas pertanyaan Nahla. Nahla menghela napas guser, "oke, gue pergi," ujarnya membuat pergelangan tangannya ditarik oleh Gilang.
"Nggak." Tatapan tajam dari Gilang dibalas tatapan datar dari Nahla. "Mau lo apa sih!"
Lagi-lagi Gilang tidak bergeming, Nahla menarik tangannya dan melepaskan paksa tangan Gilang dari pergelangan tangannya.
"Bodoh!" gumam Nahla masih bisa di di dengar Gilang. Setelah mengatakan itu Nahla memilih pergi dari tempat itu meninggalkan Gilang dan Rendi.
Syifa membututi Nahla dari belakang. "La, lo baik-baik aja kan?" tanyanya. Nahla hanya diam, sekarang tujuan mereka adalah ke aula.
"Lo mau kemana?" cegahnya lagi membuat Nahla menyerit heran. Bukannya tadi Syifa yang mengajaknya.
"Aula." Syifa diam kemudian mengangguk mengikuti langkah Nahla.
Baru saja kop pintu disentuh Nahla, lagi-lagi dicegah oleh Syifa. "Ngapain?" tanyanya bingung.
Nahla ikut bingung, bukan bingung dengan ngapain ia ke sini tapi bingung dengan Syifa.
"Dah masuk aja," ajak Nahla, ketika kop pintu berputas Syifa memilih mundur ke belakang dan membiarkan Nahla membuka pintu itu lebar.
Ternyata ruangan tersebut tidaklah sepi, banyak anak-anak ektrakulikuler berbagai cabang yang berkumpul. Syifa langsung menyusul Nahla masuk dan tidak lupa mengambil almamater biru tua yang sudah di susun rapi di atas meja.
"Syifa," tegur Kak Ilham menghampiri Syifa yang masih asik melamun.
"He, kok rame?" tanyanya bingung dan melirik almamater yang dia pegang.
Ilham menjerit bingung, kenapa dengan Syifa?
"Kamu kenapa?" tanyanya membuat Syifat melirik sekitar.
"Oh ya, saya mau nyusul Nahla Kak," ujarnya langsung meninggalkan Ilham dari pada Kakak kelasnya itu tanya-tanya lagi.
Syifa mendekat ke arah Nahla yang berada di atas panggung. "La, kita ngapain sih di sini?" tanyanya. Nahla menoleh ke arah Syifa.
Nahla menunjuk logo yang ada di almamater biru tua tersebut. "Osis?" gumamnya memerhatikan dengan seksama dan juga ada namanya.
"Buset, gue lupa," ujarnya langsung menyelongoh pergi karena tugasnya.
"Kenapa lagi dia?" tanya anggota osis lainnya melihat tingkah Syifa.
"Biasa," celetuk Nahla melanjutkan tugasnya.
"Oke gaes, jadi—"
"Huft, capek juga ya," gumam Syifa berselonjoran kaki duduk di lantai aula.
"Eh, La. Gilang tadi gimana?" bisik Syifa kebetulan mereka duduk berdampingan.
Nahla tengah asik membaca hanya mengedikkan bahu tanda tidak tau. "Syifa!" Lagi-lagi Syifa ditegur oleh Kakak kelasnya, Kak Ilham.
"Iya-iya," gerutu syifa kembali melanjutkan tugasnya dari pada kena semprot lagi oleh Kak Ilham.
Jam terus berputar dan sekarang sudah menunjukan pukul tiga sore. Bell pulang sekolah sudah satu jam lalu berbunyi, anggota osis sekarang masih tengah sibuk-sibuknya karena mempersiapkan acara tahunan sekolah yang akan diselenggarakan seminggu lagi.
"La, itu bukannya Gilang ya." Kebetulan Syifa dan Nahla lagi mengambil beberapa peralatan yang disimpat di gunang.
Nahla menoleh. "Mana?" tanyanya sebab tidak melihat siapa-siapa.
"Itu dekat pohon," tujuk Syifa membuat Nahla mengedarkan pandangannya.
Nahla menatap Gilang yang tengah duduk di bawah pohon dengan pandangan kosong. Nahla berdecak dan menghampiri Gilang.
"Mau lo apa sih." Nahla menatap tajam Gilang yang hanya diam.
"Gilang lo nyusahi aja jadi orang!" pekik Syifa.
Gilang tetap diam menatap ke depan. "La, jangan-jangan ini bukan Gilang?" tanya Syifa memicingkan matanya.
Nahla hanya diam memerhatikan Gilang, "oke nanti gue ke rumah lo," ujar Nahla menatap datar hingga Gilang menoleh ke arahnya.
"Nggak!" cegah Syifa menatap Nahla dan Gilang bergantian.
Gilang bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Kan, dia itu aneh," gerutu Syifa beranjak ke gudang sesuai tujuan mereka.
Nahla menghela napas kemudian memilih menyusul Syifa. Ketika pintu gudang dibuka barang-barang tersusun rapi di dalamnya tapi sayang tertutupi oleh debu.
"Adeh, kotornya kek kandang kambing aja," gerutu Syifa masuk dan segera mencari apa yang mereka butuhkan.
Nahla sibuk memerhatikan sekitar hingga teriakan Syifa mengagetkan dirinyan. "Tikus, pergi lo!" usir Syifa naik ke atas kursi.
"Woi tidur!" Teriak Syifa mengundang kegaduhan.
"Ha?"
"Kok tidur sih?" gumamnya menepuk jidatnya.
"Tikus pergi-pergi lo sana," usir Syifa menimpuk dengan buku.
Nahla menggeleng dengan sikap Syifa ada-ada saja. Tikus di suruh tidur, emang dia apa yang disuruh langsung tidur.
"Udah dapat?" tanya Nahla menghampiri Syifa yang masih berduru di atas kursi.
"Apanya yang dapat, tikusnya?" tanyanya mengerjabkan matanya.
"Tongkat," sahut Nahla memutar bola mata malas.
"Oh, kirain tikus," ujar Syifa melirik lantai dan perlahan turun.
"Nahla, Syifa," panggil seseorang membuat Syifa langsung buru-buru turun hingga.
Bruk!
Syifa terjelungkup dengan cara mengenaskan. "Aduh, punggung gue," ringisnya hingga tawa orang di laur terdengar.
"Mampus," celetuk salah satu diantara mereka dan mereka adalah anak osis.
"Mampus gue," ringsinya dibantu Nahla berdiri.
"Sakit Fa?" tanya Nahla setengah mengledek.
"Diam kalian," pungkas Syifa malu, pengen dia kabur dari sini sekarang juga. "Awas ati-ati," celetuk Nahla, tapi Syifa kembali kesandung di depan pintu hingga galak tawan Nahla dan kedua temannya tak bisa dibendung.
"Mampus," ujar mereka berbarengan.
"Kalian!" pekik Syifa lantaran kesal dan malu karena sudah dua kali tertangkap basah terjatuh, memalukan.
______________________________________________________________________
Berdamailah dengan dirimu! ***Nahla menatap perkarangan rumah di depannya. Sepi, itulah yang tergambar dalam pikirannya saat ini.Apa di sini tidak ada kehidupan sama sekali sampai-sampai perkarangan depan rumah tersebut tidak terawat.Nahla melangkahkan kakinya masuk, ia menatap sekitaran hingga suara seseorang mengagetkannya."Ngapain lo ke sini?!" tanyanya menatap Nahla datar.Nahla hanya diam sekarang ia fokos dengan penampilan pria yang ada di depannya saat ini."Gue ...." ucapan Nahla belum selesai tapi tubuhnya langsung dipeluk oleh Gilang.Dia menangis?Gilang menangis didekapan Nahla, tanpa sadar ia ikut membalas pelukan dari Gilang.
Semua akan terbayar!Terik cahaya matahari membuat pandangan Nahla mengkabur. Ia menunduk dan berjalan cepat mencari tempat yang teduh. Huft kenapa hari ini terasa panas sekali, menyebalkan."Nahla," panggil Ilham membuat dirinya menoleh ke belakang karena sumber suara dari sana."Oh, ya bisa ikut saya?" tanyanya. Nahla menjerit heran, ia mengangguk dan mengikuti langkah Ilham.Ilhma mengambil kunci pintu dari dalam saku almamater biru tuanya. Perlahan pintu tersebut terbuka dan memperlihatkan isinya.Ruangan Osis"Beberapa bulan lagi jabatan saya bakal berakhir," ujarnya duduk di kursi dimana ada papan segitiga di atas meja bertulisan Ketua Osis.Nahla hanya diam ia duduk di sofa yang biasa digunakan tempat anak osis sekedar berkumpul dan melepas penat."Begitu juga dengan saya," ujar Nahla karena sekarang ia menduduki sebagai wakil ketua
"Nahla, Nahla," decak seseorang membuat Nahla menoleh ke belakang.Dia Gadis, teman Nahla yang telah lama tidak bertemu. "Gadis," sapa Nahla dengan ekspresi sama, datar.Gadis mengangguk. "Udah lama tidak berjumpa," ujarnya tersenyum miring.Nahla mengangguk, ia memilih duduk di bangku yang ada di depannya. Gadis mengikuti Nahla dan duduk di sampingnya. "Btw, lo sendiri aja?" tanya Gadis menatap lurus ke depan. Desiran angin malam ditambah suara ombak membuat rasa nyaman tersendiri bagi keduanya."Iya, lo sendiri?" tanya Nahla balik."Sama pacar," jawab Gadis tersenyum tipis.Nahla mengangguk singkat. Canggung, mungkin itu yang mereka rasakan sekarang. "Kabar Gilang gimana?" tanya Gadis membuat Nahla diam bergeming.Dua hari belakangan ia belum bertemu sama sekali dengan Gilang. Apa keadaan baik? Ia rasa tidak. Nahla menggeleng tanda tidak tahun bagaimana kabar Gilang saat ini.Gadis mengangguk singkat i
Apakah aku harus menerima pilihan kembali? Kurasa iya.****"La," tegur Syifa karena sadari tadi Nahla hanya melamun."Ha?""Lo kenapa sih?" tanyanya bingung."Kenapa?" tanya Nahla balik."Nggak apa-apa sih," jawab Syifa bertumpu tangan.Nahla bekelik kesal, kemudian merebahkan kepalanya ke atas meja. "La," panggil Syifa lagi.Nahla tidak bergeming. Ia hanya diam sambil memejamkan matanya. "Nahla bantu gue." Terdengar suara bisikan membuat Nahla mendongkan kepalanya."Lo ngomong tadi?" tanya Nahla memicingkan matanya menatap Syifa."Cuman manggil aja," jawab Syifa masuh diposisi bertumpu tangan.Nahla hanya ber 'oh' kemudia bangkit dari bangkunya. "Eh! Lo mau kemana?" tanya Syifa bergegas bangkit.Nahla memicingkan matanya sekita tawanya meledak melihat Syifa tersungkur di lantai."Anjir," gerutu Syifa menatap sekeliling untung hanya mereka berdua saja di kelas.
Kaki jenjang Nahla terus melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Bau obat sangat menyengat yang biasa tidak disukai Nahla. Tapi, sekarang mati-matian membiarkan itu."Nahla." Rendi menghadang jalan Nahla."Ngapain lo ke sini?" tanyanya dengan nada yang tak bersahabat."Urusan lo?" tanya Nahla balik dengan nada yang sama."Pergi!" Rendi mengusir Nahla, bukan tanpa sebab dia mengusir Nahla tapi ini semua sebab Nahla."Oke," gumam Nahla menatap kosong ke depan. Ia pergi dari hadapan Rendi.Bagaikan tak ada semangat Nahla duduk di salah satu bangku di koridur rumah sakit tersebut. Ia menghela napas berat, apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi.Ia menunduk sambil mengusap-usap tangannya yang dingin karena hawa angin malam."Nahla," panggil wanita paruh baya yang mendekat ke arahnya. Nahla mendongkakan kepalanya."Tante Iren?" tanyanya bingung.Wanita tersebut mengangguk lalu duduk di samping
Sekarang Nahla tengah bermain dengan Anin di ruang keluarga. Sekarang rumahnya sedang kedatangan tamu teman mamanya."Anin Kakak kebelakang dulu ya," ujar Nahla menyuruh Anin tetap di sana. Gadis tersebut hanya mengangguk karena tengah asik bermain boneka."Bi In," panggil Nahla membuat wanita paruh baya itu menoleh."Iya, Non?""Biar Nahla aja ngantarin," ujarnya kebetulan ia juga mau pamit sama mamanya ke rumah sakit."Nggak apa-apa Non?""Nggak apa-apa Bi, Nahla minta bantuan aja jagain Anin. Kasian sendiri," ujar Nahla. Bi In mengangguk.Nahla membawa baki yang berisi minuman ke ruang tamu."Tante Iren?" Nahla terkejut ternyata Tante Iren yang berada di rumahnya."Nahla?" tanyanya bingung. Ilen yang melihat itu tersenyum. "Duduk dulu sini," suruhnya kepada Nahla.Nahla menurut saja, ia duduk di sebelah Ilen, mamanya. "Kamu udah kenal Tante Iren?" tanya Ilen membuat Nahla mengangguk."B
Nahla menatap tajam seisi ruangan tersebut. "Kalian bisa serius nggak sih?"Semua diam membisu 'tak ada sahutan sama sekali dari mereka. "Lo ngumpulin kita cuman mau marah-marah?" tanya salah satu dari mereka.Ilham memberi isyarat kepada mereka semua agar diam. Karena melihat emosi Nahla yang tidak terkontrol dia memilih inisiatif sendiri mengambil Infocus Projektor."Silakan kalian pahami lebih dahulu," ujar Ilham setelah menyalakan infocus tersebut dan menyambungkan ke laptopnya."Lah? Kok bisa?!" tanyanya membaca berkas yang terpampang jelas di hadapan mereka saat ini yang tidak sesuai dengan sistem program kerja mereka."Ada yang bisa jelasin?" tanya Nahla dengan sorot mata tajam."Ini bukan kebetulan!" bentak Nahla membuat yang lain terkejut."Maksudnya?" tanya Gibran bingung."Duduk aja dulu," suruh Ilham membuat Nahla menghela napas berat, emosinya tidak terkendali bahkan ingin sekali hia membanting ba
Nahla tersenyum simpul melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Abangnya dan mamanya duduk berdampingan sudah lama sekali ia tidak melihat pemandangan tersebut."Kali ini aja, nginap di sini," bujuk Ilen tetapi Naufal tetap kekuah dengan pendiriannya."Demi Nahla," gumam Ilen pada akhirnya.Naufal terdiam kemudian melirik Nahla yang tengah menatapnya. "Oke," jawabnya final. Setelah itu dia izin kebelakang untuk menelfon Nurul agar menyusulnya kemari.***"Kak lucu deh," bisik Nahla di samping Nurul kebetulan kakak iparnya itu sudah sampai.Nurul tersenyum geli. "Biarin aja mereka berdua yuk. Kita kabur," ajaknya membuat Nahla mengangguk.Mereka berdua memilih naik ke lantai atas tepatnya ke kamar Nahla. "Dah lama Kakak nggak ke sini, nggak banyak berubah ya," ujar Nurul duduk ke atas ranjang Nahla."Heum, begitulah." Nahla duduk di kursi belajarnya menghadap ke arah ranjang."Kamu, ada perubahan nggak?" tanya Nu
Nahla tersenyum rasa lega menyerudup ke hatinya. Ia melihat jam dipergelangan tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh malam.Namun, ada satu hal lagi yang menganjal dipikirannya. "Anin," gumamnya.Ia menghela napas gusar kenapa sepulang dari rumah sakit ia tidak langsung ke rumah neneknya. Nahla bangkit dari kursi tak lupa menghambiskan segelas susu yang sebelumnya sudah ia buat.Kepalanya masih pusing karena efek donor darah. Nahla mengambil tas kecilnya dan segera pamit untuk pergi kembali.Namun ..."Nahla." Suara barinto mengagetkan Nahla."Mau kemana?" tanya Ayah menatap Nahla.Nahla menoleh ia tersenyum kecil. "Ke mini market depan." Bohongnya."Boleh Ayah berbicara sebentar," pinta Ayah menatap Nahla.Nahla melirik jam tangannya kemudian melirik ayahnya. "Eum, sebentar," gumam Nahla. Ayah mengangguk senang, lalu mengajak Nahla untuk pergi ke taman depan.Langit yang cerah ditaburi bintang
Nahla menatap teman-temannya dengan cengengesan. Tatapan datar dari Syifa menohok membuat siempu cuman tersenyum. "Ceroboh lagi," dengkus Syifa mendekat. "Untung lo nggak apa-apa," lanjut Syifa mengambil panci yang jatuh ke lantai hingga menimbulkan suara gadung. "Lo nggak apa-apa Karin?" tanya Syifa menatap adik angkatannya itu hanya diam dengan wajah pucat. Dia menggeleng, helaan napasnya membuat Nahla rasa bersalah dan melirik Syifa agar membawanya ke dalam. Nahla kembali mengisi panci dengan air kram. Lalu menghidupkan kompor. Tak lama secangkir teh hangat sudah siap untuk diminum, Nahla membawa ke depan. Ia meletakan di atas meja sambil menatap Karin. "Maaf ya bikin kamu kaget," ujar Nahla. Karin tersenyum tipis lalu menggeleng kecil. "Nggak kok Kak," jawabnya. Syifa menyolek lengan Nahla. "Kamu butuh istirahat, kami temanin ya," ujar Syifa. Karin mengangguk lemah dan bangkit dibantu Nahla. Me
"Nahla!" pekik Syifa lagi-lagi membuat yang lain terkejut."Kenapa sih La," dengkus Nahla yang tepat berdiri di sebelahnya."Jari lo berdarah," gerutunya melihat jari Nahla berdarah karena teriris pisau.Nahla berkelik kesal. "Nggak usah heboh juga kali, luka kecil," gerutunya mengambil tisu di atas meja makan dan menyeka lukanya dengan tisu."Nah, dah siap. Yuk bawa keluar," ujar Nahla membawa nampann berisi rempah-rempah. Mereka akan bikin bakar-bakaran di depan.Setibanya di depan Nahla langsung melatakan nampan di atas meja. "Fa, lo teriak kenapa lagi sih?" tanya salah satu teman mereka."Eh, masak sih. Emang iya?" tanya Syifa balik."Benaran deh Fa," katanya membenarkan. Syifa menggeleng, membantah apa yang mereka ucapan."Salah dengar kalian kali," bantah Syifa mengolesi jagung dengan saus.
Syifa hanya diam berdiri dengan pandangan kosong. Pintu kamar yang terbuka lebar dengan hawa yang mencakam."Fa, ke bawah yuk," ajak Nahla datang dari luar. Namun, karena energi negatif yang menyambutnya membuatnya menatap aneh. "Fa!" tegur Nahla, tapi Syifa hanya diam bergeming.Terpaksa Nahla menyeret tubuh kaku Syifa ke depan. "Astaga lo berat amat sih," gerutu Nahla menuntu jalan.Syifa menatap Nahla tajam. Tangan yang sebelumnya memegang tangannya dicengkram kuat oleh Syifa sampai kukunya memutih."Fa!" Tak apa selain tatapan tajam Syifa. Hingga senyum menyeramkan terbentuk di bibir Syifa.Nahla memutar bola mata malas. "Siapapun kamu tolonglah keluar dari tubuh teman saya," ujar Nahla.Syifa menggeleng. "Nggak mau," cicitnya. Dia melepaskan tangannya dari tangan Nahla kemudian berlalu begitu saja."
Nahla terkejut bukan main. Ia membuka matanya dengan paksa lalu menoleh ke samping. Ilham juga sama dengan dirinya."Ada apa?" cicitnya.Ilham menggeleng, dia menoleh ke belakang di mana Syifa berdiri. Wajah pucat dan keringat membanjiri pipinya.Nahla ikut menoleh ke belakang, menatap bingung ke arah Syifa."Ada apa?" tanyanya lagi bangkit."Lo duduk aja di sana!" sentaknya membuat Nahla terkejut. Ada apa dengan Syifa?"Lo kenapa sih?" Nahla tidak mendengarkan perkataan Syifa ia perlahan melangkah ke arahnya."Stop!" teriakan Syifa mengagetkan seisi bis dan ditambah bis yang mereka tumpangi mengrem mendadak.Syifa membekap kedua telingannya. Dia menggeleng kuat."Ada apa Pak?" tanya Nahla menoleh ke belakang."Ada anjing lewat," ujarnya kembali menjalankan bis.Nahla mengangguk. Dengan cepat ia memengang kedua tangan Syifa. "Tenangin diri lo," bisik Nahla."Kak, pinda
Jam menunjukkan pukul 23.46 akhirnya mereka sampai juga ke tempat tujuan yang memakan waktu yang cukup lama."Yah, ndak jadi challenge," gerutu Syifa turun dari bis sambil menenteng ranselnya."Dah malem," ujar Syafir dengan wajah mengantuk. Dia berjalan lunglai memasuki vila tempat mereka menginap.Ilham masuk terakhir ke dalam vila, takut teman-temannya masih ada berkeliaran di luar."La," panggilnya menatap Nahla masih duduk di teras.Ia memilih menghampiri Nahla yang berselonjoran kaki. Terlihat ranselnya masih ada di sampingnya berarti dia belum masuk sama sekali."Capek ya?" tanyanya. Nahla mengangguk, gimana tidak capek sekitar 10 jam mereka hanya duduk di dalam bis yang berjalan."Ternyata di sini nggak sedingin yang dibayangin," gumam Nahla, masih tetap panas walau di sini puncak.Ilham mengangguk mem
Matahari sudah nampak menyembul dari arah timur dan cahaya menyerambak masuk ke celah gorden di kamar Nahla.Ia membuka perlahan matanya dan mengecek handphone di atas nakas, 05.45.Tok! Tok! Tok!"Nahla bangun nak, sekolah," panggil Ilen dari luar."Iyah, Ma," balas Nahla bengkit dari ranjangnya dan langsung ke kamar mandi.Setengah jam berlalu Nahla sudah stay di ruang makan. "Nanti kalau dah nyampe jangan lupa kabarin Mama, jaga diri di sana," pesan Ilen menyiapkan bekal yang akan dibwa oleh Nahla.Nahla yang tengah mengolesi roti tawar dengan selai cokelat hanya mengangguk."Mama juga jaga diri di rumah." Lengkungan kecil tercetak tersendiri di bibir tipisnya.Rasanya berat sekali meninggalkan mamanya itu sendirian di rumah. Apa lagi dengan kondisi yang masih seperti ini, kacau."Cepatan habisin sarapannya lihat udah jam berapa." Nahla mengangguk dan langsung meneguk setengah susu cokelatnya.Setelah
Jam enam sore Nahla masih betah duduk di resto padahal anak-anak yang lain sudah pada pulang sekitar tiga puluh menit yang lalu."La, pulang yuk," ajak Radit kebetulan dia juga belum pulang."Nggak Nahla pulang sama gue!" tolak Ilham menggeser duduknya ke sebelah Nahla.Radit tersenyum sinis, dia memilih diam membiarkan Ilham mengantarkan Nahla. Mengalah sekali-kali tak apa lah, pikirnya.Nahla menerima ajakan Ilham untuk pulang dan mereka segera berpamitan kepada Radit. Radit yang melihat mereka keluar resto tersenyum sinis. "Nggak bakal lama lagi," gumamnya dan memilih pergi juga dari sana.Ilham melirik Nahla yang hanya diam. "Kak," panggilnya."Merasa aneh nggak sih sama Kak Radit?" tanyanya. Ilham menjerit heran, apa ini hanya kebetulan atau emang ada benar, pikirannya sama dengan Nahla."Sepertinya, tapi kita tidak boleh berburuk sangka loh," balas Ilham. Nahla mengangguk. "Iya, sih.""Mau diantarin kemana?" tanya Ilham.
Senyum sumbringah terpancar dari wajah Nahla yang sedang berselesahan di atas tanah. Terik matahari tambah membuat semangatnya dibakar."Gilang sini!" teriaknya kepada pria jakung yang berada di ujung lapangan.Pria itu menurut dan duduk di sebalahnya sambil menjulurkan kakinya. "Why?" tanyanya bingung."Kenapa?" tanya Nahla balik."Lo aneh," ujar Gilang tersenyum mengejek membuat senyum Nahla luntur."Lo yang aneh, bunglon." Nahla menatap sepupunya itu jengkel."Bunglon, teriak bunglon." Gilang menyeringai dan menyentil kening Nahla."Aduh, sakit tau," desis Nahla memukul punggung tangan Gilang."Nggak nanya," ujarnya membulatkan mulutnya."Lo rese banget sih," gerutu Nahla. "Lo cantik deh kalau lagi ngambek," goda Gilang mencolek pipi Nahla hingga bersemu merah."Apaan sih," bantah Nahla memalingkan wajahnya."Cie salting nih," ledek Gilang mentertawainya."Rese amat sih l