Ethan mempertahankan senyum penuh ketenangannya dengan sangat baik. Reaksi Cara sudah ia perkirakan. Keterkejutan dan kepucatan Cara adalah campuran ekspresi yang paling ia sukai di wajah cantik dan polos itu. Juga kegugupan yang membuatnya semakin gemas pada Cara.“Akses ke dalam hatiku?” ulang Cara dengan suara yang bergetar.“Hmm.” Ethan mengulurkan tangan. Punggung jemarinya mengelus di sepanjang rahang wanita itu dengan sentuhan seringan bulu. Sementara wajah Cara begitu tegang, pun begitu tak beringsut menolak sentuhannya.“Apa maksudmu, Ethan?”Kali ini Ethan memutar tubuh. Mengarahkan seluruh perhatiannya pada wajah sang istri yang tak bisa lebih pucat lagi. “Aku ingin memperbaiki pernikahan kita.”“Memperbaiki?” Cara nyaris tak bisa menahan dengusan lolos dari celah bibirnya. “Tak ada apa pun yang perlu diperbaiki, Ethan. Aku bahkan tak pernah benar-benar ingat pernikahan kita selain pistol yang kau tempelkan di kepalaku. Bahkan sekarang, kau tahu alasanku ada di tempat ini.
“Zevan?” Cara memastikan pintu kamar mandi tertutup rapat sebelum menjawab panggilan pria itu. Melirihkan suaranya. “Bisakah kau menghubungiku setengah jam lagi, aku sedang di ruangan Ethan.” “Ya, baiklah.” Panggilan pun kembali terputus dan Cara melangkah keluar. Wajahnya hampir menabrak dada bidang Ethan yang berdiri tepat di depan pintu. Tubuhnya terhuyung ke belakang, nyaris terjungkal jika bukan karena pinggangnya ditangkap lengan pria itu. “Hati-hati, sayang. Kau tahu aku tak suka tubuhmu lecet, apalagi karena kecerobohanmu sendiri.” Cara menyentakkan lengan Ethan dari tubuhnya. “Dan apa yang kau lakukan di depan pintu kamar mandi?” Ethan terkekeh. “Memastikan istriku baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja.” Cara menyelipkan tubuhnya ke samping Ethan. “Kau sudah selesai makan, kan?” Ethan tak mengangguk. Tak perlu mengangguk karena Cara langsung membereskan semua yang ada di meja dan keluar tanpa perlu ijinnya lalu keluar dari ruangannya. *** Cara mengabaikan tatapan pen
Dua jam sebelumnya …Pintu kamarnya diketuk tepat ketika tubuh Cara menghilang di balik pintu kamar mandi. Tak menunggu jawaban darinya untuk dibuka dengan kasar. “Kenapa kau tak menjawab panggilanku, Ethan. Aku menghubungimu sejak dua jam yang lalu.”Ethan menghela napas dengan jengah. Menatap Emma yang berdiri tepat di depannya dengan kesal dan ada kepanikan yang menghias di kedua mata wanita itu. “Ada apa lagi?”“Kakek dan orang tuaku sedang menuju kemari. Mereka ingin membawaku ke rumah sakit.”“Rumah sakit?”Emma menjilat bibirnya yang mendadak kering. “Aku tak tahu bagaimana foto kita berdua yang sedang berciuman menyebar. Itu bukan hal yang penting, semua orang tahu kita memang bertunangan. Tapi … beberapa hari yang lalu aku pergi ke rumah sakit karena tiba-tiba aku merasa tak enak badan. Dokter memintaku ke dokter kandungan, aku tak tahu apa tujuannya.”“Kau hamil?” Salah satu alis Emma terangkat. “Yang pasti bukan anakku, kan? Aku tak pernah tidur denganmu. Dan tak mungkin se
Cara masih bertanya-tanya bagaiamana Zevan mendapatkan kartu tersebut. Ia mencoba mengingat di mana dan kapan terakhir kali meletakkan tasnya. Sejak Ethan memberikan akses tersebut beberapa hari yang lalu, ia memang tak pernah menggunakannya karena selalu pergi dan pulang bersama Ethan.“Tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku.” Suara Ethan sangat lirih. Nyaris lembut tetapi berhasil membuat bulu kuduk Cara berdiri. Kaki pria itu bergerak dengan perlahan. Membuat Cara menahan napas dengan keras. “Ah, tidak perlu ada penjelasan. Semua sudah cukup jelas, kan?”Kedua kaki Cara membeku, tak bergerak meski ketakutan berhasil mencengkeram dadanya dengan kuat. Dan ketika ia berusaha sangat keras untuk beringsut menjauh, Ethan menyambar lengannya lalu membanting tubuhnya ke tengah ranjang. Bersama tubuh pria itu yang jatuh di atasnya. “Terlalu jelas hingga aku kehilangan kata-kata untuk ketololanmu.”“A-aku …”“Tak tahu apa-apa?” Napas Ethan memburu. Menerpa seluruh permukaan wajah Cara ya
“Apa yang kau inginkan?” Cara menahan lengan Ethan yang baru saja melemparkan celana ke keranjang kotor. Membalas pertanyaannya dengan lirikan tak tertarik, yang membuat Cara semakin panik. “Ethan, apa yang kau inginkan agar aku bisa bertemu dengan mereka?” Ethan menarik lengannya. “Apa itu sebuah pertanyaan? Atau hanya sekedar basa-basi?” Bibir Cara sempat menipis. Kesal dengan ketidak pedulian yang ditunjukkan Ethan, pun ia tahu Ethan memang tak pernah peduli pada apa pun, kecuali keegoisan pria itu sendiri. “Kau tak bisa memisahkan kami seperti ini, Ethan? Mereka anakku.” “Kau bisa, kenapa aku tidak bisa?” Ethan membuang wajah setelah satu dengusan tipis. “Dan mereka juga anakku.” Cara membeku, menatap Ethan yang berjalan ke bilik shower. Pintu bilik terbuat dari bahan kaca yang bisa diburamkan. Tapi Ethan seolah sengaja mengusir dirinya, tak repot-repot memburamkan kaca tersebut dan menurunkan celana karet tepat di hadapannya. Cara hanya memalingkan pandangan, mendengarkan
“Terima kasih banyak. Sekarang aku tak perlu mencemaskan seseorang akan menyelinap masuk ke dalam apartemen kami.” “Apa kartu akses yang kalian bilang adalah kartu akses yang itu?” Tatapan Cara menusuk tajam pada Emma. Tak perlu mencerna lebih lama untuk menebak apa yang tengah mereka perbincangkan. Emma melengkungkan senyum tanpa penyesalannya. “Jadi kartu akses itu kau yang memberikannya pada Zevan?” Emma mengedikkan bahunya. Dengan senyum yang semakin lebar. “Kau benar-benar licik, Emma.” Cara mendorong Emma hingga wanita itu terhuyung, tetapi Joanna dan Bella dengan sigap menahan Emma. “Apa yang kau lakukan, Cara? Beraninya kau menyentuhkan tangan kotormu itu pada nona Emma,” bela Joanna dengan mata mendelik sempurna. Mendorong tubuh Cara lebih kuat sebagai balasan. “Tak hanya menggoda tunangan nona Emma, sekarang kau bahkan bersikap kasar pada beliau. Di mana akal sehatmu, hah? Apa kau benar-benar tak punya rasa malu?” Cara menepis tangan Joanna yang hendak mendorongnya
“Apa kau benar-benar akan membawa mereka ke sini?” Cara mencoba memberanikan diri mempertanyakan janji Ethan tersebut. Keduanya masih bergelung di tempat tidur. Ethan membiarkan lengannya dijadikan bantalan untuk kepala Cara, sementara kedua tubuh telanjang mereka masih saling menempel di balik selimut.Ethan tak mengatakan apa pun. Satu-satunya hal yang ia pedulikan saat ini adalah Cara yang masih berada dalam pelukannya. Biasanya wanita itu akan langsung beringsut menjauh begitu ia selesai menuntaskan hasratnya pada tubuh Cara. Dan untuk pertama kalinya, Cara tak menjauh. Meski memang wanita itu memiliki tujuan setelah menyenangkannya, tetap saja wanita berada dalam pelukannya. Sekarang.“Kau tak menjawab pertanyaanku,Ethan.”Ethan tersenyum, sedikit menurunkan wajahnya untuk mendaratkan satu kecupan di ujung kepala. “Kenapa kau begitu terburu-buru. Jangan merusak kesenanganku dengan pertanyaanmu itu, Cara. Kau membuatku salah paham dan berpikir kau melakukan semua ini untuk mereka.
Braakkk ….Telapak tangan Ethan menggebrak meja dengan keras.“Hanya karena aku menyukaimu, bukan berarti kau bisa mengabaikan pekerjaanmu seperti ini, Cara. Aku sudah mengatakan untuk mempersiapkannya sebelum tuan Heri datang. Bagaimana mungkin kau melakukan keteledoran semacam ini, hah?”Cara tetap bergeming. Tahu Ethan tak membutuhkan alasan konyol berkasnya tertumpah kopi apalagi mesin print yang mendadak kehabisan tinta.“Ini peringatan pertama, Cara. Dan sebaiknya kau tahu kalau kesempatan lain tak pernah ada untuk siapa pun.” Ethan melempar berkas di depannya ke hadapan Cara. “Keluar.”Cara mengambil berkas tersebut dan berjalan keluar. Ethan bukannya tak tahu Joannalah yang membuat masalah dengan Cara, tapi keterdiaman Cara yang seolah tak membutuhkan bantuannyalah yang membuatnya kesal. Dan campur tangan Emma yang masih saja berusaha mengusik Cara kali ini benar-benar melewati batas,“Aku tak butuh mengetahui apa yang diberikan Emma untuk membuat Cara berada dalam masalah. T
“Sepertinya ada banyak hal yang mengganggumu?” gumam Ethan saat keduanya berbaring dan sudah mendapatkan posisi nyaman di atas tempat tidur. Akan tetapi wanita itu tak juga tertidur setelah setengaha jam lebih.Cara menoleh ke belakang. “Kau belum tidur?”Ethan memutar tubuh Cara menghadapnya. “Apa yang sedang kau pikirkan?”“Hmm, bukan hal yang penting,” senyum Cara.“Tetapi mengganggumu.”Cara menghela napas rendah. Masih dengan senyum yang tersungging lebar, telapak tangannya menyentuh wajah Ethan. Mengusapkan jemarinya di rahang Ethan dengan lembut. “Seberapa pun kerasnya aku berusaha tak memikirkan semuanya, semua itu hanya semakin menggangguku, Ethan. Apa yang sebenarnya terjadi?”“Aku tak mungkin di sini jika rencana Zevan memang berhasil, Cara.”“Kenapa dia melakukan semua ini padamu? Pada Cheryl? Juga padaku dan anak …” Kalimat Cara seketika terhenti.Mata Ethan memicing tajam. Ekspresi wajah pria itu seketika berubah tegang. “Apa yang dilakukannya padamu?”Cara mengerjap. C
Arman Anthony menunggu di balik pintu kaca gelap yang ada di sampingnya, ketika pintu itu bergeser membuka, sang cucu melangkah keluar dari ruang interogasi bersama seorang pria berjaket hitam dengan tubuh besar yang menampilkan sikap dan ekspresi datar sebelum berjalan meninggalkan cucu dan kakek tersebut.“Kenapa aku tak terkejut?” Ethan bergumam rendah. Kedua pengacaranya memberikan satu anggukan hormat pada Arman Anthony, kemudian berpamit pergi bersama dua pengacara kiriman sang kakek yang berhasil membawanya keluar dari ruangan tersebut. “Aku bisa melakukannya sendiri. Apakah Mano yang membuat masalah? Atau Zaheer? Ck, mereka begitu tak sabaran.”“Kenapa kakek pun tak terkejut kau tak mengucapkan terima kasih, Ethan.”Ethan mendesah pelan. Ada kejengahan yang tersirat di kedua mata abu gelapnya. “Karena aku tahu bukan itu yang kakek inginkan dariku.”Arman tersenyum tipis. “Sepertinya mereka tidak memberimu makanan yang layak. Kakek akan mak
Buugghhh …Tubuh Zevan melayang ke arah Mano. Dan pergulatan kedua pria itu tak terelakkan. Mano tentu saja sudah bisa memperkirakan reaksi Zevan yang minim kesabaran. Menyambut tinju sang sepupu dengan suka cita.“Berapa Ethan membayarmu hingga kau membuat omong kosong setolol ini, hah?”Mano terbahak. Membalas tinju Zevan di rahang, sekuatnya hingga pria itu tersungkur ke samping dan menabrak guci besar hingga pecah.“Hentikan kalian berdua!” Suara menggelegar Arman Anthony memenuhi seluruh ruangan. Tetapi kemarahan masih menguasai kedua pria itu, menulikan telinga mereka dan kembali saling melemparkan balasan.Baku hantam itu akhirnya berhasil dipisahkan oleh anak buah Arman Anthony. Yang masing-masing menahan lengan Zevan dan Mano.Mano tentu saja satu-satunya orang yang merasa puas dengan akhir dari perkelahian tersebut. Hidung Zevan patah dan ia yakin sang sepupu tak terima dengan kekalahan tersebut. “Seperti yang kau bilan
Mano melepaskan pegangan Cara. Kedua pria itu berlari keluar, meninggalkan Cara yang membeku di ambang pintu.Mano sudah berlari mendekati ujung tangga, tetapi kemudian pria itu teringat sesuatu dan kembali mendekati Cara. “Kemarikan ponselmu?”Cara menatap tangan Mano yang terulur.“Apa pun yang terjadi, kau tak boleh meninggalkan tempat ini, Cara. Jadi kemarikan ponselmu. Cepat.”“Lalu bagaimana aku tahu kalau Ethan baik-baik saja?” Suara Cara bergetar hebat. Bisa membayangkan betapa tersiksanya dia menunggu dengan penuh kegelisahan dan tak bisa ke mana-mana.“Yang terpenting, kau, Darrel, dan Cheryl baik-baik saja. Kami bisa mengurus Ethan.” “T-tapi …”“Cepat, Cara. Kami tak punya banyak waktu.”Cara menggeleng, wajahnya benar-benar pucat. “A-aku ingin ikut.”“Dan membiarkan Darrel dan Cheryl sendirian? Jangan egois, Cara. Cepat! Di mana ponselmu.”Cara mengerjap. Mano benar. Dirinya dan si
“Cindy Anthony?” Cara mengulang nama itu dalam gumaman. Mama Zevan? Pembunuhan? Kepala Cara menggeleng. Menolak tuduhan tersebut. “Tidak mungkin. Kenapa dia membunuh …”“Ck,” decak Ethan. “Sungguh? Kalian melakukannya sekarang? Aku baru saja berpikir untuk berendam.”Kedua pria itu mengeluarkan borgol dari dalam saku. Zaheer langsung berdiri. “Dia akan ikut kalian. Jadi singkirkan benda itu dan tunggu di depan.”Tubuh Cara berputar panik. Melotot pada Zaheer. “Apa yang kau katakan. Zaheer?”Ethan mengedikkan kepala ke arah pintu pada kedua pria berjaket hitam tersebut. “Beri aku waktu lima menit untuk bicara dengan istriku?”Kedua pria itu bergeming. Tampak mempertimbangkan peringatan tajam dalam tatapan Ethan. “Privasi untuk … tersangka? Setidaknya kalian terlambat setengah jam dari seharusnya. Aku tak suka jika anak-anakku melihat kejadian memalukan ini.”“E-ethan?” Suara Cara bergetar hebat. Di tengah kegentingan sep
“Lenganmu sakit?” Cara merasa tak enak hati melihat Ethan yang meregangkan otot lengan untuk ketiga kalinya sejak mereka terbangun oleh panggilan Cheryl.“Hanya …”“Pegal.”Ethan terkekeh. Menarik pinggang Cara dan mendudukkan tubuh mungil di meja wastafel hanya dalam satu sentakan ringan. Menempatkan tubuhnya di antara kedua kaki wanita itu dan merapatkan tubuh mereka. “Kenapa? Apa kau ingin bertanggung jawab?” bisiknya tepat di depan wajah Cara. Sengaja menyisakan jarak yang tipis, membiarkan napas keduanya bertukar. Cara tersenyum dengan wajahnya yang mulai tersipu. Jarak di antara wajah mereka begitu dekat. Tetapi ia menyukai hal itu. Kedua lengannya melingkari leher Ethan, wajahnya sedikit terdongak dengan tubuh Ethan yang tinggi. Dan ia butuh lebih sedikit mengangkat tubuhnya untuk menyentuhkan bibir mereka. “Apakah ini cukup?”Ethan menggeleng, dengan senyum yang masih melengkung, bibirnya bergerak menyapu bibir Cara yang lembut.
Mano memberikan satu anggukan. “Aku tahu apa yang harus kulakukan,” ucapnya kemudian berbalik dan berbelok di ujung lorong pendek tersebut.“Pergilah,” pintah Ethan dengan suara datar. Perlahan, ia mulai bisa mengendalikan emosi yang memenuhi dadanya. Ia harus tenang dan pikirannya harus jernih. Tak boleh megalihkan perhatian.Zaheer pun ikut berbalik, menyusul Mano tetapi menuju arah yang lain.“Ke mana mereka?” Isakan Cara terhenti ketika menyadari Mano dan Zaheer yang sudah pergi. Sementara tampaknya kedua pria itu masih belum selesai berbincang.“Ada yang harus mereka lakukan.” Ethan melonggarkan pelukan Cara, menatap wajah wanita itu yang masih dibasahi oleh air mata. Mengulurkan sapu tangan. “Tenangkan dirimu. Kau tak mungkin terlihat seperti ini di hadapan Cheryl.”Cara mengusap kedua matanya dengan kain lembut tersebut. “Ethan?” panggilnya lirih setelah perasaan mulai sedikit tenang. “Mungkin aku …”“Tidak.” Ethan tentu t
Suara alarm yang berdengung di telinga menyentakkan Cara yang tengah menyisir rambut. Cara gegas beranjak dari duduknya menuju pintu, hampir menabrak anak buah Ethan yang hendak mengetuk pintu. “Nyonya, kami akan membawa nyonya …”“Ada apa? Alarm apa itu?”“Teman saya masih memeriksanya di lantai atas.”“Di mana Darrel dan Cheryl?” Cara melewati pengawal tersebut. Berlari ke arah tangga dengan panik begitu mendengar lantai atas.Cara tak benar-benar mendengarkan jawaban di pengawal yang menyusul langkahnya. Memanggilnya kalau yang lain sedang juga sedang mengamankan si kembar. Tapi Cara tak akan merasa tenang jika belum melihat Darrel dan Cheryl dengan kedua mata kepalanya sendiri. Firasat buruk mulai merambati dadanya.“Mama?” Suara Darrel menyambut langkah Cara yang baru saja menginjakkan kaki di lantai dua. Kedua lengan bocah itu langsung melingkar di perutnya. “Sayang, kau baik-baik saja?”“Cheryl?” Darrel mendongakkan kepala
“Apakah itu cukup?”Cara tak sempat menolak ketika Ethan mendorong tubuhnya berbaring di tempat tidur. Dan kalaupun ada kesempatan, ia tak akan menolak. Kata-kata Ethan selanjutnya membuat perasaannya meluruh. Menghangat memenuhi dadanya.“Cinta? Obsesi? Kepercayaan? Aku tak benar-benar memahami perbedaannya, Cara. Tetapi aku tahu aku akan melakukan apa pun untuk melindungi kalian. Kau, si kembar, dan anak dalam kandunganmu. Aku menginginkanmu. Juga mereka. Dan aku akan berhenti bertanya-tanya, kenapa aku membutuhkanmu seperti aku membutuhkan udara.”Bibir Ethan menyapu bibir Cara dengan lembut. Satu kali. Kemudian kepalanya terangkat sedikit, menyisakan jarak yang cukup untuk menatap lurus kedua mata Cara dan berbisik. “Itu artimu bagiku. Dan aku tak peduli itu cinta atau obsesi. Salah satu, keduanya atau pun buka kedua-duanya.”Cara bernapas, merasakan napas panas Ethan yang berhembus di permukaan wajahnya. Membakarnya. Dan ia yakin wajahnya s