***Pria yang tadi mengemudikan kapal dan mengantar mereka sampai ke Villa, datang membawa sampan kayu dan berteriak memanggil sambil terus mengayuh ke arah Darius dan Wina."Ah, di saat genting begini. Tuhan memberikan pertolongannya!" ucap Wina sumringah.Darius melambaikan tangan, menuntun Wina untuk segera menuruni jalan bukit."Hati-hati, Tuan, Nona!" ucap pria itu membantu mereka berdua menaiki sampan.Sampan dikayuh secepat mungkin ke Pemukiman yang datarannya lebih tinggi. Hujan masih saja deras, angin tetap dengan terpaannya, sementara petir sudah mengurangi intensitasnya.Sampailah Darius dan Wina ke salah satu rumah warga, sebuah rumah panggung."Naiklah, Tuan, Nona! ini adalah Rumah saya." ucap Pria itu sambil membantu Darius dan Wina menaiki tangga kayu rumah itu.Setelah Darius dan Wina sampai ke lantai rumah, Darius bertanya pada pria itu."Kau datang untuk kami, Jeki?" Darius akhirnya menyebut nama Pria itu."Iya, Tuan! saya khawatir. Terlebih saat melihat hantaman pet
***Jeki menatap wajah merah padam Darius dengan bingung. Mencari jawaban lewat mata tajam Darius. Ia baru mengerti bahwa ada yang salah dari pengucapannya saat melihat semua orang yang ada di rumah itu marah dan berseru agar menghukum Darius dan Wina karena telah melakukan tindakan asusila yang dianggap mencemari Desa mereka."Tu, tunggu! ini sebenarnya ada apa?" tanya Jeki dengan suara meninggi sembari mengedarkan pandangannya ke semua orang."Jeki, Tuanmu ini telah melakukan perzinahan di rumah ini dengan wanita ini. Ibumu sendiri adalah saksinya." ucap salah seorang Warga."Ha? ba, bagaimana mungkin, Tuan? bu, bukankah dia Adik Ipar Anda?" tanya Jeki tampak kecewa.Darius terdiam, menunduk dan mengalihkan pandangannya dengan mendengus kesal."Lagipula, kenapa mereka bisa diizinkan menginap di Villa tanpa adanya pengecekan kalau mereka ternyata bukan Suami Isteri? bukankah biasanya seperti itu?" tanya salah seorang Tokoh Masyarakat."Saya yang salah." ucap Jeki lemas."Kenapa kau m
***"Aku lupa mengisi bensinnya waktu kita kesini, dan sekarang bensinnya benar-benar kandas."Wina hanya bisa menelan ludah mendapati kenyataan saat ini. Suasana yang sudah larut malam, berdua saja di Dermaga, perut kosong dan mata mengantuk."Anda masih mengantongi ponsel kan? apakah tidak ada orang yang bisa dihubungi? semisal Revan.""Kenapa yang ada di fikiranmu pertama kali malah Pemuda itu? kalau ponselku tidak mati, tentu aku sudah memikirkan menelfon taksi online terlebih dahulu. Minimal Ojol." ketus Darius pada Wina.Darius mengitari sekitar, ia memicingkan matanya kemudian perlahan tampak tersenyum girang. Ia kemudian berlari ke suatu tempat."Kau tunggulah di sini! jangan kemana-mana!"Wina melihat Darius berlari ke sebuah Ruko yang sudah tutup. Wina bingung, mau apa Darius ke Ruko itu? namun ternyata Darius tidak menuju Ruko itu, melainkan ke sebuah bangunan kecil di sebelahnya. Sebuah telefon umum. Setelah
***Darius menatap mata Wina, melihat mata berkaca-kaca itu yang diselimuti kemarahan."Katakan padaku, Wina! apa yang kau rasakan saat berdua saja bersamaku di Pulau itu?" ucap Darius menatap mata Wina tajam."Tuan, lepaskan aku! kau menyakitiku. Rambutku bahkan kau genggam sangat kuat!" rintih Wina memohon.Darius seakan tersadar akan genggaman tangannya yang menjambak rambut Wina hingga kepalanya tertarik dan wajahnya mendongak."Ah! maafkan aku! aku benar-benar melakukannya tanpa sadar!" ucap Darius melepas genggamannya dan melihat ke arah tangan yang menjambak tadi seolah tangan itu memiliki kendalinya sendiri.Wina langsung terlepas dari genggaman Darius, ia mundur beberapa langkah dan memegang rambutnya serta kepalanya yang sakit."Tidak sadar?! mengapa Anda selalu mengatakan demikian saat menyakitiku, Tuan?" bentak Wina marah."Wina..." Darius mencoba mendekat,"Jangan mendekat! dan tolong janga
***Tahun Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh.Darius waktu itu berusia delapan tahun. Ia adalah anak kandung dari Rudi, Sopir pribadi Mahesa.Mahesa sendiri waktu itu berusia sekitar empat puluh lima tahun, sebaya dengan Ayah kandung Darius yaitu Rudi. Namun tuan Mahesa belum memiliki anak sama sekali, meski sudah memiliki beberapa orang Isteri.Di usianya yang sudah berkepala empat, Isteri tuan Mahesa entah bagaimana, menginginkan Darius untuk ia adopsi menjadi anaknya. Ia tiba-tiba merasakan kasih sayang yang begitu besar pada Darius kecil. Ia kerap membawa Darius kemana-mana, menjadi teman tidur dan makannya, hingga Darius kerap ia jemput dari Sekolah. Karena keakraban dan kekeluargaan yang dirasakan oleh Rudi terhadap keluarga Mahesa, Rudi pun menyetujui keinginan Isteri Mahesa tersebut."Aku berjanji Rudi, aku akan memberikan yang terbaik untuk anakmu. Memberikannya pendidikan yang tinggi dan segala fasilitas yang ia butuhkan." jan
***Wina terbangun dari tidurnya pukul dua siang. Ia terlonjak dan langsung melihat ke arah jam dinding. Cuaca di luar masih saja mendung, padahal hari sudah menjelang sore.Wina berjalan menuju balkon, ia regangkan seluruh tubuhnya yang sudah cukup istirahat. Membayangkan seharian perjalanan menegangkan lintas pulau bersama Darius, sangat menguras energi, emosi dan fikiran.Wina melihat ke bawah balkon, tampak di bawah sebuah pohon kelengkeng yang sudah tua, Darius sedang duduk di sebuah bangku taman, sedang menikmati secangkir teh dan fokus ke sebuah tablet di tangannya."Dia sedang apa? apa dia tidak ke Kantor hari ini? ah, dia masih punya satu hari sisa cuti." gumam Wina memperhatikan.Wina menyandarkan tubuhnya di atas railing balkon, menatap fokus pada Darius yang tampak fokus ke gawainya."Kalau lagi diam dan tenang seperti itu, kharisma dan ketampanannya terasa tumpah ruah. Kenapa dia begitu tampan?"Kembali Wina
***Darius menekan-nekan mouse beberapa kali untuk mempercepat durasi. Wina sampai ke dapur, membuka kulkas dan meraih sekotak susu. Wina bergerak menuju almari gantung tempat snack dan roti di simpan. Tampak Wina berjinjit-jinjit mencoba menggapai sebungkus roti, namun tangannya tak kunjung sampai.Tiba-tiba Revan keluar dari balik kulkas, berjalan pelan mendekati Wina dari belakang. Kemudian meraih sebungkus roti dan memberikannya pada Wina. Darius tampak menelan ludah. Ia seolah memikirkan sesuatu akan terjadi setelah ini.Revan tampak menoleh ke kiri dan kanan, ia kemudian menarik tangan Wina untuk mengikutinya ke balik Kulkas. Darius langsung mengernyitkan keningnya, ketika ia fokus menunggu apa yang terjadi, Wina dan Revan malah tak kunjung keluar dari balik Kulkas."Sedang apa mereka? kenapa lama sekali di sana? apa yang mereka lakukan?" gumam Darius kesal menahan amarahnya.Darius menunggu sekitar beberapa menit, tampak Revan dan
*** Setelah Mahesa menyampaikan Pesan dan Wasiatnya, Isterinya menarik tangan Darius untuk mengikutinya ke kamar utama. "Apa yang harus kita lakukan, Ibu?" tanya Darius pada Ibu angkatnya. "Kita harus memperjuangkan warisan itu, Darius! sepertinya Ayahmu memang sudah memikirkan sampai sejauh itu. Ia bahkan tak memberikan celah untukmu agar bisa mengalihkan Warisan itu jatuh ke tanganmu." "Tapi, bukankah ini semua sudah lebih dari cukup, Ibu? aku bukanlah darah dagingnya. Wajar jika ia menyerahkan semua pada Andrea. Aku diberikan pekerjaan, penghasilan yang lebih dari cukup dan nama yang harum. Bukankah itu semua patut disyukuri, Ibu?" "Jangan bodoh kamu, Darius! Ibu membesarkanmu sampai sekarang bukan hanya bertujuan untuk menghidupi kehidupanmu saja! tapi sebagai wadah penampung seluruh harta kekayaan Mahesa! bagaimana mungkin anak dari seorang gundik bisa menjadi Pewaris seluruh harta dan asset miliknya?!"
***Sebulan sebelum hari ulang tahun Andrea yang ke Tujuh Belas. Mantan Sopir Mahesa datang bertamu. Sebenarnya, dia telah beberapa kali datang. Hanya saja, karena tak memiliki janji dengan Mahesa, ia kerap mendapat pengusiran dari Penjaga baru yang tentu saja tak mengenalinya.Mahesa yang mengetahui itu, langsung datang menyambut Tamu itu dengan gembira. Ia persilahkan tamu itu untuk masuk dan duduk di ruang tamu.Tamu itu membawa seorang gadis, namun wajahnya ia tutupi dengan selendang."Kau membawa siapa?" tanya Mahesa yang sedari tadi penasaran."Dia, adalah Cucuku.""Cucumu? bukankah kau tidak memiliki anak?""Ya! aku membawanya ke rumahku, dan mengasuhnya sampai sekarang.""Kau sangat luar biasa! aku tak pernah melihat sedikitpun sisi negatif darimu." ucap Mahesa kagum."Apa kau tak penasaran dengan wajahnya, Tuan?""Ya! tentu aku penasaran! tidak bisakah ia membuka cadarnya itu?"
***Andrea sudah mencintai Darius sejak kanak-kanak, terlebih saat Darius sudah kembali lagi ke rumah, ia seakan tak mau berpisah dari Darius walau seharipun. Kemana-mana Andrea pasti ikut. Sekilas, orang lain akan mengira Darius kerap membawa adik perempuannya kemana-mana. Itu bukanlah dugaan yang salah, hanya saja mereka hanya terikat persaudaraan tanpa ikatan darah. Darius di mata Andrea, adalah sosok Pangeran tampan yang kerap ia saksikan di film-film kolosal kesukaannya.Bagaimana dengan Darius? apakah ia juga memiliki perasaan yang sama dengan Andrea?"Aku mencintaimu, Kak! katakan kalau kau juga mencintaiku!" desak Andrea beberapa bulan sebelum hari ulang tahunnya."Andrea, berulang kali kukatakan padamu! kau hanya kuanggap sebagai adikku, tidak lebih! kasih sayang yang kuberikan padamu, hanya sebatas itu!" ucap Darius yang sedang sibuk mengerjakan proyeknya di depan Laptop.Andrea sekarang berada di kamar Darius. Seperti biasa, ia
***Hari ini adalah hari H, dimana Wina akan berubah menjadi Andrea dalam satu malam. Andrea yang sudah tiada, akan dihidupkan kembali melalui wujud Wina.Di kamar utama, telah sampai beberapa paket ekslusif dari butik-butik ternama di Kota ini. Gaun dan segala macam perlengkapan untuk dikenakan Wina malam ini.Wina memandangi paket-paket itu. Ia sama sekali belum membuka satupun."Hah, beruntungnya kau Andrea! memiliki semua fasilitas ini, kekayaan dan warisan jatuh ke tanganmu. Sementara diriku, hanya boneka yang akan digunakan sebagai sosok dirimu."Pintu kamar terbuka, para Pelayan masuk dengan senyuman sumringah. Mereka langsung duduk rapi mengelilingi paket-paket yang siap untuk dibuka."Anda akan mengenakan gaun yang bagaimana, Nona? di sini ada warna merah muda dan merah marun, ada biru muda dan biru toska." tanya salah seorang Pelayan dengan mata berbinar seolah baru pertama kali melihat gaun seindah itu."Entah
***Darius membanting pintu kamarnya karena kesal. Ia tak menyangka bahwa dugaannya Wina dan Revan berciuman di balik Kulkas itu adalah kenyataan yang harus ia sadari. Darius meremas jemarinya, ia kesal bukan kepalang."Jadi, mulai sejak kapan benih-benih cinta tumbuh di antara mereka? Revan, kau sepertinya selalu menjadi bayang-bayangku!" gumam Darius meradang.Sore telah tiba, Wina masih melamun di balkon dengan beraneka ragam isi fikiran yang semrawut di kepalanya. Belum selesai ia memikirkan bagaimana cara ia mejelaskan pada Revan tentang perlakuan Darius tadi siang padanya, Wina sudah melihat beberapa mobil pick up sedang menghantar perlengkapan untuk pesta besok malam."Konsep taman akan diadakan besok malam untuk pesta jamuan yang diinginkan tuan Darius, Nona."Bibi Noni sudah berdiri di belakang Wina."Ah, ya! ada apa Bibi datang kemari? apakah saya perlu berlatih untuk tampil besok malam?""Tidak, aku tidak ditu
***Sudah lima tahun Darius berada di luar. Bukan hal mudah baginya bertahan di luar dengan melepas semuanya yang pernah ia miliki. Ia hanya pergi membawa ijazah SMAnya.Awalnya tentunya ia merasa kesulitan, usia tiga puluh tahun bukanlah usia yang mudah baginya mendapatkan pekerjaan. Bermacam pekerjaan kasar ia jalani, mulai dari menjadi Salesmen, penjaga Parkir, kuli bangunan, kuli panggul atau bahkan menjadi tukang kendang hiburan musik keliling.Darius juga pernah merantau sampai keluar Pulau, menjadi Nelayan dan Penjual Ikan di Pasar. Semua ia jalani dengan penuh lika liku perjuangan. Bukan hal mudah baginya untuk bertahan. Hinaan dan cacian, tak punya uang hingga tak makan sampai berhari-hari, pernah ia lalui. Namun itu tak membuatnya menyerah dan malah mengemis pada Keluarga Mahesa untuk kembali. Pantang bagi Darius melakukan hal itu.Segala macam kerasnya kehidupan ia terima, ia jadi mengerti mengapa orangtua kandungnya begitu serakah akan
*** Setelah Mahesa menyampaikan Pesan dan Wasiatnya, Isterinya menarik tangan Darius untuk mengikutinya ke kamar utama. "Apa yang harus kita lakukan, Ibu?" tanya Darius pada Ibu angkatnya. "Kita harus memperjuangkan warisan itu, Darius! sepertinya Ayahmu memang sudah memikirkan sampai sejauh itu. Ia bahkan tak memberikan celah untukmu agar bisa mengalihkan Warisan itu jatuh ke tanganmu." "Tapi, bukankah ini semua sudah lebih dari cukup, Ibu? aku bukanlah darah dagingnya. Wajar jika ia menyerahkan semua pada Andrea. Aku diberikan pekerjaan, penghasilan yang lebih dari cukup dan nama yang harum. Bukankah itu semua patut disyukuri, Ibu?" "Jangan bodoh kamu, Darius! Ibu membesarkanmu sampai sekarang bukan hanya bertujuan untuk menghidupi kehidupanmu saja! tapi sebagai wadah penampung seluruh harta kekayaan Mahesa! bagaimana mungkin anak dari seorang gundik bisa menjadi Pewaris seluruh harta dan asset miliknya?!"
***Darius menekan-nekan mouse beberapa kali untuk mempercepat durasi. Wina sampai ke dapur, membuka kulkas dan meraih sekotak susu. Wina bergerak menuju almari gantung tempat snack dan roti di simpan. Tampak Wina berjinjit-jinjit mencoba menggapai sebungkus roti, namun tangannya tak kunjung sampai.Tiba-tiba Revan keluar dari balik kulkas, berjalan pelan mendekati Wina dari belakang. Kemudian meraih sebungkus roti dan memberikannya pada Wina. Darius tampak menelan ludah. Ia seolah memikirkan sesuatu akan terjadi setelah ini.Revan tampak menoleh ke kiri dan kanan, ia kemudian menarik tangan Wina untuk mengikutinya ke balik Kulkas. Darius langsung mengernyitkan keningnya, ketika ia fokus menunggu apa yang terjadi, Wina dan Revan malah tak kunjung keluar dari balik Kulkas."Sedang apa mereka? kenapa lama sekali di sana? apa yang mereka lakukan?" gumam Darius kesal menahan amarahnya.Darius menunggu sekitar beberapa menit, tampak Revan dan
***Wina terbangun dari tidurnya pukul dua siang. Ia terlonjak dan langsung melihat ke arah jam dinding. Cuaca di luar masih saja mendung, padahal hari sudah menjelang sore.Wina berjalan menuju balkon, ia regangkan seluruh tubuhnya yang sudah cukup istirahat. Membayangkan seharian perjalanan menegangkan lintas pulau bersama Darius, sangat menguras energi, emosi dan fikiran.Wina melihat ke bawah balkon, tampak di bawah sebuah pohon kelengkeng yang sudah tua, Darius sedang duduk di sebuah bangku taman, sedang menikmati secangkir teh dan fokus ke sebuah tablet di tangannya."Dia sedang apa? apa dia tidak ke Kantor hari ini? ah, dia masih punya satu hari sisa cuti." gumam Wina memperhatikan.Wina menyandarkan tubuhnya di atas railing balkon, menatap fokus pada Darius yang tampak fokus ke gawainya."Kalau lagi diam dan tenang seperti itu, kharisma dan ketampanannya terasa tumpah ruah. Kenapa dia begitu tampan?"Kembali Wina
***Tahun Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh.Darius waktu itu berusia delapan tahun. Ia adalah anak kandung dari Rudi, Sopir pribadi Mahesa.Mahesa sendiri waktu itu berusia sekitar empat puluh lima tahun, sebaya dengan Ayah kandung Darius yaitu Rudi. Namun tuan Mahesa belum memiliki anak sama sekali, meski sudah memiliki beberapa orang Isteri.Di usianya yang sudah berkepala empat, Isteri tuan Mahesa entah bagaimana, menginginkan Darius untuk ia adopsi menjadi anaknya. Ia tiba-tiba merasakan kasih sayang yang begitu besar pada Darius kecil. Ia kerap membawa Darius kemana-mana, menjadi teman tidur dan makannya, hingga Darius kerap ia jemput dari Sekolah. Karena keakraban dan kekeluargaan yang dirasakan oleh Rudi terhadap keluarga Mahesa, Rudi pun menyetujui keinginan Isteri Mahesa tersebut."Aku berjanji Rudi, aku akan memberikan yang terbaik untuk anakmu. Memberikannya pendidikan yang tinggi dan segala fasilitas yang ia butuhkan." jan