"Jam berapa sekarang?"Lizzy menggumam. Dia mengucek matanya, dan tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu. Tubuhnya langsung membeku. Dia tidak sendirian di kamar ini.Perlahan ingatan Lizzy kembali. Semalam dia sempat meminum segelas wine sambil menikmati pemandangan langit malam. Bersama Dante. Setelah itu Dante membawanya masuk ke kamar ini. Dan bodohnya dia mengikuti permainan Dante hingga berakhir seperti ini. "Kau sudah bangun?" tanya Dante saat menyadari pergerakan tubuh Lizzy di sampingnya.Lizzy kehilangan kata-kata. Suaranya tercekat di tenggorokan. Perasaannya sekarang campur aduk. Kemudian Dante menaarik tubuh Lizzy hingga menghadap padanya. Dia menyunggingkan senyum tipis saat melihat Lizzy memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Dante semakin merapatkan pelukannya."Kau tidak perlu berpura-pura. Aku sudah tahu kau sudah bangun sedari tadi," bisik Dante di telinga Lizzy. Dia sengaja melakukannya untuk menggoda wanita itu.Pelan-pelan Lizzy membuka matanya. Kepalanya m
"Aku harap pertemuanmu dengan pengacara itu bisa berjalan lancar."Dante memulai pembicaraan keesokan harinya saat akan meninggalkan pondok itu. Sebelumnya dia telah menghubungi si pengacara, dan membuat janji temu di suatu tempat yang berlokasi sangat jauh dari kota London. Tentu saja dia melakukannya demi menjaga keselamatan Lizzy. "Aku juga memiliki keinginan yang sama denganmu," balas Lizzy dengan sorot mata sendu. "Aku sangat yakin akan hal itu karena ada dirimu di dekatku.""Sepertinya kau salah paham," tukas Dante cepat.Alis Lizzy terangkat. "Apa maksudmu sebenarnya?" Kata-kata Dante tadi benar-benar membuat dia merasa bingung."Aku akan pergi setelah menurunkanmu di tempat pertemuan," jawab Dante sambil memutar roda kemudi saat membelokkan mobilnya menuju jalan besar yang ramai oleh kendaraan. "Tapi jangan khawatir. Ada beberapa orang yang menyamar dan berjaga di sekitarmu. Bila terjadi apa-apa, mereka bertanggung jawab menyelamatkanmu dan membawamu pergi dari sana segera."
"Emily ...."Dante Whincester memanggil nama kekasihnya saat menangkap sekelebat bayangan yang lewat tidak jauh darinya. Dia berjalan cepat setengah berlari mengikuti Emily dan laki-laki asing itu. Sengaja dirinya menjaga jarak sejauh lima meter agar tidak ketahuan oleh mereka. Hatinya bergemuruh saat melihat pemandangan yang ada di depannya.Dante semakin mempercepat langkahnya agar tidak kehilangan jejak. Emily dan laki-laki itu memasuki lobi hotel dengan saling bertatapan dan tersenyum lebar. Melihat itu, membuat Dante mengumpat dalam hati. Lalu dia bersembunyi di balik dinding saat mereka tengah berdiri di depan meja resepsionis." .... kamar 502."Suara resepsionis yang cukup keras itu berhasil didengar oleh Dante dengan baik. Dante tersenyum lebar. Dia tidak akan kesulitan untuk menemukan kamar mereka. Pelan-pelan dia mengayun langkah menghampiri pintu yang tertutup rapat. Tangannya terkepal, dan mengetuk pintu itu beberapa kali."Siapa itu?"Dante mendengar sahutan dari dalam k
"Selamat datang, Mr. Dante Whincester," sapa manajer bank dengan senyum ramah saat menyambut kedatangan Dante di bank itu. Dia lalu mengajak Dante masuk ke dalam ruangannya. "Saya ingin tahu. Siapa yang telah mengirim uang sebanyak itu ke rekening saya? Mungkinkah terjadi kesalahan?" Dante melontarkan pertanyaan secara terus terang. Dia tidak ingin berbasa-basi. Semakin cepat dia mendapatkan jawaban, semakin cepat pula masalah ini akan terselesaikan. "Silakan duduk dulu." Manajer bank menunjuk kursi yang berada tepat di depan meja kerjanya. "Saya akan menjelaskannya pelan-pelan," lanjut laki-laki muda dengan setelan rapi itu. Dante menarik kursi itu, lalu duduk perlahan. Jantungnya berdetak sangat cepat. Tapi laki-laki yang sedang duduk di depannya justru terlihat santai dan tidak terbebani dengan masalah Dante. "Seseorang telah mengirimkan uang itu dari bank yang berada di kota Milan. Mungkin saja Anda memiliki seorang saudara atau kenalan dari sana." Milan. Kota itu bahkan as
Telinga Dante berdengung panjang. Kepalanya berdenyut-denyut, lalu terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. “Cu-cumu?” Dante mengalami kesulitan saat mengucapkan kata itu. Dia menarik napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya. “Kenapa kau harus terkejut mendengarnya?” Perut Dante mendadak terasa mual. Dia sama sekali tidak memiliki bayangan tentang fakta yang baru saja dia dengar. “Claudia tidak pernah bilang masih memiliki ayah. Dia bercerita hidupnya sebatang kara sejak dia kanak-kanak.” “Dan kau percaya dengan semua bualannya itu?” Setelah itu Benigno Kembali menyantap makan malamnya dengan santai. Seolah tidak ada beban atas perkataan Dante. “Tentu saja aku mempercayainya karena selama hidupku, aku tidak pernah bertemu dengan satu pun anggota keluarga lain. Claudia adalah keluargaku satu-satunya.” Sejak dulu Dante telah terbiasa hidup berdua dengan ibunya tanpa pernah berandai-andai memiliki keluarga selain ibunya sendiri. Jangankan keluarga lain, dia saja tidak pernah
Keesokan paginya. Benigno menerobos masuk ke dalam kamar Dante. Sorot matanya dingin saat menatap Dante yang masih tertidur pulas. Bibir Benigno langsung mengatup rapat. Niat awalnya dia ingin membangunkan Dante. Tapi dia mengurungkan niatnya usai melihat Dante terbangun, lalu terduduk sambil menatap kosong ke arah Benigno “Bersiaplah! Satu jam lagi kita akan terbang ke London.” Beberapa jam kemudian, pesawat jet yang membawa Benigno dan Dante mendarat di London. Sebuah limosin telah menunggu setelah mereka turun dari pesawat, lalu mengantar ke gedung salah satu cabang perusahaan fashion milik Benigno yang berada di kota tersebut. "Aku akan menyerahkan seluruh isi gedung ini padamu dan kau harus menjalankannya dengan baik. Kau menjadi pemilik perusahaan ini sepenuhnya mulai sekarang." Benigno berucap dengan santai setelah mengajak Dante berkeliling dan melihat-lihat.Dia sama sekali tidak memperhatikan perubahan di wajah sang cucu. Dante menghentikan langkahnya. Keningnya berkerut
"Apa kau baik-baik saja?"Dante menghampiri Lizzy yang terduduk lemas di tanah. Gadis itu terlihat masih terguncang dengan peristiwa yang baru saja dia alami. Lizzy seolah berada di dunia lain, dan tidak mendengar pertanyaan Dante.Kemudian di belakangnya, Dante merasakan pergerakan yang mendekat ke arahnya. Dengan sigap dia memutar tubuhnya, bersiap menghadang serangan dari lawannya. Matanya tajam menatap, dan wajahnya terlihat kaku menahan amarah.Ben berlari seperti orang kesetanan sambil mengepalkan tangannya. Hatinya terasa panas karena laki-laki asing di depan sana telah berani ikut campur dalam urusannya. Ben ingin memberi pelajaran pada dia. Tapi Ben melakukan kesalahan karena lawannya berhasil menghindar, dan membuatnya tersungkur ke tanah sekali lagi."Segera pergi dari sini kalau kau tidak ingin menyesal." Dante menggertak dengan suara pelan.Karena tidak ingin terluka kembali, Ben memilih mundur. Posisinya kurang menguntungkan. Tidak masalah malam ini dia kalah, lain kali
"Kau mungkin salah orang." Dante berucap pelan sambil menatap laki-laki asing itu dengan sorot waspada. Tidak mungkin Dante menerima tamu tidak diundang ini dengan tangan terbuka. Mereka tidak pernah bertemu, juga tidak saling mengenal. Benigno juga tidak pernah bercerita tentang keberadaan laki-laki bernama Luca Massimo ini. "Sama sekali tidak. Aku memang saudaram. Lebih tepatnya saudara tiri," balas Luca dengan sikap acuh tak acuh. Dia lalu mendaratkan tubuhnya di atas sofa. Matanya melihat ke sekeliling ruangan itu dengan tatapan menyelidik. "Kau terlihat cocok berada di ruangan ini," lanjut Luca memberi komentar. Tangan Dante terkepal erat di atas meja. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Dia cukup bersabar dan berusaha menahan amarah yang hampir meledak saat menghadapi sikap lancang dari tamunya. Bila tidak mempedulikan posisinya saat ini, Dante pasti sudah menerkam Luca, lalu melemparkan laki-laki itu keluar dari hadapannya sekarang. "Kalau memang benar kita memiliki hubungan