"Selamat datang, Mr. Dante Whincester," sapa manajer bank dengan senyum ramah saat menyambut kedatangan Dante di bank itu. Dia lalu mengajak Dante masuk ke dalam ruangannya.
"Saya ingin tahu. Siapa yang telah mengirim uang sebanyak itu ke rekening saya? Mungkinkah terjadi kesalahan?"Dante melontarkan pertanyaan secara terus terang. Dia tidak ingin berbasa-basi. Semakin cepat dia mendapatkan jawaban, semakin cepat pula masalah ini akan terselesaikan."Silakan duduk dulu." Manajer bank menunjuk kursi yang berada tepat di depan meja kerjanya. "Saya akan menjelaskannya pelan-pelan," lanjut laki-laki muda dengan setelan rapi itu.Dante menarik kursi itu, lalu duduk perlahan. Jantungnya berdetak sangat cepat. Tapi laki-laki yang sedang duduk di depannya justru terlihat santai dan tidak terbebani dengan masalah Dante."Seseorang telah mengirimkan uang itu dari bank yang berada di kota Milan. Mungkin saja Anda memiliki seorang saudara atau kenalan dari sana."Milan.Kota itu bahkan asing di telinganya. Meskipun dia pernah mendengar nama salah satu kota terbesar di Italia itu, Dante tidak pernah pergi ke sana. Seumur hidupnya."Ti-dak ... Saya tidak memiliki siapa-siapa di sana," sahut Dante sambil tersenyum kaku. "Apakah uang itu bisa dikirim kembali ke orang tersebut?"Manajer itu menggeleng perlahan. "Sayangnya kami tidak bisa melakukannya karena dia langsung menutup rekeningnya."Wajah Dante langsung terlipat. Benaknya mengembara. Apa maksud sebenarnya orang itu? Kenapa tindakannya sangat mencurigakan? Dante bertanya-tanya dalam hati."Bolehkah saya tahu nama dan alamat tempat tinggalnya? Sepertinya saya harus bertemu orang itu secara langsung untuk menanyakan maksud dan tujuannya mengirim uang sebanyak itu."Manajer itu terlihat ragu-ragu. Keningnya berkerut. Lalu dia menggeleng perlahan sambil tersenyum tipis."Dengarkan saya. Saya tidak pernah memberikan informasi data pribadi seseorang karena itu sangat berbahaya," ucap dia pelan. "Tapi kali ini saya terpaksa melanggar sumpah." Setelah itu dia menyentuh kursor, lalu mengetik beberapa tombol.Dante mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan kursi. Dia terlihat sangat gusar dan tidak sabaran."Anda bisa mencarinya di sini." Si manajer menyerahkan selembar kertas berukuran kecil pada Dante. "Namanya adalah Benigno Corradeo."Benigno Corradeo. Dante menyebut nama itu dalam hati. Siapa orang itu? Apa hubungannya Benigno dengan dirinya?Setelah mendapatkan keinginannya, Dante segera meninggalkan bank. Secepatnya dia akan pergi ke Milan untuk menemui Benigno Corradeo.Satu minggu kemudian. Dante berada di salah satu pesawat terbang kelas ekonomi menuju Milan. Pesawat itu terasa lambat saat terbang, membuat dia merasa tidak sabar karena tak kunjung tiba di tempat tujuan. Sekitar dua jam setelahnya, pesawat yang ditumpangi oleh Dante mendarat di bandara. Dante mencari penginapan terdekat sebelum melanjutkan perjalanan menuju alamat rumah Benigno Corradeo.Cuaca di kota Milan tidak jauh berbeda panasnya dengan kota London, membuat Dante kepanasan saat berjalan kaki. Sekitar dua kilometer dari bandara, akhirnya Dante menemukan sebuah penginapan sederhana dengan fasilitas seadanya.Dante tidak membuang waktu lama. Usai menyantap makan siangnya di restoran penginapan, dia menghentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat. Dante meminta sopir taksi untuk mengantarnya ke kediaman Benigno."Benarkah ini alamatnya?" tanya Dante kurang yakin.Taksi itu berhenti di depan sebuah pintu gerbang yang menjulang tinggi dengan ukiran kepala singa. Dia tidak melihat apa-apa selain halaman rumput yang setengah mengering dan jalan masuk yang cukup dilalui sebuah mobil."Alamatnya tidak salah. Sesuai dengan tulisan yang tertera di sini." Sopir taksi itu menunjuk kertas yang tadi diberikan oleh Dante.Dante tidak berkata-kata lagi. Setelah membayar ongkos taksi, dia segera turun. Dia mendekati pintu gerbang yang tertutup. Ada beberapa orang yang berjaga. Semua mengenakan setelan hitam dan berwajah garang. Nyali Dante sempat menciut, tapi dia mencoba memberanikan diri menghampiri mereka."Siapa kau?"Dante terlihat kebingungan saat salah satu dari mereka mengajaknya berbicara dalam bahasa Italia. Reflek, dia hanya menggelengkan kepala tanda tidak mengerti ucapan lawan bicaranya."Siapa kau?"Laki-laki itu bertanya dalam bahasa Inggris dengan logat Italia yang kental. Dia memicingkan matanya, menatap Dante penuh curiga."Aku Dante Whincester. Aku datang dari London, Inggris." Dante tidak gentar. Dia membalas tatapan laki-laki itu lurus.“Ada perlu apa kau ke sini?”“Aku ingin bertemu dengan Signor Benigno Corradeo.” Dante menjawab cepat. Pikirnya, semakin cepat menjawab, maka dia bisa segera bertemu dengan Benigno Corradeo.“Signor Corradeo tidak bisa bertemu dengan sembarang orang. Terutama orang sepertimu.” Laki-laki itu menjawab dengan tatapan menghina.“Mungkin Signor Corradeo akan berubah pikiran saat mengetahui aku ingin bertemu dengannya,” tukas Dante balas menantang.Laki-laki itu tidak berkata-kata lagi. Dia melangkah menjauh dari tempat Dante. Tangannya meraih ponsel dari saku jasnya, lalu dia menghubungi seseorang. Sesekali dia melirik Dante dengan tatapan tidak suka."Kau boleh masuk ke dalam. Signor Corradeo akan menemuimu saat makan malam," ucap laki-laki itu, lalu menekan remote ke arah gerbang di depannya. Gerbang itu terbuka lebar secara perlahan."Kenapa kau diam saja di situ?" sergah laki-laki itu saat melihat Dante tidak beranjak dari tempatnya.Semula Dante terlihat ragu-ragu. Tapi saat melihat raut wajah laki-laki itu sangat menyeramkan, dia bergegas melewati gerbang yang terbuka dan berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang.Dante berhenti untuk kedua kalinya sebelum masuk ke dalam rumah utama. Seorang laki-laki lain dengan cambang yang lebat dan berseragam sama seperti gerombolan laki-laki di luar sana menggeledah dirinya. Meskipun merasa tidak nyaman, Dante terlihat pasrah sambil mengerang dalam hati.Setelah selesai melakukan pemeriksaan, laki-laki itu membawa Dante masuk, lalu menuju ke sebuah ruangan tertutup dengan jendela menghadap keluar. Laki-laki itu langsung meninggalkan Dante, menutup pintu di belakangnya rapat.Dante memilih duduk di sofa kulit yang terlihat sangat mahal dan bergaya klasik. Tapi, baru sebentar dia mendaratkan tubuhnya, dia bangkit dari sofa ketika mendengar suara mobil mendekat, lalu berhenti di depan rumah. Dia mengintip melalui jendela. Seorang laki-laki bertubuh gemuk dan bungkuk sedang bercakap-cakap serius dengan penjaga yang mengantar Dante kemari. Dante langsung menjauhi jendela saat laki-laki itu melihat ke arahnya.Sepertinya, laki-laki itu bukan orang sembarangan, Dante menduga-duga dalam hati. Sejak menginjakkan kaki pertama kali di depan sana hingga ke dalam rumah ini, dia menyaksikan sistem keamanan yang sangat ketat dengan adanya banyak penjaga yang sedang bertugas."Di mana dia?"Sayup-sayup Dante mendengar sebuah suara dari arah ruang depan. Lamunannya seketika buyar. Dari suaranya, Dante menyimpulkan bahwa si pemilik suara adalah laki-laki tua tadi. Mungkinkah orang itu Benigno Corradeo?"Dia sedang menunggu Anda di ruang tengah, Signor."Dante memasang tampang waspada. Pintu ruangan itu terdorong ke depan. Laki-laki tua itu masuk ke ruangan itu dan bertatapan dengan mata Dante."Dante Whincester."Dante segera berdiri begitu namanya disebut. Tubuhnya mematung, dan matanya tidak berkedip lurus menatap laki-laki itu. Dia memilih tetap diam sambil menunggu saat yang tepat untuk berbicara.Tidak salah lagi. Dia adalah Benigno Corradeo. Dante menyimpulkan dalam hati.Benigno menghampiri Dante, lalu memegang kedua lengan pemuda itu. Dia mencermati tubuh Dante mulai dari atas hingga ke bawah. Raut wajahnya tidak bisa diartikan."Carlos ... Beri tahu Carmela untuk menyiapkan makan malam untuk tamu kita yang datang dari jauh. Pemuda ini harus makan dengan layak karena dia sangat kurus," ucap Benigno pada laki-laki pertama yang menemui Dante sebelumnya.Dante terlihat tersinggung begitu mendengar ucapan laki-laki tua itu. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya."Kau tidak perlu repot-repot. Aku baik-baik saja," balas Dante ketus. Dia menatap laki-laki bertubuh gemuk itu tajam. Mereka baru pertama kali bertemu, tapi laki-laki itu bersikap seolah telah lama mengenal dia.Benigno tertawa lebar. Tangannya lalu menepuk-nepuk pundak Dante keras. "Tenang saja. Aku sama sekali tidak keberatan."Benigno lalu mendaratkan tubuhnya di sofa tepat di depan Dante. Dengan santai dia menyalakan cerutu, dan menghisapnya kuat-kuat. Asap cerutu mengepul, membubung tinggi ke udara."Bagaimana perjalanmu? Aku tidak menyangka kau secepat itu datang kemari," ucap Benigno santai, seolah mereka telah lama saling mengenal."Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Dante, lalu ikut duduk di sofa.Kening Dante berkerut. Matanya mengawasi Benigno dengan seksama. Tapi dia tidak menemukan petunjuk apa pun."Kita pernah bertemu berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tentunya kau tidak mengingatnya karena saat itu dirimu belum mengerti apa-apa," jawab Benigno dengan tatapan menerawang jauh.Dante semakin tidak mengerti. Sejak tadi Benigno senang berteka-teki, dan sengaja membuat dia kebingungan. Laki-laki sebelumnya datang lagi, berbisik di telinga Benigno. Setelah itu dia langsung menghilang pergi."Makan malam sudah siap. Sebaiknya kita segera ke ruang makan. Kita bisa melanjutkan percakapan di sana."Benigno langsung beranjak dari sofa. Dia menunggu Dante ikut berdiri seperti dirinya. Setelah itu dia mengayun langkah panjang menuju ruang makan. Ekor matanya menangkap bayangan Dante yang berjalan di belakangnya. Senyum tipis tersungging di bibirnya.Sementara itu, pikiran Dante berkecamuk. Seharusnya dia tidak menuruti kemauan Benigno. Kedatangannya ke sini bukan untuk beramah tamah dengan Benigno. Bisa saja dia menolak ajakan makan malam itu, lalu segera meninggalkan rumah ini dan kembali ke London.Namun, Dante tidak bisa melakukannya karena dia belum menemukan jawaban dari teka-teki yang diberikan oleh Benigno. Dia tidak akan pergi sebelum mendapatkan keinginannya."Kenapa kau tidak menyantap makan malammu? Carmela telah bersusah payah menyiapkan semua ini." Benigno menunjuk piring-piring berisi makanan yang terhidang di atas meja saat melihat Dante hanya terdiam sejak tadi."Kenapa kau memberi uang seratus juta dolar padaku?" Dante membalas dengan melontarkan pertanyaan. Rasa penasarannya meronta-ronta meminta jawaban.Benigno tertawa lebar usai mendengar pertanyaan Dante. Lalu dia terdiam, dan memandang Dante dengan serius."Apakah aku perlu alasan untuk memberi uang pada cucuku?"Telinga Dante berdengung panjang. Kepalanya berdenyut-denyut, lalu terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. “Cu-cumu?” Dante mengalami kesulitan saat mengucapkan kata itu. Dia menarik napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya. “Kenapa kau harus terkejut mendengarnya?” Perut Dante mendadak terasa mual. Dia sama sekali tidak memiliki bayangan tentang fakta yang baru saja dia dengar. “Claudia tidak pernah bilang masih memiliki ayah. Dia bercerita hidupnya sebatang kara sejak dia kanak-kanak.” “Dan kau percaya dengan semua bualannya itu?” Setelah itu Benigno Kembali menyantap makan malamnya dengan santai. Seolah tidak ada beban atas perkataan Dante. “Tentu saja aku mempercayainya karena selama hidupku, aku tidak pernah bertemu dengan satu pun anggota keluarga lain. Claudia adalah keluargaku satu-satunya.” Sejak dulu Dante telah terbiasa hidup berdua dengan ibunya tanpa pernah berandai-andai memiliki keluarga selain ibunya sendiri. Jangankan keluarga lain, dia saja tidak pernah
Keesokan paginya. Benigno menerobos masuk ke dalam kamar Dante. Sorot matanya dingin saat menatap Dante yang masih tertidur pulas. Bibir Benigno langsung mengatup rapat. Niat awalnya dia ingin membangunkan Dante. Tapi dia mengurungkan niatnya usai melihat Dante terbangun, lalu terduduk sambil menatap kosong ke arah Benigno “Bersiaplah! Satu jam lagi kita akan terbang ke London.” Beberapa jam kemudian, pesawat jet yang membawa Benigno dan Dante mendarat di London. Sebuah limosin telah menunggu setelah mereka turun dari pesawat, lalu mengantar ke gedung salah satu cabang perusahaan fashion milik Benigno yang berada di kota tersebut. "Aku akan menyerahkan seluruh isi gedung ini padamu dan kau harus menjalankannya dengan baik. Kau menjadi pemilik perusahaan ini sepenuhnya mulai sekarang." Benigno berucap dengan santai setelah mengajak Dante berkeliling dan melihat-lihat.Dia sama sekali tidak memperhatikan perubahan di wajah sang cucu. Dante menghentikan langkahnya. Keningnya berkerut
"Apa kau baik-baik saja?"Dante menghampiri Lizzy yang terduduk lemas di tanah. Gadis itu terlihat masih terguncang dengan peristiwa yang baru saja dia alami. Lizzy seolah berada di dunia lain, dan tidak mendengar pertanyaan Dante.Kemudian di belakangnya, Dante merasakan pergerakan yang mendekat ke arahnya. Dengan sigap dia memutar tubuhnya, bersiap menghadang serangan dari lawannya. Matanya tajam menatap, dan wajahnya terlihat kaku menahan amarah.Ben berlari seperti orang kesetanan sambil mengepalkan tangannya. Hatinya terasa panas karena laki-laki asing di depan sana telah berani ikut campur dalam urusannya. Ben ingin memberi pelajaran pada dia. Tapi Ben melakukan kesalahan karena lawannya berhasil menghindar, dan membuatnya tersungkur ke tanah sekali lagi."Segera pergi dari sini kalau kau tidak ingin menyesal." Dante menggertak dengan suara pelan.Karena tidak ingin terluka kembali, Ben memilih mundur. Posisinya kurang menguntungkan. Tidak masalah malam ini dia kalah, lain kali
"Kau mungkin salah orang." Dante berucap pelan sambil menatap laki-laki asing itu dengan sorot waspada. Tidak mungkin Dante menerima tamu tidak diundang ini dengan tangan terbuka. Mereka tidak pernah bertemu, juga tidak saling mengenal. Benigno juga tidak pernah bercerita tentang keberadaan laki-laki bernama Luca Massimo ini. "Sama sekali tidak. Aku memang saudaram. Lebih tepatnya saudara tiri," balas Luca dengan sikap acuh tak acuh. Dia lalu mendaratkan tubuhnya di atas sofa. Matanya melihat ke sekeliling ruangan itu dengan tatapan menyelidik. "Kau terlihat cocok berada di ruangan ini," lanjut Luca memberi komentar. Tangan Dante terkepal erat di atas meja. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Dia cukup bersabar dan berusaha menahan amarah yang hampir meledak saat menghadapi sikap lancang dari tamunya. Bila tidak mempedulikan posisinya saat ini, Dante pasti sudah menerkam Luca, lalu melemparkan laki-laki itu keluar dari hadapannya sekarang. "Kalau memang benar kita memiliki hubungan
"Emily ...."Dante berhasil menyebut nama itu sekali lagi dengan lancar sambil menahan amarah yang menggelegak di dalam dadanya. Rasa benci dan dendam menyebar ke seluruh tubuhnya hingga naik ke atas tepat di ubun-ubun kepala. Kedua matanya memerah, lalu giginya bergeretakan hingga menimbulkan suara yang membuat orang bergidik linu."Apa kau mengenalnya?" Kathryn penasaran dengan reaksi Dante yang dia rasa sangat berlebihan."Aku tidak ingin melibatkan dia dalam proyek ini," ungkap Dante seolah tidak mendengar pertanyaan Kathryn."Tapi dia sudah terikat kontrak secara eksklusif dengan perusahaan kita. Aku tidak mungkin melakukannya," balas Kathryn berusaha bersikap tetap tenang meskipun sebenarnya hatinya tengah memendam rasa kesal. "Ada kompensasi yang harus kita bayar untuk dia," pungkasnya."Tidak masalah. Aku bisa memberikan kompensasi dua puluh lima persen dari nilai kontrak yang telah dia tandatangani," ujar Dante sambil tersenyum licik.Mata Kathryn melotot seketika. Dia
“Kau ….”Setelah terdiam selama beberapa saat, Emily akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya. Jarinya terangkat, menunjuk wajah Dante.“Kau bisa kembali ke ruanganmu, Kathryn,” ucap Dante pada asistennya. Kathryn mengangguk. Sebelum meninggalkan ruangan itu, dia sempat melirik sebal pada Emily. Bila tidak ingat dia tengah bekerja, model itu pasti sudah babak belur terkena pukulan tangannya.Suasana menjadi hening. Sekarang tinggal Dante dan Emily saja di ruangan ini. Dante mendadak merasa canggung, tapi cuma sebentar. Lalu dia memusatkan perhatiannya pada mantan kekasihnya itu.“Kenapa kau bisa berada di sini?” cerca Emily. Dia masih dilanda kebingungan atas situasi yang tidak pernah dia duga sebelumnya.“Ini kantorku, sekaligus perusahaanku. Apa salah bila aku berada di sini?” tukas Dante ketus disertai dengan tatapan penghinaan yang kentara. “Duduklah di sofa, aku tidak ingin kau pingsan saat berada di sini,” lanjut Dante saat melihat kedua kaki Emily bergoyang-goyang seolah
Dua hari berselang. Emily terduduk lemas di ruang pertemuan kantor agensinya, menatap Sarah dengan sorot mata sayu. Bibir bawahnya sedikit robek akibat gigitan giginya yang kuat. Perih, tapi dia tidak terlalu mempedulikannya. "Apa salahku?" tanya Emily lirih. Sarah menggeleng lemah. Jawaban yang dia berikan pasti tidak akan memuaskan Emily. Dia sendiri tidak tahu alasan sebenarnya Mr. Lawrence memutus kontrak Emily dengan agensi ini. "Aku tidak tahu." Sarah mengangkat bahunya, lalu menatap ke luar ruangan melalui dinding kaca transparan yang berhadapan dengan deretan meja para staf. "Mr. Lawrence enggan bercerita padahal aku sudah mendesaknya." Emily beranjak dari kursi, berada di sini membuat dia merasa sangat pengap. Dia ingin segera pergi dari sini. Tapi sebelum meninggalkan ruangan itu, dia menatap Sarah dan berbicara dengan suara lantang. "Aku akan bertemu dengan Mr. Lawrence sendiri. Jangan harap aku menyerah begitu saja!" Sarah hanya diam. Dia memperhatikan Emily yang be
Sementara itu, di tempat lain tidak jauh dari kediaman Dante. Luca Massimo tengah menikmati minumannya di sebuah bar kumuh di sudut kota London. Raut wajahnya terlihat suram dan kedua matanya memancarkan sinar kebencian. Selama tiga puluh tahun hidupnya dia menyimpan dendam yang tidak kunjung terbalaskan. Sebagai cucu tidak sah dan tidak diakui dari salah satu mafia kaya raya di Italia, membuat hidupnya berantakan tanpa menentu arah tujuannya. Sejak usia empat tahun, ibunya telah mengabaikan keberadaannya, dan meninggalkannya di panti asuhan tanpa pernah mengunjungi dirinya walau hanya sekali. Dia pun baru mengetahui ibunya sudah meninggal saat usianya delapan belas tahun. Luca harus berjuang seorang diri setelah keluar dari tempat itu dengan mencoba berbagai jenis pekerjaan. Dalam hati dia bertekad untuk menemukan keluarganya yang sesunggunya. “Ibumu mengulangi kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh nenekmu,” ucap seorang pria tua yang tanpa sengaja Luca temui di bar dekat d
"Bagaimana keadaan Lizzy sekarang?"Dante menghampiri Fabio yang tengah duduk di sofa dengan raut wajah serius. Pertemuannya dengan Luca baru selesai satu jam lalu. Dia buru-buru datang ke pondok ini setelah mendapatkan kabar dari Fabio mengenai kecelakaan yang menimpa laki-laki itu dan Lizzy."Tidak ada luka serius. Kepalanya mengalami benturan keras tapi tidak terlalu parah. Dokter telah merawatnya dengan baik ," jawab Fabio. "Sekarang dia tengah tidur di kamarnya."Dante menghela napas lega. Pikirannya sempat berkecamuk saat di perjalanan tadi. Dia sangat mengkhawatirkan Lizzy."Aku tidak menyangka anak buah Marco Hernandez bisa menemukan keberadaan Lizzy di sana. Apa jangan-jangan pengacara itu bersekongkol dengan Marco?" Dante menduga-duga.Fabio terdiam selama beberapa saat. Bisa saja dugaan Dante memang benar adanya. Sebelum mengatur pertemuan itu, Dante dan dirinya telah menyusun rencana sematang mungkin agar tidak terjadi hal-hal buruk yang akan menimpa Lizzy.Sejak awal mere
"Aku harap pertemuanmu dengan pengacara itu bisa berjalan lancar."Dante memulai pembicaraan keesokan harinya saat akan meninggalkan pondok itu. Sebelumnya dia telah menghubungi si pengacara, dan membuat janji temu di suatu tempat yang berlokasi sangat jauh dari kota London. Tentu saja dia melakukannya demi menjaga keselamatan Lizzy. "Aku juga memiliki keinginan yang sama denganmu," balas Lizzy dengan sorot mata sendu. "Aku sangat yakin akan hal itu karena ada dirimu di dekatku.""Sepertinya kau salah paham," tukas Dante cepat.Alis Lizzy terangkat. "Apa maksudmu sebenarnya?" Kata-kata Dante tadi benar-benar membuat dia merasa bingung."Aku akan pergi setelah menurunkanmu di tempat pertemuan," jawab Dante sambil memutar roda kemudi saat membelokkan mobilnya menuju jalan besar yang ramai oleh kendaraan. "Tapi jangan khawatir. Ada beberapa orang yang menyamar dan berjaga di sekitarmu. Bila terjadi apa-apa, mereka bertanggung jawab menyelamatkanmu dan membawamu pergi dari sana segera."
"Jam berapa sekarang?"Lizzy menggumam. Dia mengucek matanya, dan tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu. Tubuhnya langsung membeku. Dia tidak sendirian di kamar ini.Perlahan ingatan Lizzy kembali. Semalam dia sempat meminum segelas wine sambil menikmati pemandangan langit malam. Bersama Dante. Setelah itu Dante membawanya masuk ke kamar ini. Dan bodohnya dia mengikuti permainan Dante hingga berakhir seperti ini. "Kau sudah bangun?" tanya Dante saat menyadari pergerakan tubuh Lizzy di sampingnya.Lizzy kehilangan kata-kata. Suaranya tercekat di tenggorokan. Perasaannya sekarang campur aduk. Kemudian Dante menaarik tubuh Lizzy hingga menghadap padanya. Dia menyunggingkan senyum tipis saat melihat Lizzy memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Dante semakin merapatkan pelukannya."Kau tidak perlu berpura-pura. Aku sudah tahu kau sudah bangun sedari tadi," bisik Dante di telinga Lizzy. Dia sengaja melakukannya untuk menggoda wanita itu.Pelan-pelan Lizzy membuka matanya. Kepalanya m
"Kau tidak perlu melakukan itu."Lizzy mendorong Dante menjauh. Mendadak dia merasa canggung saat berhadapan dengan Dante. Hal itu terjadi karena kejadian malam sebelumnya."Aku sama sekali tidak keberatan," balas Dante berusaha bersikap sesantai mungkin. Dia mundur beberapa langkah, lalu memandang Lizzy lurus. "Lagi pula aku sudah berjanji padamu untuk menyingkirkan orang gila itu dari hidupmu. Apa kau sudah melupakannya?" Dante mengingatkan.Lizzy menatap ragu pada Dante. Tenggorokannya terasa kering sehingga dia mengalami kesulitan untuk berbicara.Tentu saja ingatan itu masih tercetak dengan jelas di kepalanya. Terlebih dia sudah melakukan keinginan Dante sebagai ganti dirinya yang berpura-pura menjadi kekasih laki-laki itu."Tapi kau tidak harus berada di sini. Kau bisa melakukannya dari rumahmu sementara aku bersembunyi di sini," ucap Lizzy akhirnya setelah mampu berpikir jernih.Mendengar kata-kata Lizzy barusan, membuat Dante sedikit tersinggung. Raut wajahnya mendadak keruh. S
"Kau melihat Lizzy?" Dante bertanya pada Sofia saat akan menyantap saraapannya. Pagi tadi dia mendapati sisi tempat tidurnya yang lain telah kosong, Tidak ada Lizzy di sampingnya. Entah sejak kapan wanita itu meninggalkan kamarnya, dia tidak menyadarinya. "Dia bilang ingin pergi ke makam orang tuanya. Fabio mengantar dia ke sana," jawab Sofia lalu segera meninggalkan tuannya. Samar-samar Dante mengingat ucapan Lizzy semalam saat dia setengah mabuk. Lizzy membicarakan tentang kunjungan ke makam orang tuanya. Lalu setelah itu terjadilah sesuatu yang berada di luar kendalinya. Lizzy pasti sangat membencinya, dan marah padanya. tidak bisa dipungkiri lagi. Karena dia telah merenggut kesucian Lizzy secara paksa. Dante benar-benar gila. Seharusnya dia melindungi Lizzy. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sekarang selera makannya mendadak hilang. Sepertinya pagi ini dia tidak akan pergi bekerja. Dia akan menunggu sampai Lizzy pulang. Sementara itu, di tempat lain. Lizzy tidak segera
"Selamat, Dante. Sekarang kau menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan ini." Alberto mengulurkan tangannya, mengajak Dante bersalaman setelah mereka menandatangani surat perjanjian alih kepemilikian saham. Laki-laki tua itu menyunggingkan senyum lebar. Kali ini dia terlihat sangat ramah dan bersahabat pada Dante. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Alberto selalu menunjukkan sikap permusuhan pada Dante, juga mendiang kakeknya. "Terima kasih, Signor Alberto," balas Dante lalu menjabat tangan Alberto erat selama beberapa detik. Dia segera melepas tangan yang telah keriput itu. "Tentu saja semua berkat Anda," lanjut Dante basa-basi. Semua orang yang berada di ruangan itu, yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut bertepuk tangan dengan keras. Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi perusahaan House of Corradeo sebagai tanda berakhirnya pengaruh Alberto di sana. Hal itu patut dirayakan, mengingat bahwa selama ini beberapa di antara mereka memendam kebencian pada laki-laki tua itu.
"Tinggalkan kami berdua."Dante memberi isyarat pada Fabio dan beberapa laki-laki yang berdiri di sana untuk keluar dari gudang itu. Dia ingin berbicara dengan Ben secara pribadi tanpa ada gangguan dari yang lain. Laki-laki itu masih duduk di kursi kemarin dan menatapnya dengan sorot mengejek. Dante berusaha mengendalikan dirinya agar tidak terpancing lalu melakukan tindakan yang bodoh."Dalam setelan jas yang kau kenakan sekarang, dirimu benar-benar terlihat berbeda," ucap Ben setelah Dante berada di depannya."Terima kasih atas pujianmu. Sayangnya aku tidak membutuhkannya," balas Dante sinis.Ben tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Dante. Kelihatannya dia salah memilih lawan. Dari penampilannya, Ben menyadari bahwa Dante bukan orang sembarangan.Tawa itu seketika berhenti setelah Dante melayangkan sebuah pukulan tepat mengenai rahang Ben. Darah segar langsung keluar dari mulut Ben. Dia meringis kesakitan, dan matanya nyalang menatap Dante."Kau ....""Jangan pernah terta
"Kathryn .... Atur pertemuan dengan pengacaraku."Dante berdiri di depan meja asisten pribadinya itu dan terlihat sedikit gusar. Pertemuannya dengan Alberto beberapa menit yang lalu berhasil membuat darahnya mendidih. Tapi dia memilih untuk menahan amarahnya karena tidak ingin membuat laki-laki itu senang dengan ancamannya."Apa yang terjadi?"Kathryn menatap bingung padanya. Sebelum bertemu Alberto, suasana hati Dante terlihat biasa saja. Sekarang yang tampak justru sebaliknya. Bosnya seperti memendam amarah yang besar, dan akan tumpah keluar."Alberto ingin menjual sahamnya padaku. Kalau aku tidak menerima tawarannya, maka dia ...." Dante mengepalkan tangannya dan menggeretakkan giginya. "Dia akan menjualnya pada Luca," pungkasnya."Dan kau menerima tawaran Alberto?" Kathryn menajamkan matanya, lalu menggeleng perlahan. Sama sekali dia tidak habis pikir dengan sikap Dante. Dia sangat mengenal atasannya itu cukup baik. Dante tidak akan mudah menyerah, atau berlari ketakutan karena ge
"Siapa yang menelpon?" Dante bertanya meskipun dia sudah tahu identitas si penelpon. Mantan kekasih Lizzy benar-benar orang yang tidak tahu diri. Laki-laki itu masih saja terus mengganggu padahal hubungannya dengan Lizzy sudah berakhir. "Ben ...." Lizzy menggigit bibirnya, lalu menundukkan kepalanya. Dia tidak mungkin memberi tahu Dante tentang ancaman yang diberikan Ben padanya. "Apa yang dia katakan?" tuntut Dante setelah melihat perubahan di wajah Lizzy. Laki-laki itu pasti mengatakan sesuatu yang buruk sehingga Lizzy tertunduk lesu. Lizzy menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang penting," jawab Lizzy tanpa berani menatap Dante. Dante mendengus kesal. "Kau bukan pembohong yang ulung. Jadi, sebaiknya katakan yang sebenarnya padaku," gertak Dante dengan suara keras. Lizzy memegang pinggiran meja, lalu dia mengangkat kepalanya. "Ben meminta uang satu juta dollar padaku," bisik Lizzy tanpa berani menatap wajah Dante. "Dia mengancam akan melaporkan tempat persembunyianku pada Mar