Dua jam sebelumnya …Pintu kamarnya diketuk tepat ketika tubuh Cara menghilang di balik pintu kamar mandi. Tak menunggu jawaban darinya untuk dibuka dengan kasar. “Kenapa kau tak menjawab panggilanku, Ethan. Aku menghubungimu sejak dua jam yang lalu.”Ethan menghela napas dengan jengah. Menatap Emma yang berdiri tepat di depannya dengan kesal dan ada kepanikan yang menghias di kedua mata wanita itu. “Ada apa lagi?”“Kakek dan orang tuaku sedang menuju kemari. Mereka ingin membawaku ke rumah sakit.”“Rumah sakit?”Emma menjilat bibirnya yang mendadak kering. “Aku tak tahu bagaimana foto kita berdua yang sedang berciuman menyebar. Itu bukan hal yang penting, semua orang tahu kita memang bertunangan. Tapi … beberapa hari yang lalu aku pergi ke rumah sakit karena tiba-tiba aku merasa tak enak badan. Dokter memintaku ke dokter kandungan, aku tak tahu apa tujuannya.”“Kau hamil?” Salah satu alis Emma terangkat. “Yang pasti bukan anakku, kan? Aku tak pernah tidur denganmu. Dan tak mungkin se
Cara masih bertanya-tanya bagaiamana Zevan mendapatkan kartu tersebut. Ia mencoba mengingat di mana dan kapan terakhir kali meletakkan tasnya. Sejak Ethan memberikan akses tersebut beberapa hari yang lalu, ia memang tak pernah menggunakannya karena selalu pergi dan pulang bersama Ethan.“Tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku.” Suara Ethan sangat lirih. Nyaris lembut tetapi berhasil membuat bulu kuduk Cara berdiri. Kaki pria itu bergerak dengan perlahan. Membuat Cara menahan napas dengan keras. “Ah, tidak perlu ada penjelasan. Semua sudah cukup jelas, kan?”Kedua kaki Cara membeku, tak bergerak meski ketakutan berhasil mencengkeram dadanya dengan kuat. Dan ketika ia berusaha sangat keras untuk beringsut menjauh, Ethan menyambar lengannya lalu membanting tubuhnya ke tengah ranjang. Bersama tubuh pria itu yang jatuh di atasnya. “Terlalu jelas hingga aku kehilangan kata-kata untuk ketololanmu.”“A-aku …”“Tak tahu apa-apa?” Napas Ethan memburu. Menerpa seluruh permukaan wajah Cara ya
“Apa yang kau inginkan?” Cara menahan lengan Ethan yang baru saja melemparkan celana ke keranjang kotor. Membalas pertanyaannya dengan lirikan tak tertarik, yang membuat Cara semakin panik. “Ethan, apa yang kau inginkan agar aku bisa bertemu dengan mereka?” Ethan menarik lengannya. “Apa itu sebuah pertanyaan? Atau hanya sekedar basa-basi?” Bibir Cara sempat menipis. Kesal dengan ketidak pedulian yang ditunjukkan Ethan, pun ia tahu Ethan memang tak pernah peduli pada apa pun, kecuali keegoisan pria itu sendiri. “Kau tak bisa memisahkan kami seperti ini, Ethan? Mereka anakku.” “Kau bisa, kenapa aku tidak bisa?” Ethan membuang wajah setelah satu dengusan tipis. “Dan mereka juga anakku.” Cara membeku, menatap Ethan yang berjalan ke bilik shower. Pintu bilik terbuat dari bahan kaca yang bisa diburamkan. Tapi Ethan seolah sengaja mengusir dirinya, tak repot-repot memburamkan kaca tersebut dan menurunkan celana karet tepat di hadapannya. Cara hanya memalingkan pandangan, mendengarkan
“Terima kasih banyak. Sekarang aku tak perlu mencemaskan seseorang akan menyelinap masuk ke dalam apartemen kami.” “Apa kartu akses yang kalian bilang adalah kartu akses yang itu?” Tatapan Cara menusuk tajam pada Emma. Tak perlu mencerna lebih lama untuk menebak apa yang tengah mereka perbincangkan. Emma melengkungkan senyum tanpa penyesalannya. “Jadi kartu akses itu kau yang memberikannya pada Zevan?” Emma mengedikkan bahunya. Dengan senyum yang semakin lebar. “Kau benar-benar licik, Emma.” Cara mendorong Emma hingga wanita itu terhuyung, tetapi Joanna dan Bella dengan sigap menahan Emma. “Apa yang kau lakukan, Cara? Beraninya kau menyentuhkan tangan kotormu itu pada nona Emma,” bela Joanna dengan mata mendelik sempurna. Mendorong tubuh Cara lebih kuat sebagai balasan. “Tak hanya menggoda tunangan nona Emma, sekarang kau bahkan bersikap kasar pada beliau. Di mana akal sehatmu, hah? Apa kau benar-benar tak punya rasa malu?” Cara menepis tangan Joanna yang hendak mendorongnya
“Apa kau benar-benar akan membawa mereka ke sini?” Cara mencoba memberanikan diri mempertanyakan janji Ethan tersebut. Keduanya masih bergelung di tempat tidur. Ethan membiarkan lengannya dijadikan bantalan untuk kepala Cara, sementara kedua tubuh telanjang mereka masih saling menempel di balik selimut.Ethan tak mengatakan apa pun. Satu-satunya hal yang ia pedulikan saat ini adalah Cara yang masih berada dalam pelukannya. Biasanya wanita itu akan langsung beringsut menjauh begitu ia selesai menuntaskan hasratnya pada tubuh Cara. Dan untuk pertama kalinya, Cara tak menjauh. Meski memang wanita itu memiliki tujuan setelah menyenangkannya, tetap saja wanita berada dalam pelukannya. Sekarang.“Kau tak menjawab pertanyaanku,Ethan.”Ethan tersenyum, sedikit menurunkan wajahnya untuk mendaratkan satu kecupan di ujung kepala. “Kenapa kau begitu terburu-buru. Jangan merusak kesenanganku dengan pertanyaanmu itu, Cara. Kau membuatku salah paham dan berpikir kau melakukan semua ini untuk mereka.
Braakkk ….Telapak tangan Ethan menggebrak meja dengan keras.“Hanya karena aku menyukaimu, bukan berarti kau bisa mengabaikan pekerjaanmu seperti ini, Cara. Aku sudah mengatakan untuk mempersiapkannya sebelum tuan Heri datang. Bagaimana mungkin kau melakukan keteledoran semacam ini, hah?”Cara tetap bergeming. Tahu Ethan tak membutuhkan alasan konyol berkasnya tertumpah kopi apalagi mesin print yang mendadak kehabisan tinta.“Ini peringatan pertama, Cara. Dan sebaiknya kau tahu kalau kesempatan lain tak pernah ada untuk siapa pun.” Ethan melempar berkas di depannya ke hadapan Cara. “Keluar.”Cara mengambil berkas tersebut dan berjalan keluar. Ethan bukannya tak tahu Joannalah yang membuat masalah dengan Cara, tapi keterdiaman Cara yang seolah tak membutuhkan bantuannyalah yang membuatnya kesal. Dan campur tangan Emma yang masih saja berusaha mengusik Cara kali ini benar-benar melewati batas,“Aku tak butuh mengetahui apa yang diberikan Emma untuk membuat Cara berada dalam masalah. T
“Kenapa kau tak memindahkannya di sini saja, Ethan. Aku tahu sejak awal kau berniat memindahkan si kembar di tempat ini, kan?” Cara mengamati wajah Ethan dengan hati-hati sebelum melanjutkan. “Jika tidak, kau tak mungkin mempersiapkan kamar untuk mereka di lantai dua.” Ethan memberikan senyum tipis. Tak akan menyangkal. “Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran?” “Kau lupa, aku selalu melakukan apa pun yang kusuka.” Jawaban klasik khas Ethan, Cara membatin. “Lalu apa yang harus kulakukan agar kau berubah pikiran?” “Kau tahu apa yang kuinginkan Cara.” Ethan memutar wajah menghadap Cara. Wanita itu bersandar miring di kepala ranjang dengan tangan memegang selimut di dada. Menghalangi pandangannya dari ketelanjangan tubuh wanita itu. Tangannya terulur, menarik turun selimut tersebut. “Berhenti berselingkuh di belakangku.” Cara menelan ludah. Ketegangan bercampur wajahnya yang merah padam akan tatapan intens Ethan yang mengamati dadanya. Ethan mengucapkannya dengan penuh ketenangan, t
“Ada apa dengan malam ini?” Cara menurunkan gaun pesta yang baru saja dibawa Ethan masuk. Lengkap dengan sepatu dan penata rias yang akan datang beberapa saat lagi. “Kita perlu memberikan selamat untuk pertunangan Emma dan Zevan, kan? Bagaimana pun dia adalah saudaraku.” Cara baru teringat. Zevan sempat memberitahunya tentang kesepakatan dalam pernikahan tersebut ketika keduanya tak sengaja bertemu di lobi dua hari yang lalu. Pria itu baru saja mengunjungi butik yang kebetulan berada di sekitar gedung Ethan. “Kau lupa?” Ethan meletakkan kedua tangannya di pinggang Cara, membawa tubuh wanita itu menempel di tubuhnya. Tak ada lagi penolakan dari wanita itu, bahkan wanita itu sudah mulai terbiasa dengan sentuhan-sentuhan ringannya. Pun begitu, masih saja ada jarak jika itu pembicaraan tentang Zevan. Cara menggeleng pelan. “Aku terlalu sibuk. Aku tak ingat kalau acaranya malam ini. Dan aku tak yakin keberadaanku dibutuhkan di tempat itu. Itu acara yang ….” “Aku membutuhkanmu
My Lovely Wife“Jadi apa yang kau katakan?”Ethan menggeleng. “Ponselku berdering. Theo sudah di bawah.”Zaheer hanya manggut-manggut. “Tapi menurutmu sampai kapan dia akan berpikir dirinya masih hamil?”“Kapan pun itu, tak akan lama. Ck, aku tak tahu kehamilan. Menurutmu berapa minggu perut harus terlihat besar?”“3-4 bulan biasanya sudah mulai terlihat perkembangannya. Seperti Yang dikatakan Cara. Apalagi ini kehamilan keduanya.”Napas Ethan tertahan sejenak. “Aku tak tahu bagaimana cara memberitahunya.”“Kau akan menemukannya.” Zaheer mengedikkan bahu. “Seperti biasanya.”Ethan tak membalas.“Setelah keguguran itu, rahimnya juga sudah kembali normal.”Tambahan penjelasan Zaheer yang sudah diketahuinya itu membuat Ethan semakin dilanda dilema. Tak ada cara selain menghadapinya. Cara memang perlu tahu.Pada akhirnya, setelah empat hari masih dalam pengawasan intens dokter Faryal
Jangan Meninggalkan Kami“E-ethan?” lirihnya dengan suara yang lemah. Tenggelam di antara isakan Ethan yang mulai membasahi punggung tangannya, yang menempel di wajah pria itu. Cara mulai menepikan rasa pusing yang menggelitik kepalanya. Entah bagaimana ia berada di tempat ini, terbangun dan menemukan Ethan yang terisak di sampingnya.‘Kami benar-benar membutuhkanmu, sayang.’ Bisikan yang diucapkan dengan penuh permohonan tersebut adalah kalimat pertama yang menyambutnya begitu kesadaran perlahan mulai muncul dan menguasainya. Istriku. Itu adalah panggilan terindah yang pernah diucapkan oleh Ethan. Dengan penuh ketulusan yang menghangatkan dadanya. Akan tetapi, kenapa suara Ethan terdengar begitu sedih? Kenapa pria itu bahkan … menangis? Tangannya mulai bergerak pelan. Menatap kepala Ethan yang masih tertunduk dengan menggenggam tangannya. Genggamannya semakin kuat, tetapi setidaknya tangannya masih bisa digerakkan, untuk mendapatkan perhatian Ethan
Kembalilah, Kami Membutuhkanmu“Mama masih tidur?” gumam Cheryl, menjatuhkan kepalanya di pundak sang papa. Sementara Darrel yang berdiri di samping Ethan hanya menatap lurus pada ranjang pasien. Tempat sang mama berbaring dengan mata terpejam. Dengan dua mesin di samping kanan dan kiri ranjang yang mengeluarkan bunyi konstan, terhubung dengan tubuh rapuh Cara sebagai penunjang hidup. Sementara ketiganya berdiri di balik dinding kaca. Sejak tiga puluh menit yang lalu. Ethan merasakan genggaman tangan Darrel yang menguat. Pertanyaan Cheryl juga pertanyaan yang tak diucapkan sang putra. Sekaligus pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya. Mereka masih menunggu. Berharap di tengah keputus asaan yang seolah tak ada ujungnya.“Sudah lima menit.” Ethan lebih memilih mengalihkan pembicaraan. Ini sudah kedua kali Cheryl meminta tambahan lima menit setelah tiga puluh menit rutinitas yang wajib mereka lakukan setiap hari ini.Cheryl tak menjawab, t
“Tuan?” Suara benda jatuh dari seberang mengaktifkan sikap siaga Theo. Tubuh pria itu menegang. Menyusul erangan sang tuan yang seolah mengumpat dan suara lain yang terdengar.‘Kau bersama Cara?’Ujung mata Theo melirik ke samping. Menyadari sang nyonya yang tiba-tiba peka dengan keterkejutannya. Tatapan keras wanita itu melirik ponsel yang masih menempel di telinga.“Aku ingin bicara dengan Ethan. Berikan padaku.” Tangan Cara terulur, tetapi reaksi Theo tentu saja bergerak menjauh. Untuk selanjutnya ia membeku dengan suara Zevan dari seberang.‘Well, turuti kemauannya atau kepala bosmulah yang kulubangi selanjutnya.’‘Sialan kau, Zevan!’ umpat sang tuan yang tertahan.‘Kenapa kau begitu percaya diri kalau dia akan menyelamatkanmu, Ethan? Meski Cara bisa, dia tak akan melakukannya.’Mata Theo terpejam dengan percakapan yang terdengar. Sembari kepalanya berpikir keras mencari cara menyelamatkan sang tuan. Kepala pengawal
Suara dering ponsel yang terdengar dari balik pintu mengalihkan perhatian Ethan dan Mano. Ethan beranjak dan gegas mendekati pintu ruangannya yang didorong terbuka oleh Cara sebelum ia sempat menyentuh gagang pintu.“Ponselmu sejak tadi berbunyi. Sepertinya ada urusan yang penting.” Cara mengulurkan benda pipih tersebut. Memuji dirinya sendiri akan suaranya yang keluar setenang air danau meski hatinya terasa remuk redam.Ethan menunduk, menatap nama Bianca. Tak biasanya wanita itu menghubunginya malam-malam begini. Dan melihat riwayat panggilan yang menunjukkan belasan panggilan tak terjawab, sepertinya ada sesuatu yang serius. Tanpa berpikir dua kali, ia menjawab panggilan tersebut.“Ada apa?”Ethan mengerjap terkejut, kepalanya berputar dan langsung bertatapan dengan Mano. Keseriusan merebak di seluruh permukaan wajahnya, mengirim pesan pada Mano yang langsung menangkap sinyal tersebut dan menghampirinya.“Kita harus ke rumah sakit,” uc
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Suara Zevan memecah ketegangan yang membentuk di sekitar keempat orang tersebut.Cara mundur satu langkah. Zevan yang berdiri di hadapannya bukan lagi Zevan yang ia kenal. Ah, ia tak pernah benar-benar tahu siapa Zevan yang berdiri di depannya saat ini juga sebelum-sebelumnya.Pandangan Zevan melirik kedua anak buah Ethan yang ada di samping kanan dan kiri Cara. Tak perlu bertanya apa yang ada di balik jas kedua pria besar dan tinggi tersebut. Akan tetapi … pandangannya beralih pada Cara. Satu-satunya yang paling lemah dan kesempatan yang dimilikinya untuk menghancurkan Ethan.Ia menekuk lututnya, memastikan raut penyesalan dan menyedihkan yang sempurna sebelum berbicara dengan penuh permohonan. Zevan melepaskan jaket hitamnya dan mengangkat kedua tangan pada dua pria tersebut, menunjukkan tak ada ancaman apa pun yang akan dilakukannya pada Cara.“Hanya lima menit,” ucapnya menatap lurus kedua mata Cara. “Mer
‘Kau membunuhnya. Dia melakukan apa pun untuk mempertahankanmu.’ Jeda yang cukup lama, menciptakan keheningan di antara keduanya. ‘Hingga detik ini, kakek masih merasa apa yang dikatakannnya memang benar.’Mata Zevan terpejam mengingat kalimat terakhir Arman sebelum ia keluar dari ruangan tersebut. ‘Seharusnya dia tak melakukan itu. Itu adalah kesalahan terbesar di hidupnya yang menyedihkan. Kalian yang terlalu lemah.’Tak ada penyesalan apa pun telah mengucapkan kata yang berasal dari hatinya yang terdalam. Ia adalah kesalahan. Wanita itu melakukan kesalahan. Semua hidupnya yang menyedihkan menurun dari wanita itu. Ia hanya sedikit berbaik hati untuk mengakhiri nasib menyedihkan itu. Sebagai anak yang berbakti. Ujung bibirnya tertarik ke atas. Membentuk seringai tipis.*** “Apa maksudmu kakek tak sadarkan diri?” Kepala Ethan terangkat dari ponsel di tangannya pada Zaheer yang duduk di ujung sofa. Kecemasan menyelimuti wajah sang sepupu. “Hasil
“Sepertinya ada banyak hal yang mengganggumu?” gumam Ethan saat keduanya berbaring dan sudah mendapatkan posisi nyaman di atas tempat tidur. Akan tetapi wanita itu tak juga tertidur setelah setengaha jam lebih.Cara menoleh ke belakang. “Kau belum tidur?”Ethan memutar tubuh Cara menghadapnya. “Apa yang sedang kau pikirkan?”“Hmm, bukan hal yang penting,” senyum Cara.“Tetapi mengganggumu.”Cara menghela napas rendah. Masih dengan senyum yang tersungging lebar, telapak tangannya menyentuh wajah Ethan. Mengusapkan jemarinya di rahang Ethan dengan lembut. “Seberapa pun kerasnya aku berusaha tak memikirkan semuanya, semua itu hanya semakin menggangguku, Ethan. Apa yang sebenarnya terjadi?”“Aku tak mungkin di sini jika rencana Zevan memang berhasil, Cara.”“Kenapa dia melakukan semua ini padamu? Pada Cheryl? Juga padaku dan anak …” Kalimat Cara seketika terhenti.Mata Ethan memicing tajam. Ekspresi wajah pria itu seketika berubah tegang. “Apa yang dilakukannya padamu?”Cara mengerjap. C
Arman Anthony menunggu di balik pintu kaca gelap yang ada di sampingnya, ketika pintu itu bergeser membuka, sang cucu melangkah keluar dari ruang interogasi bersama seorang pria berjaket hitam dengan tubuh besar yang menampilkan sikap dan ekspresi datar sebelum berjalan meninggalkan cucu dan kakek tersebut.“Kenapa aku tak terkejut?” Ethan bergumam rendah. Kedua pengacaranya memberikan satu anggukan hormat pada Arman Anthony, kemudian berpamit pergi bersama dua pengacara kiriman sang kakek yang berhasil membawanya keluar dari ruangan tersebut. “Aku bisa melakukannya sendiri. Apakah Mano yang membuat masalah? Atau Zaheer? Ck, mereka begitu tak sabaran.”“Kenapa kakek pun tak terkejut kau tak mengucapkan terima kasih, Ethan.”Ethan mendesah pelan. Ada kejengahan yang tersirat di kedua mata abu gelapnya. “Karena aku tahu bukan itu yang kakek inginkan dariku.”Arman tersenyum tipis. “Sepertinya mereka tidak memberimu makanan yang layak. Kakek akan mak