“Apa ada kendala dalam investasi, Shan? Kulihat kau sudah banyak meraup keuntungan.” Ronald memamerkan gigi-gigi putihnya yang berderet menambah manis wajah kecoklatannya.Shanon mengangguk satu kali sambil menjelaskan, “Aku pernah rugi setengah dari modal yang disetor. Dan aku tak ingin mengalami itu lagi, Mr.Ronald.”Ronald terkekeh. Ia kemudian berkata, “Investasi—setidaknya buatku, adalah sebuah seni, Shan. Aku mengalami kerugian berkali-kali. Besar. Tapi aku belajar dari semua itu, supaya di masa depan aku tidak mengalaminya satu kali pun.”Kepala Shanon turut mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan Ronald.“Bergerak dengan intuisi, Shan. Jangan hanya sekedar memperhatikan keadaan pasar. Banyak, yang salah langkah ketika hati mereka sedang tidak mantap. Hindari itu. Selebihnya, itulah saham. Semakin besar keuntungan, semakin besar juga resiko,” tambah Ronald lagi. “Ya. Aku ingat hari itu aku sedang tidak nyaman. Perasaan hati berat, tapi aku malah melakukan transaksi. Akan
28 “Well … kalau memang tujuannya begitu, kurasa Nona Shanon akan sangat terkejut, Bos,” kekeh Chris sambil mengembalikan ponsel sang atasan. Damian terlihat tidak menerima ucapan Chris dengan baik. Ia kemudian menegur sang sekretaris, “Chris, ini dan itu hal yang berbeda. Yang kutanyakan adalah apakah gaunnya berlebihan?” Chris membuka mulutnya sambil menganggukkan kepala, kemudian menjawab, “Tidak. Tidak berlebihan. Gaun itu sangat pantas untuk acara peresmian perusahaan.” Damian mengangguk puas. “Kalau begitu, pertanyaan kedua. Apa di belakangku, Avantie menyebarkan berita bahwa aku akan menikahinya dalam waktu dekat ini?” Kali ini Chris mengerutkan dahinya. Ia terlihat berpikir keras, mengingat-ingat adakah bawahannya yang mengangkat pembicaraan soal itu. “Sepertinya tidak ada, Bos. Tapi, dari pertunangan Anda dengan Nona Avantie, jelas akan ada tebakan-tebakan bahwa Anda akan menikah.” Chris menjawab. “Lalu, kenapa pikiran Shanon mengarah pada pernikahanku? Kenapa dia tid
“Damian, sebaiknya kau bantu Shanon menetapkan modal. Shanon pasti belum paham jumlah yang tepat,” tegur Herv sambil merebahkan punggungnya ke sandaran sofa.Damian mengendurkan otot wajahnya dan berkata, "Sebenarnya sudah tertuang dalam anggaran dasar. 1 triliun hadiah dariku. Shanon bisa memasukkan uangnya untuk modal tambahan, kalau memang mau."Netra Shanon membulat, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Aku tidak mau berhutang sebanyak itu—""Ini hadiah dariku, Shan. Bukan utang. Itu uang milikmu." Damian memotong protes Shanon dengan santai.Semakin terkejutlah gadis itu dengan kenyataan yang sedang menghantamnya. Dia baru saja resmi menjadi seorang triliuner. "Well … kakek gak mau kalah!" seru Herv sambil mengutak atik ponsel pintarnya. Pria tua itu bergumam, “Hm … berapa triliun ya?”Shanon menambah lebar matanya sambil menahan tangan Herv yang sudah mulai membuka aplikasi bank online."Stop, Kakek!" tahan Shanon dengan mata yang mulai berair.Gadis itu benar-be
“Ha?!” Shanon memekik kaget dengan pengakuan sang kakek.Ia tak menyangka kehidupan pria tua itu masih tergolong flamboyan. Bahkan wajah Damian sedikit memerah—malu dengan tingkah Herv yang masih seperti anak SMA.Tak peduli dengan tanggapan dua anak muda itu, Herv langsung berlalu menghampiri dua wanita tua yang masih terlihat lengkap dengan riasan. Baju mereka bahkan terlihat mewah.“Layla!” seru Herv santai. Mereka saling peluk satu dengan yang lain, sebelum akhirnya menyadari kehadiran Damian. Cucu laki-lakinya itu sengaja terbatuk agar para tetua menyadari tingkah mereka mulai menarik perhatian pengunjung lainnya.“Aw! Kau membawa si tampan! Ke sini, Nak!” seru wanita yang masih belum Shanon kenal namanya. Setidaknya ia sudah bisa menebak kalau wanita berambut panjang sebahu, itulah yang dipanggil dengan nama Layla.“Tante Viona. Senang melihatmu lagi.” Damian menyapa sambil mengambil posisi duduk di sebelah wanita tua yang baru saja Shanon ketahui bernama Viona. Layla yang ta
"Jangan—ehm … seseorang sudah masuk ke ruang rapat. Kuhubungi lagi kau nanti, Damian."Vincent terlihat semakin menunjukkan amarahnya dengan menekan tombol merah yang seharusnya hanya cukup disentuh, pada layar ponselnya.Sang tamu baru saja akan langsung melontarkan kemarahannya setelah membalikkan tubuhnya, tapi tiba-tiba ia terdiam. "Anda … adik perempuan Damian," ucap Damian dengan ragu.Sebenarnya Vincent bermaksud untuk bertanya, namun nada yang keluar malah sebuah pernyataan.Shanon tersenyum tenang sambil mengangguk. Ia bisa tenang karena tahu bahwa sang kakak setidaknya sudah menghubungi Vincent lebih dahulu."Maafkan saya karena baru memperkenalkan diri, Mr.Vincent. Saya Shanon Vadis, adik dari Damian. Senang bertemu." Shanon mengulurkan tangannya sambil melempar senyum yang membuat netranya sedikit tertutup.Dengan cepat Vincent meraih tangan Shanon dan menggenggamnya erat. Netra pria itu terlihat seperti kaca, mengkilap."Aku tak percaya bisa bertemu dengan wanita secant
“Kurasa perhitungan waktuku cukup tepat. Benar kan, Damian?” Herv mencoba mencari sekutu untuk meyakinkan Shanon.Mereka sudah berkumpul di ruang makan, menikmati santap malam bersama. Tentu saja, Xavier sudah pamit sejak 15 menit yang lalu. Sang tamu tak ingin mengganggu pembicaraan keluarga Vadis.Mengenai pembukaan kantor di Tinseltown, Shanon sudah memikirkannya juga, bahkan saat ia mandi.Namun, ia belum menemukan kekuatan hati untuk menghadapi kota itu. Kota di mana masa depannya dirusak oleh keluarga mantan atasannya—Julian.“Steenkool sudah berjalan sangat luar biasa. Namun … kurasa Shanon belum boleh sepenuhnya melepas perusahaan pusat, Kek.” Damian menjelaskan dari sudut pandangnya.Bukan berarti Damian menentang kepergian Shanon ke Tinseltown. Untuk menghindari prasangka buruk, pria muda itu menambahkan sebuah pertanyaan bagi sang kakek, “Apa yang akan kau lakukan kalau posisi CEO di Steenkool pusat kosong?”Dengan santai Herv menjawab, “Kau saja yang pegang.” Cengiran p
“Biar aku saja, Kak,” cegah Shanon. “Kau selalu memanjakanku.”Damian tersenyum tipis. Kalau bukan orang yang mengenalnya dekat, takkan bisa menangkap senyum langka itu. “Baiklah.”Detik berikutnya pria itu pun sudah beranjak dari sisi Manda dan pamit, “Aku harus pergi lagi. Jangan pulang terlalu malam, Manda.”“Kau masih ada kerjaan?” tanya Manda sambil mengerutkan dahinya. Namun, Damian menggeleng. “Aku ada janji dengan Avantie. Kau tahu dia bawel kalau aku terlambat.”Manda tersenyum pahit. Ia baru menyadari perasaannya pada Damian beberapa minggu lalu. Dan menyadari kalau pria itu sudah memiliki calon istri membuat hatinya hancur.Tentu saja, Damian tidak pernah tahu akan hal itu. Dia tidak pernah peka dalam area itu.“Yeah. Jangan membuatnya menunggu. Hati-hati di jalan.” Manda mengantar kepergian Damian sampai di depan pintu ruang kerjanya. Begitu punggung Damian tak lagi terlihat, wanita muda itu segera berbalik dan masuk kembali ke ruangan.Ia menggelengkan kepala, mencoba m
34“Waktu yang tepat, kalau begitu. Aku bisa menolongmu.” Jared memamerkan deretan gigi putihnya yang berjajar rapi di balik senyuman.Shanon menunggu penjelasan lebih rinci dari apa yang baru saja diutarakan Jared. Ia mengalihkan tatapannya beberapa kali dari Herv kepada Damian kemudian Jared.Herv kemudian memutuskan untuk menjelaskannya pada Shanon. “Kakek tak mau mendiktemu, Shan. Pilihan ada padamu. Apapun yang kau pilih, Jared akan menolongmu mengurus posisi yang kosong.”Gadis itu terdiam sesaat. Ia berpikir akan mendapat jawaban dari pembicaraan mereka, tapi ternyata keputusan tetap ada dalam tangannya. “Sepertinya aku masih butuh waktu untuk memutuskannya, Kakek.” “Well, itu bukan keputusan mudah. Pakai waktumu, Nak. Tidak ada yang memaksamu untuk buru-buru memutuskan. Yang pasti kau sudah tahu, apapun keputusanmu, kau sudah punya Jared.” Herv menepuk punggung tangan Shanon yang mengepal kuat, meyakinkan sang cucu kalau ia akan baik-baik saja, apapun pilihannya.Tepat deng