"Aku tidak tahu, aku tidak bisa menjawab jika soal itu. Tapi, aku memiliki bukti yang mungkin bisa membuktikan perkataanku jika Glenn kemungkinan masih hidup."Alexander tertawa terbahak-bahak tapi segera mereda begitu ia melihat beberapa orang tengah menatapnya dengan raut wajah aneh. Mungkin di benak mereka Alexander Barata adalah orang gila yang tertawa di acara pemakaman. "Apa yang kau sedang tertawakan? Yang gila di sini sebenarnya aku atau kau?" ujar Arnold jengkel.Ia menatap aneh pria elegan itu, luar biasa kesal.Pria yang memang memiliki hubungan dekat Glenn itu melirik ke arah Narendra yang terlihat sedang sibuk. Tanpa menunggu persetujuan dari Alexander, Arnold pun menyeret Alexander ke sebuah kamar kosong yang kebetulan bebas CCTV. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Alexander sambil melotot kaget, takut jika mereka akan ketahuan."Terpaksa."Alexander mendelik, "Bagaimana jika Narendra tahu?""Aku jamin dia tidak akan tahu. Ia sedang asyik berakting sedih," ujar Arnol
"Siapa yang tahu apa niatnya?" ucap Arnold pada akhirnya.Alexander tersenyum mengejek, "Berhentilah berbicara omong kosong semacam itu."Arnold menghela napas jengkel, "Ini bukan sekedar omong kosong, Alexander Barata.""Lalu apa? Apa yang sedari tadi kau bicarakan itu sama sekali tidak dekat sedikitpun dengan kebenaran," ucap Alexander masih tidak mau banyak berharap.Kini giliran Arnold Brawijaya yang tertawa. "Oh, aku tahu sekarang. Kau itu hanya takut kecewa saja kan?""Terserah apa katamu!" balas Alexander yang mulai membuka pintu ruangan itu.Arnold kembali berbicara, "Ah, oke. Aku mulai paham dan yakin."Alexander tidak berhenti tapi masih memasang telinganya baik-baik. "Kau itu malah takut jika ternyata Glenn benar-benar masih hidup. Kau takut dia mengira kau itu tidak bisa membantunya. Iya, kan?"Gigi Alexander bergemeletuk hebat lantaran begitu murka. Ia membalas singkat, "Terserah!"Ucapannya singkat tapi terdengar tegas dan dingin. Tapi Arnold paham jika Alexander memang
"Bunuh Alexander Barata!" ucap Narendra sambil tersenyum dingin.Sang pemuda yang bernama Setya itu menjawab dengan terbata-bata, "Mem-bunuh, Tuan?""Ya. Bagaimana? Kau sanggup melakukannya?" tanya Alexander dengan tatapan yang cukup mengintimidasi.Setya meneguk salivanya dalam-dalam. Ia bahkan membasahi bibirnya dengan air liurnya karena luar biasa gugup.Ia baru saja bergabung selama tiga bulan lamanya di Keluarga Brawijaya dan ia belum pernah diperintah untuk membunuh seseorang. Meski ia tahu suatu saat ia akan diminta untuk menghabisi nyawa seseorang, ia tidak mengira jika itu adalah Alexander Barata. Ia benar-benar tidak pernah menduganya.Dengan raut wajah yang terlihat begitu pias, ia membalas, "Tapi kenapa dia, Tuan Muda?"Narendra mengembuskan napasnya malas, sementara Andri mendecakkan lidah dengan tidak sabar. Pria itu berkata dengan ekspresi jengkel, "Kau tidak memiliki hak untuk bertanya, Setya. Tugasmu itu hanya membunuh orang yang diperintahkan kepadamu.""T-tapi Tua
"Ti-tidak, Tuan. Tentu saja saya tidak mungkin berani," ucap Andri.Narendra mengangguk, "Yah, bagus. Kau salah satu anak buah terbaikku, jadi jangan coba mengecewakan aku. Kau mengerti kan?""Mengerti, Tuan Muda," jawab Andri yang kemudian meminta izin untuk undur diri.Dia berpikir sejenak tapi kemudian memutuskan untuk tidak peduli pada rekan kerjanya itu, "Persetan. Lebih baik kulindungi nyawaku sendiri."Beberapa hari kemudian, Setya yang mendapatkan tugas itu pun telah merencanakan semua skenario terbaik yang bisa ia miliki. Sebelum ia berangkat, Narendra secara tiba-tiba menghampirinya dan berkata, "Semoga berhasil. Akan ada hadiah besar yang akan menunggumu di sini jika kau berhasil membunuhnya.""Iya, Tuan Muda."Setya menjawab patuh dan terlihat begitu siap mengerjakannya."Saya berangkat sekarang, Tuan Muda," pamit Setya pada sang tuan muda dan juga beberapa kawannya yang lain."Jangan coba-coba kabur! Kami memasang pelacak di mobilmu. Kami akan tahu jika kau melakukan sesu
"Sudahlah, kita tidak tahu nasib seseorang. Bisa saja dia beruntung dan berhasil membunuh Alexander Barata," ucap Andri."Hm, kalaupun dia berhasil membunuhnya, dia juga pasti tidak mungkin selamat."Orang itu berkata dengan nada serius tapi wajahnya terlihat begitu sangat cemas."Betul, betul. Kalau dia tidak ditembak mati sebagai balasan ya pasti ya akan diserahkan langsung ke kantor polisi. Tidak mungkin ia bisa lepas begiti saja," ucap yang lain.Andri yang lelah mendengarkan ocehan itu pun memilih untuk meninggalkan mereka semua. Ia tidak ingin mengira-ngira nasib seseorang. Itu cukup menakutkan untuknya.Sementara itu, di sebuah rumah kontrakan yang tidak terlalu besar, Glenn baru saja selesai meneliti semua dokumen yang baru saja diberikan oleh Fero. Dokumen itu berisi kartu identitas penduduk, surat izin mengemudi dan juga paspor."Kau yakin ini akan berhasil?" tanya Glenn masih meragukannya. Ia memasukkan semuanya ke dalam amplop cokelat besar.Fero menjawab, "Jangan khawatir
"Tidak, Dewa. Tidak boleh ada yang mengetahui perihal Tuan Muda Glenn masih hidup," sahut Fero cepat-cepat."Kenapa memangnya?" tanya Dewa, menoleh ke arah Fero yang menatap layar televisi dengan serius. Matanya tidak beralih sedikitpun dari layar besar itu.Glenn kembali duduk dan mendengarkan percakapan dua orang itu tanpa ikut di dalamnya. Ia hanya diam lantaran saat ini kecemasan sedang melandanya."Alexander Barata kan hadir di dalam pemakaman itu. Kau tahu juga, kan? Siapa yang tahu jika Tuan Narendra berbicara dengannya atau membuat kesepakatan dengannya?" ujar Fero masih tanpa menoleh.Glenn tentu saja tidak mempercayai. Dia sangat yakin, Alexander Barata bukan seorang pengkhianat. Dia tidak memiliki sifat itu di dalam dirinya.Dewa menggeleng, tidak setuju. Ia mengerutkan dahinya, "Alexander Barata memang seorang pengecut tapi aku yakin dia bukan seorang pengkhianat."Dalam hati, Glenn menyetujui ucapan Dewa.Fero akhirnya menoleh, menampilkan ekspresi setengah gusar, "Tuan A
"Sial. Kalau aku di sini saja, aku tidak akan tahu apa yang sedang mereka bicarakan," ucap Dewa. Namun, ia tidak memiliki celah untuk mendekat karena tidak ada satu pun penghalang di depan minimarket itu yang bisa melindunginya. Sehingga Dewa memilih meninggalkan minimarket itu lalu kembali ke rumah kontrakan mereka."Cepat sekali kau pulang!" ucap Glenn begitu ia melihat Dewa masuk.Dewa menjawab, "Tidak ada yang menarik di sekitar sini."Glenn menanggapi, "Kau pikir ini lokasi tempat wisata sehingga kau bisa menikmati keindahannya?"Pria yang baru saja melepas topi baseball-nya itu menyeringai lebar, "Yah, siapa tahu ada taman kota yang cukup bagus kan?"Glenn Brawijaya hanya menggelengkan kepalanya, tak percaya atas apa yang dipikirkan oleh temannya itu.Tiba-tiba saja ia bertanya, "Glenn, sejak kapan kau mengenal Fero?"Glenn menatap aneh ke arah Dewa, "Kenapa kau bertanya soal itu?"Dewa mengangkat bahunya, "Hanya ingin tahu. Kau terlihat sangat mempercayainya.""Oh, begitu. Dia
"Kenapa kau melakukannya?" tanya Glenn, menatap Fero tajam."Melakukan apa, Tuan Muda?" Fero bertanya balik.Glenn mengertakkan gigi, terlihat sekali menahan kesal. "Jangan berbelit, Fer. Kau tahu betul apa yang aku maksud."Fero menatap ke arah sang tuan dan berkata pelan, "Tuan Muda, Dewa jelas tidak sejalan dengan kita. Kita akan kesulitan jika tetap bersamanya."Glenn hampir akan membalas tapi Fero mendahuluinya dengan berkata, "Semuanya demi keselamatan Anda, Tuan Muda. Semoga Anda mengerti. Saya melakukan semuanya demi Anda." Pria itu pun terdiam dan malah berpikir lebih keras. Kecurigaan mulai menghinggapinya sekarang. Begitu banyak hal yang membuatnya menaruh curiga pada asisten pribadinya itu. Namun, ia tidak akan langsung mengkonfrontasi Fero secara langsung dan akan memendamnya terlebih dulu. "Kau benar. Kau benar," ucap Glenn kemudian.Fero mendesah lega, begitu senang Glenn setuju dengannya. "Saya harap Anda tidak lagi membicarakan masalah Dewa, Tuan Muda. Lebih baik, k