Keesokan paginya.
Benigno menerobos masuk ke dalam kamar Dante. Sorot matanya dingin saat menatap Dante yang masih tertidur pulas. Bibir Benigno langsung mengatup rapat. Niat awalnya dia ingin membangunkan Dante. Tapi dia mengurungkan niatnya usai melihat Dante terbangun, lalu terduduk sambil menatap kosong ke arah Benigno“Bersiaplah! Satu jam lagi kita akan terbang ke London.”Beberapa jam kemudian, pesawat jet yang membawa Benigno dan Dante mendarat di London. Sebuah limosin telah menunggu setelah mereka turun dari pesawat, lalu mengantar ke gedung salah satu cabang perusahaan fashion milik Benigno yang berada di kota tersebut."Aku akan menyerahkan seluruh isi gedung ini padamu dan kau harus menjalankannya dengan baik. Kau menjadi pemilik perusahaan ini sepenuhnya mulai sekarang."Benigno berucap dengan santai setelah mengajak Dante berkeliling dan melihat-lihat.Dia sama sekali tidak memperhatikan perubahan di wajah sang cucu. Dante menghentikan langkahnya. Keningnya berkerut. Dirinya sangat terganggu dengan kata-kata Benigno barusan."Kau tidak serius, 'kan?"Benigno memutar tubuhnya. Dia memandang Dante lurus dan tajam."Apa yang membuatmu berpikir demikian?" Benigno melangkah maju, mendekati Dante."Melihat status hubungan kita sebelumnya, kau tidak mungkin menyerahkan perusahaan itu padaku." Dante sengaja menekan kalimatnya agar Benigno bisa mengerti ucapannya.Benigno mencebik sambil mengangkat bahunya. "Aku berubah pikiran. Claudia sudah meninggal. Tidak ada alasan lain. Lagi pula kau sudah mendapatkan hukuman atas kesalahan yang tidak pernah kau lakukan.""Tapi aku tidak pernah menginginkannya. Aku hanya ingin kembali ke kehidupanku semula," balas Dante sambil menggertakkan giginya.Sejujurnya, Dante ingin pergi menjauh dan bersembunyi dari kakeknya. Dia tidak ingin memiliki hubungan dengan Benigno, terlebih setelah dia mengetahui jati diri sang kakek yang sebenarnya. Semalam Dante sempat mencari tahu tentang latar belakang kehidupan Benigno melalui internet.Tanpa Dante sangka sebelumnya, ternyata Benigno adalah seorang mafia berpengaruh dan paling ditakuti seantero negara Italia. Pantas saja, bila rumah Benigno dijaga ketat oleh puluhan bodyguard. Selain itu, Benigno benar-benar telah melebihi batas. Dante sangat membenci sikap kakeknya yang ikut campur dalam kehidupannya. Padahal mereka baru saja bertemu."Kehidupanmu yang mana?" Benigno mencibir. "Bahkan kau tidak bisa mempertahankan kekasihmu karena selama ini kau hidup dalam kemiskinan," pungkas Benigno dengan nada penuh penghinaan.Mata Dante langsung melotot setelah mendengar ucapan kakeknya. Tangannya terkepal erat karena menahan amarahnya yang semakin menggelegak. Meskipun ucapan Benigno benar, tapi kakeknya itu tidak memiliki hak untuk mengatakannya."Bisa-bisanya kau memata-matai aku selama ini. Kau lancang sekali," geram Dante."Aku hanya ingin mengetahui keadaanmu yang sebenarnya. Apakah aku salah?" Benigno balas menantang. Dia menyadari tindakannya pasti melukai ego Dante. Tapi itu semua dia lakukan demi kebaikan Dante sendiri."Tetap saja kau tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam kehidupanku." Dante langsung memutar tubuhnya. Dia tidak tahan berlama-lama dengan kakek tua yang sombong itu."Apa kau ingin tetap hidup dalam kemiskinan? Apa itu yang kau inginkan? Semua orang memandang rendah padamu, dan tidak mempedulikanmu," ucap Benigno berapi-api.Tubuh Dante mematung. Terjadi pergumulan batin di dalam hatinya. Semua ucapan kakeknya memang ada benarnya. Tapi dia tidak menyukai bila kakeknya berbuat seenaknya."Dante ...." Benigno memanggil dengan suara pelan. "Dengan kekayaan yang kau miliki, semua keinginanmu bisa terwujud. Kau bisa mendapatkan wanita lain yang lebih baik dari kekasihmu sebelumnya. Tidakkah kau ingin membalas semua perbuatan Emily padamu?" pancing Benigno setelah dia gagal meyakinkan Dante sebelumnya.Hati Dante mulai goyah. Hidupnya mungkin saja berubah setelah dia mendapatkan kekayaan dari sang kakek. Tidak ada lagi yang memandang dia dengan sebelah mata. Juga, dia bisa menunjukkan pada Emily bahwa dirinya bukan laki-laki pecundang seperti yang wanita itu pikirkan selama ini. Dante kembali menghadap pada kakeknya. Pelan-pelan dia menarik napas panjang.“Jangan berpikir lama-lama. Tawaranku tidak akan pernah datang dua kali. Lagi pula, aku sudah memiliki pilihan lain bila kau tetap tidak mau menerimanya.” Benigno tidak menyerah dengan penolakan Dante. Dia sangat yakin Dante tidak akan menolak tawaran yang dia berikan. "Aku akan memberikan semuanya pada badan amal," ancam Benigno."Baiklah kalau itu maumu. Aku akan menerima pemberianmu itu. Tapi, jangan berharap banyak dariku." Dante menatap Benigno lurus. Sepertinya dia tidak memiliki pilihan selain menerima pemberian Benigno. Sedetik pun dia tidak ingin kembali ke masa kelam dalam hidupnya."Tentu saja aku berharap banyak darimu. Aku telah mendirikan perusahaan ini dengan susah payah, tidak mungkin aku membiarkanmu menghancurkannya begitu saja,” balas Benigno tegas. “Tapi, kau tidak akan mendapatkan semua ini secara cuma-cuma," balas Benigno memperingatkan."Apa maksudmu sebenarnya?" Salah satu mata Dante menyipit."Dalam kurun waktu tiga bulan, kau harus bisa menaikkan angka penjualan. Dan yang terakhir ...." Benigno sengaja menggantung kalimatnya dan terkesan sedang mengulur-ulur waktu. "Yakinkan para pemegang saham bahwa kau pantas mendapatkan semua itu."Dante terdiam sejenak, mencoba menimbang baik buruknya tawaran Benigno. Ini adalah dunia baru yang belum pernah dia sentuh. Sanggupkah dia memenuhi syarat dari Benigno?"Aku akan menerima tantanganmu. Tapi, jangan lagi kau ikut campur dalam kehidupanku," sahut Dante mantap.Benigno terkekeh. Lalu dia menghampiri Dante. Tangannya menepuk-nepuk pundak Dante pelan."Tenang saja. Kau bisa memegang ucapanku." Benigno meyakinkan Dante. Tapi itu hanya dalam kata-kata. Sebenarnya dia akan tetap mengawasi Dante sampai kapan pun.Terjadi perubahan di raut wajah Dante. Kini dia terlihat sedikit santai. Meskipun begitu dia tetap memasang tatapan waspada."Satu lagi. Aku tidak ingin kau menggunakan nama Winchester di belakang namamu," ucap Benigno dengan tatapan jijik. Lalu dia berdeham beberapa kali sebelum melanjutkan ucapannya. "Mulai sekarang biasakan dirimu dengan nama Corradeo di belakang namamu."Dante mengernyitkan dahinya sebentar. Lalu dia mengangguk setuju. Apa salahnya dia mengganti nama belakangnya? Lagi pula dia juga ingin mengubur masa lalunya yang kelam. Mereka sama-sama terdiam setelah itu. Suasana tegang di antara mereka perlahan mencair."Sekarang sebaiknya kita pulang. Kau butuh istirahat untuk menyusun strategi."Benigno lalu mengajak Dante meninggalkan kantornya. Di sepanjang jalan menuju rumah Benigno yang berada di London, mereka memilih tetap diam dengan pikiran masing-masing.“Kau bisa tinggal di sini selamanya. Sekarang rumah ini menjadi milikmu juga,” ucap Benigno sebelum mereka turun dari limosin.Malam harinya. Dante diam-diam keluar dari rumah kakeknya. Pikirannya sedikit kalut. Dia ingin melepaskan bebannya untuk sejenak.Dante memasuki klub malam yang berbeda dari tempatnya dulu bekerja. Klub itu jauh lebih mewah dan ekslusif. Lega rasanya dia bisa masuk ke sana dengan leluasa hanya dengan menunjukkan black card pemberian kakeknya.Saat Dante melihat ke sekeliling, tanpa sengaja matanya bersirobok dengan sepasang mata hijau hazel milik salah satu pengunjung klub. Seorang gadis berambut emas panjang bergelombang dan memiliki kecantikan alami yang tidak biasa. Buru-buru Dante berpaling muka karena tidak ingin mendapatkan kesan buruk pada orang asing.Satu jam berlalu. Dante memutuskan keluar dari klub karena merasa jenuh dengan suasana di dalam sana. Bukannya menjadi tenang, dirinya justru dilanda sakit kepala yang hebat."Kenapa kau buru-buru? Kita bisa bersenang-senang di dalam sana." Seorang wanita berpakaian minim menghentikan Dante tepat di depan pintu keluar.
Dante mendorongnya kuta, lalu dia berjalan cepat meninggalkan klub itu. Tiba-tiba langkah kakinya langsung berhenti saat dia mendengar keributan tidak jauh darinya. Dia berjalan mendekat, lalu terdiam terpaku saat melihat pertengkaran sengit antara sepasang kekasih. Dia mengenali salah satu dari keduanya. Si gadis yang tidak sengaja dia temui tadi."Lepaskan aku!"Elizabeth-Lizzy Young berteriak sambil berusaha melepaskan tangannya dari pegangan tangan Ben, kekasihnya. Matanya menyala, menatap tajam Ben."Sebaiknya kau masuk ke sana. Aku tidak mungkin meninggalkan temanku begitu saja," balas Ben tidak kalah kesal.Karena tidak mendapatkan keinginannya, akhirnya Lizzy melakukan sesuatu yang tidak terduga. Dia menarik tangan Ben, lalu menggigitnya kuat.Ben menghempaskan tangan Lizzy kasar. Dia menatap tidak percaya pada tangannya yang terdapat bekas gigitan Lizzy."Berani-beraninya kau!"Tanpa peringatan, Ben langsung menampar pipi Lizzy keras. Kedua matanya memerah, dan giginya bergeretakan."Kau ...." Lizzy menyentuh pipinya yang terasa perih. Ada rasa asin yang menempel di lidahnya. Dari darahnya yang keluar di sudut bibirnya. "Sebaiknya hubungan kita berakhir sampai di sini.""Jangan harap kau akan mendapatkan keinginanmu." Ben mengangkat tangannya kembali.Kemudian sesuatu mengejutkan Ben. Dia merasakan seseorang menarik tangannya ke belakang. Sambil meringis kesakitan, Ben memutar tubuhnya ke belakang."Laki-laki sejati tidak akan pernah menyakiti seorang wanita," dengus Dante, lalu melayangkan pukulan keras ke perut Ben."Apa kau baik-baik saja?"Dante menghampiri Lizzy yang terduduk lemas di tanah. Gadis itu terlihat masih terguncang dengan peristiwa yang baru saja dia alami. Lizzy seolah berada di dunia lain, dan tidak mendengar pertanyaan Dante.Kemudian di belakangnya, Dante merasakan pergerakan yang mendekat ke arahnya. Dengan sigap dia memutar tubuhnya, bersiap menghadang serangan dari lawannya. Matanya tajam menatap, dan wajahnya terlihat kaku menahan amarah.Ben berlari seperti orang kesetanan sambil mengepalkan tangannya. Hatinya terasa panas karena laki-laki asing di depan sana telah berani ikut campur dalam urusannya. Ben ingin memberi pelajaran pada dia. Tapi Ben melakukan kesalahan karena lawannya berhasil menghindar, dan membuatnya tersungkur ke tanah sekali lagi."Segera pergi dari sini kalau kau tidak ingin menyesal." Dante menggertak dengan suara pelan.Karena tidak ingin terluka kembali, Ben memilih mundur. Posisinya kurang menguntungkan. Tidak masalah malam ini dia kalah, lain kali
"Kau mungkin salah orang." Dante berucap pelan sambil menatap laki-laki asing itu dengan sorot waspada. Tidak mungkin Dante menerima tamu tidak diundang ini dengan tangan terbuka. Mereka tidak pernah bertemu, juga tidak saling mengenal. Benigno juga tidak pernah bercerita tentang keberadaan laki-laki bernama Luca Massimo ini. "Sama sekali tidak. Aku memang saudaram. Lebih tepatnya saudara tiri," balas Luca dengan sikap acuh tak acuh. Dia lalu mendaratkan tubuhnya di atas sofa. Matanya melihat ke sekeliling ruangan itu dengan tatapan menyelidik. "Kau terlihat cocok berada di ruangan ini," lanjut Luca memberi komentar. Tangan Dante terkepal erat di atas meja. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Dia cukup bersabar dan berusaha menahan amarah yang hampir meledak saat menghadapi sikap lancang dari tamunya. Bila tidak mempedulikan posisinya saat ini, Dante pasti sudah menerkam Luca, lalu melemparkan laki-laki itu keluar dari hadapannya sekarang. "Kalau memang benar kita memiliki hubungan
"Emily ...."Dante berhasil menyebut nama itu sekali lagi dengan lancar sambil menahan amarah yang menggelegak di dalam dadanya. Rasa benci dan dendam menyebar ke seluruh tubuhnya hingga naik ke atas tepat di ubun-ubun kepala. Kedua matanya memerah, lalu giginya bergeretakan hingga menimbulkan suara yang membuat orang bergidik linu."Apa kau mengenalnya?" Kathryn penasaran dengan reaksi Dante yang dia rasa sangat berlebihan."Aku tidak ingin melibatkan dia dalam proyek ini," ungkap Dante seolah tidak mendengar pertanyaan Kathryn."Tapi dia sudah terikat kontrak secara eksklusif dengan perusahaan kita. Aku tidak mungkin melakukannya," balas Kathryn berusaha bersikap tetap tenang meskipun sebenarnya hatinya tengah memendam rasa kesal. "Ada kompensasi yang harus kita bayar untuk dia," pungkasnya."Tidak masalah. Aku bisa memberikan kompensasi dua puluh lima persen dari nilai kontrak yang telah dia tandatangani," ujar Dante sambil tersenyum licik.Mata Kathryn melotot seketika. Dia
“Kau ….”Setelah terdiam selama beberapa saat, Emily akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya. Jarinya terangkat, menunjuk wajah Dante.“Kau bisa kembali ke ruanganmu, Kathryn,” ucap Dante pada asistennya. Kathryn mengangguk. Sebelum meninggalkan ruangan itu, dia sempat melirik sebal pada Emily. Bila tidak ingat dia tengah bekerja, model itu pasti sudah babak belur terkena pukulan tangannya.Suasana menjadi hening. Sekarang tinggal Dante dan Emily saja di ruangan ini. Dante mendadak merasa canggung, tapi cuma sebentar. Lalu dia memusatkan perhatiannya pada mantan kekasihnya itu.“Kenapa kau bisa berada di sini?” cerca Emily. Dia masih dilanda kebingungan atas situasi yang tidak pernah dia duga sebelumnya.“Ini kantorku, sekaligus perusahaanku. Apa salah bila aku berada di sini?” tukas Dante ketus disertai dengan tatapan penghinaan yang kentara. “Duduklah di sofa, aku tidak ingin kau pingsan saat berada di sini,” lanjut Dante saat melihat kedua kaki Emily bergoyang-goyang seolah
Dua hari berselang. Emily terduduk lemas di ruang pertemuan kantor agensinya, menatap Sarah dengan sorot mata sayu. Bibir bawahnya sedikit robek akibat gigitan giginya yang kuat. Perih, tapi dia tidak terlalu mempedulikannya. "Apa salahku?" tanya Emily lirih. Sarah menggeleng lemah. Jawaban yang dia berikan pasti tidak akan memuaskan Emily. Dia sendiri tidak tahu alasan sebenarnya Mr. Lawrence memutus kontrak Emily dengan agensi ini. "Aku tidak tahu." Sarah mengangkat bahunya, lalu menatap ke luar ruangan melalui dinding kaca transparan yang berhadapan dengan deretan meja para staf. "Mr. Lawrence enggan bercerita padahal aku sudah mendesaknya." Emily beranjak dari kursi, berada di sini membuat dia merasa sangat pengap. Dia ingin segera pergi dari sini. Tapi sebelum meninggalkan ruangan itu, dia menatap Sarah dan berbicara dengan suara lantang. "Aku akan bertemu dengan Mr. Lawrence sendiri. Jangan harap aku menyerah begitu saja!" Sarah hanya diam. Dia memperhatikan Emily yang be
Sementara itu, di tempat lain tidak jauh dari kediaman Dante. Luca Massimo tengah menikmati minumannya di sebuah bar kumuh di sudut kota London. Raut wajahnya terlihat suram dan kedua matanya memancarkan sinar kebencian. Selama tiga puluh tahun hidupnya dia menyimpan dendam yang tidak kunjung terbalaskan. Sebagai cucu tidak sah dan tidak diakui dari salah satu mafia kaya raya di Italia, membuat hidupnya berantakan tanpa menentu arah tujuannya. Sejak usia empat tahun, ibunya telah mengabaikan keberadaannya, dan meninggalkannya di panti asuhan tanpa pernah mengunjungi dirinya walau hanya sekali. Dia pun baru mengetahui ibunya sudah meninggal saat usianya delapan belas tahun. Luca harus berjuang seorang diri setelah keluar dari tempat itu dengan mencoba berbagai jenis pekerjaan. Dalam hati dia bertekad untuk menemukan keluarganya yang sesunggunya. “Ibumu mengulangi kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh nenekmu,” ucap seorang pria tua yang tanpa sengaja Luca temui di bar dekat d
"Sial ...." Luca mengumpat kesal sambil menendang kerikil di depannya. Dia benar-benar merasa terhina akan perlakuan laki-laki tadi. Orang itu memperlakukannya seperti sampah tidak berarti. "Tunggu saja. Aku tidak akan menyerah begitu saja." Luca berteriak sambil mengepalkan tangannya ke arah laki-laki itu dengan sorot mata penuh kebencian. Luca berjalan menjauh dari rumah itu. Dia tidak mungkin kembali ke Florence hari ini juga. Lagi pula urusannya di sini belum selesai. Dia harus bertemu dengan Benigno Corradeo, kalau memang benar orang itu adalah kakeknya. Setelah memastikan bahwa mereka memang memiliki ikatan darah, dia akan memikirkan langkah selanjutnya. Mungkin kehidupannya akan berubah. Luca bisa menikmati kekayaan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan ada kemungkinan lain yang tengah menunggunya di sini. "Maafkan aku. Aku tidak bisa kembali sekarang. Urusanku belum selesai," ucap Luca pada pemilik biro wisata. "Kau tidak boleh melakukannya. Ada banya turis yang
"Kathryn .... Ke ruanganku segera." Dante menutup teleponnya, Suasana hatinya pagi ini sedikit tidak menyenangkan. Sejak semalam dia menerima banyak surel yang dikirim oleh beberapa dewan direksi perusahaannya. Mereka mengirimkan protes atas tindakan gegabahnya yang telah memecat model pilihan mereka. Selain itu ada satu lagi masalah yang tengah menanti. Kepalanya terasa berdenyut-denyut saat memikirkan semua itu. "Apakah ada yang kau butuhkan?" tanya Kathryn polos setelah berdiri di depan Dante. Kathryn berhasil menguasai emosinya, dan terlihat sangat tenang saat berhadapan dengan Dante. Atasannya itu terlihat sangat gusar, tapi Kathryn tidak membiarkan dirinya terpengaruh. "Kau pasti sudah tahu alasanku memanggilmu ke sini," balas Dante ketus. Kathryn menggosok hidungnya yang tidak gatal. "Tentu saja aku tahu kenapa kau memanggilku ke sini. Apa lagi kalau bukan terkait dengan semua surel yang kau terima." Dante tersenyum lebar. Dengan Kathryn dia merasa tidak perlu berbasa-basi.
"Bagaimana keadaan Lizzy sekarang?"Dante menghampiri Fabio yang tengah duduk di sofa dengan raut wajah serius. Pertemuannya dengan Luca baru selesai satu jam lalu. Dia buru-buru datang ke pondok ini setelah mendapatkan kabar dari Fabio mengenai kecelakaan yang menimpa laki-laki itu dan Lizzy."Tidak ada luka serius. Kepalanya mengalami benturan keras tapi tidak terlalu parah. Dokter telah merawatnya dengan baik ," jawab Fabio. "Sekarang dia tengah tidur di kamarnya."Dante menghela napas lega. Pikirannya sempat berkecamuk saat di perjalanan tadi. Dia sangat mengkhawatirkan Lizzy."Aku tidak menyangka anak buah Marco Hernandez bisa menemukan keberadaan Lizzy di sana. Apa jangan-jangan pengacara itu bersekongkol dengan Marco?" Dante menduga-duga.Fabio terdiam selama beberapa saat. Bisa saja dugaan Dante memang benar adanya. Sebelum mengatur pertemuan itu, Dante dan dirinya telah menyusun rencana sematang mungkin agar tidak terjadi hal-hal buruk yang akan menimpa Lizzy.Sejak awal mere
"Aku harap pertemuanmu dengan pengacara itu bisa berjalan lancar."Dante memulai pembicaraan keesokan harinya saat akan meninggalkan pondok itu. Sebelumnya dia telah menghubungi si pengacara, dan membuat janji temu di suatu tempat yang berlokasi sangat jauh dari kota London. Tentu saja dia melakukannya demi menjaga keselamatan Lizzy. "Aku juga memiliki keinginan yang sama denganmu," balas Lizzy dengan sorot mata sendu. "Aku sangat yakin akan hal itu karena ada dirimu di dekatku.""Sepertinya kau salah paham," tukas Dante cepat.Alis Lizzy terangkat. "Apa maksudmu sebenarnya?" Kata-kata Dante tadi benar-benar membuat dia merasa bingung."Aku akan pergi setelah menurunkanmu di tempat pertemuan," jawab Dante sambil memutar roda kemudi saat membelokkan mobilnya menuju jalan besar yang ramai oleh kendaraan. "Tapi jangan khawatir. Ada beberapa orang yang menyamar dan berjaga di sekitarmu. Bila terjadi apa-apa, mereka bertanggung jawab menyelamatkanmu dan membawamu pergi dari sana segera."
"Jam berapa sekarang?"Lizzy menggumam. Dia mengucek matanya, dan tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu. Tubuhnya langsung membeku. Dia tidak sendirian di kamar ini.Perlahan ingatan Lizzy kembali. Semalam dia sempat meminum segelas wine sambil menikmati pemandangan langit malam. Bersama Dante. Setelah itu Dante membawanya masuk ke kamar ini. Dan bodohnya dia mengikuti permainan Dante hingga berakhir seperti ini. "Kau sudah bangun?" tanya Dante saat menyadari pergerakan tubuh Lizzy di sampingnya.Lizzy kehilangan kata-kata. Suaranya tercekat di tenggorokan. Perasaannya sekarang campur aduk. Kemudian Dante menaarik tubuh Lizzy hingga menghadap padanya. Dia menyunggingkan senyum tipis saat melihat Lizzy memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Dante semakin merapatkan pelukannya."Kau tidak perlu berpura-pura. Aku sudah tahu kau sudah bangun sedari tadi," bisik Dante di telinga Lizzy. Dia sengaja melakukannya untuk menggoda wanita itu.Pelan-pelan Lizzy membuka matanya. Kepalanya m
"Kau tidak perlu melakukan itu."Lizzy mendorong Dante menjauh. Mendadak dia merasa canggung saat berhadapan dengan Dante. Hal itu terjadi karena kejadian malam sebelumnya."Aku sama sekali tidak keberatan," balas Dante berusaha bersikap sesantai mungkin. Dia mundur beberapa langkah, lalu memandang Lizzy lurus. "Lagi pula aku sudah berjanji padamu untuk menyingkirkan orang gila itu dari hidupmu. Apa kau sudah melupakannya?" Dante mengingatkan.Lizzy menatap ragu pada Dante. Tenggorokannya terasa kering sehingga dia mengalami kesulitan untuk berbicara.Tentu saja ingatan itu masih tercetak dengan jelas di kepalanya. Terlebih dia sudah melakukan keinginan Dante sebagai ganti dirinya yang berpura-pura menjadi kekasih laki-laki itu."Tapi kau tidak harus berada di sini. Kau bisa melakukannya dari rumahmu sementara aku bersembunyi di sini," ucap Lizzy akhirnya setelah mampu berpikir jernih.Mendengar kata-kata Lizzy barusan, membuat Dante sedikit tersinggung. Raut wajahnya mendadak keruh. S
"Kau melihat Lizzy?" Dante bertanya pada Sofia saat akan menyantap saraapannya. Pagi tadi dia mendapati sisi tempat tidurnya yang lain telah kosong, Tidak ada Lizzy di sampingnya. Entah sejak kapan wanita itu meninggalkan kamarnya, dia tidak menyadarinya. "Dia bilang ingin pergi ke makam orang tuanya. Fabio mengantar dia ke sana," jawab Sofia lalu segera meninggalkan tuannya. Samar-samar Dante mengingat ucapan Lizzy semalam saat dia setengah mabuk. Lizzy membicarakan tentang kunjungan ke makam orang tuanya. Lalu setelah itu terjadilah sesuatu yang berada di luar kendalinya. Lizzy pasti sangat membencinya, dan marah padanya. tidak bisa dipungkiri lagi. Karena dia telah merenggut kesucian Lizzy secara paksa. Dante benar-benar gila. Seharusnya dia melindungi Lizzy. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sekarang selera makannya mendadak hilang. Sepertinya pagi ini dia tidak akan pergi bekerja. Dia akan menunggu sampai Lizzy pulang. Sementara itu, di tempat lain. Lizzy tidak segera
"Selamat, Dante. Sekarang kau menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan ini." Alberto mengulurkan tangannya, mengajak Dante bersalaman setelah mereka menandatangani surat perjanjian alih kepemilikian saham. Laki-laki tua itu menyunggingkan senyum lebar. Kali ini dia terlihat sangat ramah dan bersahabat pada Dante. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Alberto selalu menunjukkan sikap permusuhan pada Dante, juga mendiang kakeknya. "Terima kasih, Signor Alberto," balas Dante lalu menjabat tangan Alberto erat selama beberapa detik. Dia segera melepas tangan yang telah keriput itu. "Tentu saja semua berkat Anda," lanjut Dante basa-basi. Semua orang yang berada di ruangan itu, yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut bertepuk tangan dengan keras. Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi perusahaan House of Corradeo sebagai tanda berakhirnya pengaruh Alberto di sana. Hal itu patut dirayakan, mengingat bahwa selama ini beberapa di antara mereka memendam kebencian pada laki-laki tua itu.
"Tinggalkan kami berdua."Dante memberi isyarat pada Fabio dan beberapa laki-laki yang berdiri di sana untuk keluar dari gudang itu. Dia ingin berbicara dengan Ben secara pribadi tanpa ada gangguan dari yang lain. Laki-laki itu masih duduk di kursi kemarin dan menatapnya dengan sorot mengejek. Dante berusaha mengendalikan dirinya agar tidak terpancing lalu melakukan tindakan yang bodoh."Dalam setelan jas yang kau kenakan sekarang, dirimu benar-benar terlihat berbeda," ucap Ben setelah Dante berada di depannya."Terima kasih atas pujianmu. Sayangnya aku tidak membutuhkannya," balas Dante sinis.Ben tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Dante. Kelihatannya dia salah memilih lawan. Dari penampilannya, Ben menyadari bahwa Dante bukan orang sembarangan.Tawa itu seketika berhenti setelah Dante melayangkan sebuah pukulan tepat mengenai rahang Ben. Darah segar langsung keluar dari mulut Ben. Dia meringis kesakitan, dan matanya nyalang menatap Dante."Kau ....""Jangan pernah terta
"Kathryn .... Atur pertemuan dengan pengacaraku."Dante berdiri di depan meja asisten pribadinya itu dan terlihat sedikit gusar. Pertemuannya dengan Alberto beberapa menit yang lalu berhasil membuat darahnya mendidih. Tapi dia memilih untuk menahan amarahnya karena tidak ingin membuat laki-laki itu senang dengan ancamannya."Apa yang terjadi?"Kathryn menatap bingung padanya. Sebelum bertemu Alberto, suasana hati Dante terlihat biasa saja. Sekarang yang tampak justru sebaliknya. Bosnya seperti memendam amarah yang besar, dan akan tumpah keluar."Alberto ingin menjual sahamnya padaku. Kalau aku tidak menerima tawarannya, maka dia ...." Dante mengepalkan tangannya dan menggeretakkan giginya. "Dia akan menjualnya pada Luca," pungkasnya."Dan kau menerima tawaran Alberto?" Kathryn menajamkan matanya, lalu menggeleng perlahan. Sama sekali dia tidak habis pikir dengan sikap Dante. Dia sangat mengenal atasannya itu cukup baik. Dante tidak akan mudah menyerah, atau berlari ketakutan karena ge
"Siapa yang menelpon?" Dante bertanya meskipun dia sudah tahu identitas si penelpon. Mantan kekasih Lizzy benar-benar orang yang tidak tahu diri. Laki-laki itu masih saja terus mengganggu padahal hubungannya dengan Lizzy sudah berakhir. "Ben ...." Lizzy menggigit bibirnya, lalu menundukkan kepalanya. Dia tidak mungkin memberi tahu Dante tentang ancaman yang diberikan Ben padanya. "Apa yang dia katakan?" tuntut Dante setelah melihat perubahan di wajah Lizzy. Laki-laki itu pasti mengatakan sesuatu yang buruk sehingga Lizzy tertunduk lesu. Lizzy menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang penting," jawab Lizzy tanpa berani menatap Dante. Dante mendengus kesal. "Kau bukan pembohong yang ulung. Jadi, sebaiknya katakan yang sebenarnya padaku," gertak Dante dengan suara keras. Lizzy memegang pinggiran meja, lalu dia mengangkat kepalanya. "Ben meminta uang satu juta dollar padaku," bisik Lizzy tanpa berani menatap wajah Dante. "Dia mengancam akan melaporkan tempat persembunyianku pada Mar