"Kau tertawa? Apa yang kau tertawakan?" tanya Alexander dengan napas memburu. Amarah telah mengusai dirinya. Egonya tersakiti atas perkataan Dewa.Dewa menyentuh rahangnya dan berujar, "Kau berani memukulku tapi kau tidak berani memukul Narendra Brawijaya. Dialah orang yang harus kau hajar, bukan aku."Dewa menatap tajam, "Kalau kau memang tidak bisa membantu Glenn, lebih baik kaau menyingkir dan tidak perlu berlagak menjadi seorang pahlawan." Alexander semakin terlihat begitu marah, "Kau sendiri?"Dewa tertawa sinis, "Aku bukan orang kaya, Tuan tapi aku akan membantunya."Kini Alexander tertawa mengejek, "Aku saja tidak bisa membantunya. Kau yang hanya seorang gelandangan, berniat membantunya? Tidakkah kau terlalu sombong?"Dewa tersenyum santai, "Pasti aku bisa membantunya, apapun itu akan aku coba lakukan. Dan oh iya, Glenn tidak membutuhkan orang yang hanya bisa duduk berpangku tangan. Ingat itu baik-baik!"Setelah mengatakannya, Dewa menghilang dari tempat itu, meninggalkan Alex
"Lepaskan aku. Lepaskan, brengsek!" teriak Glenn membabi buta.Pria itu telah kehilangan kendali diri dan sekarang sedang dipegang oleh dua petugas yang akan membawanya ke jeruji besi tempatnya. Ia diseret paksa dan kemudian dilempar ke dalam."Tetaplah di sana dan jangan sekalipun membuat keributan!" ancam petugas itu.Glenn yang masih terbakar api amarah membanting semua benda yang ada di dalam ruangannya dan mengamuk tanpa peduli orang-orang mulai mengatainya telah gila."Dia benar-benar sinting!" ujar salah seorang nara pidana."Sudah biarkan saja dulu, dia mungkin sedang marah. Tahanan yang bunuh diri itu anak buahnya. Aku baru mendengarnya dari petugas di depan," sambung yang lainnya."Oh, pantas saja. Dia kelihatan kesal," imbuh yang lain.Setelah puas meluapkan emosinya, Glenn terduduk di bagian pinggir ruangannya dan bersandar pada dinding. "Balas dendam apanya? Si brengsek itu bahkan sudah membunuh orang-orang di sekitarku." Glenn lalu tertawa terbahak-bahak seperti orang
"Bunuh aku sekarang!" tantang Arnold tanpa takut.Narendra terdiam selama beberapa detik dan akhirnya malah membuang pecahan kaca itu ke sembarang arah. Ia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar. Tangannya mengusap wajahnya, menyeka keringat yang mengalir."Tidak. Tentu saja aku tidak bisa membunuhmu. Walaupun aku sangat membencimu dan sangat ingin kau hilang dari dunia ini, tidak mungkin aku mencabut nyawa adikku sendiri. Kau tetap adikku dan itu fakta yang tidak bisa diubah," ucap Narendra tanpa memandang sang adik.Arnold tertegun tetapi segera membalas, "Bukankah kau mengatakan sudah tak menganggapku adik?"Narendra tidak menjawab."Apa maksudnya kau masih memiliki hati?" tanya Arnold lagi, berusaha mencari tahu tentang apa yang sedang dipikirkan sang kakak."Terserah apa katamu. Oh, tapi ada bagusnya kau hidup, adik kecil."Ia menyeringai kecil tapi Arnold tak bisa melihatnya.Narendra kembali membalikkan badannya dan berujar, "Kau harus hidup dan menyaksikan bag
"Kau ... apa yang kau laku-"Glenn yang baru saja memiringkan kepalanya dan melihat ke arah orang yang baru saja berbicara dengannya itu tidak jadi melanjutkan perkataannya. Kini ia malah duduk dan menegakkan badannya."Jangan katakan jika kau yang membuat kebakaran di sini!" ujar Glenn menatap penuh selidik.Orang yang saat ini berpakaian serba hitam itu menyeringai kecil, "Memang aku.""Sial. Apa kau berniat membunuh semua orang yang ada di sini?" ujar Glenn yang tidak sabar.Dewa membalas, "Tentu saja tidak. Aku bukan pembunuh, Glenn. Tujuanku hanya mengeluarkanmu dari sini.""A-apa? Untuk apa kau-""Kita tidak punya banyak waktu. Ayo, ke luar sekarang, akan aku jelaskan di luar."Belum sempat Glenn menjawab, Dewa telah menyeretnya ke luar. Glenn melihat Dewa memerintah seseorang yang juga sama berpakaian hitam seperti teman anehnya itu."Sekarang!" ucap Dewa.Orang yang diberi perintah itu segera menggotong sesosok tubuh dan memasukkannya ke dalam sel tahanan Glenn. Sosok itu terl
"Fero, apa yang kau lakukan di sini? Kau ... tunggu dulu. Kau dan Dewa?" ujar Glenn masih kesulitan mempercayai apa yang dilihatnya sekarang."Kalian saling mengenal?" tanya Glenn masih kaget.Fero hanya tersenyum, sementara Dewa mengangguk pada Fero sambil tersenyum dan berkata, "Fer, cabut sekarang!" Fero memberi anggukan dan segera menancap gas mobil itu. Keduanya terlihat serius dan berhati-hati.Glenn masih menunggu, tapi ia tidak ingin mengganggu konsentrasi Fero yang sedang menyetir sehingga ia memilih menunggu. Tidak lama kemudian, ketika mereka sudah lebih jauh dari penjara, Dewa berujar, "Glenn, sebenarnya ini tidak seperti yang kau duga.""Memangnya apa yang aku duga?" tanya Glenn sambil menaikkan sebelah alisnya, cara khasnya ketika membuat lawan bicaranya agar gugup.Dewa yang duduk di kursi depan itu pun menoleh, "Aku tidak sengaja mengenal Fero.""Maksudnya?" tanya Glenn bingung.Fero yang tengah mengemudi itu mengambil alih dan mulai menjelaskan, "Jadi, begini Tuan Mu
"Sialan, sejak kapan kau menjadi begini lemah, Glenn Brawijaya?" ucap Dewa, terlihat kesal.Ia menggelengkan kepalanya tak percaya. Yang ia kenal, Glenn merupakan orang tegar, kuat dan tidak mudah menyerah pada keadaan. Namun, yang ia lihat sekarang ini sangatlah berbeda. Glenn terlihat seperti orang yang kehilanga semangat dan frustrasi. Dewa tidak menyukainya sama sekali.Glenn menyandarkan badannya pada kursi mobil yang masih melaju, ia melihat ke arah jalanan. "Aku sudah tidak punya apa-apa. Semua uang yang aku kumpulkan selama ini sudah aku gunakan untuk merebut stasiun televisi itu dan membangunnya kembali. Aku saat ini miskin lagi, Dewa.""Alexander Barata-"Tiba-tiba saja Glenn teringat akan orang yang sudah membantunya cukup banyak itu."Kau tidak perlu menyebut nama si pengecut itu, Glenn. Dia sama sekali tidak bisa diandalkan," potong Dewa tidak suka.Jelas sekali, Dewa memang malas membahas satu nama itu, ia berkata lagi, "Dia sebenarnya bisa saja menyelamatkanmu. Dari pad
"Peralihan bagaimana, Ren?" tanya Satria, sambil menatap putranya dengan eskpresi bingung.Narendra membuang napas dengan kasar dan menjawab, "Ayah, Glenn mungkin tidak mati tapi ada orang yang berpura-pura mati di sana untuk menggantikan Glenn."Satria terlihat terdiam selama beberapa saat tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak. "Astaga, Nak. Menurut Ayah, kau terlalu parno. Itu sangat tidak mungkin.""Bisa saja, Ayah. Itu sangat bisa terjadi."Satria menggelengkan kepalanya, benar-benar tidak percaya atas ucapan sang putra, "Tidak. Itu tidak mungkin terjadi. Glenn sudah tidak memiliki siapapun yang bisa membantunya.""Orang yang menjadi saksi tentang penulisan surat wasiat itu, Ayah. Bisa saja kan?" ujar Narendra masih belum mau menyerah."Tidak. Ayah pikir, mungkin Ayah terlalu berlebihan saat memikirkannya. Kalau memang orang itu berada di pihak Glenn, pasti dia muncul sejak awal untuk membantunya, bukan?" ucap Satria yang kini membuat Narendra ragu.Ia memilin dagunya dan beruj
"Jangan bodoh, Damar! Jangan sekali-kali memberiku harapan palsu!" ucap Alexander terdengar kesal."Tuan Muda, kita harus menunggu hasil penyelidikan itu dulu."Alexander menghela napas panjang, "Semua petunjuk mengarah jika itu Glenn. Tentu saja itu pasti Glenn.""Belum pasti, Tuan Muda."Alexander tidak membalas dan hanya diam meskipun di dalam hatinya ia memang berharap jika korban tunggal di dalam kebakaran itu bukanlah Glenn Brawijaya.Tetapi ia tidak ingin terlalu berharap banyak lantaran tak ingin menanggung kekecewaan yang dalam.***Narendra sedang memasang ekspresi sedihnya setelah ia ke luar dari penjara sambil membawa barang-barang milik Glenn. Para wartawan segera mengerubungi pria yang saat ini mengenakan pakaian serba hitam dengan kacamata yang juga hitam, seolah memang ia tengah berduka dan menyembunyikan wajah sedihnya."Apa yang terjadi, Pak Narendra? Apakah itu benar milik Glenn, saudara sepupu Anda?""Benarkah korban itu adaah Glenn, Pak? Apa yang terjadi?""Apakah