"Siapa yang akan melapor pada Tuan Narendra?" tanya si polisi yang menembak Pranoto."Biar aku saja!" jawab seorang polisi yang bernama Juned, anggota polisi termuda dalam kelompok itu.Seniornya berkata, "Kau yakin kau bisa?""Ya, Pak. Saya pasti bisa.""Baiklah, setelah mayat ini disingkirkan, segera temui Tuan Narendra," sahut si penembak tadi.Juned mengangguk dalam dan bersikap siaga.Sekitar satu jam kemudian, ia tiba di rumah keluarga besar Brawijaya sesuai dengan perintah sang senior. Secara kebetulan, Narendra baru saja turun dari kamarnya setelah mendapat perawatan atas luka-luka yang dideritanya akibat pukulan Arnold."Hm, sampai ada yang dikirim ke sini, apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Narendra langsung seraya duduk di salah satu sofa putih di ruang tamu.Juned mengangguk, "Sesuai dugaan Anda, Tuan. Pak Pranoto memang melakukan penyelidikan mengenai kasus itu lagi."Narendra membalas, "Lalu, apa dia menemukan sesuatu?""Ya."Juned mengeluarkan sebuah ponsel yang dibun
"Tutupi semuanya, jangan sampai ayahku tahu!" ucap Narendra."Baik, Tuan Muda," ucap salah satu anak buahnya."Selamat menikmatinya, adik kecilku tersayang," ucap Narendra.Setelahnya, ia pun ke luar dari ruangan itu tanpa merasa bersalah. Sementara di kantor polisi tempat Glenn ditahan, Glenn baru saja mendengar dari salah satu petugas polisi jika Pranoto ditemukan kecelakaan dan tak bisa diselamatkan. Ia masih tidak bisa mempercayai berita aneh itu."Tidak mungkin. Mana mungkin dia bisa kecelakaan?" gumamnya kebingungan."Pasti ada sesuatu yang tidak beres," ucap Glenn lagi.Ia mulai merasa jengkel atas kondisinya yang tidak memungkinkan untuk mencari tahu mengenai kecelakaan itu. Saat ia melihat beberapa petugas polisi di sana, ia juga tak menemukan satu orang pun yang bisa dipercaya. Ia pun kini menemui jalan buntu, merasa tidak memiliki seorang yang bisa ia mintai pertolongan.Akan tetapi, salah seorang dari petugas itu menghampirinya, "Glenn. Apakah kau tidak merasa bersalah a
"Anda tahu betul jika kita tidak bisa melakukannya, Tuan Alex," ucap Damar dengan nada menyesal.Alexander pun membuang napas kasar, merasa memiliki jalan buntu. "Damar, apakah aku sudah salah langkah?""Maksud Anda, Tuan?""Aku tak sekuat Narendra. Rasanya aku menjadi orang tidak berguna sekarang. Aku tidak bisa membantu secara terang-terangan karena kalah kaya darinya. Aku bahkan hanya bisa membantu Glenn mendapatkan satu stasiun televisi miliknya."Alexander menelan ludah dengan kasar, "Dan itu pun dengan uang Glenn sendiri. Lalu aku ini gunanya apa untuk dia? Aku terlalu menganggap enteng segalanya, seolah aku bisa membantu Glenn mendapatkan semua hartanya. Omong kosong apa yang aku bicarakan itu? Sekarang aku tak bisa membantunya.""Anda tidak boleh menyalahkan diri Anda sendiri, Tuan Alex. Tuan Glenn sendiri selalu mengatakan hubungan Anda dan Tuan Glenn tidak boleh terekspos. Ini tidak hanya akan membahayakan Anda tapi juga Tuan Glenn," ucap Damar.Alexander membalas, "Aku teta
"Kau tertawa? Apa yang kau tertawakan?" tanya Alexander dengan napas memburu. Amarah telah mengusai dirinya. Egonya tersakiti atas perkataan Dewa.Dewa menyentuh rahangnya dan berujar, "Kau berani memukulku tapi kau tidak berani memukul Narendra Brawijaya. Dialah orang yang harus kau hajar, bukan aku."Dewa menatap tajam, "Kalau kau memang tidak bisa membantu Glenn, lebih baik kaau menyingkir dan tidak perlu berlagak menjadi seorang pahlawan." Alexander semakin terlihat begitu marah, "Kau sendiri?"Dewa tertawa sinis, "Aku bukan orang kaya, Tuan tapi aku akan membantunya."Kini Alexander tertawa mengejek, "Aku saja tidak bisa membantunya. Kau yang hanya seorang gelandangan, berniat membantunya? Tidakkah kau terlalu sombong?"Dewa tersenyum santai, "Pasti aku bisa membantunya, apapun itu akan aku coba lakukan. Dan oh iya, Glenn tidak membutuhkan orang yang hanya bisa duduk berpangku tangan. Ingat itu baik-baik!"Setelah mengatakannya, Dewa menghilang dari tempat itu, meninggalkan Alex
"Lepaskan aku. Lepaskan, brengsek!" teriak Glenn membabi buta.Pria itu telah kehilangan kendali diri dan sekarang sedang dipegang oleh dua petugas yang akan membawanya ke jeruji besi tempatnya. Ia diseret paksa dan kemudian dilempar ke dalam."Tetaplah di sana dan jangan sekalipun membuat keributan!" ancam petugas itu.Glenn yang masih terbakar api amarah membanting semua benda yang ada di dalam ruangannya dan mengamuk tanpa peduli orang-orang mulai mengatainya telah gila."Dia benar-benar sinting!" ujar salah seorang nara pidana."Sudah biarkan saja dulu, dia mungkin sedang marah. Tahanan yang bunuh diri itu anak buahnya. Aku baru mendengarnya dari petugas di depan," sambung yang lainnya."Oh, pantas saja. Dia kelihatan kesal," imbuh yang lain.Setelah puas meluapkan emosinya, Glenn terduduk di bagian pinggir ruangannya dan bersandar pada dinding. "Balas dendam apanya? Si brengsek itu bahkan sudah membunuh orang-orang di sekitarku." Glenn lalu tertawa terbahak-bahak seperti orang
"Bunuh aku sekarang!" tantang Arnold tanpa takut.Narendra terdiam selama beberapa detik dan akhirnya malah membuang pecahan kaca itu ke sembarang arah. Ia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar. Tangannya mengusap wajahnya, menyeka keringat yang mengalir."Tidak. Tentu saja aku tidak bisa membunuhmu. Walaupun aku sangat membencimu dan sangat ingin kau hilang dari dunia ini, tidak mungkin aku mencabut nyawa adikku sendiri. Kau tetap adikku dan itu fakta yang tidak bisa diubah," ucap Narendra tanpa memandang sang adik.Arnold tertegun tetapi segera membalas, "Bukankah kau mengatakan sudah tak menganggapku adik?"Narendra tidak menjawab."Apa maksudnya kau masih memiliki hati?" tanya Arnold lagi, berusaha mencari tahu tentang apa yang sedang dipikirkan sang kakak."Terserah apa katamu. Oh, tapi ada bagusnya kau hidup, adik kecil."Ia menyeringai kecil tapi Arnold tak bisa melihatnya.Narendra kembali membalikkan badannya dan berujar, "Kau harus hidup dan menyaksikan bag
"Kau ... apa yang kau laku-"Glenn yang baru saja memiringkan kepalanya dan melihat ke arah orang yang baru saja berbicara dengannya itu tidak jadi melanjutkan perkataannya. Kini ia malah duduk dan menegakkan badannya."Jangan katakan jika kau yang membuat kebakaran di sini!" ujar Glenn menatap penuh selidik.Orang yang saat ini berpakaian serba hitam itu menyeringai kecil, "Memang aku.""Sial. Apa kau berniat membunuh semua orang yang ada di sini?" ujar Glenn yang tidak sabar.Dewa membalas, "Tentu saja tidak. Aku bukan pembunuh, Glenn. Tujuanku hanya mengeluarkanmu dari sini.""A-apa? Untuk apa kau-""Kita tidak punya banyak waktu. Ayo, ke luar sekarang, akan aku jelaskan di luar."Belum sempat Glenn menjawab, Dewa telah menyeretnya ke luar. Glenn melihat Dewa memerintah seseorang yang juga sama berpakaian hitam seperti teman anehnya itu."Sekarang!" ucap Dewa.Orang yang diberi perintah itu segera menggotong sesosok tubuh dan memasukkannya ke dalam sel tahanan Glenn. Sosok itu terl
"Fero, apa yang kau lakukan di sini? Kau ... tunggu dulu. Kau dan Dewa?" ujar Glenn masih kesulitan mempercayai apa yang dilihatnya sekarang."Kalian saling mengenal?" tanya Glenn masih kaget.Fero hanya tersenyum, sementara Dewa mengangguk pada Fero sambil tersenyum dan berkata, "Fer, cabut sekarang!" Fero memberi anggukan dan segera menancap gas mobil itu. Keduanya terlihat serius dan berhati-hati.Glenn masih menunggu, tapi ia tidak ingin mengganggu konsentrasi Fero yang sedang menyetir sehingga ia memilih menunggu. Tidak lama kemudian, ketika mereka sudah lebih jauh dari penjara, Dewa berujar, "Glenn, sebenarnya ini tidak seperti yang kau duga.""Memangnya apa yang aku duga?" tanya Glenn sambil menaikkan sebelah alisnya, cara khasnya ketika membuat lawan bicaranya agar gugup.Dewa yang duduk di kursi depan itu pun menoleh, "Aku tidak sengaja mengenal Fero.""Maksudnya?" tanya Glenn bingung.Fero yang tengah mengemudi itu mengambil alih dan mulai menjelaskan, "Jadi, begini Tuan Mu