Melia masih tidak menghentikan aksinya. “Ayah, aku sungguh benci dengan sikap egoismu. Aku lebih benci lagi dengan cara berpikirmu yang begitu dominan. Sudah sepantasnya kamu bercerai dengan ibuku.”Saat ini, Melia melepaskan kartu pekerjanya, lalu membuangnya ke lantai. “Kamu meremehkan aku karena aku itu anak perempuan, ‘kan? Oke! Aku nggak akan bekerja lagi. Aku ingin kamu tahu aku nggak kalah hebat dari lelaki!”Tanpa menunggu balasan dari Emir, Melia langsung berjalan keluar ruangan. Begitu mengangkat kepala, dia malah melihat kedatangan Claire.Melia tertegun sejenak, lalu berkata, “Apa kamu datang untuk mencari ayahku? Dia lagi di dalam.”Claire tersenyum. “Aku datang untuk mencarimu.”Lagi-lagi Melia tertegun.Melia mencari sebuah restoran di sekitar perusahaan. Restoran ini memang bukan sebuah restoran kelas atas, tetapi suasananya cukup nyaman. Dia mengeluarkan dua botol bir dari dalam kulkas, lalu menuangkannya ke dalam gelas. “Nyonya Claire suruh aku pilih tempat. Aku malah
Claire mengangkat kepalanya menatap Melia. “Masalah pernikahan sangat sulit untuk dijelaskan. Semua orang memiliki penderitaannya masing-masing. Wanita bisa memahami kesulitan yang dihadapi lelaki, tapi nggak semua lelaki paham kesulitan yang dihadapi wanita. Kamu masih belum menikah. Kamu bisa memilih kehidupanmu sendiri, nggak perlu peduli dengan pandangan orang lain, ‘kan?”Melia terdiam beberapa detik, lalu menunduk sembari tersenyum. “Betul juga. Nggak ada gunanya aku memikirkan hal ini sekarang. Hidup masih sangat panjang. Selain menikah, masih ada banyak hal yang lebih berarti lagi.”“Apa kamu yakin akan meninggalkan Perusahaan Teknologi Sendana?” tanya Claire.Melia mengangguk. “Yakin! Aku ingin buktikan kepada ayahku bahwa aku nggak kalah hebatnya dari lelaki!”Claire hanya tersenyum dan tidak berbicara lagi.Melia adalah seorang wanita mandiri dan memiliki pemikirannya sendiri. Mengenai hal ini, dia sungguh mirip dengan Gina. Dia memilih kehidupan yang disukainya.Manusia ber
Claire sungguh kaget. “Kamu lagi permainkan aku?”Terlintas senyuman di wajah Javier. “Aku tahu kamu sudah tidak sabar. Tapi sekarang masih belum saatnya pulang kerja. Kamu sabar dulu.”Emosi Claire langsung membara. Wajahnya juga merona dalam seketika.….Di apartemen.Widya baru saja selesai mempersiapkan makan malam, tiba-tiba terdengar suara ketuk pintu. Dia berjalan keluar pergi membukakan pintu dengan raut bingung. Dia pun merasa syok ketika melihat Melia datang dengan menyeret koper. “Kamu ….”Melia langsung menyeret koper ke rumah. “Aku mau numpang tinggal selama beberapa waktu ini.”Widya menutup pintunya, lalu menatap Melia. “Apa kamu gila? Bukannya kalian punya vila segede itu? Ngapain tinggal di apartemen sempitku ini?”“Aku bertengkar sama Ayah.” Melia melipat kedua tangannya. “Gimanapun aku itu kakakmu, memangnya salah kalau aku numpang tinggal di tempatmu?”Widya juga tidak berbicara lagi. Sepertinya dia merasa kaget dengan kabar pertengkaran Melia dengan Emir.Saat maka
Noni menunduk dan tidak berbicara.Elsa meletakkan tangannya di atas pundak putrinya. “Noni, Ibu tahu kamu merasa menderita, tapi masalah itu sudah berlalu. Kita harus melihat ke depan. Kamu juga mesti mempertimbangkan masa depan anakmu.”Noni mengiakan, lalu menjawab, “Iya, aku mengerti.”Hans membawa Ethan pergi bermain. Mereka baru pulang di siang hari. Ethan kembali dengan membawa mainan di tangannya. Dia langsung berlari ke sisi Elsa dengan gembira. “Nek, mainan dari Ayah!”Elsa mengusap kepala Ethan sembari tersenyum. “Apa kamu suka?”Ethan mengangguk, lalu lanjut memainkan pesawat mainannya. “Suka!”Melihat Ethan yang begitu gembira, Elsa juga tidak berkata lain.Hans berjalan mendekat. “Tante, di mana Noni?”Elsa masih bersikap dingin terhadapnya. “Di kamar.”Hans berjalan ke kamar Noni. Begitu pintu dibuka, tampak Noni sedang berdiri di depan jendela. Gorden berwarna merah muda menutupi setengah tubuhnya. Dia sedang menjinjitkan ujung kakinya seolah-olah hendak melompat saja.
Hans tersenyum. “Tante, kami baik-baik saja.”Elsa juga tidak berkata lain, lalu meninggalkan kamar.Saat Noni melihat Hans, kebetulan kedua pasang mata saling bertemu. Noni segera menunduk. “Apa … kamu baik-baik saja?”Hans menelan air liurnya, lalu mengalihkan pandangannya. “Aku baik-baik saja. Aku kembalikan sarang burungnya.”Setelah menaruh sarang burung dan memalingkan kepala untuk melihat Noni, Noni masih terpaku di tempat. Hans berjalan mendekatinya, berhenti di hadapannya. “Noni, kamu tidak usah merasa bersalah. Aku tidak terluka.”Melihat air mata mengalir di wajah Noni, Hans merasa sangat syok. Dia juga bingung harus berbuat apa.Telapak tangan Hans menopang pipi Noni. Dia mengusap air mata di wajahnya. “Noni, kenapa malah nangis?”Noni sendiri juga tidak tahu kenapa dirinya bisa bersedih. Mungkin dia kepikiran dengan masa lalu atau dia teringat dengan sesuatu yang menyedihkan, air matanya tak berhenti menetes.Hans menunduk, mencium air mata di wajah Noni.Mata Noni tampak
Jessie berjalan mendekati Lisa, lalu duduk di sampingnya. “Lisa, ada apa dengan kamu selama belakangan hari ini?”Lisa tidak menjawab.Jessie sungguh mengkhawatirkannya. Dia meletakkan satu tangan di atas pundak Lisa. Namun pada saat ini, Lisa malah menepis tangannya. “Jessie, sewaktu di sekolah, kita nggak usah terlalu dekat.”Jessie terbengong sejenak. Dia merasa bingung. “Kenapa?” Jessie kepikiran sesuatu. “Jangan-jangan Yura ngomong sesuatu sama kamu?”Lisa menunduk untuk menyeka air matanya. “Aku tahu aku berasal dari keluarga miskin. Aku bisa sekolah di sini juga mengandalkan subsidi dan juga simpanan orang tua. Keluargaku nggak bisa beri aku apa-apa. Aku hanya ingin berteman saja. Kenapa … kenapa mereka mengataiku seperti itu?”Jessie berdiri, lalu berjongkok di hadapan Lisa. “Lisa, kamu nggak usah peduli dengan kata-kata mereka. Kamu tahu sendiri Yura itu memang jago dalam provokasi. Seumur hidupku, aku hanya punya satu teman saja, yaitu kamu.”Ketika menyadari Lisa tidak berhe
Jessie telah dilindungi dengan sangat baik. Dia tidak paham cara bergaul di dunia luar. Dia memberi barang bagus untuk Lisa berharap Lisa bisa percaya diri seperti dirinya. Namun, percaya diri tidak bisa tumbuh hanya dengan mengandalkan material.Rasa serakah tidak ada sejak lahir. Jika seseorang mendapatkan barang yang tidak bisa didapatkannya dengan gampang, rasa serakah perlahan-lahan akan merambat di hatinya. Jessie memang bodoh.“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” Tiba-tiba Jessie merasa sepertinya dia telah memberi banyak beban kepada Lisa.Claire berdiri dengan tersenyum. “Tentu saja memperbaiki kesalahanmu. Sekarang masih belum terlambat, kok.”Di sisi lain.Lisa menunggu di luar hingga langit menggelap baru pulang ke rumah. Saat dia mengeluarkan kunci hendak membuka pintu rumah, dia menyadari pintu rumah dalam keadaan terbuka. Lisa mendorong pintu dengan bingung. “Ayah, Ibu, aku pulang.”Lisa melepaskan sepatu, lalu memanggil orang tuanya. Namun, tidak terdengar sahutan apa-ap
Jessie terbengong sejenak. Dia menunduk, lalu berterima kasih kepada wali kelas, baru meninggalkan ruang guru.Di perumahan Lisa.Paul sedang membereskan barang peninggalan istrinya. Saat melihat foto keluarga, air mata tak berhenti menetes.Lisa yang berdiri di depan pintu menatap gambaran tersebut dalam waktu lama. Kedua tangan di samping tubuhnya dikepal erat. Pada akhirnya, dia kembali ke kamar dengan wajah tak berekspresi. Dia memasukkan barang mahal pemberian Jessie ke dalam ransel, lalu berjalan keluar rumah.Di depan gang sana terdapat sebuah warnet. Biasanya Delon dan teman-temannya akan berkumpul di sana. Dia tahu Delon mengikuti seorang wanita yang kerap disapa “Kak Inggrid”.Inggrid adalah pemilik dari warnet. Hanya saja, entah bisnis apa yang dia lakukan, sepertinya dia cukup kaya. Mobil sport merah yang biasanya diparkirkan di depan pintu itu pun adalah milik Inggrid.Lisa memasuki warnet, lalu berjalan ke sisi meja. Pegawai sedang makan mi instan sembari bermain gim. Dia