"Sesungguhnya saya tidak ingin berharap hal itu terjadi. Tapi jika memang itu yang terjadi maka yang bisa saya lakukan ya menggelar pemakaman untuknya serta mendoakannya," ucap Narendra yang menampilkan ekspresi sedihnya.Seseorang tiba-tiba datang menyelanya, "Maaf, sudah cukup wawancaranya. Pak Narendra sedang terburu-buru. Tolong, beri jalan!"Beberapa wartawan itu pun mundur agar tidak menghalangi Narendra melangkah menjauh dari tempat itu.Narendra mengangguk ramah pada wartawan dan kemudian berjalan menuju mobilnya dengan diikuti oleh para pengawal yang menjaganya.Begitu kaca mobil itu ditutup sepenuhnya, ia mengeluh, "Sial. Pertanyaan itu cukup menggangguku.""Tapi Anda melakukannya dengan sangat baik, Pak," ucap Stefanie, sekretaris barunya yang baru saja ia pekerjaan beberapa hari yang lalu."Ya, ya. Berkat naskah yang kau tuliskan, Stef. Kalau tidak, aku tidak yakin bisa menjawabnya sebaik itu," sahut Narendra."Oh, Anda terlalu memuji saya, Pak. Saya hanya mencoba melakuka
"Tenang saja, Glenn! Tidak masalah," kata Dewa dengan begitu santainya.Glenn membalas dengan menatap jengkel ke arah Dewa, "Tidak masalah bagaimana?""Ya pokoknya tidak masalah, Glenn. Semuanya akan baik-baik saja."Glenn tidak mempercayainya. "Tapi, aku tidak yakin. Narendra itu licik. Meskipun kedatangan kalian untuk meyakinkan dia jika aku memang mati, aku takut jika dia tidak akan melepaskan kalian berdua."Dewa menyamar, "Kau terlalu mengkhawatirkan kami, Glenn. Tapi sungguh, itu sama sekali tidak perlu.""Jangan bodoh, Dewa! Aku tidak mau ambil resiko," ucap Glenn kesal.Fero berujar dengan nada serius, "Tuan Muda, saya tahu Anda mencemaskan kami tapi Anda tidak perlu khawatir. Semuanya akan terkontrol dengan baik. Kami hanya akan datang di sana sebentar, sekedar menyetorkan wajah kami. Hanya untuk membuat si brengsek betul-betul percaya jika kamu begitu kehilangan Anda. Setelah itu kami akan pergi."Glenn tetap tidak setuju. Ia memiliki firasat buruk dan tidak ingin lagi harus
"Tidak usah. Ini rahasia antara kita berdua, Ren. Orang lain tidak perlu tahu," ucap Satria tegas.Mau tidak mau, Narendra menurut. "Baiklah, aku akan merahasiakannya.""Ya. Lebih baik, kau segera memulai membicarakan masalah pemakaman Glenn itu," ujar Satria."Baik, Ayah."Narendra pun segera meminta sekretaris pribadinya yang sangat ia andalkan untuk mengatur segalanya. Acara pemakaman itu akan digelar secara terbuka sesuai keinginan Narendra.Ia sengaja melakukannya lantaran ingin mengetahui sejauh mana orang-orang yang masih mengingat Glenn ataupun berada di pihak saudara sepupu angkatnya itu. Ya, kini setelah ia mengetahui rahasia yang sebenarnya, ia malah semakin merasa tenang. Sedikit perasaan bersalah yang sempat mengganggu dirinya pun telah benar-benar sirna. Kini yang tertinggal hanyalah rasa puas dan aman usai Glenn tidak ada di dunia lagi.Pemakaman itu digelar pukul sepuluh pagi. Mereka akan menunggu jenazah Glenn dikirim dari rumah sakit, tempat di mana jasad itu diauto
"Untuk apa aku membunuhnya, Arnold?" tanya Narendra dengan masih tersenyum menyeramkan.Arnold tidak bodoh, tentu saja ia paham akan apa yang mungkin akan dilakukan sang kakak. "Kau pikir aku tidak tahu? Dari tatapan matamu saja sudah jelas sekali kau memiliki niat buruk terhadap orang itu."Narendra hanya tertawa menanggapi perkataan adiknya. "Glenn sudah tidak ada, apa gunanya mengusik orang-orang yang pernah dekat dengannya, Mas?"Pria yang saat ini amat sangat senang itu menoleh, "Tenang saja. Aku tidak berencana sampai membunuhnya, Adik Kecil. Aku hanya ingin sedikit bermain-main saja dengannya."Jantung Arnold mencelos, seketika benar-benar sangat khawatir pada keselamatan Alexander Barata.Saat Alexander mendekat, Arnold memilih menyingkir lantaran tak ingin mendengar ocehan sang kakak yang mungkin akan membuatnya ingin muntah.Narendra memasang senyum ramahnya pada Alexander. "Pak Barata.""Alex. Anda bisa memanggil saya begitu. Bukankah kemarin kita sudah akrab?" ujar Alexan
"Aku tidak tahu, aku tidak bisa menjawab jika soal itu. Tapi, aku memiliki bukti yang mungkin bisa membuktikan perkataanku jika Glenn kemungkinan masih hidup."Alexander tertawa terbahak-bahak tapi segera mereda begitu ia melihat beberapa orang tengah menatapnya dengan raut wajah aneh. Mungkin di benak mereka Alexander Barata adalah orang gila yang tertawa di acara pemakaman. "Apa yang kau sedang tertawakan? Yang gila di sini sebenarnya aku atau kau?" ujar Arnold jengkel.Ia menatap aneh pria elegan itu, luar biasa kesal.Pria yang memang memiliki hubungan dekat Glenn itu melirik ke arah Narendra yang terlihat sedang sibuk. Tanpa menunggu persetujuan dari Alexander, Arnold pun menyeret Alexander ke sebuah kamar kosong yang kebetulan bebas CCTV. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Alexander sambil melotot kaget, takut jika mereka akan ketahuan."Terpaksa."Alexander mendelik, "Bagaimana jika Narendra tahu?""Aku jamin dia tidak akan tahu. Ia sedang asyik berakting sedih," ujar Arnol
"Siapa yang tahu apa niatnya?" ucap Arnold pada akhirnya.Alexander tersenyum mengejek, "Berhentilah berbicara omong kosong semacam itu."Arnold menghela napas jengkel, "Ini bukan sekedar omong kosong, Alexander Barata.""Lalu apa? Apa yang sedari tadi kau bicarakan itu sama sekali tidak dekat sedikitpun dengan kebenaran," ucap Alexander masih tidak mau banyak berharap.Kini giliran Arnold Brawijaya yang tertawa. "Oh, aku tahu sekarang. Kau itu hanya takut kecewa saja kan?""Terserah apa katamu!" balas Alexander yang mulai membuka pintu ruangan itu.Arnold kembali berbicara, "Ah, oke. Aku mulai paham dan yakin."Alexander tidak berhenti tapi masih memasang telinganya baik-baik. "Kau itu malah takut jika ternyata Glenn benar-benar masih hidup. Kau takut dia mengira kau itu tidak bisa membantunya. Iya, kan?"Gigi Alexander bergemeletuk hebat lantaran begitu murka. Ia membalas singkat, "Terserah!"Ucapannya singkat tapi terdengar tegas dan dingin. Tapi Arnold paham jika Alexander memang
"Bunuh Alexander Barata!" ucap Narendra sambil tersenyum dingin.Sang pemuda yang bernama Setya itu menjawab dengan terbata-bata, "Mem-bunuh, Tuan?""Ya. Bagaimana? Kau sanggup melakukannya?" tanya Alexander dengan tatapan yang cukup mengintimidasi.Setya meneguk salivanya dalam-dalam. Ia bahkan membasahi bibirnya dengan air liurnya karena luar biasa gugup.Ia baru saja bergabung selama tiga bulan lamanya di Keluarga Brawijaya dan ia belum pernah diperintah untuk membunuh seseorang. Meski ia tahu suatu saat ia akan diminta untuk menghabisi nyawa seseorang, ia tidak mengira jika itu adalah Alexander Barata. Ia benar-benar tidak pernah menduganya.Dengan raut wajah yang terlihat begitu pias, ia membalas, "Tapi kenapa dia, Tuan Muda?"Narendra mengembuskan napasnya malas, sementara Andri mendecakkan lidah dengan tidak sabar. Pria itu berkata dengan ekspresi jengkel, "Kau tidak memiliki hak untuk bertanya, Setya. Tugasmu itu hanya membunuh orang yang diperintahkan kepadamu.""T-tapi Tua
"Ti-tidak, Tuan. Tentu saja saya tidak mungkin berani," ucap Andri.Narendra mengangguk, "Yah, bagus. Kau salah satu anak buah terbaikku, jadi jangan coba mengecewakan aku. Kau mengerti kan?""Mengerti, Tuan Muda," jawab Andri yang kemudian meminta izin untuk undur diri.Dia berpikir sejenak tapi kemudian memutuskan untuk tidak peduli pada rekan kerjanya itu, "Persetan. Lebih baik kulindungi nyawaku sendiri."Beberapa hari kemudian, Setya yang mendapatkan tugas itu pun telah merencanakan semua skenario terbaik yang bisa ia miliki. Sebelum ia berangkat, Narendra secara tiba-tiba menghampirinya dan berkata, "Semoga berhasil. Akan ada hadiah besar yang akan menunggumu di sini jika kau berhasil membunuhnya.""Iya, Tuan Muda."Setya menjawab patuh dan terlihat begitu siap mengerjakannya."Saya berangkat sekarang, Tuan Muda," pamit Setya pada sang tuan muda dan juga beberapa kawannya yang lain."Jangan coba-coba kabur! Kami memasang pelacak di mobilmu. Kami akan tahu jika kau melakukan sesu