"Ayah harap kado itu sesuai dengan apa yang Ayah pikirkan, Nak." Satria tersenyum licik pada putranya."Tentu saja, Ayah. Aku kan selalu tahu apa yang Ayah pikirkan dan inginkan," balas Narendra dengan begitu percaya diri. Tatapannya penuh keyakinan.Satria manggut-manggut, merasa begitu puas dan tenang. Ia pikir rencana anaknya pastilah sangat bagus."Kau memang putra yang membanggakan, Rendra," timpal Astuti senang.Sementara itu, di sisi lain, sang putra termuda dari pasangan Astuti dan Satria Brawijaya, yakni Arnold Brawijaya baru saja terlihat sampai di depan kantor polisi yang menjadi tempat Glenn ditahan. Dengan begitu tergesa-gesa, pria muda yang wajahnya agak pucat itu memasuki kantor polisi tersebut. Ia merasa begitu lega lantaran tak ada satupun wartawan yang nampak di sana. Padahal, ia sempat khawatir jika ia harus berhadapan dengan wartawan. Sebab, saat ini ia tidak memiliki pengawal yang menjaganya. Ia pasti akan sangat kerepotan jika menghadapi wartawan sendirian."Say
Di bagian taman kota di tengah-tengah pusat kota besar itu, Damar baru saja memarkir mobilnya di area parkir."Ke mana dia tadi? Bukankah tadi dia tidak jauh dari sini?" ucap sekretaris pribadi Alexander Barata itu.Namun, di tengah-tengah kebingungan yang melandanya itu, mobilnya tiba-tiba saja diketuk dari luar. Saat ia menoleh, ia membelalakkan matanya ketika melihat orang yang ia cari tadi. Pria yang ia tebak juga seusia dengan Glenn Brawijaya itu tampak menatapnya dengan tatapan penuh selidik dari luar mobil.Tanpa pikir panjang, Damar membuka pintu mobil itu dan ke luar dari sana."Kenapa sejak tadi kau mengikutiku?" tanya Dewa cepat.Damar tidak menduga jika Dewa akan mengetahuinya. "Maaf, saya tidak bermaksud mengikutimu.""Kau bermaksud. Kau sengaja. Apa maumu?" balas Dewa tenang.Damar berdeham, menyamarkan rasa tidak menyenangkan yang datang kepadanya. Dipergoki oleh seseorang yang sedang kau awasi itu cukup memalukan, tetapi ia mencoba mengabaikan fakta itu dan menjawab, "
"Hentikan, Arnold!" teriak Astuti ngeri.Satria Brawijaya yang masih kaget mulai berteriak pada putra bungsunya, "Lepaskan kakakmu, Arnold!"Akan tetapi, Arnold tidak menghiraukan dirinya. Seakan telinganya telah tersumbat sehingga tak dapat mendengar apapun lagi.Tak tahan lagi kedua putranya terlibat perkelahian, Satria berteriak nyaring, "Pengawal!"Arnold menghajar kakak kandungnya dengan membabi buta. Narendra tak ia berikan kesempatan untuk melawannya.Entah apa yang merasuki dirinya saat ini, ia merasa begitu unggul dari sang kakak lantaran bisa memukulnya bertubi-tubi. Matanya menggelap, tatapannya bahkan cukup menakutkan. Ia tak ragu-ragu melancarkan serangan dan tampak tenang.Narendra terlihat begitu kewalahan menghadapinya hingga tiba-tiba saja terbersit rasa takut di dalam hatinya."Arnold, apa kau sudah gila?" ujar Narendra berusaha menyadarkan adiknya sementara ia menerima setiap pukulan Arnold."Arnold, kita bersaudara!" "Ya, Mas. Aku sudah gila. Dan ini karena kegila
"Aku akan menemuinya," ujar Glenn pada petugas polisi itu.Glenn pun diantar menuju ke sebuah ruang besuk. Begitu ia masuk, Dewa langsung tersenyum lebar kepadanya."Apa kabarmu, teman?" ujar pria yang masih mengenakan kaos lusuh itu.Glenn menjawab, "Apa kau berniat menyerahkan diri pada polisi, Dewa?"Dewa mendengus keras. Tatapannya tidak berubah, masih tampak jenaka, "Kawanku yang baik, jika seseorang sedang bertanya kepadamu, tidak sopan jika kau membalasnya dengan sebuah pertanyaan.""Kau harus menjawabnya dan baru bertanya. Itu yang dinamakan sebuah tingkat kesopanan. Tidakkah kau tahu akan hal itu, Glenn Brawijaya?"Glenn tak membalas dan memilih untuk duduk di depan Dewa. Dewa tak terkejut ia diabaikan oleh Glenn. Ia justru malah terlihat senang melihat Glenn duduk di depannya."Apa tujuanmu datang ke mari?" Dewa menjawab santai, "Ingin melihat keadaanmu, tentu saja. Apakah kau masih hidup atau sudah mau mati."Glenn sontak memelototi pria itu, tetapi Dewa malah tersenyum le
"Siapa yang akan melapor pada Tuan Narendra?" tanya si polisi yang menembak Pranoto."Biar aku saja!" jawab seorang polisi yang bernama Juned, anggota polisi termuda dalam kelompok itu.Seniornya berkata, "Kau yakin kau bisa?""Ya, Pak. Saya pasti bisa.""Baiklah, setelah mayat ini disingkirkan, segera temui Tuan Narendra," sahut si penembak tadi.Juned mengangguk dalam dan bersikap siaga.Sekitar satu jam kemudian, ia tiba di rumah keluarga besar Brawijaya sesuai dengan perintah sang senior. Secara kebetulan, Narendra baru saja turun dari kamarnya setelah mendapat perawatan atas luka-luka yang dideritanya akibat pukulan Arnold."Hm, sampai ada yang dikirim ke sini, apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Narendra langsung seraya duduk di salah satu sofa putih di ruang tamu.Juned mengangguk, "Sesuai dugaan Anda, Tuan. Pak Pranoto memang melakukan penyelidikan mengenai kasus itu lagi."Narendra membalas, "Lalu, apa dia menemukan sesuatu?""Ya."Juned mengeluarkan sebuah ponsel yang dibun
"Tutupi semuanya, jangan sampai ayahku tahu!" ucap Narendra."Baik, Tuan Muda," ucap salah satu anak buahnya."Selamat menikmatinya, adik kecilku tersayang," ucap Narendra.Setelahnya, ia pun ke luar dari ruangan itu tanpa merasa bersalah. Sementara di kantor polisi tempat Glenn ditahan, Glenn baru saja mendengar dari salah satu petugas polisi jika Pranoto ditemukan kecelakaan dan tak bisa diselamatkan. Ia masih tidak bisa mempercayai berita aneh itu."Tidak mungkin. Mana mungkin dia bisa kecelakaan?" gumamnya kebingungan."Pasti ada sesuatu yang tidak beres," ucap Glenn lagi.Ia mulai merasa jengkel atas kondisinya yang tidak memungkinkan untuk mencari tahu mengenai kecelakaan itu. Saat ia melihat beberapa petugas polisi di sana, ia juga tak menemukan satu orang pun yang bisa dipercaya. Ia pun kini menemui jalan buntu, merasa tidak memiliki seorang yang bisa ia mintai pertolongan.Akan tetapi, salah seorang dari petugas itu menghampirinya, "Glenn. Apakah kau tidak merasa bersalah a
"Anda tahu betul jika kita tidak bisa melakukannya, Tuan Alex," ucap Damar dengan nada menyesal.Alexander pun membuang napas kasar, merasa memiliki jalan buntu. "Damar, apakah aku sudah salah langkah?""Maksud Anda, Tuan?""Aku tak sekuat Narendra. Rasanya aku menjadi orang tidak berguna sekarang. Aku tidak bisa membantu secara terang-terangan karena kalah kaya darinya. Aku bahkan hanya bisa membantu Glenn mendapatkan satu stasiun televisi miliknya."Alexander menelan ludah dengan kasar, "Dan itu pun dengan uang Glenn sendiri. Lalu aku ini gunanya apa untuk dia? Aku terlalu menganggap enteng segalanya, seolah aku bisa membantu Glenn mendapatkan semua hartanya. Omong kosong apa yang aku bicarakan itu? Sekarang aku tak bisa membantunya.""Anda tidak boleh menyalahkan diri Anda sendiri, Tuan Alex. Tuan Glenn sendiri selalu mengatakan hubungan Anda dan Tuan Glenn tidak boleh terekspos. Ini tidak hanya akan membahayakan Anda tapi juga Tuan Glenn," ucap Damar.Alexander membalas, "Aku teta
"Kau tertawa? Apa yang kau tertawakan?" tanya Alexander dengan napas memburu. Amarah telah mengusai dirinya. Egonya tersakiti atas perkataan Dewa.Dewa menyentuh rahangnya dan berujar, "Kau berani memukulku tapi kau tidak berani memukul Narendra Brawijaya. Dialah orang yang harus kau hajar, bukan aku."Dewa menatap tajam, "Kalau kau memang tidak bisa membantu Glenn, lebih baik kaau menyingkir dan tidak perlu berlagak menjadi seorang pahlawan." Alexander semakin terlihat begitu marah, "Kau sendiri?"Dewa tertawa sinis, "Aku bukan orang kaya, Tuan tapi aku akan membantunya."Kini Alexander tertawa mengejek, "Aku saja tidak bisa membantunya. Kau yang hanya seorang gelandangan, berniat membantunya? Tidakkah kau terlalu sombong?"Dewa tersenyum santai, "Pasti aku bisa membantunya, apapun itu akan aku coba lakukan. Dan oh iya, Glenn tidak membutuhkan orang yang hanya bisa duduk berpangku tangan. Ingat itu baik-baik!"Setelah mengatakannya, Dewa menghilang dari tempat itu, meninggalkan Alex