Noni menunduk dan tidak berbicara.Elsa meletakkan tangannya di atas pundak putrinya. “Noni, Ibu tahu kamu merasa menderita, tapi masalah itu sudah berlalu. Kita harus melihat ke depan. Kamu juga mesti mempertimbangkan masa depan anakmu.”Noni mengiakan, lalu menjawab, “Iya, aku mengerti.”Hans membawa Ethan pergi bermain. Mereka baru pulang di siang hari. Ethan kembali dengan membawa mainan di tangannya. Dia langsung berlari ke sisi Elsa dengan gembira. “Nek, mainan dari Ayah!”Elsa mengusap kepala Ethan sembari tersenyum. “Apa kamu suka?”Ethan mengangguk, lalu lanjut memainkan pesawat mainannya. “Suka!”Melihat Ethan yang begitu gembira, Elsa juga tidak berkata lain.Hans berjalan mendekat. “Tante, di mana Noni?”Elsa masih bersikap dingin terhadapnya. “Di kamar.”Hans berjalan ke kamar Noni. Begitu pintu dibuka, tampak Noni sedang berdiri di depan jendela. Gorden berwarna merah muda menutupi setengah tubuhnya. Dia sedang menjinjitkan ujung kakinya seolah-olah hendak melompat saja.
Hans tersenyum. “Tante, kami baik-baik saja.”Elsa juga tidak berkata lain, lalu meninggalkan kamar.Saat Noni melihat Hans, kebetulan kedua pasang mata saling bertemu. Noni segera menunduk. “Apa … kamu baik-baik saja?”Hans menelan air liurnya, lalu mengalihkan pandangannya. “Aku baik-baik saja. Aku kembalikan sarang burungnya.”Setelah menaruh sarang burung dan memalingkan kepala untuk melihat Noni, Noni masih terpaku di tempat. Hans berjalan mendekatinya, berhenti di hadapannya. “Noni, kamu tidak usah merasa bersalah. Aku tidak terluka.”Melihat air mata mengalir di wajah Noni, Hans merasa sangat syok. Dia juga bingung harus berbuat apa.Telapak tangan Hans menopang pipi Noni. Dia mengusap air mata di wajahnya. “Noni, kenapa malah nangis?”Noni sendiri juga tidak tahu kenapa dirinya bisa bersedih. Mungkin dia kepikiran dengan masa lalu atau dia teringat dengan sesuatu yang menyedihkan, air matanya tak berhenti menetes.Hans menunduk, mencium air mata di wajah Noni.Mata Noni tampak
Jessie berjalan mendekati Lisa, lalu duduk di sampingnya. “Lisa, ada apa dengan kamu selama belakangan hari ini?”Lisa tidak menjawab.Jessie sungguh mengkhawatirkannya. Dia meletakkan satu tangan di atas pundak Lisa. Namun pada saat ini, Lisa malah menepis tangannya. “Jessie, sewaktu di sekolah, kita nggak usah terlalu dekat.”Jessie terbengong sejenak. Dia merasa bingung. “Kenapa?” Jessie kepikiran sesuatu. “Jangan-jangan Yura ngomong sesuatu sama kamu?”Lisa menunduk untuk menyeka air matanya. “Aku tahu aku berasal dari keluarga miskin. Aku bisa sekolah di sini juga mengandalkan subsidi dan juga simpanan orang tua. Keluargaku nggak bisa beri aku apa-apa. Aku hanya ingin berteman saja. Kenapa … kenapa mereka mengataiku seperti itu?”Jessie berdiri, lalu berjongkok di hadapan Lisa. “Lisa, kamu nggak usah peduli dengan kata-kata mereka. Kamu tahu sendiri Yura itu memang jago dalam provokasi. Seumur hidupku, aku hanya punya satu teman saja, yaitu kamu.”Ketika menyadari Lisa tidak berhe
Jessie telah dilindungi dengan sangat baik. Dia tidak paham cara bergaul di dunia luar. Dia memberi barang bagus untuk Lisa berharap Lisa bisa percaya diri seperti dirinya. Namun, percaya diri tidak bisa tumbuh hanya dengan mengandalkan material.Rasa serakah tidak ada sejak lahir. Jika seseorang mendapatkan barang yang tidak bisa didapatkannya dengan gampang, rasa serakah perlahan-lahan akan merambat di hatinya. Jessie memang bodoh.“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” Tiba-tiba Jessie merasa sepertinya dia telah memberi banyak beban kepada Lisa.Claire berdiri dengan tersenyum. “Tentu saja memperbaiki kesalahanmu. Sekarang masih belum terlambat, kok.”Di sisi lain.Lisa menunggu di luar hingga langit menggelap baru pulang ke rumah. Saat dia mengeluarkan kunci hendak membuka pintu rumah, dia menyadari pintu rumah dalam keadaan terbuka. Lisa mendorong pintu dengan bingung. “Ayah, Ibu, aku pulang.”Lisa melepaskan sepatu, lalu memanggil orang tuanya. Namun, tidak terdengar sahutan apa-ap
Jessie terbengong sejenak. Dia menunduk, lalu berterima kasih kepada wali kelas, baru meninggalkan ruang guru.Di perumahan Lisa.Paul sedang membereskan barang peninggalan istrinya. Saat melihat foto keluarga, air mata tak berhenti menetes.Lisa yang berdiri di depan pintu menatap gambaran tersebut dalam waktu lama. Kedua tangan di samping tubuhnya dikepal erat. Pada akhirnya, dia kembali ke kamar dengan wajah tak berekspresi. Dia memasukkan barang mahal pemberian Jessie ke dalam ransel, lalu berjalan keluar rumah.Di depan gang sana terdapat sebuah warnet. Biasanya Delon dan teman-temannya akan berkumpul di sana. Dia tahu Delon mengikuti seorang wanita yang kerap disapa “Kak Inggrid”.Inggrid adalah pemilik dari warnet. Hanya saja, entah bisnis apa yang dia lakukan, sepertinya dia cukup kaya. Mobil sport merah yang biasanya diparkirkan di depan pintu itu pun adalah milik Inggrid.Lisa memasuki warnet, lalu berjalan ke sisi meja. Pegawai sedang makan mi instan sembari bermain gim. Dia
“Semua ini ulah dia. Tetangga juga melihatnya!” Lisa menangis kuat. “Kakak minta uang sama Ibu. Tapi Ibu nggak kasih, makanya dia celakai Ibu!”Paul menatap putrinya dalam waktu lama. Pada akhirnya, dia tetap memilih untuk keluar. Saat pintu rumah ditutup, Lisa dapat menyadari bahwa ayahnya masih tidak percaya dengan omongannya. Dia pun membanting gelas ke lantai.…Keesokan harinya, Jessie dan abangnya, Jerry, pergi mengunjungi Lisa. Dia mengetuk pintu, tapi tidak ada yang membuka pintu.Jessie melihat ke sisi abangnya. “Kakak, jangan-jangan Lisa lagi nggak di rumah?”“Tidak tahu juga. Seharusnya begitu.”Jerry membalikkan tubuhnya. “Ayo kita pergi.”Jessie mengangguk. Awalnya Jessie ingin melihat kondisi Lisa. Hanya saja, Lisa malah tidak di rumah. Dia pun terpaksa akan mencari Lisa sewaktu Lisa kembali sekolah nanti.Jessie dan Jerry berjalan ke kompleks perumahan. Kebetulan mereka bertemu dengan ayahnya Lisa. Jessie berlari menghampirinya. “Paman, aku Jessie, apa Lisa nggak di ruma
Hans tersenyum. “Pasti suka.”Mobil berhenti di depan Kediaman Jetmadi. Sepertinya Guffin dan Vilya telah mengetahui kabar itu, mereka pun sedang menunggu di ruang tamu. Ketika melihat Hans masuk bersama seorang wanita yang menggendong seorang anak, Guffin dan Vilya langsung merasa syok.Hans menggandeng tangan Ethan, lalu membawa Noni ke hadapan mereka. “Ayah, aku bawa cucu kalian dan Noni pulang ke rumah.”Ethan spontan berondok di belakang kaki Hans. Dia mencondongkan sedikit kepalanya untuk mengintip.Hati Vilya juga luluh ketika melihat keimutan si bocah. “Nak, ke sini.”Noni berjongkok berbicara sesuatu dengan Ethan. Ethan sempat ragu sejenak, baru berjalan mendekati Vilya. Vilya mengusap kepala si kecil, lalu berkata dengan tersenyum, “Anak pintar.” Kemudian, dia mengangkat kepalanya melihat ke sisi Noni. “Noni, sudah merepotkanmu.”Noni tertegun sejenak. Dia hanya menggeleng saja.Guffin membangkitkan tubuhnya perlahan dengan tongkat. “Berhubung semuanya sudah pulang, aku suruh
Emir menunduk, tidak berbicara lagi.Emir berjalan keluar ruang tunggu. Kebetulan dia bertemu dengan Widya di koridor. Emir pun terkejut. “Kenapa kamu bisa ada di sini?”Widya juga tidak menyangka akan bertemu ayah tirinya di sini!Pada saat ini, Claire juga berjalan keluar. Saat melihat Emir sedang berbincang dengan Widya, Claire pun merasa bingung. “Apa Pak Emir kenal dengan Widya?”Tanpa menunggu balasan dari Emir, Widya segera berkata, “Paman Emir, aku … aku bekerja di Perusahaan Soulna.”Emir mengangguk. “Ternyata selama ini kamu kerja di Soulna?”Widya mengiakannya.Claire berjalan ke sisi Emir, lalu melihat ke sisi Widya. “Apa Pak Emir punya hubungan saudara dengan Widya?”Sebab, Widya juga bermarga Gozali.Widya menunduk dan tidak menjawab. Lebih tepatnya, dia tidak berani menjawab.Emir terdiam sejenak, lalu menjawab dengan tersenyum, “Dia adalah putri dari istriku.”Widya spontan merasa syok. Sepertinya ini pertama kalinya Emir memperkenalkan hubungan mereka kepada orang lain