"Sial. Kalau aku di sini saja, aku tidak akan tahu apa yang sedang mereka bicarakan," ucap Dewa. Namun, ia tidak memiliki celah untuk mendekat karena tidak ada satu pun penghalang di depan minimarket itu yang bisa melindunginya. Sehingga Dewa memilih meninggalkan minimarket itu lalu kembali ke rumah kontrakan mereka."Cepat sekali kau pulang!" ucap Glenn begitu ia melihat Dewa masuk.Dewa menjawab, "Tidak ada yang menarik di sekitar sini."Glenn menanggapi, "Kau pikir ini lokasi tempat wisata sehingga kau bisa menikmati keindahannya?"Pria yang baru saja melepas topi baseball-nya itu menyeringai lebar, "Yah, siapa tahu ada taman kota yang cukup bagus kan?"Glenn Brawijaya hanya menggelengkan kepalanya, tak percaya atas apa yang dipikirkan oleh temannya itu.Tiba-tiba saja ia bertanya, "Glenn, sejak kapan kau mengenal Fero?"Glenn menatap aneh ke arah Dewa, "Kenapa kau bertanya soal itu?"Dewa mengangkat bahunya, "Hanya ingin tahu. Kau terlihat sangat mempercayainya.""Oh, begitu. Dia
"Kenapa kau melakukannya?" tanya Glenn, menatap Fero tajam."Melakukan apa, Tuan Muda?" Fero bertanya balik.Glenn mengertakkan gigi, terlihat sekali menahan kesal. "Jangan berbelit, Fer. Kau tahu betul apa yang aku maksud."Fero menatap ke arah sang tuan dan berkata pelan, "Tuan Muda, Dewa jelas tidak sejalan dengan kita. Kita akan kesulitan jika tetap bersamanya."Glenn hampir akan membalas tapi Fero mendahuluinya dengan berkata, "Semuanya demi keselamatan Anda, Tuan Muda. Semoga Anda mengerti. Saya melakukan semuanya demi Anda." Pria itu pun terdiam dan malah berpikir lebih keras. Kecurigaan mulai menghinggapinya sekarang. Begitu banyak hal yang membuatnya menaruh curiga pada asisten pribadinya itu. Namun, ia tidak akan langsung mengkonfrontasi Fero secara langsung dan akan memendamnya terlebih dulu. "Kau benar. Kau benar," ucap Glenn kemudian.Fero mendesah lega, begitu senang Glenn setuju dengannya. "Saya harap Anda tidak lagi membicarakan masalah Dewa, Tuan Muda. Lebih baik, k
"Berani sekali kau melakukan ini!" ujar Glenn dingin.Jelas-jelas ia melihat Fero dengan tenang dan santai berjalan ke luar. Beberapa orang yang memiliki pistol itu bahkan tidak menyerangnya. "Brengsek!" ujar Glenn sambil menendang kayu.Sayangnya hal itu berhasil membuat salah satu penjahat bertopeng hitam itu tertarik dan langsung mengacungkan senjata pada Glenn yang bersembunyi di balik meja besar."Siapa di situ?" ujar orang itu.Glenn kembali menahan diri agar tetap diam, meskipun saat ini kemarahan sedang menguasainya.Tiba-tiba saja ia mendengar beberapa orang mendekat dan berbicara."Apa mungkin dia tidak ada di sini?" tanya orang pertama."Tidak mungkin. Asisten pribadinya sudah mengatakan Glenn ada di sini," sahut orang kedua.Orang pertama menjawab lagi, "Tapi aku tidak menemukannya. Sudah aku cari tapi dia tak ada. Apa dia sedang bersembunyi?""Atau jangan-jangan dia telah menipu kita? Si Fero sialan itu. Dia memberi informasi palsu pada kita. Hah, sudah aku duga. Dia itu
"Heh, tunggu dulu!" teriak salah seorang yang termasuk ke dalam kelompok yang tidak dikenal oleh Glenn tersebut.Glenn tidak ingin menimbulkan kecuriaan di mata orang-orang itu, sehingga ia memilih berhenti berjalan. Ia tidak memutar badannya dan tetap menghadap ke depan."Angkat tangan!" ujar orang yang berdiri tepat di belakang Glenn dan menodongkan pistol di bagian belakang kepala Glenn.Glenn menurut dan orang itu pun memutar badan Glenn, memeriksa wajah Glenn dan terlihat sedikit curiga. Kenapa dia tampak mirip dengan foto Glenn Brawijaya? batin orang itu.Glenn mulai bersikap waspada dan bersiap-siap untuk berkelahi jika itu memang diperlukan. Sorot mata orang itu jelas sekali menunjukkan kecurigaan.Orang itu kembali berbicara dengan suara berat, "Tunggu di sini dan jangan ke mana-mana!"Orang bertubuh tidak lebih tinggi dari Glenn baru saja berbalik tapi tiba-tiba seseorang muncul dari balik tembok. Si penanya tadi mengacungkan senjatanya pada orang itu tapi orang dengan jake
"Astaga, Glenn. Masa begini saja kau tidak tahu sih? Lambat sekali kau berpikir!" sahut Dewa sambil menyeringai samar. Ia sengaja memancing kekesalan Glenn. Baginya, hal itu cukup menghibur dirinya.Glenn mendengus keras, sangat kesal sekali. Astaga, kalau saja Dewa bukan orang yang menyelamatkannya, ia pasti akan mencekik Dewa saat itu juga."Aku memang tidak tahu!" ucap Glenn sambil mengertakkan giginya lantaran menaha amarah.Dewa mendecakkan lidah, "Oh, my God. Oke, baiklah. Jadi, begini. Narendra itu orang yang terkesan tergesa-gesa dan tidak peduli jika kejahatannya diekspos sekali pun. Dia begitu tenang dan tidak terlalu memiliki banyak taktik."Glenn menganggukkan kepalanya, setuju dengan ucapan Dewa.Dewa melanjutkan, "Tapi orang yang satu ini terlihat penuh perhitungan. Lihatlah dirimu tadi yang memakai pakaian serba hitam itu. Kan itu menunjukkan dirimu yang sebenarnya. Orang itu mengatur segalanya sedemikian rupa, hingga kita tidak sadar, Glenn. Paham kan?"Pria muda yang
"Nanti kau akan tahu," jawab Dewa misterius.Karena merasa jika Dewa tak mungkin mau memberinya jawaban, Glenn pun memutuskan untuk tidak lagi bertanya apapun pada seseorang yang telah ia anggap sebagai seorang sahabat itu.Meskipun begitu banyak pertanyaan yang mengganggu pikirannya, Glenn tetap berdiam diri dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun hingga mereka tiba di salah satu ibu kota propinsi di Indonesia. Sebuah kota besar yang baru pertama kali ia datangi, Surabaya."Surabaya?" tanya Glenn heran.Dewa mengangguk, "Ya. Tapi bukan kota ini yang menjadi tujuan kita.""Lalu mana?""Malang," jawab Dewa."Malang?" ulang Glenn.Dewa hanya tersenyum misterius, semakin membuat Glenn penasaran. Setelah sampai di terminal itu, Dewa membawa Glenn untuk berpindah bis yang akan mengantar mereka ke kota tujuan itu."Ayo, Glenn!" ajak Dewa.Glenn masuk ke dalam bis itu dan menunggu sambil mulai bertanya-tanya akan tempat seperti apa yang mereka tuju itu. Setelah sekitar hampir tiga jam berada
"Jangan terlalu kaku begitu, Bu Ana. Oh, iya ini Glenn, sahabat yang aku ceritakan waktu itu," ucap Dewa.Ana menoleh pada Glenn dan tersenyum lalu berkata, "Selamat datang di kediaman Pak Dewa, Pak Glenn."Glenn mengangguk dengan kaku. "Apa kau sudah siapkan apa yang aku minta?" tanya Dewa."Sudah, Pak."Dewa mengangguk senang, "Kalau begitu kau boleh pergi.""Baik, Pak."Sepeninggal Ana, Dewa mengajak Glenn masuk ke dalam sebuah ruang santai yang terletak terpisah dari bangunan utama. Dewa membaringkan badannya ke atas sofa empuk dan berkata, "Oke, aku siap menjawab pertanyaanmu sekarang. Bertanyalah sesukamu!""Siapa kau sebenarnya?""Dewa Airlangga."Airlangga? Sebuah nama asing yang Glenn dengar."Itu nama belakang keluargamu?" tanya Glenn sambil mengernyitkan dahi."Ya, begitulah."Glenn mencoba mengingat-ingat, mencari tahu nama itu di dalam memorinya. Ia jelas tahu nama-nama keluarga pengusaha besar yang cukup tersohor meskipun belum tentu pernah berinteraksi. Namun, setelah
"Tentu saja untuk mencari kesenangan," jawab Dewa.Glenn memutar bola matanya malas dan masih menunggu Dewa melanjutkan kata-katanya. Sadar, ia sedang ditunggu oleh Glenn, Dewa berujar pelan, "Aku tidak sengaja bertemu denganmu. Dan aku bahkan tidak mengenalmu sama sekali, Glenn."Glenn menyipitkan matanya, memandang Dewa dengan begitu teliti hingga akhirnya ia sadar bahwa temannya itu tidak sedang berbohong. Glenn berujar, "Baiklah, sudah cukup.""Hanya itu?" tanya Dewa heran."Ya, lain kali aku akan bertanya. Omong-omong di mana kamarku?""Hm, di sana.""Antar aku ke sana. Aku mau mengistirahatkan badanku yang mau rontok ini rasanya."Dewa mencibir, "Hm, ternyata kau tidak sekuat yang aku pikirkan.""Jangan banyak omong, Dewa Airlangga!" ujar Glenn malas."Siap, Glenn Brawijaya!" balas Dewa tak kalah malas.***"Kau yakin sudah mencari dengan benar, Damar?" tanya Alexander di dalam ruangannya di Barata Inc."Sudah, Tuan Alex. Saya sudah mengerahkan anak buah saya ke seluruh wilayah