Lasmini mengerutkan keningnya, dia bimbang untuk mengambil keputusannya. Dia ingin menjauhi Ario karena tidak mau dikaitkan dengan permasalahan rumah tangga pria itu. Tapi di sisi lain dia juga memikirkan Bima yang memerlukan sosok seorang ayah, yang hanya Ario yang dapat memberikannya. Di sisi lain, dia juga masih sangat mencintai pria itu sehingga tadi pagi dirinya merelakan tubuhnya di jamah kembali oleh Ario. Dia juga kesal dengan hatinya yang tidak bisa konsisten dengan keputusannya. Lasmini memandang cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Dia menjadi semakin bingung dengan posisinya saat ini. Ario baru saja melamarnya dan menyematkan cincin pengikat yang kini ada di jari manisnya. Lalu apakah dia harus menolak dengan alasan yang dia sendiri tahu kalau alasannya sangat mengada-ada? Lasmini menggelengkan kepalanya.
“Mm...beri aku waktu untuk menjawabnya, Mas.” Lasmini kemudian melihat ke arah kue ulah tahunnya, dia lalu memotong kue itu dan diberikann
“Kamu tega sama aku, Mas. Masak aku diperlakukan seperti ini terus,” sungut Lasmini sambil mengenakan kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. “Maaf, tapi aku melakukan ini karena aku membutuhkan jawaban kamu segera. Aku ingin segera bersatu sama kamu, membentuk suatu keluarga.” Ario mendekati Lasmini setelah dia selesai mengenakan kembali pakaiannya. “Baik, aku akan jawab sekarang tapi dengan catatan kalau Mas Ario tidak menyentuh aku lagi. Aku tidak mau ada Ario junior lainnya. Cukup Bima saja. Kalau hal itu terjadi, apa kata ibuku?” Lasmini berkacak pinggang di hadapan Ario dengan tatapan tajam ke arah pria itu. Hal itu tentu saja membuat Ario mengulum senyumannya. “Itu tergantung jawaban kamu. Kalau jawaban kamu, Iya, maka aku tidak akan menyentuh kamu sampai kita menikah. Tapi kalau jawaban kamu, tidak, aku akan terus berusaha menyentuh kamu sampai kamu menyerah dan bilang, iya.” Ario tersenyum penuh arti ke arah Lasmini. “Itu sama saja peme
Ario yang sudah mengenal suara itu, dengan tenang membalikkan tubuhnya ke arah sumber suara. Berbeda dengan Lasmini yang tampak gugup saat dia membalikkan tubuhnya. Lasmini tampak sangat terkejut saat melihat Rosalia ada di depan matanya saat ini. Dia melihat wajah Rosalia yang menatapnya dengan tajam seolah ingin menelannya hidup-hidup.“Kenapa memangnya? kami habis melakukan pertemuan dengan investor dan Lasmini ikut serta dalam pertemuan itu, karena Dody sedang cuti. Tidak salah kalau aku mengajak dia untuk ikut dalam pertemuan itu, bukan? lagipula Lasmini sekretaris aku yang sudah terbiasa mendampingi aku meeting, karena dia akan membuat notulennya nanti.” Ario menatap tajam ke arah Rosalia yang menurutnya bukan sebagai istrinya lagi, “Lagipula kenapa kamu kesal? aku sudah mentalak kamu jauh sebelum aku menggantikan ayahku memimpin perusahaan, dan bertemu dengan Lasmini.”“Ok, Mas Ario memang sudah mentalak aku. Tapi itu secara lisan d
Ario menghentikan laju mobilnya mendadak. Dia menoleh ke arah Lasmini yang tetap menatap ke depan. Wajah cantik Lasmini kini terlihat tidak ramah, berbeda dari biasanya.Ario kemudian mengambil cincin yang diletakkan oleh Lasmini di dalam laci mobilnya. Dia lalu meraih tangan Lasmini untuk menyematkan kembali cincin itu di jemari lentik wanita pujaan hatinya. Namun Lasmini segera menepis tangan Ario. Dia lalu menyembunyikan tangannya di samping kursi yang dia tempati. Ario tertawa geli melihat ulah Lasmini yang mencoba menghindarinya.“Ayolah, sayang. Jangan begitu, kamu sudah menerima lamaran aku tadi, bukan? dan malam ini aku akan berbicara pada ibumu tentang rencana kita.” Ario lalu mengelus pipi halus Lasmini dan mengecup pipi itu dengan lembut.Lasmini mencoba mengelak, tapi percuma karena Ario sudah mendaratkan bibirnya di pipi mulus Lasmini.“Mas, stop! aku sudah bilang jangan sentuh aku sebelum urusan rumah tangga Mas Ario selesa
Lasmini tersenyum geli melihat ekspresi Ario. Dia jadi teringat saat dirinya minta dicium oleh Bima, saat mereka sedang berdua di kamar.Lasmini menutup pintu mobil yang sempat dia buka sebelumnya. Dia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Ario. Dia hanya diam saat bibirnya dan bibir Ario hanya berjarak kira-kira satu inci. Ario tertawa pelan kala Lasmini mematung di tempatnya.“Kamu tahu Lasmini, apa yang membuat aku jatuh cinta sama kamu?” tanya Ario disela tawanya.Lasmini menggelengkan kepalanya. “Tidak, waktu itu setelah Mas bilang cinta sama aku, Mas langsung menyerangku di kebun teh dan jadi itu si Bima,” ucap Lasmini mengerucutkan bibirnya.Ario semakin gemas dengan wanita cantik yang ada di depannya ini. Bibirnya yang mengerucut itu menjadi daya tarik tersendiri bagi dirinya. Tanpa aba-aba, Ario langsung menyambar bibir merah alami yang sepertinya sedang menggoda dirinya. Bibir itu seperti sedang memanggil dirinya dan mem
“Bu, aku bukan membela Mas Ario. Dia bukan tidak mau bertanggung jawab, tapi saat itu keadaan yang tidak memungkinkan. Dia dijodohkan oleh wanita pilihan orangtuanya. Dia mencari aku setelah itu, tapi karena kita sudah pindah jadinya tidak ketemu. Dia tanya sama orang desa yang lain, tidak ada yang tahu kemana kita pindah saat itu. Aku pikir Mas Ario tidak bohong. Kita pindah memang mendadak dan tidak ada yang tahu, bukan? karena aku hamil, jadi ibu diam-diam mengajak aku pindah ke desa Paman. Kalau Mas Ario bohong, dia tidak mungkin bilang kalau saat ke desa ternyata kita tidak ada. Dia tanya ke tetangga juga saat itu dan menurut tetangga, kita sudah pindah dan mereka memang tidak tahu alamat kita di desa Paman. Jadi aku percaya sama ucapan Mas Ario, karena yang dia jelaskan padaku benar adanya.” Lasmini menghela napas setelah dia menjelaskan pada ibunya panjang lebar.Sulastri terdiam setelah mendengarkan penjelasan anaknya. Dalam hati dia diam-diam mulai memper
Ario tersenyum senang setelah membaca tulisan di kertas yang diletakkan Lasmini di meja kerjanya. Dia menatap Lasmini yang kini wajahnya merona.“Akhirnya ibu kamu mengijinkan aku juga. Terima kasih sudah membantu aku menjelaskan pada ibu kamu. Tapi aku akan memberikan penjelasan lagi saat aku mengunjungi Bima. Dan aku tetap akan meminta maaf kepada ibumu.” Ario kemudian melipat kertas itu dan ditaruh di laci meja kerjanya.“Kok disimpan kertasnya, Mas?” tanya Lasmini sambil memicingkan matanya.“Buat kenang-kenangan kalau ibu mertuaku sudah memberikan lampu hijau buatku.” Ario tertawa kecil dan menatap Lasmini yang kini merotasi matanya malas.“Saya kembali ke meja saya ya, Pak. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,” ucap Lasmini.“Silahkan,” sahut Ario menganggukkan kepalanya. “Mini, tunggu!” seru Ario tiba-tiba.“Ada apa, Pak?” tanya Lasmini m
“Mainan kereta ini bagus, Bun. Bima sudah punya belum?” Ario menatap wajah Lasmini sekilas. Dia kemudian asyik memilih mainan untuk anak semata wayangnya.“Bima belum punya mainan kereta itu, Mas. Harganya juga mahal. Sayang juga takutnya nanti nggak awet, karena anak seusia dia belum mengerti. Dia juga masih suka melempar-lempar barang. Sayang kalau harga mainan mahal tetapi cuma sebentar bisa dibuat main.” Lasmini merasa keberatan kalau Ario berlebihan dalam membelikakn mainan untuk anaknya.“Biarlah, Bun. Nanti kalau rusak, aku belikan lagi. Sama anak jangan perhitungan. Kita kerja juga buat anak, bukan?” Ario tetap pada pilihannya semula. Dia tetap memilih mainan kereta untuk diberikan pada Bima.Lasmini hanya bisa menghela napas panjang. Dia sepertinya sulit untuk memberi saran pada Ario. Sepertinya Ario ingin membalas waktu yang pernah dia lewatkan saat anak itu masih di dalam kandungan dan saat anak itu lahir. Dia ingin
Ario segera menghabiskan suapan terakhir makan malamnya, kemudian dia beranjak dari kursi dan melangkah ke arah Sulastri di ruang tamu. “Biar saya yang menggendongnya, Bu. Sepertinya Bima ingin sama saya.” Ario mengulurkan tangannya ke arah Bima dan secara spontanitas, Bima segera meraih tangan Ario. Dalam sekejap mata, Bima sudah berada di pelukan sang ayah. Sulastri merasa terharu melihat pemandangan itu. Dia tersenyum saat melihat Bima yang langsung anteng berada di pelukan Ario. “Kalau begitu Ibu tinggal dulu ya, Nak,” ucap Sulastri. “Iya, Bu. Biar Bima sama saya saja, sepertinya dia juga sudah mengantuk,” sahut Ario. Hati Ario merasa damai saat berada di rumah Lasmini. Dia seperti menemukan rumah yang sesungguhnya, sebuah rumah yang sangat nyaman dan membuat dirinya tidak ingin keluar dari rumah itu. “Bima sudah tidur ya, Mas?” tanya Lasmini yang tiba-tiba ada di sampingnya. Dia melihat anaknya yang sudah tertidur pulas padahal baru saja