"Fero, apa yang kau lakukan di sini? Kau ... tunggu dulu. Kau dan Dewa?" ujar Glenn masih kesulitan mempercayai apa yang dilihatnya sekarang."Kalian saling mengenal?" tanya Glenn masih kaget.Fero hanya tersenyum, sementara Dewa mengangguk pada Fero sambil tersenyum dan berkata, "Fer, cabut sekarang!" Fero memberi anggukan dan segera menancap gas mobil itu. Keduanya terlihat serius dan berhati-hati.Glenn masih menunggu, tapi ia tidak ingin mengganggu konsentrasi Fero yang sedang menyetir sehingga ia memilih menunggu. Tidak lama kemudian, ketika mereka sudah lebih jauh dari penjara, Dewa berujar, "Glenn, sebenarnya ini tidak seperti yang kau duga.""Memangnya apa yang aku duga?" tanya Glenn sambil menaikkan sebelah alisnya, cara khasnya ketika membuat lawan bicaranya agar gugup.Dewa yang duduk di kursi depan itu pun menoleh, "Aku tidak sengaja mengenal Fero.""Maksudnya?" tanya Glenn bingung.Fero yang tengah mengemudi itu mengambil alih dan mulai menjelaskan, "Jadi, begini Tuan Mu
"Sialan, sejak kapan kau menjadi begini lemah, Glenn Brawijaya?" ucap Dewa, terlihat kesal.Ia menggelengkan kepalanya tak percaya. Yang ia kenal, Glenn merupakan orang tegar, kuat dan tidak mudah menyerah pada keadaan. Namun, yang ia lihat sekarang ini sangatlah berbeda. Glenn terlihat seperti orang yang kehilanga semangat dan frustrasi. Dewa tidak menyukainya sama sekali.Glenn menyandarkan badannya pada kursi mobil yang masih melaju, ia melihat ke arah jalanan. "Aku sudah tidak punya apa-apa. Semua uang yang aku kumpulkan selama ini sudah aku gunakan untuk merebut stasiun televisi itu dan membangunnya kembali. Aku saat ini miskin lagi, Dewa.""Alexander Barata-"Tiba-tiba saja Glenn teringat akan orang yang sudah membantunya cukup banyak itu."Kau tidak perlu menyebut nama si pengecut itu, Glenn. Dia sama sekali tidak bisa diandalkan," potong Dewa tidak suka.Jelas sekali, Dewa memang malas membahas satu nama itu, ia berkata lagi, "Dia sebenarnya bisa saja menyelamatkanmu. Dari pad
"Peralihan bagaimana, Ren?" tanya Satria, sambil menatap putranya dengan eskpresi bingung.Narendra membuang napas dengan kasar dan menjawab, "Ayah, Glenn mungkin tidak mati tapi ada orang yang berpura-pura mati di sana untuk menggantikan Glenn."Satria terlihat terdiam selama beberapa saat tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak. "Astaga, Nak. Menurut Ayah, kau terlalu parno. Itu sangat tidak mungkin.""Bisa saja, Ayah. Itu sangat bisa terjadi."Satria menggelengkan kepalanya, benar-benar tidak percaya atas ucapan sang putra, "Tidak. Itu tidak mungkin terjadi. Glenn sudah tidak memiliki siapapun yang bisa membantunya.""Orang yang menjadi saksi tentang penulisan surat wasiat itu, Ayah. Bisa saja kan?" ujar Narendra masih belum mau menyerah."Tidak. Ayah pikir, mungkin Ayah terlalu berlebihan saat memikirkannya. Kalau memang orang itu berada di pihak Glenn, pasti dia muncul sejak awal untuk membantunya, bukan?" ucap Satria yang kini membuat Narendra ragu.Ia memilin dagunya dan beruj
"Jangan bodoh, Damar! Jangan sekali-kali memberiku harapan palsu!" ucap Alexander terdengar kesal."Tuan Muda, kita harus menunggu hasil penyelidikan itu dulu."Alexander menghela napas panjang, "Semua petunjuk mengarah jika itu Glenn. Tentu saja itu pasti Glenn.""Belum pasti, Tuan Muda."Alexander tidak membalas dan hanya diam meskipun di dalam hatinya ia memang berharap jika korban tunggal di dalam kebakaran itu bukanlah Glenn Brawijaya.Tetapi ia tidak ingin terlalu berharap banyak lantaran tak ingin menanggung kekecewaan yang dalam.***Narendra sedang memasang ekspresi sedihnya setelah ia ke luar dari penjara sambil membawa barang-barang milik Glenn. Para wartawan segera mengerubungi pria yang saat ini mengenakan pakaian serba hitam dengan kacamata yang juga hitam, seolah memang ia tengah berduka dan menyembunyikan wajah sedihnya."Apa yang terjadi, Pak Narendra? Apakah itu benar milik Glenn, saudara sepupu Anda?""Benarkah korban itu adaah Glenn, Pak? Apa yang terjadi?""Apakah
"Sesungguhnya saya tidak ingin berharap hal itu terjadi. Tapi jika memang itu yang terjadi maka yang bisa saya lakukan ya menggelar pemakaman untuknya serta mendoakannya," ucap Narendra yang menampilkan ekspresi sedihnya.Seseorang tiba-tiba datang menyelanya, "Maaf, sudah cukup wawancaranya. Pak Narendra sedang terburu-buru. Tolong, beri jalan!"Beberapa wartawan itu pun mundur agar tidak menghalangi Narendra melangkah menjauh dari tempat itu.Narendra mengangguk ramah pada wartawan dan kemudian berjalan menuju mobilnya dengan diikuti oleh para pengawal yang menjaganya.Begitu kaca mobil itu ditutup sepenuhnya, ia mengeluh, "Sial. Pertanyaan itu cukup menggangguku.""Tapi Anda melakukannya dengan sangat baik, Pak," ucap Stefanie, sekretaris barunya yang baru saja ia pekerjaan beberapa hari yang lalu."Ya, ya. Berkat naskah yang kau tuliskan, Stef. Kalau tidak, aku tidak yakin bisa menjawabnya sebaik itu," sahut Narendra."Oh, Anda terlalu memuji saya, Pak. Saya hanya mencoba melakuka
"Tenang saja, Glenn! Tidak masalah," kata Dewa dengan begitu santainya.Glenn membalas dengan menatap jengkel ke arah Dewa, "Tidak masalah bagaimana?""Ya pokoknya tidak masalah, Glenn. Semuanya akan baik-baik saja."Glenn tidak mempercayainya. "Tapi, aku tidak yakin. Narendra itu licik. Meskipun kedatangan kalian untuk meyakinkan dia jika aku memang mati, aku takut jika dia tidak akan melepaskan kalian berdua."Dewa menyamar, "Kau terlalu mengkhawatirkan kami, Glenn. Tapi sungguh, itu sama sekali tidak perlu.""Jangan bodoh, Dewa! Aku tidak mau ambil resiko," ucap Glenn kesal.Fero berujar dengan nada serius, "Tuan Muda, saya tahu Anda mencemaskan kami tapi Anda tidak perlu khawatir. Semuanya akan terkontrol dengan baik. Kami hanya akan datang di sana sebentar, sekedar menyetorkan wajah kami. Hanya untuk membuat si brengsek betul-betul percaya jika kamu begitu kehilangan Anda. Setelah itu kami akan pergi."Glenn tetap tidak setuju. Ia memiliki firasat buruk dan tidak ingin lagi harus
"Tidak usah. Ini rahasia antara kita berdua, Ren. Orang lain tidak perlu tahu," ucap Satria tegas.Mau tidak mau, Narendra menurut. "Baiklah, aku akan merahasiakannya.""Ya. Lebih baik, kau segera memulai membicarakan masalah pemakaman Glenn itu," ujar Satria."Baik, Ayah."Narendra pun segera meminta sekretaris pribadinya yang sangat ia andalkan untuk mengatur segalanya. Acara pemakaman itu akan digelar secara terbuka sesuai keinginan Narendra.Ia sengaja melakukannya lantaran ingin mengetahui sejauh mana orang-orang yang masih mengingat Glenn ataupun berada di pihak saudara sepupu angkatnya itu. Ya, kini setelah ia mengetahui rahasia yang sebenarnya, ia malah semakin merasa tenang. Sedikit perasaan bersalah yang sempat mengganggu dirinya pun telah benar-benar sirna. Kini yang tertinggal hanyalah rasa puas dan aman usai Glenn tidak ada di dunia lagi.Pemakaman itu digelar pukul sepuluh pagi. Mereka akan menunggu jenazah Glenn dikirim dari rumah sakit, tempat di mana jasad itu diauto
"Untuk apa aku membunuhnya, Arnold?" tanya Narendra dengan masih tersenyum menyeramkan.Arnold tidak bodoh, tentu saja ia paham akan apa yang mungkin akan dilakukan sang kakak. "Kau pikir aku tidak tahu? Dari tatapan matamu saja sudah jelas sekali kau memiliki niat buruk terhadap orang itu."Narendra hanya tertawa menanggapi perkataan adiknya. "Glenn sudah tidak ada, apa gunanya mengusik orang-orang yang pernah dekat dengannya, Mas?"Pria yang saat ini amat sangat senang itu menoleh, "Tenang saja. Aku tidak berencana sampai membunuhnya, Adik Kecil. Aku hanya ingin sedikit bermain-main saja dengannya."Jantung Arnold mencelos, seketika benar-benar sangat khawatir pada keselamatan Alexander Barata.Saat Alexander mendekat, Arnold memilih menyingkir lantaran tak ingin mendengar ocehan sang kakak yang mungkin akan membuatnya ingin muntah.Narendra memasang senyum ramahnya pada Alexander. "Pak Barata.""Alex. Anda bisa memanggil saya begitu. Bukankah kemarin kita sudah akrab?" ujar Alexan