***
"Tuan, apa yang Anda lakukan?! saya bukan Isteri Anda, Tuan!" ucap Wina berontak. Namun seperti kesetanan, Darius tak memperdulikan ucapan Wina. Ia malah naik ke atas tempat tidur, mengangkangi Wina dan buru-buru melepaskan kemeja putihnya. Kemeja itu ia lemparkan sembarang saja ke lantai. Kini Darius telah bertelanjang dada, tubuh atletis berbulu itu kini terpampang nyata di hadapan Wina. Wina mendelik, ia tak percaya dengan apa yang akan dilakukan oleh Darius setelah ini. Jantung Wina seakan hendak jatuh, darahnya berdesir kencang. "Tuan, tolong jangan lakukan apapun lagi! jangan ambil kesucian saya, Tuan." isak Wina kini mulai menangis. Darius mulai merangkak di atas tubuh Wina. Ia mendekatkan wajahnya di atas wajah Wina. Nafas Darius terdengar memburu, ia mendengus menghirup udara dari leher jenjang Wina. "Bagaimana bisa kau seidentik ini dengan dia? bahkan aroma khas tubuhmu juga sama." ucap Darius dengan nafas memburu. Wina berusaha menepis wajah Darius dari wajahnya dengan tangannya. Namun Darius langsung meraih tangan Wina dan menindihnya dengan tangannya. "Tuan! Anda sudah keterlaluan! sadarlah! Isteri Anda telah meninggal setahun yang lalu." bentak Wina seraya menutup matanya dan menolehkan wajahnya ke samping, saat Darius mengendus telinga dan anak rambut bagian belakangnya. Wina tak mendapat jawaban apa-apa dari Darius. Malah serangannya semakin menjadi-jadi. Kini jemari Darius bahkan sudah menyasar ke bagian belahan dada Wina yang sekal dan padat. Wina menutup matanya, pasrah sudah ia. Melawanpun seolah tak ada guna, tubuh mungilnya takkan mampu melawan tubuh berotot Darius. Namun, seiring kepasrahan Wina, perlahan ada perasaan hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Pemandangan di luar balkon menampakkan gerimis yang mulai turun di dini hari ini, aliran hawa dingin dari AC dan hangatnya tubuh Darius menjadikan sebuah padu padan yang romantis dan syahdu. Saat ia saling tatap dengan Darius, dan memandang seluruh wajah dan sebagian dari dada telanjang Darius, Wina melihat ketampanan dan keperkasaan Darius dalam sekejab. Wina memejamkan matanya, ia mulai melemaskan seluruh tubuhnya, ada kerelaan seketika menyeruak seiring libido yang mulai terpancing keluar. Wina seakan menginginkan perlakuan lebih dari Darius. Gairahnya malu-malu keluar menunjukkan keinginan akan sentuhan jari jemari Darius yang kian menari di dadanya. "Kau menginginkannya?" bisik Darius menatap mata Wina seolah mencari jawaban. Wina terdiam, ia memejamkan matanya. Darius mulai mendekatkan bibirnya ke bibir Wina, nafas yang mendengus memburu dari hidung Darius, terasa hangat namun sekaligus membuat sesak. Wina membuka bibirnya sedikit, seakan mengerti bahwa Darius akan melekatkan bibirnya. Namun, Wina seakan dibiarkan menunggu lama, Darius tak kunjung mencumbunya. Wina membuka matanya, ia melihat Darius masih menatapnya, namun dengan senyuman sinisnya. "Aku sudah menduganya! kau sama saja dengan Andrea!" ucap Darius tersenyum menang. Wina terhenyak, ia langsung berontak seperti sebelumnya. Namun, Darius tak menahan rontakan tangan Wina. Ia melepaskannya dengan mudah. Darius beranjak dari tubuh Wina, dan segera turun dari ranjang. "Apa maksudmu?!" tanya Wina merasa tersinggung. "Kenapa? kau kecewa?" tanya Darius sambil memungut kemejanya dari lantai. Wina terdiam, ada perasaan malu dan terhina bercampur aduk di benaknya. Seakan ia ingin menghilang saja dari hadapan Darius, atau setidaknya berandai-andai kejadian sebelumnya bisa terulang, maka takkan ia melakukan hal bodoh seperti tadi. "Aku akan keluar dan tidur di kamar tamu. Kau tidurlah di sini. Tak perlu canggung! ini juga kamar Saudarimu." ucap Darius sambil mengenakan kembali kemejanya. Darius bersiap keluar, ia melangkah ke arah pintu. Namun, Wina mencegatnya. "Tunggu!" ucap Wina menghentikan langkah Darius. Darius menoleh, "Ada apa? bukankah tadinya kau menginginkan aku menjauhimu?" tanya Darius menatap ke arah Wina yang masih mematung di ranjang. Wina menelan ludahnya, kerongkongannya kering serasa berat menyampaikan sepatah katapun. "Apa kau mencintai Andrea?" tanya Wina ragu. Darius kembali membalikkan badannya, ia tampak memikirkan pertanyaan Wina. "Tidak. Dia yang mencintaiku." ucap Darius tersenyum sinis. "Bohong!" ucap Wina sinis. "Sebegitu kecewanyakah kau karena aku enggan mencumbu bibirmu? apa kau ingin aku mengulanginya dan melakukan full service untukmu?" ucap Darius sambil melangkah mendekati ranjang. Wina langsung beringsut mundur. Ia memperlihatkan gestur penolakan dan keengganan atas ucapan Darius itu. "Silahkan keluar! tentu Anda menginginkan saya beristirahat malam ini. Agar besok pagi, Anda tak mendapati saya bermasalah dengan kantuk lagi." tegas Wina. Darius tersenyum. Ia kembali membalikkan badan ke arah pintu keluar. Ia menoleh sekali lagi pada Wina, menekan tuas gagang pintu dan langsung keluar dari kamar. Debar-debar jantung Wina masih terasa kencang. Desiran darahnya masih mengalir hangat namun membuatnya merinding. Ia merasakan gejolak birahi sekaligus kengerian bersamaan. Entahlah, tatapan mata Darius, rahangnya yang tegas dan bidang dadanya yang berbulu, masih membayang di benak Wina seolah tak mau hilang. Wina menghentak-hentakkan kakinya di kasur. Menutupi seluruh tubuhnya sampai kepala dengan selimut. Ia kesal bukan kepalang. "Akkkhggh! apa yang kulakukan?! kenapa aku sebodoh itu?!" gerutu Wina kesal pada dirinya sendiri. *** Pagi, pukul tujuh tiga puluh menit. Matahari malu-malu menyembul dari ufuk timur. Hangat sinarnya seakan mengangkat semua kelembaban udara dingin yang menyelimuti semalaman ini. Decit-decit burung-burung berkicau di sela-sela pepohonan di halaman kediaman Darius. Pintu kamar terbuka, tiga orang Pelayan dengan pakaian serupa masuk ke kamar dimana Wina masih tertidur pulas di ranjang mewah itu. Meja berisikan sajian sarapan pagi didorong menuju meja bundar di tengah-tengah balkon. Wina membuka matanya perlahan, silau sinaran mentari pagi yang masuk dari jendela balkon yang tak ditutup semalaman, membuatnya memicingkan matanya seraya melirik ke arah tiga orang Pelayan yang sedang sibuk menyajikan sarapan di meja bundar yang ada di tengah-tengah balkon. "Aku harus segera bangkit dari ranjang ini. Aku enggan diperlakukan lagi seperti semalam. Dibukakan baju, dimandikan, dipakaikan baju. Akh! apakah aku balita yang harus diurus seperti itu?" gumam Wina sambil turun dari ranjang. Wina mengendap-endap melangkah ke kamar mandi. Membuka perlahan pintunya dan, "Aaaaaaaaakh!" teriak Wina dari dalam kamar mandi. Para Pelayan kecuali Pelayan Senior sontak melihat ke belakang, mereka berlari menuju arah suara teriakan, yaitu di kamar mandi. Mereka menggedor-gedor kamar mandi dan menggoncang-goncang tuas gagang pintunya. "Ada apa, Nona? apa yang terjadi?" tanya salah seorang Pelayan dari luar pintu. Namun tak ada jawaban dari dalam. Pelayan Senior langsung menghampiri kedua Pelayan yang berusaha membuka pintu kamar mandi. Menarik tangan seorang Pelayan yang memegang gagang pintu dan menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. "Sudahlah, mungkin Nona tidak tahu kalau tuan Darius sedang mandi di dalam." ucap Pelayan Senior sembari melangkah menjauhi pintu kamar mandi. Kedua Pelayan itu saling menatap bingung, dan kemudian melangkah kembali mengikuti Pelayan Senior untuk mendorong meja saji ke luar pintu kamar. _____________***Sementara di dalam kamar mandi,Tubuh Wina gemetar menahan risih karena mulutnya dibekap oleh Darius. Kerisihan Wina semakin jadi, karena Darius menempelkan tubuhnya dari belakang tubuh Wina dalam keadaan sama sekali tak mengenakan pakaian. Ia telanjang dan basah, dikarenakan saat Wina memasuki kamar mandi, Darius sedang mandi di bawah shower dan langsung menangkap tubuh Wina saat berteriak tadi.Wina mencakar lengan Darius yang masih kokoh membekap mulutnya. Sontak Darius melepaskan tangannya. Lagipula, para Pelayan tampaknya sudah pergi dari kamar."Tolong! kenakanlah handuk segera, Tuan!" ucap Wina menutup matanya."Kenapa? lagipula kau sudah melihatnya!" ucap Darius santai melangkah menuju shower."Kalau begitu, mandilah segera! aku akan keluar." ucap Wina langsung melangkah menuju pintu keluar.Namun Darius yang melihat Wina sudah sampai ke pintu, langsung meloncat dan melangkah lebar mendekati Wina."K
***Wina langsung syok mendengar pertanyaan Darius yang ia anggap terlalu vulgar dan tak etis. Ia tolak sekuat tenaga daun pintu, dan pintu berhasil ia tutup rapat.Darius yang melihat ekspresi terkejut dan salah tingkah dari Wina langsung tersenyum sinis melangkah menjauhi pintu kamar mandi. Sepertinya ia berhasil memainkan perasaan gadis muda itu dengan sukses.Sementara Wina menyandarkan tubuhnya di balik pintu dengan tangan mengepal dan wajah yang panas dan memerah."Apa-apaan Pria tua itu? bukankah usianya sudah kepala empat? mengapa dia malah bertingkah seperti remaja pubertas? apakah dia memiliki dua kepribadian? berbeda sekali dengan dia yang kukenal beberapa waktu lalu." gerutu Wina menyisir rambutnya dengan jemarinya dari dahinya ke belakang.***Siang menjelang sore, pintu kamar diketuk,Tok, tok, tok!Wina mendongak dari kebosanannya di ranjang. Sehari semalam ia terkurung di dalam kamar, tanpa teman
"Revan, bolehkah aku bertanya yang lebih serius?" "Apa itu?" "Andrea meninggal karena apa?" tanya Wina menatap wajah Revan. "Ah, beliau meninggal karena over dosis obat tidur. Setahun yang lalu kasus meninggalnya Nyonya Andrea sempat Viral di media. Namun, dengan kekuasaan yang dimiliki tuan Darius, berita itu bisa lenyap dalam waktu seminggu." "Kekuasaan? bukankah yang kaya itu Andrea?" selidik Wina penasaran. "Ya! tetapi tuan Dariuslah yang memegang tampuk kekuasaan di Perusahaan milik keluarga Mahesa. Nyonya Andrea hanya pemegang hak waris tunggal atas semua aset dan harta kempemilikan atas nama tuan Mahesa." "Ah, aku pernah dengar istilah CEO dan Presdir di drama-drama Korea. Apakah seperti itu?" "Ya, seperti itu." ucap Revan tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang membuat jantung Wina kembali berdebar kencang. "Kenapa mereka bisa menikah?" "Aku belum diizinkan untuk menceritakan ini padamu. Namun, secepatnya kau pasti akan diberitahu." "Dan kau, bagaimana
***Cklek!Pintu kamar terbuka, seperti dugaan Wina, Darius benar-benar masuk ke kamar. Wina langsung memasang wajah kesal, ia melipat kedua tangannya di dada sambil duduk di tepi ranjang. Sementara Darius, masuk dan langsung berdiri di depan Wina dengan memandang wajah Wina yang tampak tak senang."Aku ingin mandi." ucap Darius sambil melonggarkan dasinya."Lantas, apakah aku harus ikut?" tanya Wina asal saja. Alih-alih mendapat bujukan atau pertanyaan 'kenapa?' dari Darius."Ya! rupanya kau mengerti.""Apa?!" tanya Wina tak percaya."Kenapa? kau keberatan?" tanya Darius tanpa merasa aneh sembari membuka jasnya."Aku bukan Isteri Anda, Tuan! sepertinya Anda selalu berfikir kalau aku ini Andrea!"Darius melangkah mendekati Wina, ia membungkuk dan menyandarkan kedua tangannya di tepi ranjang, tepat di sisi kedua paha Wina. Wajah Darius dan Wina kini saling berhadapan."Aku sadar! namun aku ingin
***Setelah selesai mandi dan berpakaian, Darius keluar dari kamar. Ia meninggalkan Wina yang berdiri di Balkon sambil melihat pemandangan petang hari. Alih-alih memandang pemandangan, Wina sebenarnya risih dan tak nyaman selalu berada di kamar berdua dengan Darius. Ketika Darius masuk ke ruang ganti, Wina langsung melangkah menjauh menuju balkon.Darius menuruni anak tangga dan melihat Bibi Noni baru saja turun dari anak tangga sebelah timur. Ia baru saja keluar dari ruang kerja Darius."Bibi! bisakah kita bicara sebentar?" panggil Darius.Bibi Noni berhenti menuruni anak tangga, kemudian ia mengangguk dan kembali melangkah turun. Setelah sampai ke lantai, ia mendekati Darius,"Ada apa, Tuan?" tanyanya dengan menundukkan wajah."Kau dari ruang kerjaku?""Ya, Tuan. Saya sedang melakukan bersih-bersih." ujar Bibi Noni seraya melirik ke alat pelnya."Bukankah semalam kau juga sudah mengepelnya?"Bibi Noni tampak melirik ke kiri dan kanan, ia tampak gusar."Ya, Tuan. Hanya saja, saya pik
***Wina berlari kecil menuju lapangan golf. Ia girang sambil meloncat-loncat kecil. Bayangan di benaknya bahwa ia dan Revan akan belajar bermain golf. Revan akan memeluknya dari belakang, memegang tangannya yang sedang menggenggam stick golf, seperti yang pernah ia tonton di beberapa adegan dalam drama favoritnya."Kupikir kau sampai lebih cepat, ternyata memakan waktu sepuluh menit untuk sampai ke sini." sapa Revan padanya dengan senyuman yang memamerkan lesung pipi di balik pipi berbulu tipisnya."Ah, kau tentu saja tahu, bahwa aku harus melewati satu Pos Penjaga dahulu sebelum sampai ke sini.""Hahaha, apakah itu Bibi Noni?""Yaa! sudahlah! kenapa kau memanggilku?""Mmmm, tidak ada! hanya butuh teman.""Wah, kau sedang main-main dengan Sandera tuan Darius.""Hahaha, tentu saja tidak! aku tak berani untuk itu. Belajar golf! kau mau?" tanya Revan sambil mengayunkan tongkat sticknya."Oke! siapa takut?
***Wina masih bengong sepeninggalan Darius, ia tidak mengerti apa yang diucapkan Darius baru saja. Namun, ia tetap tahu diri, Darius memintanya untuk segera berkemas diri, maka Wina segera beranjak dari ranjangnya dan meloncat menuju kamar mandi.Setelah selesai mandi, Wina mendapati para Pelayan tanpa Bibi Noni sedang mengemasi pakaian untuk dimasukkan ke dalam koper di atas ranjangnya."Ada apa ini?" tanya Wina penasaran."Nona, segeralah berpakaian! tuan Darius sedang menunggu Anda di bawah.""Memangnya kami akan pergi kemana? kok pakaian saya dan pakaian tuan Darius dikemas dalam koper?""Kami tidak tahu, Nona." ucap salah satu Pelayan sambil terus memasukkan pakaian ke dalam koper.Wina segera masuk ke dalam ruang ganti dengan bingung.Saat turun dari tangga, ia dapati Darius sedang duduk dan Revan ada di sisinya sedang berdiri. Darius tampak sedang melihat jam tangannya, dan saat menyadari Wina tengah tur
***Darius dan Wina menyusuri jalan berbatu di tengah-tengah Pemukiman itu. Orang-orang tampak memperhatikan kedatangan mereka, sementara Darius tampak santai dan tersenyum ramah menyapa penduduk yang berpapasan satu per satu."Apakah Anda dikenal di sini, Tuan?""Tidak juga, namun aku yakin mereka tahu kalau kita berasal dari Kota dan datang ke sini untuk sekedar berwisata. Dan tujuan kita adalah Villa di atas bukit sana." ucap Darius sambil menunjuk sebuah bukit."Mereka tahu siapa pemilik Villa itu?""Mungkin ya, mungkin juga tidak. Hanya saja, aku kerap menyewakan Villa itu untuk para Pengunjung dari luar.""Ah, berarti di Villa itu bukan hanya kita berdua, kan? ada berapa Pengunjung kira-kira hari ini, Tuan?" tanya Wina sumringah.Darius menghentikan langkahnya, menoleh pada Wina."Ada dua orang." ucap Darius menatap mata Wina."Oh, baguslah! berarti ada empat orang sekarang! aku perlu mempersiapkan diri untuk berkenalan lagi dengan orang baru." ucap Wina antusias."Empat orang?"
***Wina terbangun dari tidurnya pukul dua siang. Ia terlonjak dan langsung melihat ke arah jam dinding. Cuaca di luar masih saja mendung, padahal hari sudah menjelang sore.Wina berjalan menuju balkon, ia regangkan seluruh tubuhnya yang sudah cukup istirahat. Membayangkan seharian perjalanan menegangkan lintas pulau bersama Darius, sangat menguras energi, emosi dan fikiran.Wina melihat ke bawah balkon, tampak di bawah sebuah pohon kelengkeng yang sudah tua, Darius sedang duduk di sebuah bangku taman, sedang menikmati secangkir teh dan fokus ke sebuah tablet di tangannya."Dia sedang apa? apa dia tidak ke Kantor hari ini? ah, dia masih punya satu hari sisa cuti." gumam Wina memperhatikan.Wina menyandarkan tubuhnya di atas railing balkon, menatap fokus pada Darius yang tampak fokus ke gawainya."Kalau lagi diam dan tenang seperti itu, kharisma dan ketampanannya terasa tumpah ruah. Kenapa dia begitu tampan?"Kembali Wina
***Tahun Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh.Darius waktu itu berusia delapan tahun. Ia adalah anak kandung dari Rudi, Sopir pribadi Mahesa.Mahesa sendiri waktu itu berusia sekitar empat puluh lima tahun, sebaya dengan Ayah kandung Darius yaitu Rudi. Namun tuan Mahesa belum memiliki anak sama sekali, meski sudah memiliki beberapa orang Isteri.Di usianya yang sudah berkepala empat, Isteri tuan Mahesa entah bagaimana, menginginkan Darius untuk ia adopsi menjadi anaknya. Ia tiba-tiba merasakan kasih sayang yang begitu besar pada Darius kecil. Ia kerap membawa Darius kemana-mana, menjadi teman tidur dan makannya, hingga Darius kerap ia jemput dari Sekolah. Karena keakraban dan kekeluargaan yang dirasakan oleh Rudi terhadap keluarga Mahesa, Rudi pun menyetujui keinginan Isteri Mahesa tersebut."Aku berjanji Rudi, aku akan memberikan yang terbaik untuk anakmu. Memberikannya pendidikan yang tinggi dan segala fasilitas yang ia butuhkan." jan
***Darius menatap mata Wina, melihat mata berkaca-kaca itu yang diselimuti kemarahan."Katakan padaku, Wina! apa yang kau rasakan saat berdua saja bersamaku di Pulau itu?" ucap Darius menatap mata Wina tajam."Tuan, lepaskan aku! kau menyakitiku. Rambutku bahkan kau genggam sangat kuat!" rintih Wina memohon.Darius seakan tersadar akan genggaman tangannya yang menjambak rambut Wina hingga kepalanya tertarik dan wajahnya mendongak."Ah! maafkan aku! aku benar-benar melakukannya tanpa sadar!" ucap Darius melepas genggamannya dan melihat ke arah tangan yang menjambak tadi seolah tangan itu memiliki kendalinya sendiri.Wina langsung terlepas dari genggaman Darius, ia mundur beberapa langkah dan memegang rambutnya serta kepalanya yang sakit."Tidak sadar?! mengapa Anda selalu mengatakan demikian saat menyakitiku, Tuan?" bentak Wina marah."Wina..." Darius mencoba mendekat,"Jangan mendekat! dan tolong janga
***"Aku lupa mengisi bensinnya waktu kita kesini, dan sekarang bensinnya benar-benar kandas."Wina hanya bisa menelan ludah mendapati kenyataan saat ini. Suasana yang sudah larut malam, berdua saja di Dermaga, perut kosong dan mata mengantuk."Anda masih mengantongi ponsel kan? apakah tidak ada orang yang bisa dihubungi? semisal Revan.""Kenapa yang ada di fikiranmu pertama kali malah Pemuda itu? kalau ponselku tidak mati, tentu aku sudah memikirkan menelfon taksi online terlebih dahulu. Minimal Ojol." ketus Darius pada Wina.Darius mengitari sekitar, ia memicingkan matanya kemudian perlahan tampak tersenyum girang. Ia kemudian berlari ke suatu tempat."Kau tunggulah di sini! jangan kemana-mana!"Wina melihat Darius berlari ke sebuah Ruko yang sudah tutup. Wina bingung, mau apa Darius ke Ruko itu? namun ternyata Darius tidak menuju Ruko itu, melainkan ke sebuah bangunan kecil di sebelahnya. Sebuah telefon umum. Setelah
***Jeki menatap wajah merah padam Darius dengan bingung. Mencari jawaban lewat mata tajam Darius. Ia baru mengerti bahwa ada yang salah dari pengucapannya saat melihat semua orang yang ada di rumah itu marah dan berseru agar menghukum Darius dan Wina karena telah melakukan tindakan asusila yang dianggap mencemari Desa mereka."Tu, tunggu! ini sebenarnya ada apa?" tanya Jeki dengan suara meninggi sembari mengedarkan pandangannya ke semua orang."Jeki, Tuanmu ini telah melakukan perzinahan di rumah ini dengan wanita ini. Ibumu sendiri adalah saksinya." ucap salah seorang Warga."Ha? ba, bagaimana mungkin, Tuan? bu, bukankah dia Adik Ipar Anda?" tanya Jeki tampak kecewa.Darius terdiam, menunduk dan mengalihkan pandangannya dengan mendengus kesal."Lagipula, kenapa mereka bisa diizinkan menginap di Villa tanpa adanya pengecekan kalau mereka ternyata bukan Suami Isteri? bukankah biasanya seperti itu?" tanya salah seorang Tokoh Masyarakat."Saya yang salah." ucap Jeki lemas."Kenapa kau m
***Pria yang tadi mengemudikan kapal dan mengantar mereka sampai ke Villa, datang membawa sampan kayu dan berteriak memanggil sambil terus mengayuh ke arah Darius dan Wina."Ah, di saat genting begini. Tuhan memberikan pertolongannya!" ucap Wina sumringah.Darius melambaikan tangan, menuntun Wina untuk segera menuruni jalan bukit."Hati-hati, Tuan, Nona!" ucap pria itu membantu mereka berdua menaiki sampan.Sampan dikayuh secepat mungkin ke Pemukiman yang datarannya lebih tinggi. Hujan masih saja deras, angin tetap dengan terpaannya, sementara petir sudah mengurangi intensitasnya.Sampailah Darius dan Wina ke salah satu rumah warga, sebuah rumah panggung."Naiklah, Tuan, Nona! ini adalah Rumah saya." ucap Pria itu sambil membantu Darius dan Wina menaiki tangga kayu rumah itu.Setelah Darius dan Wina sampai ke lantai rumah, Darius bertanya pada pria itu."Kau datang untuk kami, Jeki?" Darius akhirnya menyebut nama Pria itu."Iya, Tuan! saya khawatir. Terlebih saat melihat hantaman pet
***Darius dan Wina menyusuri jalan berbatu di tengah-tengah Pemukiman itu. Orang-orang tampak memperhatikan kedatangan mereka, sementara Darius tampak santai dan tersenyum ramah menyapa penduduk yang berpapasan satu per satu."Apakah Anda dikenal di sini, Tuan?""Tidak juga, namun aku yakin mereka tahu kalau kita berasal dari Kota dan datang ke sini untuk sekedar berwisata. Dan tujuan kita adalah Villa di atas bukit sana." ucap Darius sambil menunjuk sebuah bukit."Mereka tahu siapa pemilik Villa itu?""Mungkin ya, mungkin juga tidak. Hanya saja, aku kerap menyewakan Villa itu untuk para Pengunjung dari luar.""Ah, berarti di Villa itu bukan hanya kita berdua, kan? ada berapa Pengunjung kira-kira hari ini, Tuan?" tanya Wina sumringah.Darius menghentikan langkahnya, menoleh pada Wina."Ada dua orang." ucap Darius menatap mata Wina."Oh, baguslah! berarti ada empat orang sekarang! aku perlu mempersiapkan diri untuk berkenalan lagi dengan orang baru." ucap Wina antusias."Empat orang?"
***Wina masih bengong sepeninggalan Darius, ia tidak mengerti apa yang diucapkan Darius baru saja. Namun, ia tetap tahu diri, Darius memintanya untuk segera berkemas diri, maka Wina segera beranjak dari ranjangnya dan meloncat menuju kamar mandi.Setelah selesai mandi, Wina mendapati para Pelayan tanpa Bibi Noni sedang mengemasi pakaian untuk dimasukkan ke dalam koper di atas ranjangnya."Ada apa ini?" tanya Wina penasaran."Nona, segeralah berpakaian! tuan Darius sedang menunggu Anda di bawah.""Memangnya kami akan pergi kemana? kok pakaian saya dan pakaian tuan Darius dikemas dalam koper?""Kami tidak tahu, Nona." ucap salah satu Pelayan sambil terus memasukkan pakaian ke dalam koper.Wina segera masuk ke dalam ruang ganti dengan bingung.Saat turun dari tangga, ia dapati Darius sedang duduk dan Revan ada di sisinya sedang berdiri. Darius tampak sedang melihat jam tangannya, dan saat menyadari Wina tengah tur
***Wina berlari kecil menuju lapangan golf. Ia girang sambil meloncat-loncat kecil. Bayangan di benaknya bahwa ia dan Revan akan belajar bermain golf. Revan akan memeluknya dari belakang, memegang tangannya yang sedang menggenggam stick golf, seperti yang pernah ia tonton di beberapa adegan dalam drama favoritnya."Kupikir kau sampai lebih cepat, ternyata memakan waktu sepuluh menit untuk sampai ke sini." sapa Revan padanya dengan senyuman yang memamerkan lesung pipi di balik pipi berbulu tipisnya."Ah, kau tentu saja tahu, bahwa aku harus melewati satu Pos Penjaga dahulu sebelum sampai ke sini.""Hahaha, apakah itu Bibi Noni?""Yaa! sudahlah! kenapa kau memanggilku?""Mmmm, tidak ada! hanya butuh teman.""Wah, kau sedang main-main dengan Sandera tuan Darius.""Hahaha, tentu saja tidak! aku tak berani untuk itu. Belajar golf! kau mau?" tanya Revan sambil mengayunkan tongkat sticknya."Oke! siapa takut?