Sementara itu, di tempat lain tidak jauh dari kediaman Dante. Luca Massimo tengah menikmati minumannya di sebuah bar kumuh di sudut kota London. Raut wajahnya terlihat suram dan kedua matanya memancarkan sinar kebencian. Selama tiga puluh tahun hidupnya dia menyimpan dendam yang tidak kunjung terbalaskan. Sebagai cucu tidak sah dan tidak diakui dari salah satu mafia kaya raya di Italia, membuat hidupnya berantakan tanpa menentu arah tujuannya. Sejak usia empat tahun, ibunya telah mengabaikan keberadaannya, dan meninggalkannya di panti asuhan tanpa pernah mengunjungi dirinya walau hanya sekali. Dia pun baru mengetahui ibunya sudah meninggal saat usianya delapan belas tahun. Luca harus berjuang seorang diri setelah keluar dari tempat itu dengan mencoba berbagai jenis pekerjaan. Dalam hati dia bertekad untuk menemukan keluarganya yang sesunggunya. “Ibumu mengulangi kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh nenekmu,” ucap seorang pria tua yang tanpa sengaja Luca temui di bar dekat d
"Sial ...." Luca mengumpat kesal sambil menendang kerikil di depannya. Dia benar-benar merasa terhina akan perlakuan laki-laki tadi. Orang itu memperlakukannya seperti sampah tidak berarti. "Tunggu saja. Aku tidak akan menyerah begitu saja." Luca berteriak sambil mengepalkan tangannya ke arah laki-laki itu dengan sorot mata penuh kebencian. Luca berjalan menjauh dari rumah itu. Dia tidak mungkin kembali ke Florence hari ini juga. Lagi pula urusannya di sini belum selesai. Dia harus bertemu dengan Benigno Corradeo, kalau memang benar orang itu adalah kakeknya. Setelah memastikan bahwa mereka memang memiliki ikatan darah, dia akan memikirkan langkah selanjutnya. Mungkin kehidupannya akan berubah. Luca bisa menikmati kekayaan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan ada kemungkinan lain yang tengah menunggunya di sini. "Maafkan aku. Aku tidak bisa kembali sekarang. Urusanku belum selesai," ucap Luca pada pemilik biro wisata. "Kau tidak boleh melakukannya. Ada banya turis yang
"Kathryn .... Ke ruanganku segera." Dante menutup teleponnya, Suasana hatinya pagi ini sedikit tidak menyenangkan. Sejak semalam dia menerima banyak surel yang dikirim oleh beberapa dewan direksi perusahaannya. Mereka mengirimkan protes atas tindakan gegabahnya yang telah memecat model pilihan mereka. Selain itu ada satu lagi masalah yang tengah menanti. Kepalanya terasa berdenyut-denyut saat memikirkan semua itu. "Apakah ada yang kau butuhkan?" tanya Kathryn polos setelah berdiri di depan Dante. Kathryn berhasil menguasai emosinya, dan terlihat sangat tenang saat berhadapan dengan Dante. Atasannya itu terlihat sangat gusar, tapi Kathryn tidak membiarkan dirinya terpengaruh. "Kau pasti sudah tahu alasanku memanggilmu ke sini," balas Dante ketus. Kathryn menggosok hidungnya yang tidak gatal. "Tentu saja aku tahu kenapa kau memanggilku ke sini. Apa lagi kalau bukan terkait dengan semua surel yang kau terima." Dante tersenyum lebar. Dengan Kathryn dia merasa tidak perlu berbasa-basi.
Dante melihat wajah Lizzy yang pucat dan bibirnya bergetar. Tangannya terulur, lalu menyentuh pipi Lizzy yang memerah. Dia melihat ada jejak telapak tangan di sana. Pasti salah satu dari preman tadi menampar pipi Lizzy dengan keras. Bisa dibayangkan, Lizzy pasti kesakitan setelahnya. "Kau tahu siapa mereka?" Lizzy mengernyit kesakitan, lalu menjawab, "Aku tidak tahu. Mungkin orang suruhan Ben. Atau mereka dikirim atas perintah salah satu musuh ayahku." Kemudian perhatian mereka terganggu setelah terdengar suara sirine mobil polisi yang semakin mendekat. Dante menarik Lizzy agar berdiri di sampingnya. Wanita itu tampak masih terguncang, dan pastinya tidak siap menerima pertanyaan dari polisi. Mobil polisi berhenti di depan mereka. Salah satu petugasnya turun dari sana, lalu menghampiri mereka. Petugas terlihat masih muda dan berkarisma. "Selamat malam. Kami menerima panggilan untuk datang ke sini. Bisa kalian ceritakan apa yang terjadi?" Dante memutuskan untuk menjawab pertanyaan
Dante memandang jam yang tergantung di atas pintu ruangannya. Jarumnya berdetak cepat, menyadarkan Dante bahwa dia telah melewatkan waktu satu jam dengan hanya duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Seharusnya dia sudah meninggalkan gedung perusahaannya sejak tadi. Tapi kenyataannya dia belum juga beranjak dari kursinya. Padahal dia mengetahui saat ini Lizzy tengah menunggunya di suatu tempat. Itu pun kalau Lizzy masih berada di sana. Bagaimana kalau Lizzy tidak tahan menunggu dirinya terlalu lama? Lalu wanita itu pergi dari sana karena usahanya untuk meminta bertemu dia telah gagal total."Kau belum mau pulang?"Tahu-tahu kepala Kathryn melongok di depan pintu. Kathryn menatap Dante bingung. Sekarang sudah lewat jam kerja, serta semua pekerjaan telah mereka selesaikan. Lantas kenaapa Dante masih berada di sini?"Sebentar lagi. Kau bisa pulang lebih dulu," sahut Dante malas-malasan.Kathryn mengulas senyum kaku. Sepertinya bosnya itu sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Dia menga
Di luar kafe dengan udara malam yang dingin, Lizzy menunduk dalam, sambil menggigit bibirnya kuat. Menyadari bahwa tidak seorang pun peduli padanya, membuat dia hatinya serasa disayat-sayat hingga perih. Baik ayahnya, ibunya, Ben, atau siapa pun tidak pernah memikirkan perasaannya.Lizzy menghapus setitik air mata yang menetes di sudut matanya. Dia mengangkat kepalanya, menengadah ke arah langit yang gelap. Air matanya semakin deras mengalir tanpa bisa dia cegah sama sekali."Lizzy .... Siapa yang menyangka diriku bisa bertemu denganmu di sini. Senang rasanya bisa melihat wajahmu lagi setelah sekian lama."Lizzy mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu dia mengusap pipinya yang basah dengan kasar. Dia tidak pernah berharap bertemu Ben di sini. Sejak pertemuan mereka yang berakhir dengan kejadian buruk beberapa waktu yang lalu. Perlahan Lizzy memaksakan sebuah senyuman, dan memberanikan diri menatap Ben langsung."Sayangnya aku tidak memiliki perasaan yang sama denganmu," ucap Lizzy ke
"Kantor Signor Corradeo .... tidak. Signor Corradeo sedang berada di luar kantor .... Maaf, gosip yang mana?"Kathryn terdiam , profesionalisme tenangnya terlihat buyar sementara wanita itu mendengarkan orang di seberang telepon. Kathryn mengangkat pandangannya yang terkejut saat bertatapan dengan Dante. Entah sejak kapan bosnya itu ada di dekatnya. Dia tidak terlalu memperhatikan."Tidak .... Aku tidak ada komentaar. Ya, aku akan memberi tahu dia bahwa kau menelepon." Tangan Kathryn gemetaran saat meletakkan telepon yang segera berdering lagi. Dante meletakkan tangannya di atas tangan Kathryn saat ingin mengangkat telepon lagi."Biarkan saja. Jangan terlalu dipedulikan. Yang mereka inginkan hanyalah memancing berita lain untuk membumbui berita sebelumnya.""Mereka hanya ingin memastikan kau memiliki hubungan dengan mantan model itu atau tidak," Kathryn menatap Dante dengan gugup. "Mereka tidak akan berhenti sebelum kau membuat pernyataan sanggahan melalui konferensi pers." Dia melanj
"Dante ...."Laki-laki yang dulu dekat dengan Benigno, dan sekarang ini menjabat sebagai ketua dewan direksi perusahaan, menghentikan langkah Dante saat akan masuk ke ruangannya. Pelan-pelan dia berjalan menghampiri Dante dengan langkah tertatih sambil berpegangan pada tongkat. Bila tidak terpaksa, dia tidak mungkin bersusah payah datang ke sini dengan kondisinya yang seperti ini."Mr. Alberto ... Lama tidak berjumpa dengan Anda," sapa Dante dengan senyum dibuat-buat. Tubuhnya mendorong pintu di belakangnya hingga terbuka lebar, lalu membiarkan laki-laki seumuran kakeknya itu masuk ke ruangannya lebih dulu."Aku tidak ingin berbasa-basi padamu. Kau pasti sudah menduga tujuanku datang ke sini," ucap Mr. Alberto sesaat kemudian. Di memilih duduk di sofa tunggal yang berada di tengah-tengah ruangan, menghadapi Dante yang berada di ujung sofa yang lain."Sayangnya aku tidak mengetahui masalah apa yang ingin Anda bicarakan denganku." Dante pura-pura bodoh. Menghadapi orang tua yang kolot i
"Bagaimana keadaan Lizzy sekarang?"Dante menghampiri Fabio yang tengah duduk di sofa dengan raut wajah serius. Pertemuannya dengan Luca baru selesai satu jam lalu. Dia buru-buru datang ke pondok ini setelah mendapatkan kabar dari Fabio mengenai kecelakaan yang menimpa laki-laki itu dan Lizzy."Tidak ada luka serius. Kepalanya mengalami benturan keras tapi tidak terlalu parah. Dokter telah merawatnya dengan baik ," jawab Fabio. "Sekarang dia tengah tidur di kamarnya."Dante menghela napas lega. Pikirannya sempat berkecamuk saat di perjalanan tadi. Dia sangat mengkhawatirkan Lizzy."Aku tidak menyangka anak buah Marco Hernandez bisa menemukan keberadaan Lizzy di sana. Apa jangan-jangan pengacara itu bersekongkol dengan Marco?" Dante menduga-duga.Fabio terdiam selama beberapa saat. Bisa saja dugaan Dante memang benar adanya. Sebelum mengatur pertemuan itu, Dante dan dirinya telah menyusun rencana sematang mungkin agar tidak terjadi hal-hal buruk yang akan menimpa Lizzy.Sejak awal mere
"Aku harap pertemuanmu dengan pengacara itu bisa berjalan lancar."Dante memulai pembicaraan keesokan harinya saat akan meninggalkan pondok itu. Sebelumnya dia telah menghubungi si pengacara, dan membuat janji temu di suatu tempat yang berlokasi sangat jauh dari kota London. Tentu saja dia melakukannya demi menjaga keselamatan Lizzy. "Aku juga memiliki keinginan yang sama denganmu," balas Lizzy dengan sorot mata sendu. "Aku sangat yakin akan hal itu karena ada dirimu di dekatku.""Sepertinya kau salah paham," tukas Dante cepat.Alis Lizzy terangkat. "Apa maksudmu sebenarnya?" Kata-kata Dante tadi benar-benar membuat dia merasa bingung."Aku akan pergi setelah menurunkanmu di tempat pertemuan," jawab Dante sambil memutar roda kemudi saat membelokkan mobilnya menuju jalan besar yang ramai oleh kendaraan. "Tapi jangan khawatir. Ada beberapa orang yang menyamar dan berjaga di sekitarmu. Bila terjadi apa-apa, mereka bertanggung jawab menyelamatkanmu dan membawamu pergi dari sana segera."
"Jam berapa sekarang?"Lizzy menggumam. Dia mengucek matanya, dan tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu. Tubuhnya langsung membeku. Dia tidak sendirian di kamar ini.Perlahan ingatan Lizzy kembali. Semalam dia sempat meminum segelas wine sambil menikmati pemandangan langit malam. Bersama Dante. Setelah itu Dante membawanya masuk ke kamar ini. Dan bodohnya dia mengikuti permainan Dante hingga berakhir seperti ini. "Kau sudah bangun?" tanya Dante saat menyadari pergerakan tubuh Lizzy di sampingnya.Lizzy kehilangan kata-kata. Suaranya tercekat di tenggorokan. Perasaannya sekarang campur aduk. Kemudian Dante menaarik tubuh Lizzy hingga menghadap padanya. Dia menyunggingkan senyum tipis saat melihat Lizzy memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Dante semakin merapatkan pelukannya."Kau tidak perlu berpura-pura. Aku sudah tahu kau sudah bangun sedari tadi," bisik Dante di telinga Lizzy. Dia sengaja melakukannya untuk menggoda wanita itu.Pelan-pelan Lizzy membuka matanya. Kepalanya m
"Kau tidak perlu melakukan itu."Lizzy mendorong Dante menjauh. Mendadak dia merasa canggung saat berhadapan dengan Dante. Hal itu terjadi karena kejadian malam sebelumnya."Aku sama sekali tidak keberatan," balas Dante berusaha bersikap sesantai mungkin. Dia mundur beberapa langkah, lalu memandang Lizzy lurus. "Lagi pula aku sudah berjanji padamu untuk menyingkirkan orang gila itu dari hidupmu. Apa kau sudah melupakannya?" Dante mengingatkan.Lizzy menatap ragu pada Dante. Tenggorokannya terasa kering sehingga dia mengalami kesulitan untuk berbicara.Tentu saja ingatan itu masih tercetak dengan jelas di kepalanya. Terlebih dia sudah melakukan keinginan Dante sebagai ganti dirinya yang berpura-pura menjadi kekasih laki-laki itu."Tapi kau tidak harus berada di sini. Kau bisa melakukannya dari rumahmu sementara aku bersembunyi di sini," ucap Lizzy akhirnya setelah mampu berpikir jernih.Mendengar kata-kata Lizzy barusan, membuat Dante sedikit tersinggung. Raut wajahnya mendadak keruh. S
"Kau melihat Lizzy?" Dante bertanya pada Sofia saat akan menyantap saraapannya. Pagi tadi dia mendapati sisi tempat tidurnya yang lain telah kosong, Tidak ada Lizzy di sampingnya. Entah sejak kapan wanita itu meninggalkan kamarnya, dia tidak menyadarinya. "Dia bilang ingin pergi ke makam orang tuanya. Fabio mengantar dia ke sana," jawab Sofia lalu segera meninggalkan tuannya. Samar-samar Dante mengingat ucapan Lizzy semalam saat dia setengah mabuk. Lizzy membicarakan tentang kunjungan ke makam orang tuanya. Lalu setelah itu terjadilah sesuatu yang berada di luar kendalinya. Lizzy pasti sangat membencinya, dan marah padanya. tidak bisa dipungkiri lagi. Karena dia telah merenggut kesucian Lizzy secara paksa. Dante benar-benar gila. Seharusnya dia melindungi Lizzy. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sekarang selera makannya mendadak hilang. Sepertinya pagi ini dia tidak akan pergi bekerja. Dia akan menunggu sampai Lizzy pulang. Sementara itu, di tempat lain. Lizzy tidak segera
"Selamat, Dante. Sekarang kau menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan ini." Alberto mengulurkan tangannya, mengajak Dante bersalaman setelah mereka menandatangani surat perjanjian alih kepemilikian saham. Laki-laki tua itu menyunggingkan senyum lebar. Kali ini dia terlihat sangat ramah dan bersahabat pada Dante. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Alberto selalu menunjukkan sikap permusuhan pada Dante, juga mendiang kakeknya. "Terima kasih, Signor Alberto," balas Dante lalu menjabat tangan Alberto erat selama beberapa detik. Dia segera melepas tangan yang telah keriput itu. "Tentu saja semua berkat Anda," lanjut Dante basa-basi. Semua orang yang berada di ruangan itu, yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut bertepuk tangan dengan keras. Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi perusahaan House of Corradeo sebagai tanda berakhirnya pengaruh Alberto di sana. Hal itu patut dirayakan, mengingat bahwa selama ini beberapa di antara mereka memendam kebencian pada laki-laki tua itu.
"Tinggalkan kami berdua."Dante memberi isyarat pada Fabio dan beberapa laki-laki yang berdiri di sana untuk keluar dari gudang itu. Dia ingin berbicara dengan Ben secara pribadi tanpa ada gangguan dari yang lain. Laki-laki itu masih duduk di kursi kemarin dan menatapnya dengan sorot mengejek. Dante berusaha mengendalikan dirinya agar tidak terpancing lalu melakukan tindakan yang bodoh."Dalam setelan jas yang kau kenakan sekarang, dirimu benar-benar terlihat berbeda," ucap Ben setelah Dante berada di depannya."Terima kasih atas pujianmu. Sayangnya aku tidak membutuhkannya," balas Dante sinis.Ben tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Dante. Kelihatannya dia salah memilih lawan. Dari penampilannya, Ben menyadari bahwa Dante bukan orang sembarangan.Tawa itu seketika berhenti setelah Dante melayangkan sebuah pukulan tepat mengenai rahang Ben. Darah segar langsung keluar dari mulut Ben. Dia meringis kesakitan, dan matanya nyalang menatap Dante."Kau ....""Jangan pernah terta
"Kathryn .... Atur pertemuan dengan pengacaraku."Dante berdiri di depan meja asisten pribadinya itu dan terlihat sedikit gusar. Pertemuannya dengan Alberto beberapa menit yang lalu berhasil membuat darahnya mendidih. Tapi dia memilih untuk menahan amarahnya karena tidak ingin membuat laki-laki itu senang dengan ancamannya."Apa yang terjadi?"Kathryn menatap bingung padanya. Sebelum bertemu Alberto, suasana hati Dante terlihat biasa saja. Sekarang yang tampak justru sebaliknya. Bosnya seperti memendam amarah yang besar, dan akan tumpah keluar."Alberto ingin menjual sahamnya padaku. Kalau aku tidak menerima tawarannya, maka dia ...." Dante mengepalkan tangannya dan menggeretakkan giginya. "Dia akan menjualnya pada Luca," pungkasnya."Dan kau menerima tawaran Alberto?" Kathryn menajamkan matanya, lalu menggeleng perlahan. Sama sekali dia tidak habis pikir dengan sikap Dante. Dia sangat mengenal atasannya itu cukup baik. Dante tidak akan mudah menyerah, atau berlari ketakutan karena ge
"Siapa yang menelpon?" Dante bertanya meskipun dia sudah tahu identitas si penelpon. Mantan kekasih Lizzy benar-benar orang yang tidak tahu diri. Laki-laki itu masih saja terus mengganggu padahal hubungannya dengan Lizzy sudah berakhir. "Ben ...." Lizzy menggigit bibirnya, lalu menundukkan kepalanya. Dia tidak mungkin memberi tahu Dante tentang ancaman yang diberikan Ben padanya. "Apa yang dia katakan?" tuntut Dante setelah melihat perubahan di wajah Lizzy. Laki-laki itu pasti mengatakan sesuatu yang buruk sehingga Lizzy tertunduk lesu. Lizzy menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang penting," jawab Lizzy tanpa berani menatap Dante. Dante mendengus kesal. "Kau bukan pembohong yang ulung. Jadi, sebaiknya katakan yang sebenarnya padaku," gertak Dante dengan suara keras. Lizzy memegang pinggiran meja, lalu dia mengangkat kepalanya. "Ben meminta uang satu juta dollar padaku," bisik Lizzy tanpa berani menatap wajah Dante. "Dia mengancam akan melaporkan tempat persembunyianku pada Mar