Cuaca kelam berselimut kabut, gemuruh petir bersahut-sahutan menggelegar di angkasa. Seorang wanita muda masih duduk mematung di tepi sebuah makam yang masih baru. Ia sendirian di sana, para warga sudah beranjak sedari tadi, meninggalkannya dalam kepiluan seorang diri.
"Kakek, setelah ini aku harus kemana?" isak Wina di tengah derasnya hujan. Wina akhirnya berdiri setelah sekian lama bertekur di sisi makam Kakeknya, melangkah gontai meninggalkan Pemakaman. Tubuhnya kini kuyub, ia menggigil kedinginan berjalan gontai untuk pulang. Malam telah tiba, Wina kini sendirian di rumah peninggalan Kakeknya. Rumah yang sedari kecil ia tempati bersama Kakek dan Neneknya. Yang kini keduanya telah pergi meninggalkannya. Wina duduk di atas dipan tua, mengenang kembali masa-masa indah saat mereka berdua masih hidup. Tok, tok, tok! Sebuah ketukan kasar membuat Wina terhenyak dari lamunan nostalgianya. Ada orang di luar, yang seolah tak paham bahwa hari ini ia sedang berduka. "Wina! buka pintunya!" teriak seorang Pria yang sepertinya familiar di telinga Wina. "Sebentar!" jawab Wina sambil beranjak dari ranjang berderitnya. Dengan malas pintu-pun ia buka, didapatinya pak Gondo, seorang Rentenir di Desa itu sedang berdiri di depan pintu bersama dua orang Bodyguardnya. "Hai maniiis! sedang apa? menangisi kepergian tua bangka itu? ah, sudahlah! sebentar lagi, kau akan menjalani hidup bahagia bersamaku." ucap pak Gondo sembari menyesap cerutunya. "Apa maksud Anda, Pak?" ucap Wina mengernyitkan dahinya. "Ah, masa kau tak paham? tapi kau pasti tahu kalau Kakekmu bertahun-tahun memiliki hutang padaku? yaaa, untuk mengobati penyakitmu dahulu. Tentunya, dengan jaminan tanah dan rumah ini. Hanya saja, karena bunga-bunga dari hutang Kakekmu yang sudah menggunung, tanah dan rumah ini mana mungkin cukup melunasi itu semua." jelasnya sembari melangkah perlahan mendekati Wina. "Apa?! Anda jangan mengada-ngada, Pak! setiap minggu Kakekku selalu menyetor pada Anda! dan Kakekku mengatakan kalau hutang-hutangnya pada Anda sebentar lagi akan lunas. Bagaimana mungkin, sekarang Anda malah mengatakan tanah dan rumah ini bahkan tak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya?" jawab Wina tegas. "Hahahaha! akan lunas?! lolucon macam apa itu?" jawab pak Gondo tertawa. Pak Gondo mengisyaratkan kode pada Bodyguardnya untuk mengeluarkan sebuah berkas dari dalam tas yang ditentengnya. Berkas itu kemudian diberikan pada Wina. "Nih, baca dan lihatlah! untuk bunga yang terus beranak pinak itu saja, Kakekmu mana mungkin sanggup membayarnya, bahkan sampai ia ditelan tanah sekalipun." ucap pak Gondo sambil menyeruput cerutunya . "Tak mungkin!" ucap Wina tak percaya. "Jadi, malam ini juga. Kau harus bersiap-siap untuk kuboyong ke rumahku." ucap pak Gondo dengan mata yang jelalatan dan lidah yang menjilati bibirnya. "Hah, kenapa? kenapa saya harus ikut dengan Anda?" tukas Wina berontak saat kedua Bodyguard itu mendekati Wina dan memegang kedua tangannya. "Untuk menjadi isteri kelimaku." ucap pak Gondo sambil membalikkan badan dan mengisyaratkan kode pada Bodyguardnya untuk membawa Wina masuk ke mobil. Wina berteriak minta tolong, namun apalah daya? para tetangga yang berjarak sekitar puluhan meter dari kediaman Wina meski mereka mendengar teriakan Wina sekalipun, mereka tak akan berani pada pak Gondo. Lagipula, malam ini hujan masih saja cukup deras, deruan guruh dan kilat bersahut-sahutan di angkasa. Menyamarkan teriakan Wina yang minta tolong. Wina segera disekap dan dimasukkan ke dalam mobil. Ia berkali-kali berontak, namun tiada berarti. Tubuh mungilnya semakin tampak ringkih saat kedua bodyguard itu duduk di sisi kiri dan kanannya di jok belakang. Mobil melaju di tengah gelapnya jalan desa, hanya beberapa penerangan lampu jalan yang dibangun dengan jarak cukup jauh satu sama lain. Menjadikan cahaya dari lampu mobil jeep itu seakan menembus pekatnya malam dengan hujan deras di sepanjang jalan. "Lepaskan saya, pak Gondo! saya tidak sudi dijadikan Istri Bapak! apalagi jadi yang kelima!" teriak Wina berontak. "Hahahaha! berontaklah sayang! semakin kau berontak dan teriak, libid0ku semakin memuncak! tidakkah ini menggair4hkan?!" ucap pak Gondo tertawa bersama para Bodyguardnya. Deru tawa di dalam mobil serempak meriuhkan suasana, namun tetap mencekam dan menakutkan bagi Wina. "Tidakkah saya lebih muda dari Putri-putri Anda, pak Gondo? apakah Anda tidak malu? dimana naluri Anda!" ucap Wina kembali membentak dengan lelehan air mata membasahi wajahnya. "Hahahahah! untuk sebuah selera dan hasrat, naluri bisa kukesampingkan dahulu. Yang jelas, sekarang aku akan melahap kembang desa kita ini sepuasnya! hahahahah!" sahut pak Gondo tertawa diiringi oleh para Bodyguardnya. "B4jing4n!" herdik Wina sembari menaikkan tangannya mencoba meraih kepala pak Gondo. "Hahahahah! teruskan Wina! teruskan! aku sangat menyukai kucing liar sepertimu! penuh emosi meluap-luap! Hahahaha! bukankah seharusnya kau bersyukur? kau kunikahi, bukan kuzin4hi. Ya, toh?!" ucap Pak Gondo kembali tertawa. Ngiiiiiiittt....! Tiba-tiba saja sebuah mobil offroad double cabin menyalip dan berhenti seketika memotong laju mobil milik pak Gondo, mobilpun spontan berhenti. "Si4lan! kur4ng aj4r! kau bisa menyetir tidak?!" bentak Pak Gondo pada Sopirnya. "Maaf, Tuan. Anu, di depan ada yang memotong jalan tiba-tiba." jawab Sopirnya gugup. "Siapa itu?! kau, keluar! coba cek!" perintah Pak Gondo pada salah seorang Bodyguardnya. "Siap, Pak!" jawabnya sembari membuka pintu mobil. Bodyguard bertubuh gempal dan tinggi itu melangkah mendekati mobil yang berhenti di depan. Mengetuk kaca jendela mobil dan menunggu orang yang ada di dalam agar keluar. Pintu mobil terbuka, dan tiga orang bertubuh besar keluar dari dalam mobil tampak bersiap menghadapi bodyguard pak Gondo. "Siapa kalian?!" tanya Bodyguard pak Gondo lantang. "Keluarkan gadis itu! biarkan kami membawanya." ucap salah seorang dari mereka. "Hah! apakah Kakek gadis itu juga memiliki hutang pada kalian?" selidik Bodyguard pak Gondo. "Tidak! tapi kami akan membayar hutang-hutang Kakek gadis itu seluruhnya hingga lunas. Berikan gadis itu pada kami!" ucap salah seorang dari mereka. "Hahahahah! apa? memangnya kalian siapa? Lembaga Sosial? tidak, tidak, tidak! aku tak butuh duit kalian! aku akan segera menikahi gadis ini malam ini!" ucap Pak Gondo yang tiba-tiba keluar dari Mobil. "Kalau begitu, Anda menginginkan kami melakukannya dengan kekerasan." ucap mereka dengan lantang. "Hajar mereka!" perintah pak Gondo pada Bodyguard-bodyguardnya sambil berbalik badan hendak masuk ke mobil. Namun, saat menyadari pintu mobil di sisinya terbuka, Wina segera mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri. Wina turun dari mobil dan menolak tubuh Pak Gondo yang hendak masuk ke dalam mobil. "Hey jal4ng! mau kabur kemana kau!" teriak pak Gondo yang sudah terduduk di tanah karena ditolak Wina. Wina berlari kencang, ia berharap bisa kabur dengan cepat. Namun, langkahnya tidaklah secepat itu. Sebuah suntikan berhasil mendarat di pundaknya. Suntikan yang ditembakkan oleh seorang Pria yang keluar dari dalam mobil offroad double cabin itu. Wina berhenti melangkah, ia memegang pundaknya. Sebuah jarum suntik tengah menyalurkan cairan bius ke dalam tubuhnya. Pandangan Wina seketika buram, kakinya lemas dan langsung terkulai ambruk. Demikian dengan kedua Bodyguard pak Gondo, dengan mudah dilumpuhkan oleh tiga orang bertubuh besar itu menggunakan tehnik professional, sedang pria yang menembakkan suntikan itu pada Wina, melangkah maju mendekati pak Gondo yang tampak gugup. "Si, siapa Anda?!" tanya Pak Gondo gugup. "Saya? hmm, seorang yang mengincar gadis itu. Tapi saya akan mengambilnya dengan adil." ucap Pria itu sambil mengisyaratkan kode pada salah seorang Bodyguardnya yang memegang sebuah koper kecil. Bodyguard itu langsung membawa koper kecil itu mendekat, ia kemudian membuka koper itu. Di dalam koper itu tersusun rapi tumpukan uang Seratus Ribuan Rupiah. "Hah, uang? untuk membeli gadis itu? hahahahah!" ucap Pak Gondo tertawa gugup. "Ck, bukan untuk membeli, bod0h! hutang Kakek gadis itu awalnya hanya dua puluh lima juta. Selama dua puluh dua tahun, hanya dicicil bunganya saja, sementara pangkal dan bunga yang alpa sebulan terus berkembang dan beranak pinak. Dan kini, sudah menjadi Dua Ratus Delapan Puluh Juta Rupiah. Ck, di koper ini ada Tiga Ratus Juta Rupiah. Ambil semuanya! dan jangan kau ganggu tanah dan rumah Kakeknya!" ucap Pria itu sembari menyodorkan koper itu pada Pak Gondo. Pak Gondo tampak bimbang. Satu sisi ia sudah lama mengincar Wina dan menunggunya menjadi dewasa seperti saat ini. Wina adalah kembang desa yang meski sudah berusia dua puluh dua tahun, tetap tampak bak remaja yang baru menginjak usia belasan tahun. Semerbak aroma penghantar kabar kecantikannya sudah sampai ke desa-desa sebelah. Wajah cantiknya sangat khas, mirip dengan aktris cantik dari Negara Turky Ozge Yagiz. Di sisi lain, ia tidak mungkin menolak uang senilai Tiga Ratus Juta kontan itu. "Bagaimana jika saya tidak bersedia?" tanya pak Gondo seolah melakukan negosiasi. "Maka, kau harus bersiap mati di sini saat ini juga." ucap Pria itu sembari merogoh saku di balik jaket hitamnya, dan mengambil sebuah senjata api berupa pistol. Pak Gondo langsung mendelik, ia mundur beberapa langkah. Bagaimanapun, ia hanyalah seorang Rentenir yang hanya memiliki power di desanya. Melihat lawannya saat ini, ia yakin, jika pria ini adalah seorang yang memiliki kuasa selevel dengan Mafia di Kota. "Ba, baiklah! persetan dengan gadis itu! se, serahkan uang itu padaku! dan bawa saja dia bersama kalian!" ucap Pak Gondo gugup. "Ck, aku sudah katakan sebelumnya, aku akan adil untuk meminta gadis itu darimu. Kenapa harus berbelit-belit begini?" ucap Pria itu seraya mengisyaratkan pada Bodyguardnya agar membawa Wina dan memasukkannya ke dalam mobil. "Apakah saya boleh tahu, Anda ini siapa? ke, kenapa Anda bahkan tahu tentang hutang-hutang Kakeknya gadis itu?" selidik Pak Gondo. _______________*** Wina dimasukkan ke dalam mobil, demikian Pria itu, tanpa menjawab pertanyaan Pak Gondo, ia segera berbalik badan dan melangkah menuju mobilnya. Pintu mobil dibuka oleh salah seorang Bodyguardnya, Pria itu segera naik, di sebelahnya Wina didudukkan tak sadarkan diri. "Ke, kenapa Anda tak menjawab? hey! siapa kalian?!" tanya Pak Gondo seraya melangkah berusaha mendekat ke mobil namun tampak ragu. Mobil offroad double cabin itu melaju kencang. Meninggalkan Pak Gondo sendirian di jalan dengan para Bodyguard dan Sopirnya yang terkapar akibat dihajar oleh Bodyguard pria itu tadi. "Akh! si4lan! siapa dia? kenapa aku merasa terintimidasi hanya dengan melihat matanya saja?!" gumam Pak Gondo kesal seraya menyapu wajahnya yang kuyup terkena hujan. Mobil offroad double cabin itu melaju kencang. Sekitar setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke jalan utama menuju Kota. Wina perlahan tersadar. Ia mendesis dan memegangi kepalanya yang sepertinya pusing karena efek bius. "Kau
*** Sekitar tengah malam, tepatnya pukul dua puluh tiga lewat empat puluh menit, Wina membuka matanya yang sudah tak lagi mengantuk. Ia pandangi sekitar, kembali ia mengernyitkan keningnya karena bingung dengan keadaan dimana dia berada sekarang. "Dimana ini? apa yang terjadi? bukankah tadi aku sedang makan?" gumam Wina bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian ia terlonjak, melihat kembali ke sekitarnya. "Dimana ini?! ini kamar siapa?" gumamnya kembali beranjak dari ranjang. Ia memperhatikan ranjang yang baru saja ia tiduri. Ranjang mewah yang berbalut seprai sutra nan lembut, selimut bulu yang hangat serta bantal empuk bermacam bentuk terpajang di sisi atas ranjang itu. Wina melangkah mundur menjauhi ranjang itu, tiba-tiba ia berhenti di depan stand mirror atau cermin besar yang berdiri dengan penyangga. Betapa terkejut Wina mendapati dirinya tengah mengenakan pakaian yang sama sekali bukan miliknya. Sehelai pakaian tidur menyerupai Lingerie berbahan sutra dengan bordir renda d
*** Tentu saja Wina ketakutan, ia mendelik dan memegang erat lilitan handuk putih yang hanya menutupi dada sampai pahanya. Ia menatap para Pelayan seolah mengiba agar mereka mengerti situasinya. Pelayan Senior melangkah mendekati pintu, itu membuat Wina kalang kabut, ia gugup dan berusaha mencegah Pelayan itu agar tidak membukakan pintu. Pelayan Senior itu mendekatkan wajahnya ke pintu, "Nona Wina sedang berpakaian, Tuan. Silahkan menunggu sebentar lagi." ucap Pelayan itu di dekat pintu tanpa membuka pintu. Orang yang ada di balik pintu hanya mendehem, dan selanjutnya tidak ada jawaban sama sekali. Hanya suara derap langkah yang perlahan menjauh. Wina langsung lemas dan menghembuskan nafasnya lega. "Bagaimana kau tahu kalau itu adalah tuan Darius?" tanya Wina pada Pelayan itu. "Aku sudah bekerja di sini selama puluhan tahun, dan aku sangat hapal derap langkah dan ketukan pintu dari tuan Darius." ucap Pelayan senior sembari terus melangkah dan membuka pintu ruang ganti. Pintu
*** Darius seketika melepas cengkramannya dari pinggang Wina. Wina sontak melangkah mundur menjauhi Darius yang seperti sedang kesetanan. "Maaf! aku hilang kendali." ucap Darius kemudian. "Apa yang Anda lakukan?! apakah maksud Anda menghadirkan saya di sini, hanya sekedar untuk melepaskan rasa rindu Anda pada Isteri Anda?! Hah! konyol sekali!" dengus Wina kesal. "Tidak! baiklah. Maafkan aku karena penyambutanku tidak sopan. Bagaimana kalau kita bicarakan dengan duduk bersama di sini." ucap Darius sembari menarik kursi untuk Wina. Wina menggeleng, namun ia tak punya pilihan. Masih jelas ingatannya saat Darius kehilangan kendali akan dirinya, Wina sempat melihat sorot mata Darius yang menyeramkan, sorot mata arogan dan beringas. Wina menelan ludah berkali-kali. Namun ia tetap berusaha melangkah mendekati kursi yang ditawarkan oleh Darius, sembari memandang ke arah Darius dengan waspada. "Aku berjanji tidak akan mengulangi tindakanku tadi! duduklah!" pinta Darius mendadak lemb
***"Tuan, apa yang Anda lakukan?! saya bukan Isteri Anda, Tuan!" ucap Wina berontak.Namun seperti kesetanan, Darius tak memperdulikan ucapan Wina. Ia malah naik ke atas tempat tidur, mengangkangi Wina dan buru-buru melepaskan kemeja putihnya. Kemeja itu ia lemparkan sembarang saja ke lantai. Kini Darius telah bertelanjang dada, tubuh atletis berbulu itu kini terpampang nyata di hadapan Wina. Wina mendelik, ia tak percaya dengan apa yang akan dilakukan oleh Darius setelah ini. Jantung Wina seakan hendak jatuh, darahnya berdesir kencang."Tuan, tolong jangan lakukan apapun lagi! jangan ambil kesucian saya, Tuan." isak Wina kini mulai menangis.Darius mulai merangkak di atas tubuh Wina. Ia mendekatkan wajahnya di atas wajah Wina. Nafas Darius terdengar memburu, ia mendengus menghirup udara dari leher jenjang Wina."Bagaimana bisa kau seidentik ini dengan dia? bahkan aroma khas tubuhmu juga sama." ucap Darius dengan nafas memburu.
***Sementara di dalam kamar mandi,Tubuh Wina gemetar menahan risih karena mulutnya dibekap oleh Darius. Kerisihan Wina semakin jadi, karena Darius menempelkan tubuhnya dari belakang tubuh Wina dalam keadaan sama sekali tak mengenakan pakaian. Ia telanjang dan basah, dikarenakan saat Wina memasuki kamar mandi, Darius sedang mandi di bawah shower dan langsung menangkap tubuh Wina saat berteriak tadi.Wina mencakar lengan Darius yang masih kokoh membekap mulutnya. Sontak Darius melepaskan tangannya. Lagipula, para Pelayan tampaknya sudah pergi dari kamar."Tolong! kenakanlah handuk segera, Tuan!" ucap Wina menutup matanya."Kenapa? lagipula kau sudah melihatnya!" ucap Darius santai melangkah menuju shower."Kalau begitu, mandilah segera! aku akan keluar." ucap Wina langsung melangkah menuju pintu keluar.Namun Darius yang melihat Wina sudah sampai ke pintu, langsung meloncat dan melangkah lebar mendekati Wina."K
***Wina langsung syok mendengar pertanyaan Darius yang ia anggap terlalu vulgar dan tak etis. Ia tolak sekuat tenaga daun pintu, dan pintu berhasil ia tutup rapat.Darius yang melihat ekspresi terkejut dan salah tingkah dari Wina langsung tersenyum sinis melangkah menjauhi pintu kamar mandi. Sepertinya ia berhasil memainkan perasaan gadis muda itu dengan sukses.Sementara Wina menyandarkan tubuhnya di balik pintu dengan tangan mengepal dan wajah yang panas dan memerah."Apa-apaan Pria tua itu? bukankah usianya sudah kepala empat? mengapa dia malah bertingkah seperti remaja pubertas? apakah dia memiliki dua kepribadian? berbeda sekali dengan dia yang kukenal beberapa waktu lalu." gerutu Wina menyisir rambutnya dengan jemarinya dari dahinya ke belakang.***Siang menjelang sore, pintu kamar diketuk,Tok, tok, tok!Wina mendongak dari kebosanannya di ranjang. Sehari semalam ia terkurung di dalam kamar, tanpa teman
"Revan, bolehkah aku bertanya yang lebih serius?" "Apa itu?" "Andrea meninggal karena apa?" tanya Wina menatap wajah Revan. "Ah, beliau meninggal karena over dosis obat tidur. Setahun yang lalu kasus meninggalnya Nyonya Andrea sempat Viral di media. Namun, dengan kekuasaan yang dimiliki tuan Darius, berita itu bisa lenyap dalam waktu seminggu." "Kekuasaan? bukankah yang kaya itu Andrea?" selidik Wina penasaran. "Ya! tetapi tuan Dariuslah yang memegang tampuk kekuasaan di Perusahaan milik keluarga Mahesa. Nyonya Andrea hanya pemegang hak waris tunggal atas semua aset dan harta kempemilikan atas nama tuan Mahesa." "Ah, aku pernah dengar istilah CEO dan Presdir di drama-drama Korea. Apakah seperti itu?" "Ya, seperti itu." ucap Revan tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang membuat jantung Wina kembali berdebar kencang. "Kenapa mereka bisa menikah?" "Aku belum diizinkan untuk menceritakan ini padamu. Namun, secepatnya kau pasti akan diberitahu." "Dan kau, bagaimana
***Wina terbangun dari tidurnya pukul dua siang. Ia terlonjak dan langsung melihat ke arah jam dinding. Cuaca di luar masih saja mendung, padahal hari sudah menjelang sore.Wina berjalan menuju balkon, ia regangkan seluruh tubuhnya yang sudah cukup istirahat. Membayangkan seharian perjalanan menegangkan lintas pulau bersama Darius, sangat menguras energi, emosi dan fikiran.Wina melihat ke bawah balkon, tampak di bawah sebuah pohon kelengkeng yang sudah tua, Darius sedang duduk di sebuah bangku taman, sedang menikmati secangkir teh dan fokus ke sebuah tablet di tangannya."Dia sedang apa? apa dia tidak ke Kantor hari ini? ah, dia masih punya satu hari sisa cuti." gumam Wina memperhatikan.Wina menyandarkan tubuhnya di atas railing balkon, menatap fokus pada Darius yang tampak fokus ke gawainya."Kalau lagi diam dan tenang seperti itu, kharisma dan ketampanannya terasa tumpah ruah. Kenapa dia begitu tampan?"Kembali Wina
***Tahun Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh.Darius waktu itu berusia delapan tahun. Ia adalah anak kandung dari Rudi, Sopir pribadi Mahesa.Mahesa sendiri waktu itu berusia sekitar empat puluh lima tahun, sebaya dengan Ayah kandung Darius yaitu Rudi. Namun tuan Mahesa belum memiliki anak sama sekali, meski sudah memiliki beberapa orang Isteri.Di usianya yang sudah berkepala empat, Isteri tuan Mahesa entah bagaimana, menginginkan Darius untuk ia adopsi menjadi anaknya. Ia tiba-tiba merasakan kasih sayang yang begitu besar pada Darius kecil. Ia kerap membawa Darius kemana-mana, menjadi teman tidur dan makannya, hingga Darius kerap ia jemput dari Sekolah. Karena keakraban dan kekeluargaan yang dirasakan oleh Rudi terhadap keluarga Mahesa, Rudi pun menyetujui keinginan Isteri Mahesa tersebut."Aku berjanji Rudi, aku akan memberikan yang terbaik untuk anakmu. Memberikannya pendidikan yang tinggi dan segala fasilitas yang ia butuhkan." jan
***Darius menatap mata Wina, melihat mata berkaca-kaca itu yang diselimuti kemarahan."Katakan padaku, Wina! apa yang kau rasakan saat berdua saja bersamaku di Pulau itu?" ucap Darius menatap mata Wina tajam."Tuan, lepaskan aku! kau menyakitiku. Rambutku bahkan kau genggam sangat kuat!" rintih Wina memohon.Darius seakan tersadar akan genggaman tangannya yang menjambak rambut Wina hingga kepalanya tertarik dan wajahnya mendongak."Ah! maafkan aku! aku benar-benar melakukannya tanpa sadar!" ucap Darius melepas genggamannya dan melihat ke arah tangan yang menjambak tadi seolah tangan itu memiliki kendalinya sendiri.Wina langsung terlepas dari genggaman Darius, ia mundur beberapa langkah dan memegang rambutnya serta kepalanya yang sakit."Tidak sadar?! mengapa Anda selalu mengatakan demikian saat menyakitiku, Tuan?" bentak Wina marah."Wina..." Darius mencoba mendekat,"Jangan mendekat! dan tolong janga
***"Aku lupa mengisi bensinnya waktu kita kesini, dan sekarang bensinnya benar-benar kandas."Wina hanya bisa menelan ludah mendapati kenyataan saat ini. Suasana yang sudah larut malam, berdua saja di Dermaga, perut kosong dan mata mengantuk."Anda masih mengantongi ponsel kan? apakah tidak ada orang yang bisa dihubungi? semisal Revan.""Kenapa yang ada di fikiranmu pertama kali malah Pemuda itu? kalau ponselku tidak mati, tentu aku sudah memikirkan menelfon taksi online terlebih dahulu. Minimal Ojol." ketus Darius pada Wina.Darius mengitari sekitar, ia memicingkan matanya kemudian perlahan tampak tersenyum girang. Ia kemudian berlari ke suatu tempat."Kau tunggulah di sini! jangan kemana-mana!"Wina melihat Darius berlari ke sebuah Ruko yang sudah tutup. Wina bingung, mau apa Darius ke Ruko itu? namun ternyata Darius tidak menuju Ruko itu, melainkan ke sebuah bangunan kecil di sebelahnya. Sebuah telefon umum. Setelah
***Jeki menatap wajah merah padam Darius dengan bingung. Mencari jawaban lewat mata tajam Darius. Ia baru mengerti bahwa ada yang salah dari pengucapannya saat melihat semua orang yang ada di rumah itu marah dan berseru agar menghukum Darius dan Wina karena telah melakukan tindakan asusila yang dianggap mencemari Desa mereka."Tu, tunggu! ini sebenarnya ada apa?" tanya Jeki dengan suara meninggi sembari mengedarkan pandangannya ke semua orang."Jeki, Tuanmu ini telah melakukan perzinahan di rumah ini dengan wanita ini. Ibumu sendiri adalah saksinya." ucap salah seorang Warga."Ha? ba, bagaimana mungkin, Tuan? bu, bukankah dia Adik Ipar Anda?" tanya Jeki tampak kecewa.Darius terdiam, menunduk dan mengalihkan pandangannya dengan mendengus kesal."Lagipula, kenapa mereka bisa diizinkan menginap di Villa tanpa adanya pengecekan kalau mereka ternyata bukan Suami Isteri? bukankah biasanya seperti itu?" tanya salah seorang Tokoh Masyarakat."Saya yang salah." ucap Jeki lemas."Kenapa kau m
***Pria yang tadi mengemudikan kapal dan mengantar mereka sampai ke Villa, datang membawa sampan kayu dan berteriak memanggil sambil terus mengayuh ke arah Darius dan Wina."Ah, di saat genting begini. Tuhan memberikan pertolongannya!" ucap Wina sumringah.Darius melambaikan tangan, menuntun Wina untuk segera menuruni jalan bukit."Hati-hati, Tuan, Nona!" ucap pria itu membantu mereka berdua menaiki sampan.Sampan dikayuh secepat mungkin ke Pemukiman yang datarannya lebih tinggi. Hujan masih saja deras, angin tetap dengan terpaannya, sementara petir sudah mengurangi intensitasnya.Sampailah Darius dan Wina ke salah satu rumah warga, sebuah rumah panggung."Naiklah, Tuan, Nona! ini adalah Rumah saya." ucap Pria itu sambil membantu Darius dan Wina menaiki tangga kayu rumah itu.Setelah Darius dan Wina sampai ke lantai rumah, Darius bertanya pada pria itu."Kau datang untuk kami, Jeki?" Darius akhirnya menyebut nama Pria itu."Iya, Tuan! saya khawatir. Terlebih saat melihat hantaman pet
***Darius dan Wina menyusuri jalan berbatu di tengah-tengah Pemukiman itu. Orang-orang tampak memperhatikan kedatangan mereka, sementara Darius tampak santai dan tersenyum ramah menyapa penduduk yang berpapasan satu per satu."Apakah Anda dikenal di sini, Tuan?""Tidak juga, namun aku yakin mereka tahu kalau kita berasal dari Kota dan datang ke sini untuk sekedar berwisata. Dan tujuan kita adalah Villa di atas bukit sana." ucap Darius sambil menunjuk sebuah bukit."Mereka tahu siapa pemilik Villa itu?""Mungkin ya, mungkin juga tidak. Hanya saja, aku kerap menyewakan Villa itu untuk para Pengunjung dari luar.""Ah, berarti di Villa itu bukan hanya kita berdua, kan? ada berapa Pengunjung kira-kira hari ini, Tuan?" tanya Wina sumringah.Darius menghentikan langkahnya, menoleh pada Wina."Ada dua orang." ucap Darius menatap mata Wina."Oh, baguslah! berarti ada empat orang sekarang! aku perlu mempersiapkan diri untuk berkenalan lagi dengan orang baru." ucap Wina antusias."Empat orang?"
***Wina masih bengong sepeninggalan Darius, ia tidak mengerti apa yang diucapkan Darius baru saja. Namun, ia tetap tahu diri, Darius memintanya untuk segera berkemas diri, maka Wina segera beranjak dari ranjangnya dan meloncat menuju kamar mandi.Setelah selesai mandi, Wina mendapati para Pelayan tanpa Bibi Noni sedang mengemasi pakaian untuk dimasukkan ke dalam koper di atas ranjangnya."Ada apa ini?" tanya Wina penasaran."Nona, segeralah berpakaian! tuan Darius sedang menunggu Anda di bawah.""Memangnya kami akan pergi kemana? kok pakaian saya dan pakaian tuan Darius dikemas dalam koper?""Kami tidak tahu, Nona." ucap salah satu Pelayan sambil terus memasukkan pakaian ke dalam koper.Wina segera masuk ke dalam ruang ganti dengan bingung.Saat turun dari tangga, ia dapati Darius sedang duduk dan Revan ada di sisinya sedang berdiri. Darius tampak sedang melihat jam tangannya, dan saat menyadari Wina tengah tur
***Wina berlari kecil menuju lapangan golf. Ia girang sambil meloncat-loncat kecil. Bayangan di benaknya bahwa ia dan Revan akan belajar bermain golf. Revan akan memeluknya dari belakang, memegang tangannya yang sedang menggenggam stick golf, seperti yang pernah ia tonton di beberapa adegan dalam drama favoritnya."Kupikir kau sampai lebih cepat, ternyata memakan waktu sepuluh menit untuk sampai ke sini." sapa Revan padanya dengan senyuman yang memamerkan lesung pipi di balik pipi berbulu tipisnya."Ah, kau tentu saja tahu, bahwa aku harus melewati satu Pos Penjaga dahulu sebelum sampai ke sini.""Hahaha, apakah itu Bibi Noni?""Yaa! sudahlah! kenapa kau memanggilku?""Mmmm, tidak ada! hanya butuh teman.""Wah, kau sedang main-main dengan Sandera tuan Darius.""Hahaha, tentu saja tidak! aku tak berani untuk itu. Belajar golf! kau mau?" tanya Revan sambil mengayunkan tongkat sticknya."Oke! siapa takut?