"Emily ...."
Dante Whincester memanggil nama kekasihnya saat menangkap sekelebat bayangan yang lewat tidak jauh darinya. Dia berjalan cepat setengah berlari mengikuti Emily dan laki-laki asing itu. Sengaja dirinya menjaga jarak sejauh lima meter agar tidak ketahuan oleh mereka. Hatinya bergemuruh saat melihat pemandangan yang ada di depannya.
Dante semakin mempercepat langkahnya agar tidak kehilangan jejak. Emily dan laki-laki itu memasuki lobi hotel dengan saling bertatapan dan tersenyum lebar. Melihat itu, membuat Dante mengumpat dalam hati. Lalu dia bersembunyi di balik dinding saat mereka tengah berdiri di depan meja resepsionis." .... kamar 502."Suara resepsionis yang cukup keras itu berhasil didengar oleh Dante dengan baik. Dante tersenyum lebar. Dia tidak akan kesulitan untuk menemukan kamar mereka. Pelan-pelan dia mengayun langkah menghampiri pintu yang tertutup rapat. Tangannya terkepal, dan mengetuk pintu itu beberapa kali."Siapa itu?"Dante mendengar sahutan dari dalam kamar. Dia berdeham sebentar, mengatur suaranya."Layanan kamar," jawabnya dengan suara agak serak.Pintu terbuka tidak lama berselang. Laki-laki itu, kekasih gelap Emily, berdiri di depan Dante hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Dante memandang lurus ke arahnya dengan mulut terkunci rapat. Dari balik bahu laki-laki itu, Dante bisa melihat Emily tengah memakai piyama dengan terburu-buru untuk menutupi tubuhnya yang telanjang.Dante membelalakkan matanya lebar saat melihat pemandangan yang ada di depannya. Dia seolah melihat hantu. Tubuh Dante bergetar. Meskipun sebelumnya dia telah menyiapkan mentalnya untuk menghadapi kemungkinan terburuk, dia tidak pernah menyangka bila berakhir seperti ini.“Siapa dirimu sebenarnya?” tanya laki-laki itu bingung karena tamu yang baru datang tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai pelayan kamar.Dante tidak menjawab, dan hanya menatap laki-laki itu. Jantungnya bergemuruh. Kedua matanya memerah. Suasana berubah hening, tapi penuh dengan ketegangan. Laki-laki itu menyipitkan matanya, mulai curiga. Dia menatap Dante, lalu ganti menatap Emily.“Apa kau bisa menjelaskan ini, Emily?” tuntut dia.“Dante, apa yang kau lakukan di sini?” Emily akhirnya berbicara.Dante bergeming. Dia memandang Emily yang tampak berbeda malam ini. Dia hampir tidak bisa mengenali kekasihnya itu karena riasan Emily cukup mencolok dengan lipstik di bibir yang belepotan.“Jangan bilang bahwa kalian saling mengenal!” Mata laki-laki itu melebar, terkejut dengan dugaannya.Dante tidak bisa mengelak. “Emily adalah kekasihku,” ucap Dante pelan tapi tegas.Laki-laki itu terkekeh. Dia tertawa histeris selama beberapa saat tanpa mempedulikan dua orang lainnya. Dante terlihat sangat terkejut. Dia tidak menyangka laki-laki itu memberi reaksi di luar dugaan. Semula dia berpikir laki-laki itu akan menyesal setelah mendengar ucapannya. Ternyata dia salah besar."Kau ... Kekasih Emily?" Laki-laki itu menatap Dante dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan sorot mencemooh. "Dari mana kau mendapatkan laki-laki seperti ini?" Laki-laki itu bertanya sambil melirik Emily."Apa pun katamu, Emily tetap kekasihku.”"Dante! Hentikan semua omong kosongmu itu." Kali ini giliran Emily yang berbicara setelah sejak tadi dia hanya mengamati perdebatan dua orang laki-laki itu.Dante mengayun dua langkah, mencoba mendekati Emily. Tapi sebuah lengan kekar menahannya agar tetap berada di tempatnya semula."Sebaiknya kau segera pergi dari sini," desis laki-laki itu sambil menatap tajam pada Dante.Dante menepis tangan itu kuat-kuat. "Emily .... Kau pilih aku atau dia?" Dia memberi ultimatum."Kau lihat, Emily sama sekali tidak ingin bersamamu," tukas laki-laki itu saat Emily tidak kunjung beranjak dari tempatnya.
Kemudian Emily mendengus kesal. Kehadiran Dante telah mengacaukan segalanya. Parahnya lagi, dia mengalami kesulitan saat mengusir Dante dari kamar ini."Aku tidak ingin hidup menderita. Saat bersamamu, aku sama sekali tidak bahagia," jawab Emily mantap seraya menatap Dante lurus, lalu dia melanjutkan. "Aku ingin hubungan kita berakhir sampai di sini. Mulai sekarang kau bisa pergi dari kehidupanku. Tinggalkan apartemenku."
Laki-laki itu mendorong tubuh Dante keluar dari kamar. Lalu dia membanting pintu hingga tertutup kembali tepat di depan hidung Dante."Aku pasti akan membalas penghinaanmu ini Emily. Ingat itu." ucap Dante dengan tubuh gemetar karena menahan amarah. Lalu dia berjalan menjauh dari sana.Dante mengepalkan tangannya erat saat meninggalkan hotel. Amarahnya belum mereda. Seumur hidupnya, dia telah menerima banyak penghinaan dari orang lain. Selama itu pula dia berhasil menahan semuanya. Tidak ingin larut dalam kesedihan, Dante bergegas kembali ke klub. Kemudian langkah Dante berhenti tepat beberapa meter dari klub. Tubuhnya membeku. Di depan sana dia melihat kekacauan. Orang-orang berhamburan keluar saling berdesakan. Para wanita terlihat histeris dan ketakutan. Selain itu ada dua buah mobil polisi berhenti tidak jauh dari sana.Dante bergegas berlari masuk ke dalam klub dengan tatapan bingung. Meja dan kursi berantakan dan dalam kondisi terbalik. Serpihan kaca dari botol minuman dan gelas tercecer di lantai. Kemudian Dante melihat Mr. Robert, manajer klub, tengah berbicara dengan salah satu polisi. Dia mendekati mereka, ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.Polisi itu pergi, lalu Mr. Robert menyadari kehadiran Dante. Mr. Robert mendekati Dante dengan wajah murka. Tanpa aba-aba dia melayangkan pukulan keras yang tepat mengenai rahang Dante. Dante terhuyung mundur. Dia menyentuh rahangnya yang sakit dan perih."Berani-beraninya kau ke sini!" teriak Mr. Robert. Matanya menyala, dan wajahnya terlihat menyeramkan."Tunggu dulu ...." Dante merentangkan tangannya, mencegah Mr. Robert mendekatinya."Karena kau, aku mengalami kerugian banyak. Beberapa orang hilang kendali dan menyebabkan masalah, menghancurkan klubku.""Aku bisa menjelaskan Mr. Robert.""Aku tidak butuh penjelasanmu. Malam ini malam terakhirmu di sini!”Setelah mengucapkan itu, Mr. Robert meninggalkan Dante yang masih diam termangu. Secepatnya, dia akan mencari pengganti Dante.Keesokan paginya Dante terbangun dengan perasaan tidak enak. Dia mengernyit kesakitan saat membuka mulutnya. Rasa sakitnya itu mengingatkan dia tentang kejadian semalam. Seperti mimpi buruk yang hadir dalam tidurnya.Dante segera melompat dari tempat tidurnya. Setelah membersihkan diri, dia langsung mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih. Sekarang dia harus mengubah rencananya untuk hari ini. Pertama, Dante menghubungi staf pribadi walikota untuk membatalkan rencananya semula yaitu membersihkan kediaman walikota tersebut. Kedua, dia membereskan semua pakaiannya yang ada di dalam lemari. Karena kehadirannya di apartemen ini tidak lagi diinginkan oleh Emily, jadi dia memutuskan untuk buru-buru keluar dari tempat ini sebelum mantan kekasihnya kembali.Sebuah kotak berwarna biru berisi cincin sederhana yang Dante siapkan untuk melamar Emily berhasil menyita perhatiannya selama beberapa detik. Lalu kotak itu dia lempar secara sempurna masuk ke dalam tas bersama dengan tumpukan baju.Dante memandanginya selama beberapa saat. Dia akan menyimpan cincin itu hingga dia berhasil menemukan calon istri yang tepat untuknya. Kemudian Dante mendengar ponselnya berbunyi. Dia langsung meraih benda pipih itu, dan menemukan nomor asing tertera di atas layar. Penasaran, Dante pun menjawab panggilan itu."Halo ....""Halo .... Benarkah ini dengan Mr. Dante Whincester?"Semula Dante ragu-ragu menjawab, lalu dia berkata terpatah-patah. "Ya .... Saya- Dante Whincester. Ada masalah apa?""Kau baru saja menerima transferan uang sejumlah seratus juta dolar."Ponsel di tangan Dante merosot jatuh dari tangannya, lalu membentur lantai. Kalimat selanjutnya dari si penelpon tidak terdengar dengan jelas oleh dirinya."Selamat datang, Mr. Dante Whincester," sapa manajer bank dengan senyum ramah saat menyambut kedatangan Dante di bank itu. Dia lalu mengajak Dante masuk ke dalam ruangannya. "Saya ingin tahu. Siapa yang telah mengirim uang sebanyak itu ke rekening saya? Mungkinkah terjadi kesalahan?" Dante melontarkan pertanyaan secara terus terang. Dia tidak ingin berbasa-basi. Semakin cepat dia mendapatkan jawaban, semakin cepat pula masalah ini akan terselesaikan. "Silakan duduk dulu." Manajer bank menunjuk kursi yang berada tepat di depan meja kerjanya. "Saya akan menjelaskannya pelan-pelan," lanjut laki-laki muda dengan setelan rapi itu. Dante menarik kursi itu, lalu duduk perlahan. Jantungnya berdetak sangat cepat. Tapi laki-laki yang sedang duduk di depannya justru terlihat santai dan tidak terbebani dengan masalah Dante. "Seseorang telah mengirimkan uang itu dari bank yang berada di kota Milan. Mungkin saja Anda memiliki seorang saudara atau kenalan dari sana." Milan. Kota itu bahkan as
Telinga Dante berdengung panjang. Kepalanya berdenyut-denyut, lalu terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. “Cu-cumu?” Dante mengalami kesulitan saat mengucapkan kata itu. Dia menarik napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya. “Kenapa kau harus terkejut mendengarnya?” Perut Dante mendadak terasa mual. Dia sama sekali tidak memiliki bayangan tentang fakta yang baru saja dia dengar. “Claudia tidak pernah bilang masih memiliki ayah. Dia bercerita hidupnya sebatang kara sejak dia kanak-kanak.” “Dan kau percaya dengan semua bualannya itu?” Setelah itu Benigno Kembali menyantap makan malamnya dengan santai. Seolah tidak ada beban atas perkataan Dante. “Tentu saja aku mempercayainya karena selama hidupku, aku tidak pernah bertemu dengan satu pun anggota keluarga lain. Claudia adalah keluargaku satu-satunya.” Sejak dulu Dante telah terbiasa hidup berdua dengan ibunya tanpa pernah berandai-andai memiliki keluarga selain ibunya sendiri. Jangankan keluarga lain, dia saja tidak pernah
Keesokan paginya. Benigno menerobos masuk ke dalam kamar Dante. Sorot matanya dingin saat menatap Dante yang masih tertidur pulas. Bibir Benigno langsung mengatup rapat. Niat awalnya dia ingin membangunkan Dante. Tapi dia mengurungkan niatnya usai melihat Dante terbangun, lalu terduduk sambil menatap kosong ke arah Benigno “Bersiaplah! Satu jam lagi kita akan terbang ke London.” Beberapa jam kemudian, pesawat jet yang membawa Benigno dan Dante mendarat di London. Sebuah limosin telah menunggu setelah mereka turun dari pesawat, lalu mengantar ke gedung salah satu cabang perusahaan fashion milik Benigno yang berada di kota tersebut. "Aku akan menyerahkan seluruh isi gedung ini padamu dan kau harus menjalankannya dengan baik. Kau menjadi pemilik perusahaan ini sepenuhnya mulai sekarang." Benigno berucap dengan santai setelah mengajak Dante berkeliling dan melihat-lihat.Dia sama sekali tidak memperhatikan perubahan di wajah sang cucu. Dante menghentikan langkahnya. Keningnya berkerut
"Apa kau baik-baik saja?"Dante menghampiri Lizzy yang terduduk lemas di tanah. Gadis itu terlihat masih terguncang dengan peristiwa yang baru saja dia alami. Lizzy seolah berada di dunia lain, dan tidak mendengar pertanyaan Dante.Kemudian di belakangnya, Dante merasakan pergerakan yang mendekat ke arahnya. Dengan sigap dia memutar tubuhnya, bersiap menghadang serangan dari lawannya. Matanya tajam menatap, dan wajahnya terlihat kaku menahan amarah.Ben berlari seperti orang kesetanan sambil mengepalkan tangannya. Hatinya terasa panas karena laki-laki asing di depan sana telah berani ikut campur dalam urusannya. Ben ingin memberi pelajaran pada dia. Tapi Ben melakukan kesalahan karena lawannya berhasil menghindar, dan membuatnya tersungkur ke tanah sekali lagi."Segera pergi dari sini kalau kau tidak ingin menyesal." Dante menggertak dengan suara pelan.Karena tidak ingin terluka kembali, Ben memilih mundur. Posisinya kurang menguntungkan. Tidak masalah malam ini dia kalah, lain kali
"Kau mungkin salah orang." Dante berucap pelan sambil menatap laki-laki asing itu dengan sorot waspada. Tidak mungkin Dante menerima tamu tidak diundang ini dengan tangan terbuka. Mereka tidak pernah bertemu, juga tidak saling mengenal. Benigno juga tidak pernah bercerita tentang keberadaan laki-laki bernama Luca Massimo ini. "Sama sekali tidak. Aku memang saudaram. Lebih tepatnya saudara tiri," balas Luca dengan sikap acuh tak acuh. Dia lalu mendaratkan tubuhnya di atas sofa. Matanya melihat ke sekeliling ruangan itu dengan tatapan menyelidik. "Kau terlihat cocok berada di ruangan ini," lanjut Luca memberi komentar. Tangan Dante terkepal erat di atas meja. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Dia cukup bersabar dan berusaha menahan amarah yang hampir meledak saat menghadapi sikap lancang dari tamunya. Bila tidak mempedulikan posisinya saat ini, Dante pasti sudah menerkam Luca, lalu melemparkan laki-laki itu keluar dari hadapannya sekarang. "Kalau memang benar kita memiliki hubungan
"Emily ...."Dante berhasil menyebut nama itu sekali lagi dengan lancar sambil menahan amarah yang menggelegak di dalam dadanya. Rasa benci dan dendam menyebar ke seluruh tubuhnya hingga naik ke atas tepat di ubun-ubun kepala. Kedua matanya memerah, lalu giginya bergeretakan hingga menimbulkan suara yang membuat orang bergidik linu."Apa kau mengenalnya?" Kathryn penasaran dengan reaksi Dante yang dia rasa sangat berlebihan."Aku tidak ingin melibatkan dia dalam proyek ini," ungkap Dante seolah tidak mendengar pertanyaan Kathryn."Tapi dia sudah terikat kontrak secara eksklusif dengan perusahaan kita. Aku tidak mungkin melakukannya," balas Kathryn berusaha bersikap tetap tenang meskipun sebenarnya hatinya tengah memendam rasa kesal. "Ada kompensasi yang harus kita bayar untuk dia," pungkasnya."Tidak masalah. Aku bisa memberikan kompensasi dua puluh lima persen dari nilai kontrak yang telah dia tandatangani," ujar Dante sambil tersenyum licik.Mata Kathryn melotot seketika. Dia
“Kau ….”Setelah terdiam selama beberapa saat, Emily akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya. Jarinya terangkat, menunjuk wajah Dante.“Kau bisa kembali ke ruanganmu, Kathryn,” ucap Dante pada asistennya. Kathryn mengangguk. Sebelum meninggalkan ruangan itu, dia sempat melirik sebal pada Emily. Bila tidak ingat dia tengah bekerja, model itu pasti sudah babak belur terkena pukulan tangannya.Suasana menjadi hening. Sekarang tinggal Dante dan Emily saja di ruangan ini. Dante mendadak merasa canggung, tapi cuma sebentar. Lalu dia memusatkan perhatiannya pada mantan kekasihnya itu.“Kenapa kau bisa berada di sini?” cerca Emily. Dia masih dilanda kebingungan atas situasi yang tidak pernah dia duga sebelumnya.“Ini kantorku, sekaligus perusahaanku. Apa salah bila aku berada di sini?” tukas Dante ketus disertai dengan tatapan penghinaan yang kentara. “Duduklah di sofa, aku tidak ingin kau pingsan saat berada di sini,” lanjut Dante saat melihat kedua kaki Emily bergoyang-goyang seolah
Dua hari berselang. Emily terduduk lemas di ruang pertemuan kantor agensinya, menatap Sarah dengan sorot mata sayu. Bibir bawahnya sedikit robek akibat gigitan giginya yang kuat. Perih, tapi dia tidak terlalu mempedulikannya. "Apa salahku?" tanya Emily lirih. Sarah menggeleng lemah. Jawaban yang dia berikan pasti tidak akan memuaskan Emily. Dia sendiri tidak tahu alasan sebenarnya Mr. Lawrence memutus kontrak Emily dengan agensi ini. "Aku tidak tahu." Sarah mengangkat bahunya, lalu menatap ke luar ruangan melalui dinding kaca transparan yang berhadapan dengan deretan meja para staf. "Mr. Lawrence enggan bercerita padahal aku sudah mendesaknya." Emily beranjak dari kursi, berada di sini membuat dia merasa sangat pengap. Dia ingin segera pergi dari sini. Tapi sebelum meninggalkan ruangan itu, dia menatap Sarah dan berbicara dengan suara lantang. "Aku akan bertemu dengan Mr. Lawrence sendiri. Jangan harap aku menyerah begitu saja!" Sarah hanya diam. Dia memperhatikan Emily yang be
"Bagaimana keadaan Lizzy sekarang?"Dante menghampiri Fabio yang tengah duduk di sofa dengan raut wajah serius. Pertemuannya dengan Luca baru selesai satu jam lalu. Dia buru-buru datang ke pondok ini setelah mendapatkan kabar dari Fabio mengenai kecelakaan yang menimpa laki-laki itu dan Lizzy."Tidak ada luka serius. Kepalanya mengalami benturan keras tapi tidak terlalu parah. Dokter telah merawatnya dengan baik ," jawab Fabio. "Sekarang dia tengah tidur di kamarnya."Dante menghela napas lega. Pikirannya sempat berkecamuk saat di perjalanan tadi. Dia sangat mengkhawatirkan Lizzy."Aku tidak menyangka anak buah Marco Hernandez bisa menemukan keberadaan Lizzy di sana. Apa jangan-jangan pengacara itu bersekongkol dengan Marco?" Dante menduga-duga.Fabio terdiam selama beberapa saat. Bisa saja dugaan Dante memang benar adanya. Sebelum mengatur pertemuan itu, Dante dan dirinya telah menyusun rencana sematang mungkin agar tidak terjadi hal-hal buruk yang akan menimpa Lizzy.Sejak awal mere
"Aku harap pertemuanmu dengan pengacara itu bisa berjalan lancar."Dante memulai pembicaraan keesokan harinya saat akan meninggalkan pondok itu. Sebelumnya dia telah menghubungi si pengacara, dan membuat janji temu di suatu tempat yang berlokasi sangat jauh dari kota London. Tentu saja dia melakukannya demi menjaga keselamatan Lizzy. "Aku juga memiliki keinginan yang sama denganmu," balas Lizzy dengan sorot mata sendu. "Aku sangat yakin akan hal itu karena ada dirimu di dekatku.""Sepertinya kau salah paham," tukas Dante cepat.Alis Lizzy terangkat. "Apa maksudmu sebenarnya?" Kata-kata Dante tadi benar-benar membuat dia merasa bingung."Aku akan pergi setelah menurunkanmu di tempat pertemuan," jawab Dante sambil memutar roda kemudi saat membelokkan mobilnya menuju jalan besar yang ramai oleh kendaraan. "Tapi jangan khawatir. Ada beberapa orang yang menyamar dan berjaga di sekitarmu. Bila terjadi apa-apa, mereka bertanggung jawab menyelamatkanmu dan membawamu pergi dari sana segera."
"Jam berapa sekarang?"Lizzy menggumam. Dia mengucek matanya, dan tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu. Tubuhnya langsung membeku. Dia tidak sendirian di kamar ini.Perlahan ingatan Lizzy kembali. Semalam dia sempat meminum segelas wine sambil menikmati pemandangan langit malam. Bersama Dante. Setelah itu Dante membawanya masuk ke kamar ini. Dan bodohnya dia mengikuti permainan Dante hingga berakhir seperti ini. "Kau sudah bangun?" tanya Dante saat menyadari pergerakan tubuh Lizzy di sampingnya.Lizzy kehilangan kata-kata. Suaranya tercekat di tenggorokan. Perasaannya sekarang campur aduk. Kemudian Dante menaarik tubuh Lizzy hingga menghadap padanya. Dia menyunggingkan senyum tipis saat melihat Lizzy memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Dante semakin merapatkan pelukannya."Kau tidak perlu berpura-pura. Aku sudah tahu kau sudah bangun sedari tadi," bisik Dante di telinga Lizzy. Dia sengaja melakukannya untuk menggoda wanita itu.Pelan-pelan Lizzy membuka matanya. Kepalanya m
"Kau tidak perlu melakukan itu."Lizzy mendorong Dante menjauh. Mendadak dia merasa canggung saat berhadapan dengan Dante. Hal itu terjadi karena kejadian malam sebelumnya."Aku sama sekali tidak keberatan," balas Dante berusaha bersikap sesantai mungkin. Dia mundur beberapa langkah, lalu memandang Lizzy lurus. "Lagi pula aku sudah berjanji padamu untuk menyingkirkan orang gila itu dari hidupmu. Apa kau sudah melupakannya?" Dante mengingatkan.Lizzy menatap ragu pada Dante. Tenggorokannya terasa kering sehingga dia mengalami kesulitan untuk berbicara.Tentu saja ingatan itu masih tercetak dengan jelas di kepalanya. Terlebih dia sudah melakukan keinginan Dante sebagai ganti dirinya yang berpura-pura menjadi kekasih laki-laki itu."Tapi kau tidak harus berada di sini. Kau bisa melakukannya dari rumahmu sementara aku bersembunyi di sini," ucap Lizzy akhirnya setelah mampu berpikir jernih.Mendengar kata-kata Lizzy barusan, membuat Dante sedikit tersinggung. Raut wajahnya mendadak keruh. S
"Kau melihat Lizzy?" Dante bertanya pada Sofia saat akan menyantap saraapannya. Pagi tadi dia mendapati sisi tempat tidurnya yang lain telah kosong, Tidak ada Lizzy di sampingnya. Entah sejak kapan wanita itu meninggalkan kamarnya, dia tidak menyadarinya. "Dia bilang ingin pergi ke makam orang tuanya. Fabio mengantar dia ke sana," jawab Sofia lalu segera meninggalkan tuannya. Samar-samar Dante mengingat ucapan Lizzy semalam saat dia setengah mabuk. Lizzy membicarakan tentang kunjungan ke makam orang tuanya. Lalu setelah itu terjadilah sesuatu yang berada di luar kendalinya. Lizzy pasti sangat membencinya, dan marah padanya. tidak bisa dipungkiri lagi. Karena dia telah merenggut kesucian Lizzy secara paksa. Dante benar-benar gila. Seharusnya dia melindungi Lizzy. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sekarang selera makannya mendadak hilang. Sepertinya pagi ini dia tidak akan pergi bekerja. Dia akan menunggu sampai Lizzy pulang. Sementara itu, di tempat lain. Lizzy tidak segera
"Selamat, Dante. Sekarang kau menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan ini." Alberto mengulurkan tangannya, mengajak Dante bersalaman setelah mereka menandatangani surat perjanjian alih kepemilikian saham. Laki-laki tua itu menyunggingkan senyum lebar. Kali ini dia terlihat sangat ramah dan bersahabat pada Dante. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Alberto selalu menunjukkan sikap permusuhan pada Dante, juga mendiang kakeknya. "Terima kasih, Signor Alberto," balas Dante lalu menjabat tangan Alberto erat selama beberapa detik. Dia segera melepas tangan yang telah keriput itu. "Tentu saja semua berkat Anda," lanjut Dante basa-basi. Semua orang yang berada di ruangan itu, yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut bertepuk tangan dengan keras. Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi perusahaan House of Corradeo sebagai tanda berakhirnya pengaruh Alberto di sana. Hal itu patut dirayakan, mengingat bahwa selama ini beberapa di antara mereka memendam kebencian pada laki-laki tua itu.
"Tinggalkan kami berdua."Dante memberi isyarat pada Fabio dan beberapa laki-laki yang berdiri di sana untuk keluar dari gudang itu. Dia ingin berbicara dengan Ben secara pribadi tanpa ada gangguan dari yang lain. Laki-laki itu masih duduk di kursi kemarin dan menatapnya dengan sorot mengejek. Dante berusaha mengendalikan dirinya agar tidak terpancing lalu melakukan tindakan yang bodoh."Dalam setelan jas yang kau kenakan sekarang, dirimu benar-benar terlihat berbeda," ucap Ben setelah Dante berada di depannya."Terima kasih atas pujianmu. Sayangnya aku tidak membutuhkannya," balas Dante sinis.Ben tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Dante. Kelihatannya dia salah memilih lawan. Dari penampilannya, Ben menyadari bahwa Dante bukan orang sembarangan.Tawa itu seketika berhenti setelah Dante melayangkan sebuah pukulan tepat mengenai rahang Ben. Darah segar langsung keluar dari mulut Ben. Dia meringis kesakitan, dan matanya nyalang menatap Dante."Kau ....""Jangan pernah terta
"Kathryn .... Atur pertemuan dengan pengacaraku."Dante berdiri di depan meja asisten pribadinya itu dan terlihat sedikit gusar. Pertemuannya dengan Alberto beberapa menit yang lalu berhasil membuat darahnya mendidih. Tapi dia memilih untuk menahan amarahnya karena tidak ingin membuat laki-laki itu senang dengan ancamannya."Apa yang terjadi?"Kathryn menatap bingung padanya. Sebelum bertemu Alberto, suasana hati Dante terlihat biasa saja. Sekarang yang tampak justru sebaliknya. Bosnya seperti memendam amarah yang besar, dan akan tumpah keluar."Alberto ingin menjual sahamnya padaku. Kalau aku tidak menerima tawarannya, maka dia ...." Dante mengepalkan tangannya dan menggeretakkan giginya. "Dia akan menjualnya pada Luca," pungkasnya."Dan kau menerima tawaran Alberto?" Kathryn menajamkan matanya, lalu menggeleng perlahan. Sama sekali dia tidak habis pikir dengan sikap Dante. Dia sangat mengenal atasannya itu cukup baik. Dante tidak akan mudah menyerah, atau berlari ketakutan karena ge
"Siapa yang menelpon?" Dante bertanya meskipun dia sudah tahu identitas si penelpon. Mantan kekasih Lizzy benar-benar orang yang tidak tahu diri. Laki-laki itu masih saja terus mengganggu padahal hubungannya dengan Lizzy sudah berakhir. "Ben ...." Lizzy menggigit bibirnya, lalu menundukkan kepalanya. Dia tidak mungkin memberi tahu Dante tentang ancaman yang diberikan Ben padanya. "Apa yang dia katakan?" tuntut Dante setelah melihat perubahan di wajah Lizzy. Laki-laki itu pasti mengatakan sesuatu yang buruk sehingga Lizzy tertunduk lesu. Lizzy menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang penting," jawab Lizzy tanpa berani menatap Dante. Dante mendengus kesal. "Kau bukan pembohong yang ulung. Jadi, sebaiknya katakan yang sebenarnya padaku," gertak Dante dengan suara keras. Lizzy memegang pinggiran meja, lalu dia mengangkat kepalanya. "Ben meminta uang satu juta dollar padaku," bisik Lizzy tanpa berani menatap wajah Dante. "Dia mengancam akan melaporkan tempat persembunyianku pada Mar