Gilbert menatap Melia. Terlihat senyuman tipis di wajahnya. “Tenang saja.”Jawaban singkat itu seolah-olah memiliki kekuatan gaib saja. Melia spontan merasa tenang.….Pada hari itu, hukuman Suryadi sudah diturunkan. Semua aset pribadi Suryadi dibekukan dalam waktu satu malam. Berhubung dia tidak diperbolehkan untuk ke luar kota, dia pun kehilangan kesempatan untuk menjalankan rencana ke luar negerinya.Tak lama kemudian, Suryadi pun ditahan untuk diinvestigasi.Gilbert pergi mengunjungi Suryadi di tahanan. Suryadi dibawa polisi ke ruang tunggu. Mereka saling bertatapan dengan dibatasi oleh kaca. Saat ini Suryadi tidak kelihatan arogan seperti sebelumnya.Suryadi mengangkat telepon, lalu berkata dengan geram, “Gilbert, kamu sungguh hebat. Berani-beraninya kamu bermain dua muka di hadapanku!”Gilbert tersenyum. “Aku sudah terbiasa seperti itu.”Suryadi tersenyum menyindir. “Ternyata anak yang tidak dibesarkan sendiri akan begitu berdarah dingin. Waktu itu, seharusnya aku menyuruh ibumu
Malam harinya, Gilbert tiba di Kediaman Gozali. Dia berdiri di depan rumah menunggu Melia membukakan pintu. Melia baru selesai keramas, masih tercium aroma wangi samponya.Malam ini Melia tidak merias wajahnya. Dia kelihatan sangat polos. Jarang-jarang ada wanita memiliki kondisi kulit sebagus ini di saat tidak merias wajah.“Sudah datang, ya. Ayo cepat masuk.” Melia menarik Gilbert ke dalam rumah, lalu menutup pintu rumah.Giselle pun menjamu Gilbert. Dia sudah mempersiapkan banyak makanan, hanya menunggu kedatangan Gilbert saja.“Paman, Tante.” Gilbert mengangguk bersikap sopan.Giselle tersenyum. “Sudahlah, ayo cepat cuci makan. Tinggal tunggu kamu saja.” Kemudian, dia melanjutkan, “Melia juga tidak tahu kamu suka makan apa. Jadi, kami masak masakan yang biasa kami makan.”Gilbert melirik Melia sekilas, lalu tersenyum datar. “Tidak apa-apa. Aku juga tidak pemilih.”Melia merasa agak canggung. Sepertinya dia tidak begitu memahami Gilbert. Saat makan, Emir menuangkan dua gelas anggur
Giselle merasa bingung. Dia mengambil piring buah dan teh ke lantai atas. Kebetulan tampak Gilbert dan Emir berjalan keluar ruang baca. Dia pun tertegun sejenak. “Dari tadi kalian di ruang baca?”Gilbert mengangguk.Emir menatapnya. “Aku lagi bahas sesuatu dengan Gilbert di ruang baca. Ada apa?”“Tadi aku suruh Melia antarin buah dan minuman ke atas. Tapi dia bilang dia tidak menemukan kalian di di ruang baca ….”Raut wajah Emir spontan berubah. Dia langsung bertukar pandang dengan Gilbert. Sepertinya, Melia sudah mendengarnya.Di sisi lain, Melia sedang duduk sendirian di kolam halaman belakang. Langit sudah gelap. Lampu di halaman sudah menyala.Gilbert mengikuti pelayan berjalan ke halaman belakang. Pelayan mengatakan sesuatu, lalu berpamitan. Dia berjalan ke sisi Melia. Melia sedang melempar kerikil di tangan ke dalam kolam.Saat mendengar adanya suara langkah kaki, Melia pun tertegun. Tanpa menoleh, dia berkata, “Aku tahu apa yang ingin kamu katakan. Tapi nggak apa-apa. Aku juga n
“Melia, perasaan bisa dipupuk. Setidaknya ucapanku itu serius, tidak ada hubungannya dengan utang budi.” Angin malam mengembus kerah pakaiannya. Tatapan Gilbert masih terlihat panas. “Kalau aku hanya ingin menebusmu, aku punya banyak cara untuk menebusmu, tidak mesti menggunakan cara ini.”Melia masih tertegun di tempat. Beberapa saat kemudian, dia baru bersuara, “Apa kamu menyukaiku? Meski hanya sedikit saja.”Gilbert menunduk untuk menatap Melia. “Setidaknya aku tidak merasa risi dan tidak membencimu.”Kali ini Melia tidak berbicara lagi.Gilbert mengangkat tangan mengusap pipi Melia. Melia terdiam di tempat. Detak jantungnya berdetak semakin kencang lagi. Dia menunduk, tidak berani bergerak.Telapak tangan Gilbert sangatlah kasar. Tangan kasar itu meraba-raba di wajah Gilbert, lalu meraba ujung bibirnya.Gilbert mendekat dengan perlahan. Tangan di sisi tubuh Melia dikepal erat. Dia pun menahan napasnya.Saat Gilbert mendekati bibirnya, tetiba dia berhenti, lalu beralih mengecup keni
Moris juga merasa lega. “Untung saja dia tidak satu komplotan dengan Pak Suryadi.”Jika tidak, Grup Boga akan semakin semena-mena lagi.Tak lama kemudian, Moris pun meninggalkan ruangan.Javier menuang minuman dengan perlahan. “Sekarang Grup Boga diambil alih dia?”Roger menggeleng. “Bukan, Gilbert hanya mengambil sebagian sahamnya saja. Dia tidak mengambil alih Grup Boga. Dia malah menyerahkan Grup Boga kepada Bu Larissa.”Javier meletakkan cangkir teh ke depan mulut. Gilbert menyerahkan Grup Boga kepada mantan istri Suryadi. Sepertinya Larissa bisa mengetahui masalah penggelapan dana Suryadi juga karena diberi tahu Gilbert.Gilbert tidak turun tangan sendiri. Dia malah bersembunyi di belakang mengalihkan pandangan Suryadi, lalu memanfaatkan Larissa. Seandainya Gilbert adalah musuh, dia adalah tokoh yang tidak gampang untuk dihadapi.Pada saat ini, di Grup Boga.Gilbert dan Larissa sedang duduk di dalam ruang kerja sembari mencicipi teh dan mengobrol. Dia tidak begitu menyukai anak ha
Dua bulan dihabiskan demi menemukan petunjuk. Gilbert lebih memahami ibunya daripada polisi lain. Ibunya bisa mati juga karena ketamakannya. Dia ingin memiliki kedudukan yang lebih tinggi dengan mengancam keuntungan pihak lawan. Itulah sebabnya nasibnya bisa berakhir seperti ini.Gilbert menyesap teh dengan perlahan. “Semuanya sudah berlalu.” Dia sendiri juga tidak bersedih atas kematian ibunya. Meskipun ada yang mengungkit masalah itu, dia juga sudah tidak peduli lagi.Larissa menatap Gilbert. Dia juga memiliki anak sendiri. Tidak mungkin dia tidak sakit hati dengan apa yang dialami Gilbert. “Kamu bisa memiliki ibu seperti itu juga bukan salahmu.”Gilbert tertegun sejenak, lalu tersenyum. “Apa kamu lagi menghiburku?”“Aku bukan lagi menghiburmu. Aku sangat membedakan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Aku memang memiliki konflik dengan ibumu, tapi tidak berarti aku akan mengalihkannya ke dirimu.”Larissa berkata dengan datar, “Ibumu juga memanfaatkan anaknya sendiri, dia memang t
Melia mengatakan, “Nggak apa-apa, sayang kalau dibuang.”Gilbert berjalan ke dalam ruang kerjanya. Dia yang biasanya tidak suka mengenakan pakaian formal langsung melepaskan jasnya, lalu melonggarkan dasinya.Melia mengambil cangkir kopi mengikuti langkah Gilbert. Begitu mengangkat kepala, tampak kemeja putih tipis Gilbert melekat erat di dadanya. Dadanya naik turun seiring napasnya. Dapat diketahui bahwa Gilbert sering berolahraga sebelumnya.Wajar saja, namanya Gilbert pernah menjadi mata-mata, apalagi tamatan akademi kepolisian. Dia pernah mengikuti pelatihan dalam waktu lama.Saat Gilbert mengganti pakaiannya waktu itu, Melia juga pernah sekali memergokinya. Ototnya tidak tergolong berlebihan, tetapi lekuk tubuhnya sangatlah indah.Ketika di perusahaan, Melia pernah mendengar para karyawan wanita membahas soal otot perut. Sepertinya semua wanita suka lelaki dengan otot di bagian perutnya, soalnya kelihatan sangat seksi.Tatapan Melia spontan beralih ke bagian bawah. Dia kepikiran s
“Tapi aku tidak suruh kamu menilai sesuatu dengan firasatmu. Kamu tidak memahamiku, apalagi aku juga tidak melakukan hal yang bisa kamu percayai, gimana kamu bisa percaya sama aku?”Melia menarik napas dalam-dalam. “Apa kamu pernah membiarkanku untuk memahamimu?”Gilbert menatap Melia. “Sekarang juga belum terlambat.”Melia tertegun sejenak. Memahami Gilbert mulai sekarang? Hanya saja, apa yang perlu Melia pahami? Melia merasa ragu. “Apa kamu akan menjawab semua pertanyaanku?”Gilbert terdiam. “Tergantung sikon.”“Kamu lagi main-main sama aku? Ya sudah, aku pergi dulu.” Seolah-olah Melia tidak memiliki temperamen saja. Dia meletakkan cangkirnya, berdiri hendak berjalan pergi.Tangan Gilbert merangkul pinggang Melia dengan perlahan. Dia bisa merasakan hawa panas dari pinggang Melia.Kedua tangan Melia menopang dada Gilbert. Detak jantung Melia tak berhenti berdegup. Telapak tangannya juga semakin panas saja.Sepertinya Melia tidak berani untuk mengangkat kepala untuk menatapnya. Gilbert