***
Sekitar tengah malam, tepatnya pukul dua puluh tiga lewat empat puluh menit, Wina membuka matanya yang sudah tak lagi mengantuk. Ia pandangi sekitar, kembali ia mengernyitkan keningnya karena bingung dengan keadaan dimana dia berada sekarang. "Dimana ini? apa yang terjadi? bukankah tadi aku sedang makan?" gumam Wina bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian ia terlonjak, melihat kembali ke sekitarnya. "Dimana ini?! ini kamar siapa?" gumamnya kembali beranjak dari ranjang. Ia memperhatikan ranjang yang baru saja ia tiduri. Ranjang mewah yang berbalut seprai sutra nan lembut, selimut bulu yang hangat serta bantal empuk bermacam bentuk terpajang di sisi atas ranjang itu. Wina melangkah mundur menjauhi ranjang itu, tiba-tiba ia berhenti di depan stand mirror atau cermin besar yang berdiri dengan penyangga. Betapa terkejut Wina mendapati dirinya tengah mengenakan pakaian yang sama sekali bukan miliknya. Sehelai pakaian tidur menyerupai Lingerie berbahan sutra dengan bordir renda di bagian dadanya. Rasa risih tentu saja dirasakan Wina, karena tidak pernah mengenakan pakaian seterbuka itu. "Bagaimana bisa aku mengenakan pakaian ini? siapa yang menggantikanku pakaian? dimana pakaianku? dan, ada apa sebenarnya denganku?" gumam Wina ketakutan di depan cermin. Terbayang olehnya bahwa tadi ia baru saja menyantap hidangan dengan Darius. "Apa jangan-jangan ia yang membuatku tertidur dan seperti ini? apa yang sudah ia lakukan?" gumam Wina meremas pakaiannya. Wina memejamkan matanya, ia hentak-hentakkan kakinya keras-keras di lantai marmer kamar itu. Terbayang olehnya apa jadinya jika ternyata Darius telah menyentuhnya dan melakukan sesuatu pada tubuhnya. "Tidak, tidak, tidak! itu tidak mungkin! berpikirlah positif, Wina!" ucap Wina memukul-mukul kepalanya. Wina berulang kali berlari membuka beberapa pintu. Pintu pertama yang ia buka adalah kamar mandi, kemudian ruang ganti dan terakhir pintu keluar. Namun pintu terakhir itu tampaknya dikunci dari luar. "Tolong buka! siapapun di luar, tolong saya!" teriaknya sambil menggoncang-goncang tuas gagang pintu. Tak ada jawaban yang ia dapatkan. Wina baru menyadari bahwa ia tengah dikurung di sebuah kamar mewah yang luasnya bahkan lebih luas daripada rumah sekaligus halamannya sekalipun. Tuas gagang pintu perlahan bergerak, Wina melangkah mundur menatap gagang pintu itu. Kemudian pintu terbuka lebar. Tiga orang wanita berpakaian serupa masuk sambil mendorong meja yang di atasnya tersaji makanan dan botol-botol anggur. Sepertinya mereka para Pelayan di rumah ini. Saat Wina melihat para Pelayan itu tengah mengatur posisi meja dorong itu di dekat sebuah meja bundar yang terletak di balkon kamar ini. Wina seolah menemukan jalan keluar melalui pintu yang baru saja terbuka. Wina segera berlari ke arah pintu itu. Namun sayangnya, ia langsung dicegat oleh dua orang Bodyguard yang ternyata menjaga di kedua sisi pintu. "Tolong, lepaskan aku! aku mau pulaaang!" rengek Wina saat tubuhnya kembali dipaksa masuk ke kamar. Revan tiba-tiba masuk seraya menyilangkan kedua tangannya di belakang. "Kau mau pulang, lantas menikah dengan Rentenir tua itu? menjadi Isteri kelimanya?" tanya Revan melangkah santai masuk mendekat ke arah Wina yang melangkah mundur menjauh dari Revan. "Aku dimana? kalian mau apa dariku? lantas, siapa Darius itu?" bentak Wina seraya melangkah mundur. "Kau akan tahu nanti, silahkan kau cari tahu sedikit demi sedikit di ruang kamar ini. Ini adalah kamar utama Tuan Darius. Sebelum itu, kau harus mandi dahulu, membersihkan diri dan siap untuk didandani." jawab Revan tenang. "Jangan katakan kalau aku akan kalian jual?!" tanya Wina curiga. "Ck, tidak! sama sekali tidak! ada semacam ambisi Tuan Darius yang harus kau turuti. Sebuah ambisi yang akan menjadi misi untukmu agar kau selamat dari cengkraman Rentenir itu maupun dari Tuan Darius sendiri." ucap Revan sambil duduk di ranjang dengan menyilangkan kakinya. "Ambisi?" tanya Wina semakin bingung. "Sekitar pukul dua belas malam nanti tuan Darius akan masuk ke kamarnya. Ada hal yang akan ia bicarakan padamu. Maka dari itu, untuk kenyamanan, silahkan mandi untuk membersihkan diri. Pelayan sudah disiapkan untukmu agar kau dapat berbenah dan berhias dengan mudah dan layak." ucap Revan masih tenang dan santai. Wina menoleh pada para Pelayan yang berdiri berbaris di sisi dinding yang di permukaannya terpajang sebuah bingkai besar berisi foto pernikahan. Wina langsung melangkah mendekati bingkai foto itu. Foto berukuran sekitar satu kali setengah meter terpajang di sana. Kening Wina mengernyit, ia tampak tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Ke, kenapa? bagaimana bisa?" tanya Wina tak percaya. "Dia Andrea Mahesa. Isteri dari tuan Darius. Nyonya Andrea meninggal sekitar setahun yang lalu." ucap Revan sembari beringsut dari ranjang dan melangkah mendekati Wina. "Ke, kenapa wajahnya mirip sekali denganku?" tanya Wina bingung. "Karena dia, Saudara kembarmu." ucap Revan tanpa menoleh pada Wina. Matanya menatap foto itu seolah mengenang sesuatu. "Apa?!" ucap Wina tak percaya. "Kau tak percaya?!" tanya Revan menoleh pada Wina. "Bagaimana mungkin aku memiliki Saudara kembar?" tanya Wina bingung. "Kenyataannya memang seperti itu, kau adalah bayi penyakitan yang senagaja dipisahkan dari Saudaramu yang sehat. Kau dititipkan oleh Istri kedua dari Tuan Mahesa pada seorang Sopir pribadinya yang sampai saat ini kau panggil Kakek." ucap Revan menatap Wina. "Apa?! kau jangan mengarang cerita!" tanya Wina ragu. "Mengarang? itulah kenyataannya Wina! Ibu kandungmu adalah seorang gundik dari Tuan Mahesa yang akhirnya dinikahi secara resmi setelah Isteri pertamanya yang tak memiliki anak mengetahui kalau Ibumu sedang mengandung. Janin yang dikandung Ibumu ternyata kembar. Namun setelah dilahirkan, salah satu bayi itu ternyata menderita penyakit asma. Sementara satunya lagi sehat sempurna. Karena tak mau mengecewakan Tuan Mahesa, Ibumu sengaja mengatakan kalau bayinya tunggal, bukan kembar. Pihak Rumah Sakit disuap dengan sejumlah uang untuk menutupi fakta ini. Dan kau sebagai Bayi yang lahir dalam keadaan sakit itu, diserahkan pada Sopir pribadinya untuk ditaruh di Panti Asuhan. Setelah sekian tahun, fakta baru terungkap, ternyata mantan Sopir Pribadi Ibumu sama sekali tidak menaruhmu di Panti Asuhan. Mereka malah memutuskan untuk merawatmu sebagai cucu mereka." jelas Revan mengenang riwayat kelahiran Wina dan saudara kembarnya. "Jika memang benar! ba, bagaimana bisa Ibuku memisahkan aku dari Saudara Kembarku, hanya karena aku sakit dan dia sehat? bukankah Ibuku sanggup menyuap pihak Rumah Sakit? mengapa pula Ibuku tak mampu menyembuhkan penyakitku? sedang Kakekku saja mampu memberiku pengobatan sampai sembuh. Dan, kalau dipikir-pikir, berapalah uang senilai Dua Puluh Lima Juta Rupiah pada masa itu untuk level keluarga kaya seperti Mahesa? dan, Ibu mana yang rela membuang anak kandungnya sendiri?" runtut Wina panjang lebar. "Ck, sepertinya kau memang sangat polos, Wina! Ibumu pada masa itu sudah berusia empat puluh tahunan, hampir sebaya dengan Isteri pertama Tuan Mahesa. Kesempatan hamil dan melahirkan lagi, baginya adalah kondisi yang sangat riskan dan berbahaya. Sementara bayi yang digadang-gadang akan menjadi pewaris seluruh harta keluarga Mahesa adalah bayi yang dilahirkan Ibumu itu. Jika ia mengaku melahirkan bayi kembar sementara salah satunya menderita suatu penyakit. Sudah barang tentu, tuan Mahesa tidak akan percaya bahwa bayi satunya lagi tidak menderita penyakit bawaan yang sama. Untuk menghindari hal yang tak diinginkan itu, Ibumu rela melepaskanmu." jelas Revan panjang lebar. "Dan kau, bagaimana kau bisa tahu semua cerita itu?" selidik Wina. "Aku mengetahuinya dari tuan Darius. Dia mengungkap ini semua untuk alasan ini, jika nanti kau tanyakan perkara ini." ucap Revan menatap mata Wina dalam. "Dan tuan Darius, bukankah beliau terlalu tua untuk menjadi suami dari Andrea? dan, darimana pula ia tahu tentang kisah itu?" tanya Wina curiga. "Hm, sebaiknya nanti kau tanyakan saja langsung padanya. Tugasku hanya menyampaikan ini padamu, dan silahkan bersiap-siap. Sebentar lagi tuan Darius akan masuk ke kamarnya." ucap Revan sambil melihat jam tangannya. Revan memberikan isyarat pada para Pelayan untuk segera bergerak melayani. Wina dipinta untuk mengikuti mereka ke kamar mandi. Sepeninggalan Revan, tanpa basa basi dan tanpa komando apa-apa, pakaian Wina segera ditanggalkan oleh salah seorang Pelayan yang tampaknya lebih senior dari dua orang lainnya. Wina tak nyaman dan sangat risih, namun wajah dingin dari Pelayan senior itu membuat Wina menurut saja dengan arahannya. "Nona, ikuti kami ke kamar mandi!" pintanya menarik tangan Wina lembut namun tegas. Wina menurut saja, dalam keadaan telanjang ia melangkah ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, dua orang Pelayan menaburkan kelopak-kelopak bunga di dalam bak mandi, kemudian menuangkan cairan ke dalamnya. Wina dipersilahkan masuk ke dalam bak mandi, dan dibimbing untuk berbaring. Lilin-lilin aromaterapi dinyalakan, suasana syahdu dan menenangkan perlahan terasa. Satu orang Pelayan membasuh rambut Wina dan menuangkan cairan Sampo yang beraroma lembut nan semerbak. Tak lupa ia memijat-mijat kepala Wina, hingga perasaan santai dan tenang menjalar ke seluruh tubuh Wina. Sementara dua orang lainnya, membersihkan tubuh Wina dengan menggosok-gosok dengan spons lembut. Pelayan senior bertugas membersihkan kuku-kuku kaki dan tangan Wina dengan seksama. "Apa kalian memang ditugaskan khusus untuk ini?" tanya Wina setelah ritual mandinya selesai. "Tidak, kami ditugaskan untuk melayani Nona sepenuhnya." jawab si Pelayan Senior. "Aku sudah selesai mandi, dimana aku bisa mengambil pakaianku?" tanya Wina penasaran. Berharap ia bisa menemukan pakaiannya yang ia kenakan sebelumnya. "Di ruang sebelah, di sana Anda akan menemukan pakaian yang akan Anda kenakan, Nona." ucap Pelayan senior. Saat Wina melangkah menuju ruang ganti, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Tok, tok, tok! Wina dan para Pelayan berhenti melangkah. Wina menoleh pada mereka seakan bertanya siapa gerangan yang mengetuk pintu? "Sepertinya, Tuan Darius akan segera masuk, Nona." ucap Pelayan senior seraya menoleh ke arah pintu. "Apa?! Dia tidak mungkin masuk ke sini, sedang diriku masih mengenakan handuk begini!" jawab Wina kaget. ______________*** Tentu saja Wina ketakutan, ia mendelik dan memegang erat lilitan handuk putih yang hanya menutupi dada sampai pahanya. Ia menatap para Pelayan seolah mengiba agar mereka mengerti situasinya. Pelayan Senior melangkah mendekati pintu, itu membuat Wina kalang kabut, ia gugup dan berusaha mencegah Pelayan itu agar tidak membukakan pintu. Pelayan Senior itu mendekatkan wajahnya ke pintu, "Nona Wina sedang berpakaian, Tuan. Silahkan menunggu sebentar lagi." ucap Pelayan itu di dekat pintu tanpa membuka pintu. Orang yang ada di balik pintu hanya mendehem, dan selanjutnya tidak ada jawaban sama sekali. Hanya suara derap langkah yang perlahan menjauh. Wina langsung lemas dan menghembuskan nafasnya lega. "Bagaimana kau tahu kalau itu adalah tuan Darius?" tanya Wina pada Pelayan itu. "Aku sudah bekerja di sini selama puluhan tahun, dan aku sangat hapal derap langkah dan ketukan pintu dari tuan Darius." ucap Pelayan senior sembari terus melangkah dan membuka pintu ruang ganti. Pintu
*** Darius seketika melepas cengkramannya dari pinggang Wina. Wina sontak melangkah mundur menjauhi Darius yang seperti sedang kesetanan. "Maaf! aku hilang kendali." ucap Darius kemudian. "Apa yang Anda lakukan?! apakah maksud Anda menghadirkan saya di sini, hanya sekedar untuk melepaskan rasa rindu Anda pada Isteri Anda?! Hah! konyol sekali!" dengus Wina kesal. "Tidak! baiklah. Maafkan aku karena penyambutanku tidak sopan. Bagaimana kalau kita bicarakan dengan duduk bersama di sini." ucap Darius sembari menarik kursi untuk Wina. Wina menggeleng, namun ia tak punya pilihan. Masih jelas ingatannya saat Darius kehilangan kendali akan dirinya, Wina sempat melihat sorot mata Darius yang menyeramkan, sorot mata arogan dan beringas. Wina menelan ludah berkali-kali. Namun ia tetap berusaha melangkah mendekati kursi yang ditawarkan oleh Darius, sembari memandang ke arah Darius dengan waspada. "Aku berjanji tidak akan mengulangi tindakanku tadi! duduklah!" pinta Darius mendadak lemb
***"Tuan, apa yang Anda lakukan?! saya bukan Isteri Anda, Tuan!" ucap Wina berontak.Namun seperti kesetanan, Darius tak memperdulikan ucapan Wina. Ia malah naik ke atas tempat tidur, mengangkangi Wina dan buru-buru melepaskan kemeja putihnya. Kemeja itu ia lemparkan sembarang saja ke lantai. Kini Darius telah bertelanjang dada, tubuh atletis berbulu itu kini terpampang nyata di hadapan Wina. Wina mendelik, ia tak percaya dengan apa yang akan dilakukan oleh Darius setelah ini. Jantung Wina seakan hendak jatuh, darahnya berdesir kencang."Tuan, tolong jangan lakukan apapun lagi! jangan ambil kesucian saya, Tuan." isak Wina kini mulai menangis.Darius mulai merangkak di atas tubuh Wina. Ia mendekatkan wajahnya di atas wajah Wina. Nafas Darius terdengar memburu, ia mendengus menghirup udara dari leher jenjang Wina."Bagaimana bisa kau seidentik ini dengan dia? bahkan aroma khas tubuhmu juga sama." ucap Darius dengan nafas memburu.
***Sementara di dalam kamar mandi,Tubuh Wina gemetar menahan risih karena mulutnya dibekap oleh Darius. Kerisihan Wina semakin jadi, karena Darius menempelkan tubuhnya dari belakang tubuh Wina dalam keadaan sama sekali tak mengenakan pakaian. Ia telanjang dan basah, dikarenakan saat Wina memasuki kamar mandi, Darius sedang mandi di bawah shower dan langsung menangkap tubuh Wina saat berteriak tadi.Wina mencakar lengan Darius yang masih kokoh membekap mulutnya. Sontak Darius melepaskan tangannya. Lagipula, para Pelayan tampaknya sudah pergi dari kamar."Tolong! kenakanlah handuk segera, Tuan!" ucap Wina menutup matanya."Kenapa? lagipula kau sudah melihatnya!" ucap Darius santai melangkah menuju shower."Kalau begitu, mandilah segera! aku akan keluar." ucap Wina langsung melangkah menuju pintu keluar.Namun Darius yang melihat Wina sudah sampai ke pintu, langsung meloncat dan melangkah lebar mendekati Wina."K
***Wina langsung syok mendengar pertanyaan Darius yang ia anggap terlalu vulgar dan tak etis. Ia tolak sekuat tenaga daun pintu, dan pintu berhasil ia tutup rapat.Darius yang melihat ekspresi terkejut dan salah tingkah dari Wina langsung tersenyum sinis melangkah menjauhi pintu kamar mandi. Sepertinya ia berhasil memainkan perasaan gadis muda itu dengan sukses.Sementara Wina menyandarkan tubuhnya di balik pintu dengan tangan mengepal dan wajah yang panas dan memerah."Apa-apaan Pria tua itu? bukankah usianya sudah kepala empat? mengapa dia malah bertingkah seperti remaja pubertas? apakah dia memiliki dua kepribadian? berbeda sekali dengan dia yang kukenal beberapa waktu lalu." gerutu Wina menyisir rambutnya dengan jemarinya dari dahinya ke belakang.***Siang menjelang sore, pintu kamar diketuk,Tok, tok, tok!Wina mendongak dari kebosanannya di ranjang. Sehari semalam ia terkurung di dalam kamar, tanpa teman
"Revan, bolehkah aku bertanya yang lebih serius?" "Apa itu?" "Andrea meninggal karena apa?" tanya Wina menatap wajah Revan. "Ah, beliau meninggal karena over dosis obat tidur. Setahun yang lalu kasus meninggalnya Nyonya Andrea sempat Viral di media. Namun, dengan kekuasaan yang dimiliki tuan Darius, berita itu bisa lenyap dalam waktu seminggu." "Kekuasaan? bukankah yang kaya itu Andrea?" selidik Wina penasaran. "Ya! tetapi tuan Dariuslah yang memegang tampuk kekuasaan di Perusahaan milik keluarga Mahesa. Nyonya Andrea hanya pemegang hak waris tunggal atas semua aset dan harta kempemilikan atas nama tuan Mahesa." "Ah, aku pernah dengar istilah CEO dan Presdir di drama-drama Korea. Apakah seperti itu?" "Ya, seperti itu." ucap Revan tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang membuat jantung Wina kembali berdebar kencang. "Kenapa mereka bisa menikah?" "Aku belum diizinkan untuk menceritakan ini padamu. Namun, secepatnya kau pasti akan diberitahu." "Dan kau, bagaimana
***Cklek!Pintu kamar terbuka, seperti dugaan Wina, Darius benar-benar masuk ke kamar. Wina langsung memasang wajah kesal, ia melipat kedua tangannya di dada sambil duduk di tepi ranjang. Sementara Darius, masuk dan langsung berdiri di depan Wina dengan memandang wajah Wina yang tampak tak senang."Aku ingin mandi." ucap Darius sambil melonggarkan dasinya."Lantas, apakah aku harus ikut?" tanya Wina asal saja. Alih-alih mendapat bujukan atau pertanyaan 'kenapa?' dari Darius."Ya! rupanya kau mengerti.""Apa?!" tanya Wina tak percaya."Kenapa? kau keberatan?" tanya Darius tanpa merasa aneh sembari membuka jasnya."Aku bukan Isteri Anda, Tuan! sepertinya Anda selalu berfikir kalau aku ini Andrea!"Darius melangkah mendekati Wina, ia membungkuk dan menyandarkan kedua tangannya di tepi ranjang, tepat di sisi kedua paha Wina. Wajah Darius dan Wina kini saling berhadapan."Aku sadar! namun aku ingin
***Setelah selesai mandi dan berpakaian, Darius keluar dari kamar. Ia meninggalkan Wina yang berdiri di Balkon sambil melihat pemandangan petang hari. Alih-alih memandang pemandangan, Wina sebenarnya risih dan tak nyaman selalu berada di kamar berdua dengan Darius. Ketika Darius masuk ke ruang ganti, Wina langsung melangkah menjauh menuju balkon.Darius menuruni anak tangga dan melihat Bibi Noni baru saja turun dari anak tangga sebelah timur. Ia baru saja keluar dari ruang kerja Darius."Bibi! bisakah kita bicara sebentar?" panggil Darius.Bibi Noni berhenti menuruni anak tangga, kemudian ia mengangguk dan kembali melangkah turun. Setelah sampai ke lantai, ia mendekati Darius,"Ada apa, Tuan?" tanyanya dengan menundukkan wajah."Kau dari ruang kerjaku?""Ya, Tuan. Saya sedang melakukan bersih-bersih." ujar Bibi Noni seraya melirik ke alat pelnya."Bukankah semalam kau juga sudah mengepelnya?"Bibi Noni tampak melirik ke kiri dan kanan, ia tampak gusar."Ya, Tuan. Hanya saja, saya pik
***Wina terbangun dari tidurnya pukul dua siang. Ia terlonjak dan langsung melihat ke arah jam dinding. Cuaca di luar masih saja mendung, padahal hari sudah menjelang sore.Wina berjalan menuju balkon, ia regangkan seluruh tubuhnya yang sudah cukup istirahat. Membayangkan seharian perjalanan menegangkan lintas pulau bersama Darius, sangat menguras energi, emosi dan fikiran.Wina melihat ke bawah balkon, tampak di bawah sebuah pohon kelengkeng yang sudah tua, Darius sedang duduk di sebuah bangku taman, sedang menikmati secangkir teh dan fokus ke sebuah tablet di tangannya."Dia sedang apa? apa dia tidak ke Kantor hari ini? ah, dia masih punya satu hari sisa cuti." gumam Wina memperhatikan.Wina menyandarkan tubuhnya di atas railing balkon, menatap fokus pada Darius yang tampak fokus ke gawainya."Kalau lagi diam dan tenang seperti itu, kharisma dan ketampanannya terasa tumpah ruah. Kenapa dia begitu tampan?"Kembali Wina
***Tahun Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh.Darius waktu itu berusia delapan tahun. Ia adalah anak kandung dari Rudi, Sopir pribadi Mahesa.Mahesa sendiri waktu itu berusia sekitar empat puluh lima tahun, sebaya dengan Ayah kandung Darius yaitu Rudi. Namun tuan Mahesa belum memiliki anak sama sekali, meski sudah memiliki beberapa orang Isteri.Di usianya yang sudah berkepala empat, Isteri tuan Mahesa entah bagaimana, menginginkan Darius untuk ia adopsi menjadi anaknya. Ia tiba-tiba merasakan kasih sayang yang begitu besar pada Darius kecil. Ia kerap membawa Darius kemana-mana, menjadi teman tidur dan makannya, hingga Darius kerap ia jemput dari Sekolah. Karena keakraban dan kekeluargaan yang dirasakan oleh Rudi terhadap keluarga Mahesa, Rudi pun menyetujui keinginan Isteri Mahesa tersebut."Aku berjanji Rudi, aku akan memberikan yang terbaik untuk anakmu. Memberikannya pendidikan yang tinggi dan segala fasilitas yang ia butuhkan." jan
***Darius menatap mata Wina, melihat mata berkaca-kaca itu yang diselimuti kemarahan."Katakan padaku, Wina! apa yang kau rasakan saat berdua saja bersamaku di Pulau itu?" ucap Darius menatap mata Wina tajam."Tuan, lepaskan aku! kau menyakitiku. Rambutku bahkan kau genggam sangat kuat!" rintih Wina memohon.Darius seakan tersadar akan genggaman tangannya yang menjambak rambut Wina hingga kepalanya tertarik dan wajahnya mendongak."Ah! maafkan aku! aku benar-benar melakukannya tanpa sadar!" ucap Darius melepas genggamannya dan melihat ke arah tangan yang menjambak tadi seolah tangan itu memiliki kendalinya sendiri.Wina langsung terlepas dari genggaman Darius, ia mundur beberapa langkah dan memegang rambutnya serta kepalanya yang sakit."Tidak sadar?! mengapa Anda selalu mengatakan demikian saat menyakitiku, Tuan?" bentak Wina marah."Wina..." Darius mencoba mendekat,"Jangan mendekat! dan tolong janga
***"Aku lupa mengisi bensinnya waktu kita kesini, dan sekarang bensinnya benar-benar kandas."Wina hanya bisa menelan ludah mendapati kenyataan saat ini. Suasana yang sudah larut malam, berdua saja di Dermaga, perut kosong dan mata mengantuk."Anda masih mengantongi ponsel kan? apakah tidak ada orang yang bisa dihubungi? semisal Revan.""Kenapa yang ada di fikiranmu pertama kali malah Pemuda itu? kalau ponselku tidak mati, tentu aku sudah memikirkan menelfon taksi online terlebih dahulu. Minimal Ojol." ketus Darius pada Wina.Darius mengitari sekitar, ia memicingkan matanya kemudian perlahan tampak tersenyum girang. Ia kemudian berlari ke suatu tempat."Kau tunggulah di sini! jangan kemana-mana!"Wina melihat Darius berlari ke sebuah Ruko yang sudah tutup. Wina bingung, mau apa Darius ke Ruko itu? namun ternyata Darius tidak menuju Ruko itu, melainkan ke sebuah bangunan kecil di sebelahnya. Sebuah telefon umum. Setelah
***Jeki menatap wajah merah padam Darius dengan bingung. Mencari jawaban lewat mata tajam Darius. Ia baru mengerti bahwa ada yang salah dari pengucapannya saat melihat semua orang yang ada di rumah itu marah dan berseru agar menghukum Darius dan Wina karena telah melakukan tindakan asusila yang dianggap mencemari Desa mereka."Tu, tunggu! ini sebenarnya ada apa?" tanya Jeki dengan suara meninggi sembari mengedarkan pandangannya ke semua orang."Jeki, Tuanmu ini telah melakukan perzinahan di rumah ini dengan wanita ini. Ibumu sendiri adalah saksinya." ucap salah seorang Warga."Ha? ba, bagaimana mungkin, Tuan? bu, bukankah dia Adik Ipar Anda?" tanya Jeki tampak kecewa.Darius terdiam, menunduk dan mengalihkan pandangannya dengan mendengus kesal."Lagipula, kenapa mereka bisa diizinkan menginap di Villa tanpa adanya pengecekan kalau mereka ternyata bukan Suami Isteri? bukankah biasanya seperti itu?" tanya salah seorang Tokoh Masyarakat."Saya yang salah." ucap Jeki lemas."Kenapa kau m
***Pria yang tadi mengemudikan kapal dan mengantar mereka sampai ke Villa, datang membawa sampan kayu dan berteriak memanggil sambil terus mengayuh ke arah Darius dan Wina."Ah, di saat genting begini. Tuhan memberikan pertolongannya!" ucap Wina sumringah.Darius melambaikan tangan, menuntun Wina untuk segera menuruni jalan bukit."Hati-hati, Tuan, Nona!" ucap pria itu membantu mereka berdua menaiki sampan.Sampan dikayuh secepat mungkin ke Pemukiman yang datarannya lebih tinggi. Hujan masih saja deras, angin tetap dengan terpaannya, sementara petir sudah mengurangi intensitasnya.Sampailah Darius dan Wina ke salah satu rumah warga, sebuah rumah panggung."Naiklah, Tuan, Nona! ini adalah Rumah saya." ucap Pria itu sambil membantu Darius dan Wina menaiki tangga kayu rumah itu.Setelah Darius dan Wina sampai ke lantai rumah, Darius bertanya pada pria itu."Kau datang untuk kami, Jeki?" Darius akhirnya menyebut nama Pria itu."Iya, Tuan! saya khawatir. Terlebih saat melihat hantaman pet
***Darius dan Wina menyusuri jalan berbatu di tengah-tengah Pemukiman itu. Orang-orang tampak memperhatikan kedatangan mereka, sementara Darius tampak santai dan tersenyum ramah menyapa penduduk yang berpapasan satu per satu."Apakah Anda dikenal di sini, Tuan?""Tidak juga, namun aku yakin mereka tahu kalau kita berasal dari Kota dan datang ke sini untuk sekedar berwisata. Dan tujuan kita adalah Villa di atas bukit sana." ucap Darius sambil menunjuk sebuah bukit."Mereka tahu siapa pemilik Villa itu?""Mungkin ya, mungkin juga tidak. Hanya saja, aku kerap menyewakan Villa itu untuk para Pengunjung dari luar.""Ah, berarti di Villa itu bukan hanya kita berdua, kan? ada berapa Pengunjung kira-kira hari ini, Tuan?" tanya Wina sumringah.Darius menghentikan langkahnya, menoleh pada Wina."Ada dua orang." ucap Darius menatap mata Wina."Oh, baguslah! berarti ada empat orang sekarang! aku perlu mempersiapkan diri untuk berkenalan lagi dengan orang baru." ucap Wina antusias."Empat orang?"
***Wina masih bengong sepeninggalan Darius, ia tidak mengerti apa yang diucapkan Darius baru saja. Namun, ia tetap tahu diri, Darius memintanya untuk segera berkemas diri, maka Wina segera beranjak dari ranjangnya dan meloncat menuju kamar mandi.Setelah selesai mandi, Wina mendapati para Pelayan tanpa Bibi Noni sedang mengemasi pakaian untuk dimasukkan ke dalam koper di atas ranjangnya."Ada apa ini?" tanya Wina penasaran."Nona, segeralah berpakaian! tuan Darius sedang menunggu Anda di bawah.""Memangnya kami akan pergi kemana? kok pakaian saya dan pakaian tuan Darius dikemas dalam koper?""Kami tidak tahu, Nona." ucap salah satu Pelayan sambil terus memasukkan pakaian ke dalam koper.Wina segera masuk ke dalam ruang ganti dengan bingung.Saat turun dari tangga, ia dapati Darius sedang duduk dan Revan ada di sisinya sedang berdiri. Darius tampak sedang melihat jam tangannya, dan saat menyadari Wina tengah tur
***Wina berlari kecil menuju lapangan golf. Ia girang sambil meloncat-loncat kecil. Bayangan di benaknya bahwa ia dan Revan akan belajar bermain golf. Revan akan memeluknya dari belakang, memegang tangannya yang sedang menggenggam stick golf, seperti yang pernah ia tonton di beberapa adegan dalam drama favoritnya."Kupikir kau sampai lebih cepat, ternyata memakan waktu sepuluh menit untuk sampai ke sini." sapa Revan padanya dengan senyuman yang memamerkan lesung pipi di balik pipi berbulu tipisnya."Ah, kau tentu saja tahu, bahwa aku harus melewati satu Pos Penjaga dahulu sebelum sampai ke sini.""Hahaha, apakah itu Bibi Noni?""Yaa! sudahlah! kenapa kau memanggilku?""Mmmm, tidak ada! hanya butuh teman.""Wah, kau sedang main-main dengan Sandera tuan Darius.""Hahaha, tentu saja tidak! aku tak berani untuk itu. Belajar golf! kau mau?" tanya Revan sambil mengayunkan tongkat sticknya."Oke! siapa takut?